Oleh: Rena Rahmawati
Indonesia ialah negara
yang terdiri dari beribu ribu pulau dari sabang sampai merauke. Indonesia
merupakan negara kesatuan yang memiliki semboyan Bhineka tunggal ika, yang
bermakna meskipun berbeda beda tetapi tetap satu jua. semboyan ini merujuk pada
masyarakat Indonesia yang memiliki berbagai suku, agama, ras. Setiap suku. Agama dan ras di Indonesia
memiliki budaya yang beragam. Keragaman budaya ini dapat dilihat dari bentuk
rumah, bahasa,pakaian, dan lain lain. Sayangnya di era globalisasi ini, banyak
dari budaya –budaya Indonesia terkontaminasi oleh kemodernisasian. Namun di
Indonesia, masih terdapat suku yang masih memegang teguh kebudayaanya dan
menolak segala sesuatu selain dari budayanya sendiri. Diantaranya adalah suku
Badui yang tinggal didaerah Banten dan
suku Naga yang tinggal didaerah Tasikmalaya.
Sebagai mahasiswa
fakultas humaniora dan budaya, maka sudah menjadi keharusan bagi kita belajar
tentang keanekaragaman suku dan budaya yang ada di Indonesia. Oleh karena itu
melalui pembuatan makalah ini kami ingin mengetahui secara terperinci tentang
suku-suku yang masih memegang teguh budayanya. sehingga kami dapat
mengambil nilai-nilai positif dari
kebudayaan-kebudayaan mereka.
Apa yang di maksud
dengan masyarakat dan kebudayaan suku Badui yang ada di Indonesia.Apa yang di
maksud dengan masyarakat dan kebudayaan suku Naga di Indonesia. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui secara detail tentang suku Badui maupun
kebudayaan mereka.Untuk mengetahui
secara terperinci tentang suku Naga serta kebudayaan mereka.
1. SUKU BADUY
Baduy adalah sebutan
yang melekat pada orang-orang yang tinggal di sekitar kaki pegunungan Kendeng
di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabuten Lebak, Provinsi Banten dengan
ciri-ciri yang khas dan unik dibanding dengan orang-orang yang ada di sekitar
mereka, demikian juga dengan orang-orang daerah Banten lainnya. Keunikan mereka
terlihat jelas dalam cara pakaian, keseragaman bentuk rumah, penggunaan bahasa,
kepercayaan, dan adat istiadat.
Istilah kata Baduy itu
sendiri ada yang menduga berasal dari kata “Badawi”, yaitu suatu julukan bagi
orang-orang yang bertempat tinggal tidak tetap yang hidup di sekitar Jazirah
Arab. Pendapat ini didasarkan pada kesamaan perilaku orang Badawi dengan
kehidupan sehari-hari mereka yang selalu sibuk beraktivitas dari tempat yang
satu ke tempat lainnya, dari kegiatan satu ke kegiatan yang berikutnya, tiada
hari tanpa bergerak untuk berladang dan setiap tahun tempat berladang selalu
berpindah-pindah. Namun, pendapat ini sangat ditentang oleh kesukuan mereka
terutama tokoh adat dan para pemangku adat. Mereka menjelaskan bahwa istilah
Baduy sebenarnya adalah sasaka dari sebuah nama sungai tempo dulu, yaitu sungai
Cibaduy yang mengalir di sekitar tempat tinggal mereka, juga berdasarkan nama
salah satu bukit yang berada di kawasan tanah ulayat mereka, yaitu Bukit Baduy
(Asep Kurnia; 2010)
Dalam beberapa sumber
disebutkan bahwa Suku Baduy itu dibagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy
Luar. Baduy Dalam dapat dikatakan repsentasi dari masyarakat Baduy masa lalu
yang mendekati pada pewaris asli budaya dan amanat leluhur kesukuan mereka.
Baduy luar adalah komunitas baduy yang dipersiapkan sebagai penjaga, penyangga,
penyaring, pelindung dan sekaligus penyambung silaturrahmi yang intensif dengan
pihak luar sebagai bentuk penghargaan, kerjasama dan partisipasi aktif dalam
kegiatan kenegaraan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah salah satu suku
bangsa yang sama-sama memiliki hak dan kewajiban sama dengan warga negara
Indonesia lainnya.
