Oleh: Kholilurahman
Ide penelitian ini muncul ketika bapak
salah satu teman rekan kerja meninggal dunia di desa pabuaran Kabupaten
Banyumas tepatnya sekitar 10 bulan yang lalu yang lalu. Pada waktu itu ketika
dalam ta’ziyah ternyata tidak hanya acara pulosoro mayyit yang dilakukan tetapi juga acara
pernikahan yang dilakukan di depan almarhum. Dalam acara tersebut proses
pernikahan dilakukan dengan cara nikah Islami. Peneliti sekilas mengamati bahwa
tidak acara ritual injak telur, kembang mayang maupun sungkeman sebagaimana
pernikahan pada umumnya. Tetapi yang menarik adalah adanya acara persaksian
yang dihaturkan (disampaikan) oleh
tetua desa kepada almarhum bahwa anaknya telah memenuhi keinginan almarhum
yaitu keinginan almarhum untuk menyaksikan anaknya menikah.[1]
Peneliti kemudian mencoba mencari tahu
kenapa dalam masyarakat muslim pernikahan kok dilakukan di depan jenazah dan
kenapa perlu adanya acara persaksian. Karena dalam situasi kepaten[2]
maka tidak banyak informasi yang peneliti dapatkan. Dari hasil wawancara
singkat dengan Dlori (49) ternya hanya dua informasi yang peneliti dengar dari
jawaban tersebut yaitu karena wasiat bapak serta “Mbok mesakke anake mengko ga
nikah-nikah, mbok mengko kudu nunggu setahun”. Itu yang terlontar dari
jawaban beliau-beliau yang artinya kurang lebih “nanti kasihan kalau anaknya
tidak nikah-nikah karena harus nunggu setahun”.[3]
Setelah beberapa lama di Purwokerto
ternyata acara serupa yaitu pernikahan di depan jenazah tidak hanya dilakukan oleh
teman itu saja, tetapi ada dua acara serupa (nikah sanding mayit) yang peneliti
ketahui setelahnya dan semuanya dilakukan oleh orang yang beargama Islam.
Peneliti kemudian tertarik untuk mencari tahu apakah pernikahan semacam ini memang
banyak terjadi di wilayah Banyumas. Kemudian peneliti melakukan wawancara
dengan penduduk Asli Banyumas yang merupakan rekan kerja peneliti yaitu Arifatul
Hidayah (46) warga desa Pangebatan kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas.
Dari hasil wawancara tersebut ternyata memang di daerah Banyumas acara
pernikahan di depan jenazah itu sering dilakukan walaupun beliau tidak
menjelaskan sebab-sebab kenapa acara seperti itu dilakukan dan berkembang di
daerah Banyumas.[4]
[1] Hasil pengamatan pada acara ta’ziyah meninggalnya bapak dari Diah Sari
Destiana sekaligus acara pernikahan Diah Sari Destiana dengan Gama Harry
Mulyanto.
[2] Kepaten berasal dari kata “pati” yang artinya meninggal yaitu situasi
atau suasana berkabung yang menimpa sebuah keluarga akibat ada salah satu
keluarga yang meninggal dunia.
[3] Hasil wawancara dengan Dlori (49) yang merupakan saudara dari Diah
Sarii Destiana pada acara ta’ziyah meninggalnya bapak dari Diah Sari Destiana sekaligus
acara pernikahan Diah Sari Destiana dengan Gama Harry Mulyanto.
[4] Hasil wawancara tanggal 28 Jan 2012dengan Arifatul Hidayah (46), warga
desa Pangebatan kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas yang sekaligus teman
kerja dalam satu institusi dengan peneliti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...