Oleh: Adzkia Muayiddah
Ibnu Khaldun tidak
memandang kepada posisi atau jabatan imam itu sendiri, dan tidak melirik kepada
sisi fungsionalnya sama sekali, tetapi memfokuskan pandangannya kepada makna
fungsional dari keimamahan; kemudian menetukan hubungannya dengan jenis sistem
pemerintahan yang lain. Undang-undang adalah ruh bagi setiap sistem atau
tatanan soaial dan menjadi dasar eksistensinya. Menurut Ibnu Khaldun, sistem
pemerintahan itu ada tiga macam:
1.
Pemerintahan
atau dalam istilah Ibnu khaldun adalah al-mulk (kerajaan) yang natural.
Definisinya adalah, “Membawa sekalian umat sesuai dengan tujuan dan keinginan
nafsu.” Yang dia maksud dengan tabiat natural adalah insting, atau
kecenderungan dan keinginan insting yang tersusun dalam satu individu: seperti
egoism dan keinginan untuk menjadi arogan atau despotis, berusaha mewujudkan
keserakahan individu berdasarkan egoisme. Dan menurut Ibnu Khaldun, semua jenis
itu harus dibenci
2.
Pemerintahan
atau mulk politik. Dia mendefinisikannya sebagai, “Membawa atau
mengantar masyarakat atau rakyat sesuai dengan pandangan rasio dalam mencapai
kemaslahatan duniawi dan mencegah mudharat.” Jenis pemerintahan ini dipuji dari
satu sisi, dan dicela pada sisi lain. Di sela-sela penjelasannya tentang kedua
jenis pemerintahan ini, dia mengatakan, “Dan ketika hakikat sebuah pemerintahan
merupakan tutntutan dari perkumpulan anak manusia yang bersifat aksiomatis, dan
puncak personifikasinya adalah penindasan dan penundukan yang keduanya
merupakan akibat samping dari naluri kemarahan dan kehewanan, tidaklah heran
jika kebijakan-kebijakan penguasanya dalam ghalibnya telah melenceng dari
kebenaran, menindas orang=orang yang berada di bawah kekuasaannya.
Pemerintahan jenis
pertama menyerupai apa yang kita namakan sekarang dengan pemerintahan otoriter,
individualis, otokrasi, dan inkonstitusional. Bisa jadi, termasuk di dalamnya
kasus-kasus ketika orang-orang yang berkuasa berdasarkan hawa nafsu dan
instingnya tergabung dalam kelompok tertentu atau kelas masyarakat tertentu.
Yang terlihat, yang dihasilkan oleh sistem pemerintahan seperti ini adalah
chaos, perpecahan, instabilitas dan kehancuran negara. Adapun tentang yang
kedua adalah apa yang sekarang kita sebut sebagai pemerintahan (republik)
ataupun juga kerajaan konstitusional, yang dapat mewujudkan keadilan sampai
batasan tertentu; membawa berbagai manfaat bagi rakyat dalam kehidupan dunia
karena menjalankan kebijakannya berdasarkan rasio yang telah digariskan oleh
para pemikir dan intelektual umat serta dapat membawa pada stabilitas dan keteraturan
kehidupan, juga membawa kemajuan dan kejayaan negara. Akan tetapi, harus juga
dikatakan, bahwa sistem ini adalah sebuah orde materialis, yang hanya membatasi
diri dalam urusan keduniaan dan mengesampingkan kehidupan spiritual dan
aspek-aspek keagamaan, hingga tidak mampu mewujudkan kepentingan rakyatnya
dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat.
Dengan demikian, perlu
diadakan juga sebuah sistem ketiga, yang oleh Ibnu Khaldun didefinisikan
sebagai, ”Identik dengan membawa semua orang untuk berpikir sesuai dengan jalan
agama, dalam memenuhi semua kepentingan mereka, baik yang bersifat keukhrawian
maupun keduniawian yang juga harus dirujukkan kepada yang disebut pertama
(keukhrawian) karena dalam pandangan syara’, semua situasi dan kondisi
keduniaan harus selalu memperhatikan pula kemaslahatan ukhrawi. Dengan
demikian, pemerintahan model ketiga ini adalah perwakilan dari Tuhan sebagai
pemilik syariat dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan
ajaran-ajarannya.” Inilah dia yang terpahami dari definisinya yang disebut
sebagai kekhalifahan atau keimamahan; ataupun seperti yang jelas terpahami dari
definisnya yang disebut sebagai, pemerintahan yang Islami. Dalam hal ini, Ibnu
Khaldun juga mengadakan studi komparasi dengan dua model pemerintahan
sebelumnya. “Jika aturan perundang-undangan diputuskan oleh para intelektual
dan pembesar negara, kebijakan politiknya disebut rasional; dan jika
aturan-aturan tersebut berasal dari Allah yang memutuskannya dan
mensyariatkannya, maka orientasi politiknya adalah religius, bermanfaat dalam
kehidupan keduniaan dan keakhiratan.” Ibnu Khaldun juga melanjutkan, “Adapun
model pemerintah yang berorientasikan kekerasan, penindasan, dan
mengesampingkan potensi kemarahan rakyatnya pastilah akan menimbulkan kerusakan
dan permusuhan. Model seperti itu tidaklah terpuji, sesuai dengan tuntutan
kebijaksanaan politik. Adapun model pemerintahan yang berorientasikan politik
murni dan menerapkan undang-undangnya juga tidak terpuji mengingat model ini
tidak menggunakan cahaya Allah; dan (dalam Al-Qur’an dikatakan) barangsiapa
yang tidak menjadikan Allah sebagai cahayanya pastilah tidak akan mendapat
cahaya (atau hidup dalam kegelapan). Karena Allah dalam kapasitas-Nya sebagai
pemutus syariat lebih mengetahui kepentingan rakyat banyak yang tidak disadari
oleh diri mereka sendiri, dalam hal-hal yang berakibat di hari akhirat. Semua
pekerjaan anak manusia pasti akan berdampak terhadap hari kembalinya, baik
dalam masalah pemerintahan maupun dalam masalah lainnya. Rasulullah SAW telah
bersabda, “Sesungguhnya hal itu adalah hasil pekerjaan kalian yang dikembalikan
kepada kalian.” Sedangkan, yang disebut sebagai undang-undang politik hanya
membatasi diri pada urusan keduniawian saja.
Dengan demikian, telah
jelaslah sekarang hakikat keimamahan, sebagaimana kita dapat mengetahui
karakteristik model pemerintahan yang menyandang namanya, secara definitive.
Kita pun dapat membayangkan mengapa masalah ini mempunyai signifikasi yang
begitu besar, dan mengapa timbul perbedaan pendapat di seputarnya, yang
notabene melatari timbulnya firqah-firqah (sekte-sekte) dan partai-partai
politik., Semua itu pada akhirnya akan memudahkan kita dalam menjelaskan
undang-undangnya dan akibat-akibat yang akan dihasilkan sebagai konsekuensi
penerapannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...