Mereka sangat memegang
teguh pikukuh karuhun yakni suatu doktrin yang mewajibkan mereka melakukan
berbagai hal sebagai amanat leluhurnya. Pikukuh karuhun tersebut antara lain
mewajibkan mereka untuk :
Bertapa bagi kesejahteraan
dan keselamatan pusat dunia dan alam semesta.Memelihara sasaka pusaka
buanaMengasuh ratu memelihara menakMenghormati guriang dan melaksanakan
mujaMelakukan seba setahun sekaliMenyelenggarakan dan menghormati upacara adat
ngalaksaMempertahankan dan menjaga adat bulan kawalu (Asep Kurnia;2010, hal.
28)
Beberapa aspek yang
meliputi suku Baduy antara lain yaitu:
A. Mata pencaharian
Mata pencaharian mereka
yang pokok adalah bercocok tanam secara khusus berladang (ngahuma) setahun
sekali, menanam padi disawah dilarang adat karena mengubah stuktur tanah atau
alam. Berladang juga dipandang merupakan kewajiban pokok bagi setiap warga
baduy dan tidak boleh ditinggalkan mengingat ngahuma juga merupakan salah satu
acara ritual adat setara dengan bentuk ibadah sesuai dengan keyakinan Ajaran
Sunda Wiwitan. Mata pencaharian lainnya adalah nyadap kawung (air nira) yang
kemudian mereka olah gula merah/gula kawung murni, menjual hasil bumi berupa
buah-buahan seperti durian, pisang, buah ranji, lada khusus baduy, madu, coklat
dan lain-lain. Pada waktu tertentu saat pengunjung Baduy ramai beberapa orang
laki-laki dewasa terkadang menawarkan jasa memikul, membantu para pengunjung
(menjadi pouter). Dalam rangka memenuhi kebutuhan terutama pangan, khusus di
baduy luar sudah mulai terbuka bagi penyelenggara usaha yang berorientasi pasar
(berdagang) yang dilaksanakan dirumah penduduk. Kini hampir di setiap kampung
ada warga yang berdagang, bahkan sudah mulai bermunculan pengusha kecil dan
menengah, baik secara individu maupun kelompok yang jaringan kerjanya cukup
luas(Asep Kurnia; 2010, hal. 65)
Pernikahan
Proses perkawinan di
baduy melalui tiga tahapan lamaran yaitu, lamaran yang pertama pihak keluarga
laki-laki mendatangi pihak keluarga perempuan, untuk bermusyawarah membicarakan
rencana perjodohan sampai ditemukannya titik kesepakatan antara kedua belah
pihak tersebut. Proses lamaran kedua dilakukan pihak laki-laki dengan langkah
atau tahapannya tidak berbeda jauh seperti lamaran pertama hanya saja pada
tahapan ini dilengkapi dengan acara tukar cincin yang disiapkan oleh pihak
laki-laki yang disebut dengan tunangan (nyeureuhan). Dilanjutkan proses lamaran
ketiga yang cukup penting , karena didalamnya terdiri dari syarat yang
dilakukan dalam proses lamaran sebelumnya ditambah syarat pada lamaran ketiga.
Penekanannya adalah kedua belah pihak sama-sama mempersiapkan baju nikah. Pihak
laki-laki mempersiapkan baju untuk pihak perempuan, begitupun untuk pihak
perempuan mempersiapkan baju untuk pihak laki-laki. Pihak laki-laki juga harus
mempersiapkan perlengkapan peralatan rumah tangga. Lamaran ketiga ini
dilaksanakan dibalai adat yang dipimpin oleh puun serta dihadiri kedua belah
pihak dan perangkat adat, yang disaksikan oleh masyarakat Baduy dalam. Acara
ini dinamakan seserahan/seserenan.
