Oleh : Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag
Abstrak
Ijtihad seringkali hanya diartikan sebagai upaya
penyimpulan hukum yang dilakukan oleh seorang mujtahid. Dalam kenyataannya,
bila ijtihad hanya dipahami satu sisi saja, maka akan terjadi kesalahpahaman
terhadap syariah. Oleh karenanya, ijtihad tatbiqi harus dikembangkan pula
sebagai upaya maksimal dalam merealisasikan hukum hasil istinbat ke dalam
realitas kehidupan.
Salah seorang ulama yang telah memberikan peninggalan
konsep ijtihad tatbiqi adalah Abu Ishaq al-Syatibi. Menurutnya, ijtihād ta¯bīqī
merupakan ijtihad dengan menggunakan dua konsepsi besar, yakni tahqīq al-manā¯
dan al-nadhar ila ma`ālāt al-af’āl
A. Pendahuluan
Permasalahan ijtihad merupakan hal yang selalu
aktual untuk dicermati dan dikaji. Akan tetapi, pembahasan seringkali hanya
terbatas pada sisi penyimpulan hukum sehingga terkesan bahwa syariah adalah
hukum yang kaku. Hal in kemudian berkembang menjadi pemahaman yang kurang tepat
dalam memandang syariah terutama terkait dengan posisinya pada dunia modern
saat ini. Sementara, istilah ijtihad tatbiqi seringkali dipahami sebagai upaya
pemberlakuan hukum di masyarakat sebagaimana undang-undang atau peraturan
daerah diberlakukan.
Tulisan ini berupaya mengurai tentang ijtihad
tatbiqi dan mendudukkanny sesuai dengan apa yang sudah dikonsepkan sebelumnya
oleh ulama terdahulu. Dalam kaitan ini, konsep ijtihad tatbiqi yng telah
dikemukakan oleh al-Syatibi menjadi hal yang menarik untuk dikaji.
B. Definisi
Kata ijtihād ta¯bīqī berasal dari dua kata berbahasa
Arab, yakni kata “ijtihād” dan kata “ta¯bīqī”. Secara etimologis, kata ijtihad
merupakan bentuk masdar dari kata اجتهد. Akar dari kata ini adalah الجهد yang
berarti الوسع و الطاقة[1] (kekuatan, kemampuan, kesanggupan)[2]. Kata ijtihad berarti بذل ما في وسعه [3]
(pengerahan seluruh kekuatan, kemampuan, kesanggupan).
Secara terminologis, para ulama ahli usul fiqh
mengungkapnya dengan berbagai definisi. Al-Fairūz Ābādi (wafat 476 H) mendefinisikan
ijtihad sebagai استفراغ الوسع وبذل المجهود في طلب
الحكم الشرعي [4] (mengerahkan
segala kemampuan untuk menemukan hukum syara’). Al-Āmidi (wafat 631 H)
mendefinisikan ijtihad sebagai استفراغ الوسع في طلب
الظن بشيء من الأحكام الشرعية على وجه يحس من النفس العجز عن المزيد فيه [5] (mengerahkan seluruh kemampuan dalam
menemukan suatu dugaan dalam hukum syara’ yang dirasa sudah tidak ada lagi
kemampuan untuk mendapatkan lebih dari itu). Al-Ghazāli (wafat 505 H)
mendefinisikan ijtihad sebagai بذل المجتهد وسعه في طلب
العلم بأحكام الشريعة [6]
(pengerahan seorang mujtahid akan seluruh kemampuannya untuk menemukan
pengetahuan tentang hukum syara’).
Beberapa definisi di atas, masing-masing terdapat di
dalamnya kelemahan yang sangat bisa dikritisi. Definisi pertama sangat membuka
peluang untuk dilakukannya ijtihad oleh siapapun, meskipun ia bukan seorang
ahli fiqh. Definisi kedua tampak sempurna, tetapi terdapat pengulangan yang
kurang perlu. Pengulangan itu terdapat pada kalimat على
وجه يحس من النفس العجز عن المزيد فيه
. Kalimat ini sesungguhnya tidak perlu dimunculkan, karena maknanya sudah
terangkum dalam kalimat استفراغ الوسع. Dan sebuah definisi seharusnya sesuatu
yang sempurna lengkap dan tidak ada kata yang kurang bermanfaat. Definisi
ketiga, kata ilmu digunakan untuk menggambarkan hasil dari sebuah ijtihad.
