Minggu, 22 Desember 2013

Jejak Hukum Islam di Tatar Sunda

Melacak Jejak Hukum Islam di Tatar Sunda
Oleh: Abdurrahman MBP, MEI

A.      Pendahuluan
 Islam adalah rahmat bagi seluruh alam[1], kehadirannya membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia. Ia adalah agama pembebas, yaitu agama yang membebaskan segala bentuk perbudakan antar sesama manusia. Risalahnya menjadikan manusia memiliki pedoman hidup berupa nilai-nilai Ilahiyah, selain itu ia juga menjadikan penyembahan dan ketaatan hanya kepada Allah ta’ala saja. Sebagai agama yang menebarkan kebaikan dan kedamaian Islam hadir di setiap peradaban manusia, dari mulai kawasan padang sahara di Afrika utara, hingga ke hutan belantara Asia Tenggara, dari gempita benua Eropa hingga heningnya benua Australia. Islam merambah ke setiap peradaban dunia memasuki setiap relung peradaban manusia dengan membawa nilai-nilai universal bagi kebahagiaan manusia.  
Islam hadir di Nusantara membawa rahmat bagi seluruh penduduknya, mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan dan memurnikan peribadahan hanya kepada Allah ta’ala saja. Kehadirannya disambut dengan suka cita oleh masyarakatnya yang sudah bosan dengan system kasta, di mana terjadi perbedaan status sosial yang sangat tajam antara raja dan rakyat jelata. Demikian pula Islam memasuki Tatar Sunda dengan penuh kedamaian, memberikan nilai-nilai spiritual bagi masyarakat Sunda yang telah memiliki sifat hanif dengan penyembahan hanya pada satu Tuhan saja (monoteisme). Kehadiran Islam di Tatar Sunda diterima dengan penuh suka cita, tak ada pedang dan darah yang dikorbankan, tak ada nyawa dan jiwa manusia yang melayang. Semua berjalan sebagaimana kehendak Ar-Rahman, hingga akhirnya muncullah istilah Islam itu Sunda dan Sunda itu Islam.[2]
Apabila dalam buku-buku sejarah terjadinya pertentangan dan peperangan, maka sejatinya hal tersebut bukan disebabkan karena perbedaan agama. Perselisihan yang terjadi antara Pajajaran dengan Cirebon dan Banten lebih pada persaingan politis, bukan karena sentimen agama. Hal ini terbukti dengan kehadiran Islam yang telah lama ada di Tatar Sunda, bahkan ia telah berdampingan di sekitar pusat-pusat Kerajaan di Galuh dan Pakuan Pajajaran.[3] Kisah pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai Subanglarang merupakan bukti yang tidak bisa dibantah. Selain itu di sekitar Kerajaan Pakuan Pajajaran sendiri sebagian masyarakatnya telah memeluk Islam.
Kehadiran Islam di Tatar Sunda membawa perubahan baru dalam bidang politik, sosial, budaya dan hukum. Kehadiran hukum Islam telah menjadikan masyarakatnya melaksanakan bagian-bagian dari hukum Islam tersebut. Misalnya dalam bidang perkawinan, selain pengesahan pernikahan yang dilakukan sebelumnya di depan para sesepuh adat maka dengan keislaman mereka pernikahan dilakukan di depan petugas pencatat pernikahan yang terlebih dahulu mengajarkan membaca syahadat untuk calon pengantin. Selain itu bagi pihak laki-laki diwajibkan untuk membayar “mahar” bagi pengantin perempuan. Sebelumnya mereka mengenal istilah seserahan yang diberikan pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Hingga saat ini kedua tradisi ini dilaksanakan secara beriringan dalam pernikahan pada masyarakat Sunda. Pelaksanaan hukum Islam dan adat yang mereka lakukan menjadikan Islam semakin menancapkan pengaruhnya di Tatar Sunda.    
Tidak dapat dipungkiri kreatifitas masyarakat Sunda di Tatar Sunda memberikan sentuhan baru cita rasa Islam Lokal. Para inohong Sunda telah memberikan kontribusi luar biasa bagi terciptanya harmoni antara Islam dan budaya Pasundan. Haji Hasan Musthapa adalah salah satu dari cendekiawan Islam yang telah mengharmonikan antara Islam dan budaya Pasundan. Kontribusi nyatanya dalam ceramah-ceramah dan karya-karyanya telah membuktikan bahwa antara Islam dan budaya Sunda bisa seiring sejalan dalam pelaksanaannya.[4] Akulturasi budaya, agama dan hukum menjadi satu proses yang disetting sedemikian rupa hingga menciptakan Islam dengan cita rasa lokal. Apakah hal ini menggerus nilai-nilai kemurnian Islam? Atau justru Islam memberikan ruang bagi kearifan lokal yang menjadikannya semakin kaya warna? Makalah ini akan mengkaji mengenai jejak hukum Islam di Tatar Sunda.        


[1] Al-Qur’an Surat Al-Anbiyaa: 107: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam
[2] Istilah ini pertama kali disebutkan oleh H. Ahmad Saepudin yang bermakna antara Islam dan Sunda memiliki banyak kesamaan sehingga sulit dipisahkan.  
[3] Yuyus Suherman, Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda, (Bandung: Penerbit Pustaka), tahun 1995, hlm. 12.
[4] Gagasan-gagasan  Haji Hasan Musthopa mengenai Islam dan budaya Sunda bisa dilihat pada buku “Bab Adat-adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Eta” dan buku-buku lain karyanya.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...