Dalam acara ini ada
ritual penting yaitu pembacaan sahadat adat yang dibacakan oleh puun untuk
kedua belah pihak tadi, diantaranya : sahadat wiwitan, sahadat tunggal, sahadat
samping, sahadat batin dan sebagai pelengkap adalah sahadat kanjeng Nabi
Muhammad SAW (Asep Kurnia; 2010 hal. 180)
Tatanan Masyarakat Suku Baduy
Masyarakat suku Baduy
mempunyai tatanan masyarakat yang sangat unik, yaitu dipimpin oleh tiga kepala
suku (puun) yang disebut Tritunggal. Akan tetapi dalam ketiga kepala suku
tersebut mempunyai keputusan bersama-sama karena mempunyai hak atau wewenang
dalam pemerintahan yang sama. Hal itu menunjukkan adanya satu-kesatuan dalam
kekuatan yang utuh dalam mengambil keputusan pemerintahan, hal ini yang
membedakan konsep trias politikanya montesque di mana konsep ini lebih menitik
beratkan pada konsep pembagian kekuasaan negara pada lembaga legislatif,
eksekutif, dan yudikatif yang pada praktiknya menumbuhkan persaingan politis
kurang sehat. Ketiga puun tersebut yaitu puun cibeo, puun cikartawana, dan puun
cikeusik.
Sistem Kepercayaan Orang Baduy
Dasar religi orang
Baduy ialah penghormatan ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa,
Batara Tunggal. Keyakinan mereka itu disebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda
Wiwitan. Dimaksudkan supaya orang hidup menurut alur itu dalam menyejahterakan
kehidupan Baduy dan dunia ramai (orang Baduy dari hirarki tua dan dunia ramai
keturunan yang lebih muda). Mereka bertugas menyejahterakan dunia melalui tapa
(perbuatan, bekerja) dan pikukuh apabila Kanekes sebagai inti jagat selalu
terbelihara baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera. Konsep keagamaan
dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy tanpa perubahan apa pun,
seperti dikemukakan oleh peribahasa “lojor teu meunang dipotong, pondok teu
meunang disambung” (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung).
Konsep-konsep itu tidak berada dalam diri orang Baduy sendiri yang kekuatannya
tergantung dari perbuatan seseorang. Konsep pikukuh merupakan pengejawantahan
dari adat dan keagamaan yang ditentukan oleh intensitas konsep mengenai karya
dan keagamaan. Dengan melaksanakan semuanya itu orang akan dilindungi oleh kuasa
tertinggi, Batara Tunggal, melalui para guriang yang dikirim oleh karuhun dan
Batara Tunggal karena orang tidak patuh kepada pikukuh, hakikat agama Sunda
Wiwitan.
Para puun itu bukan
hanya pemimpin tertinggi tetapi keturunan karuhun, yang langsung mewakili
mereka di dunia. Ada beberapa konsep yang merupakan kewajiban puun dalam rangka
pikukuh, yaitu memelihara Sasaka Pusaka Buana; memelihara Sasakan Domas atau
Parahyang; mengasuh dan memelihara para bangsawan/pejabat; bertapa bagi
kesejahteraan dunia; berbakti kepada dewi padi dengan berpuasa pada upacara,
memuja nenek-moyang, dan membuat laksa untuk bahan pokok seba (Garna 1988).
Nenek moyang orang
Baduy dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu nenek moyang yang berasal dari
masa para Batara dan masa para puun. Batara Tunggal digambarkan dalam dua
dimensi, sebagai suatu kuasa dan kekuatan yang tak tampak tetapi berada di
mana-mana, dan sebagai manusia biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia
sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke
dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi Sasaka Pusaka
Buana. Mereka itu ialah Batara Cikal, yang diberitakan tidak ada keturunannya,
Batara Patanjala yang menurunkan tujuh tingkat batara ketiga, yaitu (dari yang paling
senior) Daleum Janggala, Daleum Lagondi, Daleum Putih Seda Hurip, Dalam
Cinangka, Daleum Sorana, Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu. Mereka itu yang
menurunkan Bangsawan Sawidak Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang
Baduy. Daleum Janggala adalah batara yang tertua, dan yang menurunkan kerabat
tangtu Cikeusing; Daleum Putih Seda Hurip menurunkan kerabat kampung Cibeo.
Para batara tingkat ketiga lain masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin
lainnya.