Penggunaan term ini tampaknya kurang tepat, karena sesungguhnya sebagian besar
hasil ijtihad adalah §ann (dugaan), bukan suatu kebenaran yang pasti.
Sebagian ulama menyamakan kata ijtihad dengan al-Qiyās,
di antaranya adalah al-Syafi’ī (wafat 204 H)[7] dan al-Syanqīti (wafat 1393
H)[8]. Pendapat ini tidak seluruhnya benar, sebab ijtihad memiliki makna lebih
luas dari al-Qiyās. Ijtihad mengandung semua cara berijtihad mulai dari
penelusuran makna yang bisa dipahami dari pernik-pernik sebuah teks, al-qiyās
(analogi), sampai pada hal-hal yang bahkan tidak diungkap oleh teks secara
eksplisit, yang dipahami oleh seorang mujtahid untuk mencari kemaslahatan.
Definisi yang dianggap paling tepat adalah apa yang
dikemukakan oleh al-Bai«āwī (wafat 685 H),استفراغ
الجهد في درك الأحكام الشرعية [9]
(mengerahkan seluruh kemampuan dalam upaya menggali hukum syara’). Tampaknya,
definisi yang diungkap oleh ulama usul fiqh masa lalu masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Penulis lebih sepakat dengan definisi al-Bai«āwī
karena definisi ini diungkap dengan pernyataan yang simpel dan mencakup
semuanya. Pernyataan yang diungkap al-Bai«āwī “درك
الأحكام” memiliki pemahaman
yang mencakup apakah hukum itu didapat sebagai sesuatu yang qa¯’i atau §anni,
naqli atau ‘aqli. Dengan kata lain, Ijtihad adalah suatu aktivitas menyimpulkan
hukum syara’ dari dalil masing-masing dalam bidang syari’ah yang dilakukan oleh
seorang mujtahid.
Akan tetapi, definisi yang diungkap oleh para ulama
modern tampak lebih mengena dengan situasi saat ini. Di antara definisi itu
disampaikan oleh Qutb Mustafā Sānu. Menurutnya, ijtihad adalah sebuah kegiatan
ilmiah yang memiliki manhaj (metode) khusus yang dilakukan oleh sekelompok
ulama yang memiliki kualifikasi ijtihad pada suatu masa untuk sampai pada
keadaan terbaik sesuai kehendak Allah swt dalam sebuah masyarakat.[10] Definisi
ini dianggap lebih bijak karena ijtihad pada masa ini memang akan cukup sulit
bila dilakukan secara individual. Di samping karena begitu banyak dan
kompleksnya permasalahan yang ada pada zaman modern ini, juga kapabilitas
seseorang untuk mencapai tingkat mujtahid dengan berbagai kualifikasi dan
persyaratannya sangat sulit terjadi. Sementara ijtihad untuk mengantisipasi dan
memberi solusi atas berbagai permasalahan baru yang muncul harus ada yang
melakukannya. Maka, sangat bijak bila ijtihad itu dilakukan oleh sebuah tim
khusus yang memiliki kapasitas ilmiah pada bidang masing-masing yang saling
melengkapi.
Kata “ta¯bīqī” berasal dari asal kata طبّق – يطبق – تطبيق [11] yang secara etimologis: إخضاع المسائل
والقضايا لقاعدة علمية أو قانونية أو نحوها [12] (menundukkan permasalahan kepada suatu kaidah ilmiah, hukum,
atau sejenisnya). Ahmad Warson Munawwir menerjemahkan kata di atas dengan kata
“penyesuaian, pencocokan, pemraktekan”[13]. Dari beberapa pemaknaan bahasa di
atas, tampaknya kata ini dapat berarti penyocokan sesuatu terhadap kaidah
tertentu, di samping dapat juga berarti implementasi sesuatu dalam praktek.
