Oleh AM Bambang Prawiro[1]
Memasuki hari kedua
pelaksanaan UN tahun 2013 sepertinya panitia dan siswa sudah mulai merasa lega karena
sudah melalui “kekisruhan” sebelumnya. Jika pada hari pertama kehadiran peserta
UN banyak yang terlambat karena sosialisasi jadwal tidak jelas, demikian juga para
pengawas ruang dan panitia yang datang terlambat karena sosialisasi yang
dilakukan pada pembekalan bagi panitia dan pengawas ruang tidak efektif. Kesalahan
dalam lembar soal yang berbeda antara jurusan juga sudah tidak terjadi lagi,
demikian juga pengisian LJK yang sudah sesuai dengan lembar soal. Maka, pada
hari kedua ini pelaksanaan UN relatif berjalan lancar, walaupun tidak menjadikan
pelaksanaan UN tahun ini bisa dikatakan berhasil, bahkan sebaliknya dianggap
pelaksanaan UN terburuk sepanjang sejarah di negeri ini.
Pengawasan yang saya
lakukan di salah satu SMK di Bogor, didapati bahwa pelaksanaan UN tahun ini
yang diawali dengan hari pertama yang kisruh ternyata berlanjut juga pada hari
ke dua, tentu saja dengan permasalahan yang berbeda. Permasalahan tidak hanya
terjadi di tempat saya mengawas namun juga di beberapa tempat pada tingkat SMU
dan MA. Permasalahan yang sudah klasik dan menjadi rahasia umum, namun menurut
saya bukan sesuatu yang umum dan harus selalu kita perbaiki. Mencontek, memberi
contekan atau mengirimkan jawaban ke peserta UN adalah bentuk pelanggaran yang
sangat mencemarkan dunia pendidikan. Sekitar dua tahun lalu saya pernah menulis
mengenai praktek mencontek yang dilakukan oleh panitia intern dan siswa, kita
juga masih ingat dengan kejadian mencontek massal yang santer terdengar tahun
lalu, apakah hal ini tidak terjadi pada UN tahun ini?
Jika panitia pembuatan
soal UN sudah membuat paket soal hingga 20-30 jenis, maka seharusnya itu
menjadi strategi jitu untuk mengurangi kasus contek-menyontek. Permasalahannya
adalah bagaimana dengan soal yang sama pada sebuah mata pelajaran yang
menggunakan media audio seperti bahasa Inggris? Hasil pemantauan saya di salah
satu SMK di Bogor menunjukan bahwa pada saat ujian materi Bahasa Inggris pada
hari ke dua ini menjadi kesempatan bagi siswa untuk mencontek. Penggunaan tape
recorder yang sudah dianggap jadul justru menjadi kesempatan bagi
panitia dan peserta untuk saling bertanya tentang materi yang didengarnya.
Keterbatasan media audio juga menjadikan pelaksanaannya terpaksa dilakukan
penggabungan beberapa ruang ujian yang berdekatan atau yang hanya disekat
dengan triplek. Kehadiran guru bahasa Inggris yang memandu dan “memberikan
isyarat” seolah-olah sesuatu yang wajar dan tidak begitu dihiraukan oleh
pengawas ruang. Pengawas ruang sebagai pihak yang diberikan tanggungjawab untuk
mengawasi peserta juga terkesan sudah “bekerja sama” dengan pihak panitia
intern sekolah karena merupakan kawan se-profesi dalam satu kecamatan /rayon.
Pihak panitia yang menggunakan alat komunikasi dan bolak-balik masuk ruangan
juga semakin menambah suasana mencontek semakin terbuka. Walaupun ada larangan
untuk membawa alat komunikasi namun dari beberapa interogasi yang saya lakukan
ternyata sebagian siswa membawa alat komunikasi seperti HP ke dalam ruangan.
Seabrek persoalan
tersebut sudah dicarikan solusi oleh saya sebagai tim Pengawas Satuan,
diantaranya dengan memberikan peringatan dan argument mengenai aturan bagi
pengawas ruang, panitia dan peserta UN. Namun keterbatasan saya menjadikan
kesempatan untuk mencontek itu sangat terbuka lebar. Tentu saja masalah utama
terletak pada mental peserta UN dan Pengawas Ruang. Mungkin ketika mereka
disalahkan akan beralasan kenapa harus diadakan UN? Atau kenapa memaksakan
siswa untuk mencapai target UN? dan alasan-alasan lainnya yang saya temukan
ketika berbincang dengan Pengawas Ruang.
Solusi yang saya
tawarkan adalah, Pertama: jika pelaksanaan UN dianggap memberatkan siswa dan
guru maka sudah selayaknya pelaksanaannya ditinjau ulang. Sebagian pendidik menginginkan
pelaksanaan ujian akhir seperti pada zaman dahulu yaitu dengan system EBTANAS,
dimana nilai berapapun bisa lulus. Hal ini mungkin banyak ditentang karena
bicara tentang bukan hanya ujian dan kelulusan tapi juga bicara “Proyek
milyaran rupiah” solusi kedua adalah tetap dilaksanakan UN namun standard
kelulusan tidak ditetapkan dalam arti sesuai dengan kemampuan siswa
masing-masing sehingga berapapun nilai siswa dia tetap lulus. Solusi ini
mungkin seolah-olah memberikan harapan yang terlalu banyak bagi siswa sehingga
mereka akan bersantai-santai dan tidak termotivasi untuk belajar toh nanti juga
akan lulus. alasan ini bisa dijawab dengan standard nilai yang didapatkan oleh
siswa akan menentukan kelanjutan dari studi-nya atau karier-nya sehingga siswa
tetap termotivasi untuk meningkatkan nilainya. Mudah-mudahan pelaksanaan UN
pada hari berikutnya akan menjadi lebih baik dan tidak ada lagi praktek
mencontek, memberikan contekan apalagi contek masal.
[1]
Penulis adalah Pengawas Satuan (PS) UN 2013 dari Universitas Djuanda
Bogor dan STAI Al-Hidayah Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...