Oleh: H. Ali Muhayatsyah, S.E.I.[1]
Seluruh kehidupan manusia tidak akan lepas dari nilai-nilai
normatif yang berkembang di dalam kehidupan sosialnya. Termasuk dalam kegiatan
berekonomi maka sistem ekonomi yang ada seharusnya melihat keterkaitan
nilai-nilai normatif tersebut dalam kehidupan di mana nilai-nilai tersebutlah
yang kemudian akan menentukan kebahagiaan hidup manusia baik di dunia maupun di
akhirat.
Prinsip utama dalam
formulasi ekonomi Islam adalah menuju maslahah.
Penempatan maslahah sebagai prinsip
utama, karena mashlahah merupakan
konsep yang paling penting dalam syari’ah, Mashlahah
adalah tujuan syari’ah Islam dan menjadi inti utama syari’ah Islam itu sendiri.
Para ulama merumuskan maqashid syari’ah (tujuan syari’ah) adalah
mewujudkan kemaslahatan. Dengan demikian, sangat tepat dan proporsional apabila
maslahah ditempatkan sebagai prinsip
kedua dalam ekonomi Islam.
Dengan demikian, pengembangan
ekonomi Islam haruslah didasarkan kepada maslahah.
Karena maslahah adalah saripati dari
syari’ah. Para ulama menyatakan “di mana ada maslahah, maka di situ ada
syari’ah Allah”. Artinya, segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka di
itulah syari’ah Allah. Dengan demikian maslahah adalah konsep paling utama
dalam syariat Islam.
Dari sini, para pemikir
ekonomi Islam mencoba mengambil inti-inti ajaran Islam di bidang ekonomi, yang
meskipun beragam secara klasifikatif, tetapi praktis tidak mencerminkan
pertentangan satu sama lain (di antaranya, Choudhury; Naqvi; Chapra). Dua norma
utama yang dapat mewakili inti-inti ajaran Islam di bidang ekonomi tersebut
adalah maslahah dan ‘adl. Maslahah
terkait dengan nilai absolut keberadaan barang, jasa, atau action (termasuk
kebijakan ekonomi) di mana kesemuanya harus memenuhi kriteria-kriteria yang
mengarah pada perwujudan tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah), yaitu
perlindungan agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Sementara, adil terkait
dengan interaksi relatif antara suatu hal dengan hal lain, individu yang satu
dengan yang lain, atau masyarakat tertentu dengan masyarakat lain.
Untuk mewujudkan kedua
norma utama tersebut, diperlukan beberapa institusi, yang mencakup antara lain:
Pertama, bentuk kepemilikan yang multijenis (Islam mengakui dan melindungi
kepemilikan individu, tetapi di sisi lain juga menekankan penghormatan atas
kepemilikan bersama – dalam konteks masyarakat ataupun negara). Kedua, insentif
dunia dan insentif akhirat sebagai motivasi untuk melakukan kegiatan ekonomi.
Ketiga, kebebasan berusaha. Keempat, pasar sebagai mekanisme pertukaran ekonomi.