Lima batara tingkat
kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala, yaitu Batara Wisawara, Batara
Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa, menurunkan
kelompok kerabat besar di luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua puluh lima
negara), yang menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan menurut pengetahuan
orang Baduy adalah wilayah yang sangat luas di sebelah Sungai Cihaliwung (Garna
1988). Kelompok kerabat itulah yang dianggap orang Baduy keturunan yang lebih
muda.
Dari ketujuh orang
batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy itu tampak bahwa hanya kerabat
jaro dangka yang berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya diturunkan
melalui garis keturunan patrilineal. Para puun adalah keturunan Batara
Patanjala, dan sampai masa akhir abad ke-19 oleh Jacobs dan maijer dicatat
sudah terjadi 13 kali pergantian puun Sikeusik (1891: hlm. 13). Menurut catatan
tahun 1988, jumlah puun Cikeusik adalah 24 orang, dan yang terakhir adalah Puun
Sadi (Garna 1988).
Suatu konsep penting
dalam religi orang Baduy ialah karuhun, yaitu generasi-generasi pendahulu yang
sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di
hulu Sungai Ciujung. Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya
menengok para keturuannya, dan jalan untuk masuk ialah melalui hutan kampung.
Dalam kaitan dengan
konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan wangatua.
Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi para
keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun
mahluk-mahluk halus yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan) wangatua ialah
ruh atau penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal dunia.
Kosmologi orang Baduy
yang menghubungkan asal mula dunia, karuhun dan posisi tangtu, merupakan konsep
penting pula dalam religi mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di
Kanekes, terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat
kampung tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan
bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di pusat
bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan untuk
menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek moyang. Kampung
tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan manusia, yang diungkapkan
dengan sebutan Cikeusik, Pada Ageung Cikartawana disebut Kadukujang, dan
Cikeusik disebut Parahyang, semua itu disebut Sanghyang Daleum. Secara khusus
posisi tempat nenek moyang (kabuyutan) dan alur tangut dalam memperlihatkan
kaitan karuhun, yaitu Pada Agueng, Sasaka Pusaka Buana, dangkanya disebut
Padawaras; Kadukujang, Kabuyutan ikut pada Cibeo dan Cikeusik dengan
dangka-dangkanya yang disebut Sirah Dayeuh. Konsep buana (buana, dunia) bagi
orang Baduy berkaitan dengan titik mula, perjalanan, dan tempat akhir
kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buan Luhur atau Buana Nyungcung (angkasa,
buana atas) yang luas tak terbatas, Buana Tengah atau Buana Panca Tengah,
tempat manusia melakukan sebagian besar pengembaraannya dan tempat ia akan
memperoleh segala suka-dukanya. Buana Handap (buana bawah) ialah bagian dalam
tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga buana itu adalah seperti
halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di
dunia.
Konsep lain dalam
religi orang Baduy ialah kaambuan atau ambu (ibu, wanita, ibu suci). Menurut
orang Baduy ada tiga ambu yang penting (peling tidak yang ditakuti dan
disegani) yaitu Ambu Luhur di Buana Luhur, Ambu Tengah di Buana Panca Tengah,
dan Ambu Rarang di Buana Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara kehidupan yang
harus dihormati dengan kesungguhan melakukan pikukuh. Ambu luhur tidak hanya
mengurus tempat orang Baduy setelah mati, tetapi juga dengan segala kekuatan
dan kesaktiannya, Ambu Rarang dapat menyelesaikan setiap masalah kehidupan
dengan menyebut namanya atau membaca mantera-mantera. Sedang Ambu Rarang adalah
ambu yang menerima jasad dan ruh orang Baduy yang mati untuk diurus selama
tujuh hari dan melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir tetapi juga bentuk
nyata dari Buana luhur.
Pakaian Suku Baduy
Dalam kehidupan
keseharian manusia, berpakaian merupakan salah satu alat untuk melindungi diri
dan menunjukan citra diri terhadap orang lain. Dalam hal ini masyarakat Baduy
yang merupakan suku terasing di Banten sudah memikirkan dalam hal berpakaian
dalam masyarakatnya..Sebelumnya Suku Baduy adalah suku yang menetap di ujung
Pulau Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu
Baduy Luar, yang tinggal luar daerah Baduy Dalam,dan baduy dalam yang menetap
di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.Dalam pandangannya mereka yakin berasal dari
satu keturunan, yang memiliki satu keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk
busana yang dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam
berbusana, perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya
saja.Baduy Dalam merupakan masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan
kuat nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh
kebudayaan luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal
kebudayaan luar. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat
dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun
fungsinya.