Istilah ijtihād ta¯bīqī, di antaranya diungkap oleh
Muhammad Abū Zahrah dalam bukunya U¡ūl al-Fiqh ketika mendefinisikan ijtihad.
Bagi beliau, ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan, baik untuk
menyimpulkan (istinbā¯) hukum, maupun ta¯bīq-nya[14]. Dalam hal ini, Abū Zahrah
membagi ijtihad dalam dua hal penting, yakni penyimpulan hukum dan ta¯bīq
hukum. Lebih lanjut, Abu Zahrah menjelaskan bahwa ijtihad dalam bentuk istinbat
hukum dianggap telah sempurna dengan upaya maksimal para fuqaha dalam
memformulasikan hukum furū’ aplikatif dari dalil-dalilnya. Akan tetapi, dalam
bentuknya yang kedua, setiap masa harus ada yang melakukannya. Yang
melakukannya adalah para ulama takhrīj dengan menyesuaikan ‘illah yang telah
disimpulkan ke dalam kasus yang muncul kemudian.[15] Hal senada juga
disampaikan oleh Abdullah Darraz ketika melakukan tahqīq pada kitab
al-Muwāfaqāt karya al-Syā¯ibi (wafat 790 H). Dalam penjelasannya, Beliau juga
menyatakan setiap masa tidak boleh kosong dari ulama yang melakukan ijtihād
ta¯bīqī ini.[16]
Dari beberapa ungkapan dan penjelasan di atas, dapat
disimpulkan sebuah definisi bahwa ijtihād ta¯bīqī yang dimaksud adalah upaya
maksimal seorang faqih dalam mengimplementasikan hukum hasil istinbā¯ ke dalam
realitas kehidupan. Istilah ini tentunya dibedakan dengan istilah ta¯bīq
al-syarī’ah atau ta¯bīq al-ahkām. Sebenarnya, istilah ini juga dapat diartikan
sebagai penerapan hukum yang telah disimpulkan ke dalam realitas kehidupan.
Hanya saja, kedua istilah terakhir ini cenderung dimaknai sebagai penerapan
hukum atau penegakan hukum yang lebih berkonotasi pada positivisasi hukum
melalui pembentukan undang-undang dan atau sejenisnya yang memiliki kekuatan
hukum yang mengikat.
Fathī al-Durayni, dalam “muqaddimah” bukunya
al-Manāhij al-U¡ūliyyah bi al-Ra`y fī al-Tasyrī’ al-Islāmi, menyebutkan bahwa
ijtihad dalam bentuk istinbā¯ hukum tidak lebih utama dari ijtihad dalam upaya
ta¯bīq (implementasi hukum).[17] Pernyataan ini memperkuat apa yang dikemukakan
sebelumnya bahwa ijtihad, baik dalam istinbā¯ hukum maupun dalam ta¯bīq-nya,
memiliki kedudukan yang sama demi mencapai maqā¡id hukum.
C. Ijtihād Ta¯bīqī Menurut al-Syā¯ibī
Di antara para ulama yang mengemukakan konsep
ijtihād ta¯bīqī secara jelas dan rinci adalah al-Syā¯ibī. Menurutnya, konsep
dasar ijtihād ta¯bīqī ada dua bentuk, yakni ijtihad dalam bentuk tahqīq
al-manā¯[18] dan ijtihad yang menggunakan konsep ma`ālāt al-af’āl sebagai
pertimbangan.
1. Tahqīq al-Manā¯
Menurut al-Syā¯ibī, tahqīq al-manā¯ adalah upaya
implementasi hukum pada individu yang tepat[19]. Dengan kata lain, ia merupakan
upaya untuk mencocokkan apa yang ada dalam hukum umum ke dalam individu yang
terkait dengan hukum itu.