Kelima, peran pemerintah untuk menjaga pasar sedemikan rupa sehingga
kemaslahatan dan keadilan dapat terwujud.[2]
Selain norma-norma Islam
harus dipenuhi demi tercapainya maslahah,
nilai etika ekonomi penting diikutsertakan sebagai faktor pendukung dalam mencapai
sebuah mashahah. Menurut ekonomi
Islam bahwa antara dimensi etis ekonomi dan dimensi praktis (bisnis) harus
dipahami dalam pengertian integratif, tidak secara parsial. Hal ini tentunya
berbeda dengan aksioma kapitalis bahwa kegiatan ekonomi (bisnis) itu mempunyai
tujuan ekonomis, yakni keuntungan materil, sehingga keuntungan menjadi
ideologinya dalam berbisnis, meskipun harus mengorbankan nilai-nilai moral-ethich.[3]
Dalam ekonomi Islam, nilai-nilai etika yang dimaksud seperti kesatuan (unity), equilibrium (keseimbangan atau keadilan),[4]
kebebasan yang terbatas pada hak orang lain, pertanggungjawaban,[5]
kebajikan dan kejujuran.[6]
Nilai-nilai moral-ethics inilah yang kemudian akan
menjadi unsur pembeda dengan sisitem ekonomi yang lain, seperti kapitalisme dan
sosialisme, meskipun pada dasarnya dalam kerangka operasionalnya semua sistem
ekonomi itu menerapkan ilmu-ilmu bantu (dasar) ekonomi yang sama. Kemudian
dalam wujud konkretnya, sistem nilai etika ini dijadikan ruh bagi semua
instrumennya yang pada akhirnya akan membentuk karakter tipikal yang membedakan
dengan sistem-sistem ekonomi lainnya.[7]
Etika
dapat didefinisi sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik
dan yang buruk. Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normatif karena ia
berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh
seorang individu. Etika bisnis kadangkala merujuk pada etika manajemen atau
etika organisasi, yang secara sederhana membatasi kerangka acuannya pada
konsepsi sebuah organisasi.[8]
Dalam khazanah pemikiran Islam, etika
dipahami sebagai akhlak, al-adab dan al-falasifah al-adabiyyah.[9]
Istilah yang paling dekat berhubungan dengan istilah etika di dalam Al-Qur’an
adalah khuluq. Al-Qur’an juga
mempergunakan sejumlah istilah lain untuk menggambarkan konsep tentang kebaikan:
khayr (kebaikan), birr (kebenaran), qist (persamaan), ‘adl
(kesetaraan dan keadilan), haqq
(kebenaran dan kebaikan, ma’ruf
(mengetahui dan menyetujui), dan taqwa
(ketaqwaan). Tindakan yang terpuji disebut sebagai salihat dan tindakan yang buruk atau tercela disebut sebagai sayyi’at.[10]
Berdasarkan pembahasan di atas, Beukun
merangkum sejumlah parameter kunci sistem yang dapat digunakan dalam sistem
etika Islam, diantaranya adalah,[11]
1) Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat
individu yang melakukannya; 2) Niat baik yang diikuti dengan tindakan yang baik
akan dihitung sebagai ibadah; 3) Niat yang halal tidak dapat mengubah tindakan
yang haram menjadi halal; 4) Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk
percaya dan bertindak berdasarkan apa pun keinginannya, namun tidak dalam hal
tanggungjawab dan keadilan; 5) Percaya kepada Allah memberi individu kebebasan
sepenuhnya dari hal apa pun atau siapa pun kecuali Allah; 6) Keputusan yang
menguntungkan kelompok mayoritas ataupun minoritas tidak secara langsung
berarti bersifat etis dalam dirinya; 7) Etika bukanlah permainan mengenai
jumlah; 8) Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai
sistem yang tertutup, dan berorientasi diri-sendiri. Egoisme tidak mendapat
tempat dalam ajaran Islam; 9) Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan
secara bersama-sama antara al-Qur’an dan alam semesta; 10) Islam mendorong umat
manusia untuk melaksanakan tazkiyah
melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini. Dengan berperilaku secara etis
di tengah godaan ujian dunia, kaum muslim harus mampu membuktikan ketaatan
kepada Allah.
Sistem etika Islam merupakan bagian dari
pandangan hidup Islam dan karenanya bersifat lengkap. Terhadap konsistensi
internal, atau ‘adl, atau kesimbangan,
dalam konsep nilai-nilai penuntun individu. Pernyataan mengenai keseimbangan
ini merupakan intisari ayat al-Qur’an di bawah ini:
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© [12]
“Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu.”
Pandangan Islam tentang manusia dalam
hubungan dengan dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya, dapat
direpresentasikan dengan empat aksioma etik atau Beukun menyebutnya sebagai
konsep filsafat etika Islam,[13]
yaitu kesatuan (tauhid),
keseimbangan/kesejajaran (equilibrium),
kehendak bebas (free will), serta
tanggung jawab (responsibility) dan
kebajikan yang bersama-sama membentuk perangkat yang tidak dapat dikurangi.
Meskipun masing-masing aksioma ini dijabarkan secara beragam dalam sejarah
manusia, tapi suatu konsensus yang luas telah berkembang pada masa kita sendiri
tentang makna komulatifnya bagi perspektif sosial ekonomi.[14]
1.