Untuk Baduy Dalam, para
pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, karena cara
memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang
hanya dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya
tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna
busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan
dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari
benang kapas asli yang ditenun.Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa
sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar
kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Untuk
kelengkapan pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna
putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang,
kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk Masyarakat Baduy yakin dengan
pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih
Bagi suku Baduy Luar,
busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya
juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai
ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan
bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari
benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg ada
sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat dari warna,
model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah
terpengaruh oleh budaya luar. busana bagi kalangan pria Baduy adalah amat
penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian
selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta
dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di
pundaknya.
Sedangkan, untuk busana
yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu
menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali
baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru
kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan
untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya
membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya
harus tertutup. Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya,
kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat
pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan
dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.
Untuk memenuhi
kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang dikerjakan
oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal,
ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk
keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung
atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis
putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna
merah.Selain itu, kalangan pria juga melakukan kerajinan di antaranya adalah
membuat golok dan tas koja.
Dari model, potongan
dan cara berbusananya saja, secara sepintas kita akan tahu bahwa mereka adalah
suku Baduy. Pakaian bagi suku Baduy bukanlah sekedar untuk melindungi tubuh
saja, melainkan sebagai identitas budaya yang semuanya itu adalah warisan dari
karuhun atau nenek moyang untuk dijaga. Oleh karenanya kita harus lebih banyak
mengampil contoh kehidupan positif dari masyarakat Baduy yang tidak mengeyam
pendidikan formal.
Kesenian Suku Baduy
Suku Baduy adalah salah
satu suku yang sarat dengan kerajinan tangan. Kreativitas mereka tidak perlu
lagi dipertanyakan, salah satunya hasil karya mereka yang berbentuk kain tenun.
Terbukti dengan akan diadakannya Pameran Banten Expo yang bertempat di Bumi
Serpong Damai (BSD) City, Tangerang pada Jum’at, 1 Oktober 2010.
Produktivitas dari para
perajin memang sangat baik. Hal ini dikarena peran serta dari pihak
pemerintahan dalam memberikan bimbingan dan dorongan, seperti pembinaan atau
pendidikan kewirausahaan. Selain itu, pihak pemerintahan daerah juga melakukan
promosi sehingga hasil kreasi Suku Baduy memiliki pasar yang luas
2. SUKU NAGA
Kampung Naga adalah
daerah yang terletak di daerah Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten
Tasikmalaya. Meskipun lokasinya berdekatan dengan daerah modern, tetapi
penduduk disana masih sangat memelihara,
mempertahankan dan memegang teguh adat-istiadat dan kebudayaan leluhur dan nenek
moyangnya. Lokasi detailnya yaitu berada pada jalur regional antara
Garut-Tasikmalaya, tepatnya pada 33 Km kearah barat Tasikmalaya dengan
ketinggian 488 m dari permukaan laut dengan luas area pemukiman Kampung Naga
seluas 1,5 ha. Sedangkan batas daerah kampung Naga yaitu sebelah utara dan timur
dibatasi oleh sungai Ciwulan dan sebelah barat dan selatan dibatasi oleh
perbukitan.
Secara umum masyarakat
kampung Naga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Kelompok
masyarakat Kampung Naga yang berada di pemukimanm Kampung Naga sendiri
b. Kelompok
masyarakat Kampung Naga yang berada di luar pemukiman yang disebut juga Sanaga
Latar belakang atau
asal muasal masyarakat Kampung Naga tidak dapat dijelaskan dan dideskipsikan
secara jelas dari mana asalnya, sebab satu buku yang menceritakan tentang
sejarah Kampung Naga yang ditulis dalam bahasa Sansekerta pada tahun 1956 ikut
terbakar sewaktu adanya penyerangan oleh gerombolan DI/TII pimpinan Karta
Suwiryo. Tetapi menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, karuhun atau leluhur
mereka dikenal dengan sebutan “Sembah Dalem Singaparna yang menjadi panutan
seluruh tatanan kehidupan adat tradisi serta hukum adat dan sebagai
penghormatan terhadap beliau maka la dimakamkan disebelah barat Kampung Naga.
