Senin, 17 Juni 2013

Suku Baduy


PENDAHULUAN

Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belandayang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagaiurang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo(Garna, 1993).
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka.
  
* Kelompok tangtu (baduy dalam).
Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar.selain itu orang baduy dalam merupakan yang paling patuh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat).
Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih dan golok. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing, mereka juga tidak beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki tanpa alas dan tidak pernah membawa uang. mereka tidak mengenal sekolah, huruf yang mereka kenal adalah Aksara Hanacara dan bahasanya Sunda. Mereka tidak boleh mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Salah satu contoh sarana yang mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Mereka membuat sebuah Jembatan tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu mereka menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai.

* Kelompok masyarakat panamping (baduy Luar),
mereka tinggal di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah baduy dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. suku Baduy Luar biasanya sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal kebudayaan luar, seperti bersekolah.

* Kelompok Baduy Dangka,
mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar

Desa Kanekes adalah salah satu desa di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten, seluas 5.101,85 hektar, sebagian besar tanahnya merupakan dataran tinggi yang bergunung dengan lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai dan hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan desa merupakan hutan lindung atau Orang Baduy sering menyebutnya hutan tutupan.

Pada tahun 1888 Orang Baduy berjumlah 291 orang yang tinggal di 10 kampung, sedangkan tahun 1899 meningkat menjadi 1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs, Meijer, 1891; Pennings,1902), tahun 1908 berjumlah 1.547 orang (Tricht, 1929), kemudian tahun 1966 meningkat lagi menjadi 3.935 orang. Tahun 1971 berjumlah 4.078 orang, tahun 1983 penduduk Desa Kanekes menjadi 4.574 orang, tahun 1995berjumlah 5.672 orang dan tahun 1999 berjumlah 7.041 orang.

Hal itu berarti, telah terjadi peningkatan penduduk hampir 20 kali lipat. Keadaan ini menuntut penyediaan lahan untuk permukiman semakin bertambah, dari pelbagai catatan dapat diketahui pertambahan kampung, yaitu tahun 1891, masih terdiri atas 9 kampung (3 tangtu, 1 panamping, 5 dangka), 38 tahun kemudian, tepatnya tahun 1929, berjumlah menjadi 17 kampung, tahun 1952 bertambah menjadi 31 kampung, pada tahun 1975 menjadi 36 kampung, tahun 1986 terjadi penambahan menjadi 43 kampung, tahun 1996 menjadi 53 kampung, dan tahun 2000 tercatat menjadi 56 kampung.

Pertambahan jumlah kampung di Desa kanekes itu menunjukkan lahan garapan mereka semakin didesak oleh keperluan lahan untuk penyediaan permukiman. Padahal dalam strategi mereka untuk mengatasi keadaan serupa itu dikenal suatu cara penyediaan lahan permukiman (kampung) yang boleh berada di luar wilayah Desa Kanekes, sehingga lahan garapan berhuma mereka tidak berkurang. Strategi penyediaan permukiman seperti itu, dikenal dalam tatanan kehidupan mereka sebagai kampung dangka yang menurut catatan justru jumlah dangka pada masa kini semakin berkurang. Hal itu, akibat pada masa-masa terakhir ini dangka ditarik kembali ke wilayah Desa Kanekes atas suatu soal yang dihadapi mereka dengan penduduk sekitarnya.

Akibat yang paling parah bagi Desa Kanekes, penduduk dan lahan untuk permukiman menjadi semakin bertambah. Tentunya, keadaan itu pun mengakibatkan dalam sistem perladangan mereka yang dikenal sebagai slash and burn lajunya semakin dipercepat yang menimbulkan tingkat kesuburan tanah semakin berkurang dari tahun ke tahun.