Keesaan
(Tauhid). Keesaan merupakan dimensi verikal Islam. Konsep keesaan
menggabungkan ke dalam sifat homogen semua aspek yang berbeda-beda dalam
kehidupan seorang muslim: ekonomi, politik, agama, dan masyarakat, serta
menekankan gagasan mengenai konsistensi dan keteraturan. Dengan adanya
penerapan konsep keesaan dalam etika bisnis seorang pengusaha muslim tidak akan
berbuat diskriminatif terhadap pekerja, dapat dipaksa untuk berbuat tidak etis,
menimbun kekayaannya dengan penuh keserakahan.
Dari konsep ini, Islam
menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, sosial demi membentuk kesatuan. Atas
dasar ini pula, maka antara etika dan ekonomi atau etika dan bisnis menjadi
terpadu, vertikal, maupun horizontal, membentuk suatu persamaan yang sangat
penting dalam sistem Islam yang homogen yang tidak mengenal kekusutan dan
keterputusan.[15]
Dengan menggunakan pernyataan M. Quraish Shihab, prinsip tauhid ini akan
menghasilkan kesatuan-kesatuan yang beredar dalam orbit tauhid, sebagaimana
beredarnya planet-planet tatasurya mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan tersebut antara lain berupa
kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia dan akhirat dan lain-lain.[16]
2.
Keseimbangan. Keseimbangan
menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam, dan berhubungan dengan harmoni
segala sesuatu di alam semesta. Hukum dan keteraturan yang kita lihat di alam
semesta merefleksikan konsep keseimbangan yang rumit. Sifat keseimbangan ini
lebih dari sekedar karakteristik alam, ia merupakan karakter dinamik yang harus
diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya.[17]
Pada dataran ekonomi,
prinsip tersebut menentukan konfigurasi aktivitas-aktivitas distribusi,
konsumsi serta produksi terbaik, dengan pemahaman yang jelas bahwa kebutuhan
seluruh anggota masyarakat yang kurang beruntung dalam masyarakat Islam
didahulukan atas sumber daya riil masyarakat.[18]
Sifat keseimbangan merupakan karakteristik dinamis yang harus diperjuangkan
oleh setiap muslim dalam kehidupannya. Allah menekankan dengan menyebut umat
Islam sebagai ummatan wasatan. Makna
terdalam dari sebutan ini adalah umat yang memiliki aturan kolektif yang
berfungsi sebagai penengah atau pembenar. Dengan demikian, keseimbangan,
kebersamaan, kemoderatan merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan
dalam aktivitas maupun entitas bisnis.
3.
Kehendak
Bebas. Pada tingkat tertentu, manusia diberikan kehendak bebas
untuk mengendalikan kehidupannya sendiri manakala Allah menurunkannya ke bumi.
Dengan tanpa mengabaikan kenyataan bahwa manusia sepenuhnya dituntun oleh hukum
yang diciptakan Allah, manusia diberi kemampuan untuk berpikir dan membuat
keputusan, untuk memilih apa pun jalan hidup yang manusia inginkan dan, yang
paling penting, untuk bertindak berdasarkan aturan apa pun yang manusia pilih.
Seorang muslim yang telah menyerahkan hidupnya pada kehendak Allah, akan
menepati semua kontrak yang telak dibuatnya.[19]
Berdasarkan aksioma
kehendak bebas ini, maka dalam bisnis, manusia mempunyai kebebasan untuk
membuat perjanjian, termasuk untuk menepati atau mengingkarinya. Tentu saja,
seorang muslim yang percaya kepada kehendak Allah akan memuliakan dan
menghormati semua janji yang telah dibuatnya.
4.
Pertanggungjawaban. Untuk memenuhi konsep
keadilan dan kesatuan seperti yang kita lihat dalam ciptaan Allah, manusia
harus bertanggung jawab terhadap segala tindakannya. Penerapan konsep
tanggungjawab dalam etika bisnis. Jika seorang pengusaha muslim berperilaku
secara tidak etis, ia tidak dapat menyalahkan tindakannya pada persoalan
tekanan bisnis ataupun pada kenyataanya bahwa setiap orang juga berperilaku
tidak etis. Ia harus memikul tanggung jawab tertinggi atas tindakannya sendiri.[20]
5.