Dalam pembuatan makalah
ini, kami akan menjelaskan secara lebih mendalam tentang masyarakat kampong
naga kedalam beberapa elemen, diantaranya yaitu:
Penduduk
Masyarakat Kampung Naga
saat ini sekitar 325 jiwa yang terdiri dari 106 kepala keluarga dengan jumlah
areal pemukiman Kampung Naga tidak akan diperluas apalagi menambah jumlah
bangunan baru. Hal ini terjadi bukan karena adanya larangan dari pihak
pemerintah atau pihak kampung naga sendiri namun lahan disana sangat terbatas.
Sebab itulah apabila ada warga Kampung Naga yang membangun rumah harus rela
mencari tempat di luar Kampung Naga. Jadi suku ini berbeda dengan orang Baduy.
Meskipun orang kampong naga berdomisili selain di Kampung Naga, mereka tetap
disebut masyarakat kampung naga.
Bahasa
Bahasa yang digunakan
tersebut adalah bahasa sunda yang telah turun-temurun menjadi bahasa pergaulan
dari leluhurnya. Beberapa dari warga juga ada yang bisa menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar namun hanya minoritas saja.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian orang
Naga mayoritas adalah petani, namun dalam perkembangan pada masa sekarang
jumlah mata pencaharianpun mulai bertambah seperti sebagai pedagang kecil,
penjual kerajinan, sebagai buruh di kota dan sebagian menjadi pegawai negri dan
sebagainya.
Tingkat Pendidikan
Pada umumnya tingkat
pendidikan orang Naga masih rendah hanya sebagian kecil yang lulus dari
perguruan tinggi.
Kesenian
Masyarakat Kampung Naga
memiliki bentuk-bentuk kesenian yang dilaksanakan sehubungan dengan
adat-istiadatnya sehingga dalam pelaksanannya lebih mengarah seperti pada
upacara-upacara adat, seperti: nyanyian yang berbau agama dan memiliki arti
filosofis yang tinggi, bangunan rumah dengan bilik-bilik rumah yang indah dan
berbeda antara bilik untuk dapur dan ruang depannya serta dalam bentuk atap
yang tidak memakai genting tetapi daun-daun yang ditata rapi nan indah.
Terdapat tiga pasangan
kesenian di Kampung Naga diantaranya : Terebang Gembrung yang dimainkan oleh
dua orang sampai tidak terbatas biasanya ini dilaksanakan pada waktu Takbiran
Idul Fitri dan Idul Adha serta kemerdekaan RI. Alat ini terbuat dari kayu. Terebang
Sejat, dimainkan oleh 6 orang dan dilaksanakan pada waktu upacara pernikahan
atau khitanan massal. Angklung, dimainkan oleh 15 orang dan dilaksanakan pada
waktu khitanan massal
Sistem Kemasyarakatan Kampung Naga
Kemasyarakatan di
Kampung Naga masih sangat lekat dengan budaya gotong royong, hormat
menghormati, dan mengutamakan kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi.
Dimana system kemasyarakan ini dibagi menjadi dua sistem, yaitu system lembaga
pemerintahan dan lembaga adat.
Lembaga pemerintahan
yang terdapat di kampung Naga terdiri dari lembaga-lembaga sebagaimana
kampong-kampung yang lain, seperti RW, RT, Kudus (Ketua Dusun), dan lain lain.
Sedangkan lembaga adat terdiri dari Kuncen, lunduh, dan Lebe. Kuncen bertugas
pemangku adat dan memimpin upacara adat dalam berziarah dan Lebe bertugas
mengurusi jenazah dari awal sampai akhir sesuai dengan syariat islam. Peran
kedua lembaga ini bersinergi untuk tujuan keharmonisan warga Sanaga. Sang
Kuncen yang meski begitu berkuasa dalam hal adat istiadat, akan taat dan patuh
pada RT atau RW jika berhubungan dengan system pemerintahan desa. Begitupun
sebaliknya RT atau RW juga akan taat
pada sang Kuncen apabila berurusan dengan adat istiadat dan kehidupan rohani
penduduk Kampung Naga.