Sebutan dan asal Orang Baduy, Orang Baduy hanya mengenal bahasa lisan. Oleh karena itu, asal-usul mereka dicatat dalam ingatan dari generasi ke generasi dalam cerita tentang karuhun mereka. Bagi Orang Baduy, yang melihat tentang catatan waktu ialah segala peristiwa dalam kehidupan masyarakatnya, proses waktu merupakan perjalanan riwayat dunia yang setara dengan keadaan alam semesta. Demikian juga halnya mengenai asal dan sebutan Orang Baduy sebaiknya dilihat dari segi apakah anggapan mereka tentang dirinya sendiri, yaitu berbagai kaitan karuhun dengan alam semesta menurut perputaran waktu dan masa yang menempatkan mereka pada posisinya tertentu seperti digariskan pada awal eksistensinya.

Sebutan terhadap orang Baduy dapat dibagi pada dua jenis, yaitu sebutan yang diberikan oleh orang luar masyarakatnya dan mereka menyebut dirinya sendiri. Sebutan mana yang lebih dikenal akan tergantung pula pada kekerapan istilah itu menurut kebiasaan dan keinginan para pemakai istilah. Dalam menelaah penggunaan sebutan untuk orang Baduy, adalah menarik ditinjau bagaimana sebutan itu digunakan dalam jangka waktu yang panjang selama beberapa ratus tahun. Dengan demikian, nama Baduy kini seperti telah digunakan sebagai sebutan untuk kelompok masyarakat yang tinggal di Desa Kanekes, tampaknya bermula setelah agama Islam masuk ke wilayah Banten utara pada Abad ke-16.

Kegalauan sebutan terhadap penduduk Kanekes baik oleh warga masyarakat bukan Baduy maupun penulis-penulis asing pada permulaan Abad ke-18 dan Abad ke-19 memperlihatkan perkiraan yang mempertimbangkan semua aspek dan mencoba mencari jawabannya, termasuk aspek linguistik (misalnya, Jacobs dan Meijer, 1891; Pennings, 1902). Pembakuan sebutan Badawi, Badoeien, Badoei dan Bedoeis oleh orang-orang Belanda seringkali ditunjang pula oleh laporan-laporan resmi para pejabat pemerintahan kolonial. Karena itu, ada pula kemungkinan bahwa kata Badoeis, Bedoeis dikaitkan dengan kata badwi kelompok masyarakat Arab yang hidup secara nomaden di gurun pasir. Selain kata itu kadangkala dikaitkan dengan kata Buddha, buda yang berarti tidak beragama Islam.

Pleyte (1909), memberikan alasan tentang sebutan Baduy itu dikaitkan dengan unsur kebudayaan mereka sendiri. Ia mengemukakan bahwa kata Baduy tidak ada konotasi sebagai kata hinaan dan juga tidak ada kaitannya dengan kata Badwi, tetapi semata-mata nama Baduy yang berasal dari kata Cibaduy, nama sungai di sebelah utara Desa Kanekes. Itu artinya, untuk menyebut diri sendiri memang merupakan salah satu kebiasaan masyarakat Sunda menyebut nama kampung atau tempat bermukim, tempat dilahirkan atau tempat yang dapat memberikan arti penting dalam kehidupannya. Sehubungan dengan itu, tidaklah mengherankan apabila sebutan urang Kanekes dipakai pula oleh mereka, sebagai sebutan yang menekankan hakekat dan nilai budayanya.

Selain, sebutan untuk orang Baduy yang merupakan masalah oleh semua penulis, masalah asal juga menjadi bahan kajian yang tidak hentinya-hentinya (Jacobs dan Meijer, 1891; van Trich, 1929; Geisi, 1952). Bahkan penulis-penulis setelah kemerdekaan Indonesia seringkali mengaitkan asal-usul mereka dengan keruntuhan kerajaan Sunda-Hindu terakhir di Jawa Barat, yaitu kerajaan Pajajaran pada Abad ke-15 (misalnya, Djunaedi dkk., 1985; dan Danasasmita, 1986).