Kebajikan. Kebaikan terhadap orang lain didefinisikan sebgai
tindakan yang menguntungkan orang lain lebih dibanding orang yang melakukan
tindakan tersebut dan dilakukan tanpa kewajiaban apapun. Kebaikan sangat
didorong di dalam Islam.[21]
Batasan norma dan etika Islam dalam ekonomi pada dasar dan
prinsipnya adalah berdasarkan al-Qur’an dan hadits guna untuk mencapai maslahah. Jika ingin mencapai sebuah maslahah maka norma-norma tersebut harus
dipenuhi atau dijalankan. Adapun norma Islam tersebut sangat banyak, seperti al-Ghazali
yang lebih menekan pada konsep etika Islam dalam kegiatan ekonomi. Menurut
al-Ghazali dalam mencapai maslahah,
pelaku harus menghindari perbuatan yang dilarang oleh norma Islam, seperti
berikut:[22]
a.
Eksploitasi dalam perilaku bisnis
b.
Hilangnya prinsip kerelaan
c.
Adanya unsur penipuan dan kecurangan
d.
Murah dan pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan
e.
Mengurangi margin
keuntungan dengan menjual lebih
f.
Harga yang batil
g.
Keuntungan sesungguhnya adalah di akhirat kelak (filosofi
religius)
h.
Keuntungan dengan perhitungan resiko (perjalanan &
keamanan) sebagai kompensasi
i.
Dua perilaku dalam
perekonomian yang mengandung kerugian, yaitu:
·
Penimbunan barang. Penjualan makanan itu menyimpan makanan,
yang dengannya ia menanti mahalnya. Dan itu kedzaliman yang umum, pelakunya itu
telah tercela menurut syara’.
·
Pemalsuan uang. Mengenai uang
palsu beliau menekankan kepada para pedagang untuk mempelajari uang, buka agar
mengetahui secara jauh untuk keuntungan dirinya, tetapi agar ia tidak
menerahkan uang palsu kepada seorang muslim, padahal ia tidak megetahi, maka ia
berdosa, karena kelalaiannya dalam mempelajari ilmu itu, karena setiap amal itu
ilmu yang dapat menyempurnakan nasihat bagi orang-orang muslim, maka
dihasilkannya ilmu itu.
j.
Empat perilaku bisnis yang mengandung kerugian yaitu:
·
Tidak memuji barang
dagangan dengan sesuatu yang tidak ada padanya (manipulasi barang).
·
Tidak menyembunyikan
sama sekali cacat-cacatnya dan sifat-sifatnya yang tersembunyi sedikitpun.
·
Tidak menyembunyikan
sedikitpun mengenai timbangan dan ukurannya.
·
Tidak menyembunyikan
harganya, di mana seandainya orang yang bermu’amalah itu mengetahuinya niscaya
ia mencegah terhadapnya/tidak mau melakukannya (manipulasi harga).
Semua aktivitas dan perilaku dalam perekonomian acuannya
adalah maslahah. Jika di dalamnya ada
kemaslahatan, maka hal itu dibenarkan dan dianjurkan oleh syari’ah. Sebaliknya
jika di sana ada kemudratan dan mafsadah,
maka prakteknya tidak dibenarkan, seperti ihtikar,
spekulasi valas dan saham, gharar, judi, dumping, dan segala bisnis yang
mengandung riba.
Segala bentuk aktivitas manusia sudah diatur oleh Allah
dalam Al-Qur’an. Baik itu aktivitas ekonomi, sosial, politik sampai kepada adab
untuk meludahpun ada aturannya. Dalam sistem ekonomi, Islam menekankan untuk
mencari rezki di atas dunia dengan tidak melupakan kewajiban-kewajiban kepada
Allah dan norma-norma yang telah ditetapkan.
Dalam urusan subsistensi dan resiprositas, Al-Qur’an
mewajibkan zakat bagi yang mampu, dan menganjurkan untuk menunaikan sedekah,
infak dan wakaf. Sehingga kemerataan perekonomian pun terjadi. Hal itu di
serukan Allah sebagai wujud antisipasi dari kemungkinan-kemungkinan negatif.
Hal itu bisa saja terjadi apabila norma subsistensi dan resiprositas sudah sampai
pada taraf yang tidak wajar. Di sisi lain, Al-Qur’an juga menganjurkan untuk
saling tolong menolong. “tolong menolonglah kamu kamu dalam kebaikan dan
ketakwaan, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan
keingkaran”
Intinya, moral ekonomi dalam Islam sangat tergantung pada
kitab panduan yang diberikan Allah untuk mengatur kehidupannya manusia, tidak
saja pertimbangan norma subsistensi dan resiprositas, tetapi juga
mempertimbangkan norma-norma sosial yang lain. Tindakan yang akan timbulpun
akan berbeda. Karena dengan keyakinan dalam setiap perbuatan ada balasannya,
apakah itu kebaikan maupun keburukan, maka Umat Islam yang beriman pun akan
selalu mengerjakan aktivitas ekonomi hanya untuk mengharapkan keridahaan Allah.