Sistem Politik
Masyarakat kampong Naga
menyelesaikan segala masalah yang ada dengan bermusyawarah. Begitu juga dalam
hal politik; pemilihan ketua RT, RW, kuncen, mereka akan bermusyawarah sehingga
menghasilkan keputusan yang dapat diterima semua warga, demokratis, dan
terbuka.
Sistem Hukum
Seperti kebanyakan
kampung adat lainnya, masyarakat kampong Naga juga memiliki aturan hukum
sendiri yang tak tertulis namun
masyarakat sangat patuh akan keberadaan aturan tersebut. Kampung Naga memiliki
Larangan namun tidak memiliki banyak aturan. Prinsip yang mereka anut adalah
Larangan, Wasiat dan Akibat.
System Hukum kampung
adat berlandaskan pamali, yaitu suatu ketentuan yang telah ditentukan oleh
nenek moyang Kampung Naga yang tidak boleh dilanggar. Sanksi yang diperoleh
untuk si pelanggar tidaklah jelas, karena mereka percaya bahwa siapa yang melanggar
larangan, maka dia sendiri yang medapat akibatnya. Pamali bagi masyarakat
kampong Naga masih patuh dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari hari, seperti
tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara,
kesenian, dan sebagainya.
Pernikahan
Upacara perkawinan
diadakan setelah akad nikah. Adapun tahap-tahap upacara tersebut adalah sebagai
berikut: upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung
(berkumpul), ngamparmunjungan. (berhamparan), dan diakhiri dengan do’a.
Secara detailnya yaitu
upacara penyaweran dilakukan selesai akad nikah,kedua pelai pengantin dipayungi
sedankan tukang sawer berdiri di hadapan kedua pengantin. Panyawer sembari
mengucapkan ijab kabul, saat prosesi penyaweran sang penyawer menyelinginya dengan menaburkan
beras, irisan kunir, dan uang logam ke arah pengantin. Setelah upacara sawer
dilanjutkan dengan upacara nincak endog.endog (telur) disimpan di atas golodog
dan mempelai laki-laki menginjaknya. Kemudian mempelai perempuan mencuci kaki
mempelai laki-laki dengan air kendi. Dan dilanjutkan acara buka pintu dan
sungkeman ke seluruh keluarga dan kerabat baik dari pihak perempuan ataupun
laki-laki.
KESIMPULAN
Badui dan masyarakat
Naga adalah merupakan contoh suku asli di pulau Jawa yang terkenal sebagai suku
bangsa yang berpegang teguh pada adat istiadat dan sistem kepercayaan asli
nenek moyangnya. Contohnya dalam menjalankan kehidupan dengan pakaian adatnya,
upacara adat, serta prosesi sacral pernikahan yang mengikuti tradisi nenek
moyang mereka sampai saat ini. Meskipun demikian kedua suku diatas memegang
teguh budayanya dan sama berbahasa sunda namun mereka memiliki banyak perbedaan
salah diantaranya yaitu suku Baduy tidak mau menerima apapun yang berhubungan
dengan modernisasi dan menganut agama ethnis, tetapi Naga masih menerima
perbedaan( willing open) dan kepercayaan yang dipegangnya bukan agama ethnis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Syukur dkk, Ensiklopedia Umum untuk
Pelajar paket 2, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoev
Hidayah, Zulyani. Ensiklopedi suku
bangsa di Indonesia, 1997. Jakarta: PT.Pustaka LP3ES Indonesia
Kurnia, Asep. Ahmad Sihabuddin, 2010.
Saatnya Baduy Bicara. Jakarta: Bumi Angkasa
Www.wikipedia.org/wiki/Orang_Kanekes.com.
http://info.indotoplist.com/?YldWdWRUMWtaWFJoYVd3bWFXNW1iMTlwWkQweU5qVT0
http://aristastar21.wordpress.com/makalah-kebudayaan-masyarakat-kampung-naga-2/
http://
humaspdg.wordpress.com/2010/05/…/menelusuri-kebudayaan-baduy.com. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/…/adat-istiadat-yg-membelenggu-kebud.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...