Orang Baduy menurut pandangan yang dikemukakan penulis itu, adalah keturunan dari pelarian keraton Pajajaran yang melarikan diri ke sebelah selatan Banten dan terdesak oleh serangan Sultan Hasanuddin yang menyebarkan agama Islam di kawasan itu. Dari penulis asing tampaknya ada kecenderungan persamaan pandangan dalam hal asal orang Baduy, mereka beranggapan bahwa asal orang Baduy bukan dari Banten utara ataupun pelarian dari kerajaan Pajajaran tetapi mereka adalah orang-orang setempat yang sudah berada di sana sejak lama sebelum pengaruh Islam tiba dan mengubah kepercayaan setempat.
Kampung dan Ikatan Kerabat

Untuk melihat kekerabatan orang Baduy, lokasi tempat tinggal mereka dianggap penting. Lokasi permukiman itu menentukan pada kedudukan mana terletak seseorang sebagai keturunan para Batara. Selain itu, dapat pula dipahami berbagai sistem sosial lainnya seperti perkawinan, pola tempat tinggal sesudah kawin, penempatan rumah di kampung yang dapat memberikan gambaran tentang kekerabatan dan kedudukannya dalam masyarakat.

Hubungan antara sistem kekerabatan dan lokasi kampung dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: pertama tentang kampung tangtu; kedua, kampung panamping; dan ketiga pajaroan. Tentang hal itu, ekpresi orang Baduy menyatakan bahwa seluruh wilayah Desa Kanekes adalah tangtu teulu jaro tujuh. Artinya, bahwa wilayah Kanekes seluruh penduduknya merupakan satu kerabat yang berasal dari satu nenek moyang, kalau pun ada perbedaan terletak pada tua dan muda dari sisi generasi.

Dalam kekerabatan orang Baduy, Cikeusik dianggap yang tertua, Cikertawana yang menengah dan Cibeo yang termuda. Oleh karena itu, Puun Cikeusik lah yang mengurus kunjungan tahunan ke Sasaka Domas tempat yang disucikan oleh orang Baduy. Kerabat yang lebih muda cukup dengan mengikuti yang tertua. Demikian juga halnya dengan pembagian kombala, berupa tanah putih dan lumut yang dibawa dari tempat itu, mengikuti ketentuan kerabat tua dan muda.

Namun demikian, untuk memudahkan pembahasan kekerabatan, istilah kekerabatan atau kinship dalam tulisan ini mengacu pada sejumlah status (posisi atau kedudukan sosial), dan saling hubungan antarstatus sesuai dengan prinsip-prinsip budaya yang berlaku terutama digunakan untuk: (1) menarik garis pemisah antara kaum-kerabat (kin) dan bukan kaum-kerabat (non-kin); (2) menentukan hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain secara tepat; (3) mengukur jauh/dekatnya hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain; dan (4) menentukan bagaimana seseorang harus berperilaku terhadap seseorang yang lain sesuai dengan aturan-aturan kekerabatan yang disepakati bersama.

Prinsip kekerabatan tersebut, dalam konteks Orang Baduy sebagaimana ditunjukkan oleh N.J.C. Geise (1952) dalam disertasinya yang berjudul Badujs en Moslims in Lebak Parahiang, Zuid Banten, mengungkapkan bahwa kekerabatan Orang Baduy tidak menyimpang dari model klasik yang dibuat oleh van Wouden (1935), untuk beberapa masyarakat Indonesia Timur. Menurutnya, ada beberapa perubahan yang terjadi disebabkan isolasi yang dilakukan Orang Baduy sendiri. Model van Wouden itu berdasarkan perkawinan asimetris (asymetric connumbium), dan garis keturunan (double descent) serta suatu preferensi untuk perkawinan antarsepupu (cross-cousins marriage) dengan kedudukan yang utama untuk saudara laki-laki dari pihak ibu.