Ijtihad dalam bentuk ini menjadi sesuatu yang
penting. Sebab, suatu hukum yang telah dihasilkan melalui proses penyimpulan
hukum, belum tentu dapat diimplementasikan sampai ada upaya lain yang maksimal
untuk memastikan adanya tambatan hukum, yang dalam hal ini disebut dengan
manā¯. Kata “adil” dalam firman Allah swt QS. Al-¯alāq (65): 2,.... وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ .... (... dan persaksikanlah dua orang saksi yang adil di
antara kamu ...) misalnya, telah memiliki makna yang sudah cukup jelas
disimpulkan oleh para ulama. Akan tetapi, pengertian itu masih perlu upaya
lebih lanjut untuk menentukan kriteria apa saja yang harus dipenuhi agar sesuai
dengan makna adil dimaksud. Sebab, kadar keadilan setiap orang itu berbeda; ada
yang tergolong dalam peringkat atas, rendah, menengah, atau mungkin ada
tingkatan lain. Hal inilah yang memerlukan kemampuan berijtihad untuk
menentukan siapa yang memenuhi kriteria adil untuk menjadi saksi.[20]
Hal lain yang bisa pula memperjelas masalah adalah
tentang kriteria faqir ketika ada orang mewasiatkan sebagian hartanya untuk
orang faqir. Dalam hal ini harus ada yang melakukan ijtihād ta¯bīqī untuk
menentukan siapa saja yang masuk dalam kategori faqir ini. Demikian juga dalam
hal ketentuan kewajiban memberi nafkah bagi isteri dan kerabat, diperlukan
adanya ijtihād ta¯bīqī untuk menentukan wajib tidaknya dengan memperhatikan keadaan
orang yang memberi nafkah dan pemberi nafkah. Begitu pula dengan kriteria ibn
sabīl bagi penerima zakat. Hal-hal di atas memang belum diijtihadi, meskipun
secara umum sudah ada simpulan hukum tentang itu. Al-Syā¯ibi berpendapat bahwa
dalam hal-hal seperti di atas tidak cukup hanya sekedar taqlīd, karena al-manā¯
yang terdapat dalam beberapa contoh tersebut belum diijtihadi. Lagi pula,
masing-masing kasus berdiri sendiri sebagai sesuatu yang memang memerlukan
adanya ijtihād ta¯bīqī dalam bentuk tahqīq al-manā¯. Bila sebelumnya sudah ada
upaya ijtihād ta¯bīqī dalam kasus sejenis, maka dalam hal ini bisa saja
dilakukan taqlīd.[21] Meskipun demikian, tetap saja ijtihād ta¯bīqī harus ada
dan masih diperlukan, yakni dalam upaya menyatakan bahwa kasus yang terjadi
belakangan sama dengan kasus sebelumnya yang sudah ada penetapan al-manā¯-nya.
Ijtihād ta¯bīqī dalam pengertian tahqīq al-manā¯[22]
sebagaimana dijelaskan di atas merupakan upaya maksimal seorang mujtahid untuk
menentukan kriteria umum dari sebuah simpulan hukum tertentu. Menentukan
kriteria umum “adil”, umpamanya, adalah tugas seorang mujtahid yang kemudian
dapat diberlakukan kepada setiap mukallaf yang memiliki standar sesuai dengan
kriteria tersebut, sehingga ia dapat diambil kesaksiannya atau untuk
kepentingan lain. Hal semacam ini, dalam pandangan al-Syātibī, dikategorikan
sebagai tahqīq al-manā¯ al-‘āmm.[23] Pada bagian lain, al-Syātibī juga
menyebutkan model kedua, yakni tahqīq al-manā¯ al-khā¡¡. Model kedua ini
merupakan hal yang lebih mendalam dari yang pertama, yakni mencermati segala
hal yang mungkin paling sesuai bagi diri setiap mukallaf, orang per orang, pada
setiap waktu dan situasi. Sebab, tidak setiap mukallaf dapat menerima sebuah
ketentuan tertentu dengan kadar dan ukuran yang sama.[24] Pada bagian terakhir
ini semakin tampak bahwa ijtihād ta¯bīqī adalah permasalahan yang cukup pelik
sehingga tidak setiap orang memiliki kecakapan untuk melakukannya. Hanya
orang-orang yang diberi anugerah Allah berupa hikmah[25] sajalah yang dapat
melakukannya.