Referensi:
Afdawaiza, “Etika
Bisnis dan Ekonomi dalam Pandangan Al-Ghazali,” Jurnal ESENSIA, Volume.10, No.2, Juli 2009.
Beukun, Rafik Issa, Etika Bisnis Islami, alih bahasa
Muhammad, cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
El-Hakim,
Arman, “Etika Bisnis Dalam Perspektif Pemikiran Al-Ghazali (Studi Analisis
Perilaku Bisnis Syari’ah di Indonesia),” http://arman-elhakim.blogspot.com/2009/09/etika-bisnis-dalam-perspektif-pemikiran.html, akses 6 Maret 2012.
Mughits, Abdul, “Epistimologi Ilmu
Ekonomi Islam (Kajian atas Pemikiran M. Abdul Mannan),” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islami (EKBISI) Volume.1. No.2, Juni
2007.
Naqvi, Syed Nawab Haider, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, alih
bahasa M. Saiful Anam, cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Shihab, M. Quraish,
Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan,
1999.
Susanto, Akhmad Akbar dan Malik Cahyadin, “Praktik Ekonomi Islam di
Indonesia dan Implikasinya Terhadap Perekonomian,” makalah.
[1] Mahasiswa Program
Pascasarjana Konsentrasi Keuangan dan Perbankan Syari’ah, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Tulisan ini disampaikan pada
perkuliahan Ekonomi Islam: Mikro dan Makro dengan dosen pembimbing Drs.
Munrokhim Misanam, MA.Ec., Ph.D.
[2] Akhmad Akbar Susanto dan Malik Cahyadin, “Praktik Ekonomi
Islam di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Perekonomian,” makalah, hlm. 4-5.
[3] Abdul Mughits, “Epistimologi Ilmu Ekonomi Islam (Kajian
atas Pemikiran M. Abdul Mannan),” Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Islami (EKBISI), Vol.1. No.2, (Juni 2007), hlm. 8.
[4] Prinsip tersebut ditegaskan dalam Q.S. 2: 195; 25:
67-68, 72-73; 17: 35 dan; 59: 7.
[5] Q.S. 4: 85.
[6] Q.S. 5:1; 6: 152; 16: 91; 17: 34-35; 7: 85; 11: 85 dan
26: 181-183.
[7] Abdul Mughits, “Epistimologi Ilmu Ekonomi Islam
................., hlm. 7-8.
[8] Rafik Issa Beukun, Etika
Bisnis Islami, alih bahasa Muhammad, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm. 3.
[9] A. Ellias dan E. Ellias, Modern Dictionary
English-Arabic (Kairo: Ellias Modern Publishing House & Co, 1986), hlm.
254. Lihat dalam Afdawaiza, “Etika Bisnis dan Ekonomi dalam Pandangan
Al-Ghazali,” Jurnal ESENSIA, Vol.10,
No.2, (Juli 2009), hlm. 105.
[10] Rafik Issa Beukun, Etika
Bisnis Islami…………, hlm.3.
[11] Ibid., hlm.
31-32.
[12] Al-Baqarah (2): 143.
[13] Rafik Issa Beukun, Etika
Bisnis Islami…………, hlm.32.
[14] Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, alih bahasa M. Saiful Anam
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 37.
[15] Afdawaiza, “Etika Bisnis dan Ekonomi……………,” hlm. 106.
[16] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 409.
[17] Rafik Issa Beukun, Etika
Bisnis Islami…………, hlm. 36.
[18] Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam……………, hlm. 40.
[19] Rafik Issa Beukun, Etika
Bisnis Islami…………, hlm.38.
[20] Ibid., hlm.
42.
[21] Ibid., hlm.
43.
[22] Arman el-Hakim, “Etika Bisnis Dalam Perspektif Pemikiran
Al-Ghazali (Studi Analisis Perilaku Bisnis Syari’ah di Indonesia),” http://arman-elhakim.blogspot.com/2009/09/etika-bisnis-dalam-perspektif-pemikiran.html, akses 6 Maret 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...