Temuan Geise tentang sistem kekerabatan Orang Baduy yang sebagaimana model Van Wouden itu dibantah oleh Berthe, sebab ia menganggap bahwa model klasik yang diajukan itu hampir tidak bisa dipakai untuk menelaah kekerabatan Orang Baduy. Kalau bisa dipakai pun, seharusnya akan diperoleh sesuatu istilah untuk saudara laki-laki dari pihak ibu di dalam terminologi kekerabatan Orang Baduy. Dalam kenyataannya Geise tidak menyebutkan istilah itu. Namun begitu, Berthe berdasarkan kekerabatan Orang Baduy mengidentifikasi atas sesuatu sifat yang khas Orang Sunda, yaitu perlawanan (oposisi) antara kakak dan adik.

Dari perlawanan itu ada kecenderungan yang dianggap paling baik bagi perkawinan anak laki-laki yang pertama (kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari garis keturunan yang lain. Kemudian hal yang dianggap penting dalam kaitan dengan ketentuan itu adalah adik tidak boleh melangsungkan perkawinan sebelum kakaknya melangsungkan perkawinan (ngarunghal). Dalam prakteknya pada Orang Baduy tidak terdapat perbedaan antara sepupu persamaan (paralel-cousins) dan antarsepupu (cross-cousins) (Garna,1987), sehingga ada kecenderungan dalam perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, yang menurut Berthe (2000) dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat. Atau, istilah Orang Baduy menyebut dengan baraya.


Mitologi Baduy mengungkapkan bahwa Batara Tunggal Karang menurunkan 7 anak (batara) yang memerintah di 7 wilayah, yaitu Parahyang, Jampang, Sajra, Jasinga, Bombang dan Banten. Dalam kaitan ini sistem kekerabatan orang Baduy terkait dengan organisasi sosial Banten (Berthe, 1965). Para puun diturunkan dari garis tua atau kakak sedangkan sultan-sultan Banten dari garis muda atau adik yang mempunyai peranannya masing-masing sesuai dengan hirarki tersebut (Garna, 1988).

Dalam pamarentahan Baduy dikenal suatu sistem pemimpin yang meliputi sejumlah pejabat dengan sebutan sendiri-sendiri. Orientasi setiap pemimpin kepada pemimpin tertinggi, yakni para puun. Mereka dianggap satu kesatuan pemimpin tertinggi untuk mengatasi semua aspek kehidupan di dunia dan mempunyai hubungan dengan karuhun. Dalam kesatuan puun tersebut senioritas ditentukan berdasarkan alur kerabat bagi peranan tertentu dalam pelaksanaan adat dan keagamaan Sunda Wiwitan. Puun memiliki kekuasaan dan kewibawaan yang sangat besar, sehingga para pemimpin yang ada di bawahnya dan warga masyarakat Baduy tunduk dan patuh kepadanya. Berdasarkan konsep itu dalam menjalankan pemerintahannya, semua lingkup dan mekanisme menjalankan kekuasaan tercakup dalam tiga tangtu dan tujuh jaro.

Asal Pemimpin
Untuk mengetahui asal mula pemimpin dan pamarentahan Baduy dapat ditelusuri dari folklor yang hidup di tiga daerah tangtu yang berkaitan dengan manusia pertama yang turun ke dunia. Tempat mula menurunkan para Batara sebutan lain untuk para leluhur mereka, adalah di Sasaka Domas yang setelah menurunkan para Batara kemudian turun para daleum, peristiwa itu mereka menyebutkan sebagaimana dikehendaki oleh nu ngersakeun. Karena itu, tempat tersebut merupakan pusat dunia (Pancer Bumi) dan tempat suci dari suatu awal kelahiran manusia serta Mandala Sunda.

Batara Patanjala merupakan anak laki-laki kedua dari Batara Tunggal yang mempunyai 7 orang anak, 6 orang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka itulah oleh Orang Baduy dikenal sebagai nenek moyang Orang Tangtu. Ketujuh anak Batara Pantajala, ialah daleum Janggala, daleum Lagondi, daleum Putih Seda, daleum Cinangka, daleum Sorana, Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu.