Di antara contoh dalam sunnah Rasul adalah jawaban
berbeda dari Rasulullah saw terhadap pertanyaan yang sama dalam situasi yang
berbeda. Beberapa riwayat berikut memberikan gambaran tentang tahqīq al-manā¯
al-khā¡¡ yang dilakukan Rasulullah saw.
a. Jawaban berbeda dari pertanyaan yang sama:
Perbuatan apa yang terbaik ? beberapa riwayat memberikan gambaran bahwa
Rasulullah seringkali memberikan jawaban berbeda tentang sebuah pertanyaan yang
sama dalam situasi yang berbeda. Pertanyaan tentang "perbuatan
terbaik", dijawab oleh Rasulullah sesuai dengan orang yang bertanya. Pada
suatu kesempatan Rasulullah saw menjawab pertanyaan itu dengan menyebutkan
bahwa perbuatan terbaik adalah iman kepada Allah dan rasul-Nya, Jihad fi
sabilillah, dan haji mabrur.[26] Pada kesempatan lain, rasulullah menjawab
pertanyaan yang sama dengan menyatakan bahwa perbuatan terbaik adalah salat
pada waktunya, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad fi sabilillah.[27]
Dalam riwayat lain, Rasul menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih mulia
selain berdoa.[28]
Beberapa riwayat di atas, menjelaskan jawaban
berbeda dari pertanyaan atau tema yang sama. Pada hadis pertama, perbuatan
terbaik adalah iman, jihad dan haji mabrur. Pada hadis kedua, salat pada
waktunya, berbakti kepada orang tua dan jihad. Sedangkan pada hadis ketiga,
perbuatan paling mulia adalah doa. Hal ini bukan berarti Rasulullah saw tidak
punya pendirian, tetapi karena Beliau tahu persis siapa yang dihadapi dan
mengajaknya bicara. Ini membuktikan bahwa Beliau sudah mencontohkan tahqīq
al-manā¯.
b. Perintahkan kepadaku sesuatu. Menyikapi
permintaan semacam ini Rasulullah saw memberikan reaksi yang berbeda,
tergantung orang yang memintanya. Ketika Abū Umāmah mengemukakan pernyataan
ini, Rasulullah menyuruhnya untuk berpuasa.[29] Dalam kesempatan lain, ketika
ada orang yang menyatakan hal yang sama, Beliau menyuruhnya untuk tidak
marah.[30] Pada kesempatan yang berbeda, Rasul menjawabnya dengan perintah
untuk menyatakan keimanan lalu beristiqamah.[31]
Ketika Rasulullah saw dihadapkan pada permintaan
agar memerintahkan sesuatu, sangat tampak jawaban beliau berbeda pada setiap
orang yang memintanya. Berpuasa, larangan marah, beriman dan istiqamah, adalah
jawaban yang berbeda sesuai dengan orang yang meminta Beliau untuk melakukan
sesuatu. Ini juga tentunya didasarkan pada kondisi individu yang dihadapinya.
c. Jihad terbaik. Hal ini menjadi pertanyaan
beberapa sahabat Rasul dalam kesempatan yang berbeda. Di antara jawaban rasul
tentang jihad terbaik adalah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa
zalim.[32] Rasulullah juga pernah menjawab pertanyaan yang sama darah tertumpah
(dalam perang) dan kudanya mati.[33]
Berkaitan dengan jihad pun Rasulullah saw memberikan
jawaban yang berbeda disesuaikan dengan orang yang mempertanyakannya. Dalam hal
ini, tampaknya jihad memiliki dua makna, mengkritisi pemerintah zalim dan
perang fi sabillillah secara fisik.