Daleum Janggala menurunkan puun Cikeusik, daleum Langondi menurunkan Puun Cikertawana. Dan daleum Seda Hurip penurunkan puun Cibeo. Sedangkan daleum Cinangka menurunkan para girang seurat, daleum Sorana, menurunkan para kokolot dan Nini Hujung Galuh menurunkan para jaro dangka.

Dalam perkembangannya kemudian, setelah semua batara dan daleum menghilang, maka tinggal para puun yang meneruskan kehadiran manusia di dunia. Itu maknanya, bahwa dari mulai ada alam dan dunia hanya dihuni oleh dua orang, yaitu sepasang puun, yakni puun Cikeusik. Tuturan tersebut, mengemukakan bahwa puun Cikeusik lah manusia pertama yang ada di dunia. Manusia pertama di dunia atau yang tertua adalah sepasang, yaitu puun Cikeusik. Baru kemudian menyusul puun Cikertawana dan Cibeo. Tuturan lainnya, menyebutkan, bahwa kejeroan semuanya adalah anak-cucu puun perempuan. Anak puun
Cikeusik menjadi puun Cibeo, anaknya kemudian menjadi puun Cikertawana.

Asal Pamarentahan Baduy
Dengan demikian, bagi orang Baduy seorang pemimpin dalam pamarentahan (jaro, girang seurat, tangkesan kokolotan, kokolot, dan baresan), berasal dari keturunan para puun yang artinya, satu sama lain terikat oleh garis kerabat. Dalam konteks itu, ciri penting dalam pamarentahan Baduy, terletak pada diferensiasi peran dan pembagian jabatan yang terpisahkan melalui struktur sosial, namun semuanya terikat oleh satu hubungan kerabat yang erat.
Perbedaan peran yang mendasar antara para pemimpin yang disebut puun dan yang disebut para jaro, adalah pada tanggung jawab yang berurusan dengan aktivitasnya, karena para puun berurusan dengan dunia gaib sedangkan para jaro bertugas menyelesaikan persoalan duniawi. Atau, dengan perkataan lain, para puun berhubungan dengan dunia sakral dan para jaro berhubungan dengan dunia profan. Oleh karena itu, para puun menerima tanggung jawab tertinggi pada hal-hal yang berhubungan dengan pengaturan harmonisasi kehidupan sosial dan religius, sehingga kehidupan warga masyarakatnya dapat berlangsung dengan tertib.

Dalam situasi seperti itu warga masyarakat dituntut patuh memenuhi ketentuan pikukuh yang telah digariskan para karukun. Pelanggaran terhadap pikukuh berarti telah siap menerima hukuman berupa pengusiran dari daerah tangtu. Atau, bagi masyarakat panamping melanggar ketentuan itu berarti harus menangung kewajiban bekerja di huma puun, yang lamanya disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran.
Pamarentahan Baduy

Di rumah, kepala keluarga inti mengatur kehidupan para anggota keluarganya, termasuk pengawasan sosial terhadap aturan adat. Urusan dan pengaturan yang dilakukannya ialah membina kehidupan keluarga intinya, berhuma, hubungan dengan kaum kerabat, melakukan perhitungan untuk menentukan saat mulai menanam, bepergian, menyelenggarakan perkawinan, pengasuhan, pendidikan anak dan turut serta dalam berbagai upacara.

Pada tingkat kampung ada beberapa jenis pemimpin. Di kampung dangka terdapat seorang pemimpin adat dan agama yang disebut jaro dangka. Ia meneruskan dan mengawasi ketentuan karuhun yang disampaikan melalui puun, dan ia juga dapat berkumpul di tangtu dalam upacara keagamaan penting. Selain itu, jaro dangka juga diharuskan turut serta dalam upacara membersihkan kampung tangtu dari dosa yang ditinggalkan oleh si pelanggar.

Dalam pamarentahan Baduy, ada dua orang yang dituakan dalam kampung panamping namun berfungsi berbeda, yaitu: pertama, kokolot lembur. Yang menjadi pemimpin pikukuh. Ia bertugas atas nama puun untuk mengawasi, mengatur, dan melaksanakan ketentuan puun. Kedua, kokolotan lembur yang kedudukannya sejajar dengan ketua rukun kampung dalam sistem pemerintahan formal. Rumah kokolot lembur dianggap sakral yang tidak boleh diinjak orang asing. Karena itu, rumah kokolot terletak di bagian paling ujung dari jajaran paling luar yang berbatasan langsung dengan hutan kampung. Hal itu, maksudnya agar para guriang yang kehadirannya dianggap penting sebagai penjaga keselamatan masuk ke kampung melalui rumah kokolot.

Pemimpin kampung tangtu adalah jaro tangtu. Ia bertugas sebagai kokolot lembur dan sekaligus pula bertindak sebagai kokolotan lembur. Selain itu, ia pun harus turut serta seba ke ibukota kabupaten di Rangkasbitung dan keresiden Banten yang kini Gubernur di Serang. Jaro tangtu diangkat menurut alur keturunan dari para jaro terdahulu, yang disiapkan oleh pikukuh langsung di bawah tangkesan dan pengawasan puun. Apabila calon jaro tangtu dianggap siap, walaupun ia masih muda, ia dapat saja diangkat.

Dalam pamarentahan Baduy, istilah jaro banyak digunakan. Arti kata jaro sendiri adalah ketua kelompok atau pemimpin. Pada tingkat panamping terdapat seorang jaro yang tidak hanya mengurus dan mengatur seluruh jaro, tetapi juga berkuasa mutlak sebagai pengawas serta pelaksana tertinggi pikukuh di panamping. Dari keduabelas jaro, yaitu tiga jaro tangtu, tujuh orang jaro dangka, seorang jaro warega, dan seorang jaro pamarentah, maka ia adalah koordinator kerja para jaro yang dalam pamarentahan Baduy dikenal dengan sebutan jaro duawelas. Jaro warega berperan dalam upacara keagamaan, terutama untuk persiapan dan pelaksanaan seba, tetapi pada posisi pimpinan dalam Sunda Wiwitan, ia adalah pembantu utama tanggungan jaro duawelas.

Jaro pamarentah, adalah jaro Kanekes, kepala desa yang pengangkatannya disetujui oleh kedua belah pihak, para puun dan pemerintah daerah. Acuan ke atas juga dua yaitu puun dan camat. Karena itu seorang jaro pamarentah merupakan pengimbang di antara kedua kategori pemimpin itu, yang dengan penuh bijaksana harus mampu melaksanakan semuanya. Masa kerja seorang jaro pamarentah tergantung dari lamanya dan sejauh mana ia mampu melaksanakan kebijaksanaan pengimbang dimaksud. Jaro pamarentah dibantu oleh paling tidak tiga orang pembantu utama, yaitu carik adalah juru tulis desa yang selalu berasal dari luar Kanekes, dan dua orang pangiwa, pembantu jaro pamarentah yang berasal dari panamping.

Pada tingkat tangtu terdapat tiga puun, yang tidak hanya menjadi pemimpin agama dan adat tertinggi di kampung tangtu, tetapi juga untuk seluruh Kanekes. Semua pemimpin bawahan termasuk jaro pamarentah harus tunduk kepada mereka. Puun dalam menjalankan aktivitasnya dibantu oleh sejumlah pejabat adat dan agama. Pejabat adat dan agama tertinggi yang berfungsi sebagai penasihat ialah tangkesan yang juga disebut dukun putih. Ia biasanya berasal dan berkedudukan di kampung Cikopeng. Dukun-dukun pada tingkat kampung lainnya selain berada di bawah pengawasan puun juga diamati oleh tangkesan.

Puun mempunyai staf yang lengkap, seperti seurat atau girang seurat yang menjadi pembantu puun untuk berbagai hal. Jabatan seurat hanya ada di Cikeusik dan Cibeo, tetapi tidak ada di Cikertawana. Jaro tangtu membantu seurat dan puun secara langsung. Penyampaian berita dan lain-lainnya dilakukan oleh pembantu umum. Jumlahnya tergantung dari kekerapan kerja, upacara dan pelaksanaan pikukuh.

Semacam dewan penasihat puun terdapat di setiap kampung tangtu, yang disebut baresan (barisan, dewan atau kumpulan) atau sering disebut baresan salapan, karena terdiri dari sembilan orang tokoh, termasuk jaro tangtu, seurat dan lainnya. Fungsi baresan adalah membantu puun dan jaro tangtu memecahkan berbagai masalah dan melaksanakan pikukuh.
Dengan demikian seorang puun didukung oleh panasihat batin melalui tangkesan dan penasihat pelaksanaan pikukuh oleh baresan salapan. Pengawasan para puun mampu menjangkau wilayah dan seluruh warga Kanekes melalui tanggungan jaro duawelas dan dukun-dukun lembur serta kokolot dan kokolotan lembur.

Dalam konteks itu, pamarentahan Baduy berfungsi untuk mensucikan dan membuat tapa dunia, termasuk memelihara alam sebagai pusat dunia, sedangkan dunia beserta isinya dijaga oleh keturunan muda, dan sultan-sultan Banten yang harus membuat dunia ramai.seorang pemimpin agama dihubungkan dengan garis keturunan yang paling tua, sedangkan seorang pemimpin politik dihubungkan dengan garis keturunan yang paling muda. Kekuasaan agama dihubungkan dengan para leluhur atau karuhun dan kekuasaan politik dihubungkan dengan aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Itu artinya, seorang pemimpin agama mewujudkan identatis masyarakat Baduy, sedangkan seorang pemimpin politik mengurus kehidupan duniawi termasuk mengurus dan memelihara kelestarian tanah.
Untuk melangsungkan aktivitasnya itu, kegiatan duniawi dipusatkan di tangtu Cibeo, sedangkan aktivitas ritual dan keagamaan berada di tangtu Cikeusik. Namun tangtu dalam menjalankan aktivitasnya itu saling menyokong dan sekaligus saling terikat. Karena diantara keduanya saling memberikan pengaruh untuk mengokohkan tradisi Baduy yang bersandar pada pikukuh karuhun, yaitu: ‘nu lain kudu dilainkeun, nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun’. Artinya, yang bukan harus dikatakan bukan, yang benar harus dikatakan benar dan yang dilarang harus dikatakan dilarang.
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabuuntuk difoto
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup
Baduy atau biasa disebut juga dengan masyarakat kanekes adalah nama sebuah kelompok masyarakat adat Sunda di Banten. Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah DESA Ciboleger (jawa barat). Dari desa ini kita baru bisa memasuki wilayah suku baduy luar. Tetapi sebelum kita masuk kewilayah suku baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang di sebut Jaro.
Kini sebutan bagi suku Baduy terdiri dari :
1. Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu ( Kepuunan ) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.
2. Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikatoleh Hukum adat dibawah pimpinan Puuun ( kepala adat ).
3. Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.
Adapun sebutan suku Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan dari golongan/ kaum Islam yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit di atur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku Baduy.


KELOMPOK MASYARAKAT

Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001)
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing (non WNI)

Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.

Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
- Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
- Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
- Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
- Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
- Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
- Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.

Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
- Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
- Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
- Menikah dengan anggota Kanekes Luar


















7 UNSUR KEBUDAYAAN SUKU BADUY:

1. BAHASA
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Mayoritas masyarakat Baduy Sunda namun mereka tak menutup diri untuk terus mempelajari Bahasa nasional yakni bahasa Indonesia. Terbukti, tidak sedikit masyarakat Baduy yang dapat berbahasa Inbdonesia.

2. PERALATAN HIDUP SUKU BADUY
Peralatan dan Teknologi Kehidupan orang Baduy berpusat pada daur pertanian yang diolah dengan menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana. Dalam adapt Baduy terutama Baduy Dalam, masyarakat tidak boleh menggunakan peralatan yang sudah modern. Mereka mengandalkan peralatan yang masih sangat primitive seperti bedog, kampak, cangkul, dll

- Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam
- Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
- Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
- Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
- Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam
 Foto: baduyluar(kanan) dan baduydalam (kiri)



3. MATA PENCAHARIAN

Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

Kehidupan orang Baduy berpenghasilan dari pertanian, dimulai pada bulan kaampat kalender Baduy yang dimulai dengan kegiatan nyacar yakni membersihkan semua belukar untuk menyiapkan ladang. Ada4 jenis lading untuk padi gogo yaitu Huma serang, merupakan suatu lading suci bagi mereka yang berpemukiman dalam. Huma tangtu merupakan lading yang dikerjakan oleh orang Baduy Dalam yang meliputi Huma tuladan atau huma jaro. Huma penamping merupakan ladang yang dikerjakan oleh orang Baduy diluar kawasan tradisional.


Hukum di didalam Masyarakat Baduy

Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.

Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan.

Menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota.Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu.




4. SISTEM KEKERABATAN

Suku baduy memakai system bilineal, yaitu mereka mengikuti garis keturunan dari ayah dan ibu. Di dalam proses pernikahan pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.

Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali lamaran.
Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya.

Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya.
Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal


5. IPTEK
Sistem pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala perangkat peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa social, dan teknik bertani yang diwariskan oleh leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal jauh namun mereka belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang Baduy sangat informasional sekali sebetulnya, tahu banyak informasi. Hal ini ditunjang karena kegemaran sebagai orang rawayan (pengembara).
Kemungkinan bahwa budaya lama telah banyak digantikan dengan budaya baru menandakan sebetulnya budaya sangat relatif dan adaptif di lingkungan Suku Baduy, terutama Baduy luar. Namun, sebagai pelengkap yang lebih akurat dibandingkan foklore (cerita rakyat) dan narasumber lainnya, adalah peninggalan sejarah dan prasejarah yang tertinggal sebagai bukti terkuat, bahwa mereka termasuk komunitas masyarakat yang tertua di Banten.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidupmereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis menggambar.


6. KESENIAN
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang. Selain itu mereka menjual hasil kerajinan seperti Koja dan Jarog(tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu.
Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu:
1. Seni Musik (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung ( pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan).
2. Alat musik (Angklung Buhun dalam acara menanan padi dan alat musik kecapi)
3. Seni Ukir Batik.
Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu suku baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat baduy pada umumnya terletak pada daerah.


7. SISTEM RELIGI
Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya mengakui kepercayaan sunda wiwitan.
Yang mana kepercayaan ini meyakini akan adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini.
Kepercayaan sunda wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak mengunakanlistrik,tembok,mobildll.
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan sunda wiwitan:
1. Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.
2. Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang bsering disebut lebaran.
3. Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk penghargaan dari masyarakat baduy
4. Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambing kemakmuran.
5. Kelahiran yang dilakukan melalui urutan kegiatan yaitu:
- Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
- Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
- Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.
- Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
- Akikah yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun(kokolot)yang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.
6. Perkawinan, dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.
Dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari tentunya masyarakat baduy disesuaikan dengan penanggalan:

1. Bulan Kasa
2. Bulan Karo
3. Bulan Katilu
4. Bulan Sapar
5.Bulan Kalima
6. Bulan Kaanem
7. Bulan Kapitu
8. Bulan Kadalapan
9. Bulan Kasalapan
10. Bulan Kasapuluh
11. Bulan Hapid Lemah
12. Bulan Hapid Kayu

Seperti yang telah diuraikan di atas, apabila ada masyarakat baduy yang melanggar asalah satu pantangan maka akan dikenai hukuman berupa diasingkan ke hulu atau dipenjara oleh pihak polisi yang berwajib
Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...