d. Manusia terbaik. Ketika Rasul ditanya tentang
manusia terbaik, maka jawaban pun bervariasi. Salah satunya, Rasulullah
menjawab bahwa orang yang banyak berzikir lebih baik bahkan dari orang yang
berperang.[34] Dalam kesempatan lain, Beliau menjawab dengan menyatakan bahwa
muslim terbaik adalah orang yang tidak menyakiti orang lain dengan perbuatan
lidah dan tangannya.[35] Rasulullah juga pernah menjawabnya dengan menyatakan
bahwa jihad fi sabilillah dengan jiwa dan hartanya adalah mukmin yang
terbaik.[36] Terkadang, dijawab dengan pernyataan bahwa manusia terbaik adalah
manusia yang memiliki hati bersih dan jujur.[37] Pada kesempatan lain, Rasul
menyatakan bahwa yang terbaik adalah manusia yang umurnya panjang dan
perbuatannya baik.[38] Terkadang, beliau menjawab dengan menyatakan bahwa orang
yang paling bertaqwalah yang terbaik.[39] Kali lain, beliau menyatakan bahwa yang
terbaik adalah orang yang belajar dan mengajarkan al-Quran.[40]
Berkaitan dengan manusia terbaik, tampak sekali
bahwa manusia terbaik yang dikehendaki memiliki beberapa standar. Ini bisa
berarti bahwa bisa saja orang menjadi terbaik dalam berbagai hal yang
digelutinya atau bahkan dengan berbagai perilaku yang diungkap dalam
hadis-hadis di atas. Zikir, jihad, suci hati, takwa, mempelajari al-Quran dan
sebagainya, sesungguhnya adalah upaya seseorang untuk menjadi dekat dengan
Allah swt yang pada akhirnya menjadikannya orang terbaik yang nantinya menjadi
sosok manusia yang dapat membawa misi rahmatan lil ‘ālamīn.
e. Beri aku wasiat. Menyikapi permintaan ini, Rasul
saw juga memberikan sika yang berbeda sesuai dengan siapa yang dihadapinya.
Salah satunya, beliau menjawab permintaan ini dengan melarang marah.[41]
Terkadang menjawabnya dengan menyuruhnya bertaqwa kepada Allah swt.[42]
Adakalanya beliau menjawabnya dengan perintah taqwa, jihad, dan zikir.[43]
Pernah juga Beliau menjawabnya dengan perintah untuk berhati-hati dengan apa
yang merusak telinga.[44] Terkadang, menjawabnya dengan menyuruh bertaqwa dan
memilih majlis yang baik dalam bergaul.[45] Suatu kali, beliau menjawabnya
dengan melarang untuk menjadi pelaknat.[46] Dan pernah juga mewasiatkan agar bertaqwa,
mengikuti perbuatan buruk dengan yang baik, dan bergaul dengan akhlaq
terpuji.[47]
Ketika Rasulullah saw dimintai wasiat oleh
seseorang, maka beliaupun menjawab sesuai dengan kondisi orang yang meminta
wasiat itu. Hal itu tergambar jelas dari jawaban-jawaban Rasul dalam beberapa
riwayat di atas. Jangan marah, takwa, zikir, takbir, jihad, jangan melaknat,
bergaul dengan akhlak yang baik, dan berbagai hal lain diungkap sebagai wasiat
Rasul kepada orang yang memintanya.
Masih banyak lagi riwayat seperti di atas yang
menunjukkan bahwa penyebutan suatu perbuatan atau sikap tertentu sebagai
sesuatu yang dianggap utama bukanlah sesuatu yang mutlak, tetapi sangat
tergantung dengan situasi dan kondisi, baik individu terkait maupun waktu
tertentu. Jawaban atau komentar variatif Rasulullah saw sesuai dengan kondisi
obyektif masing-masing orang yang dihadapi, mengisyaratkan kemampuan Beliau
dalam mencermati solusi terbaik bagi setiap individu yang tentunya berbeda
situasi dan kondisinya.[48]
Para sahabat juga memiliki pemahaman yang sangat
baik dalam hal ijtihād ta¯bīqī dengan metode tahqīq al-manā¯ semacam ini. Para
sahabat sangat mengerti dengan maqasid syari’ah, sehingga mereka tidak segan
untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasul. Banyak
peninggalan berupa riwayat yang sampai kepada kita melalui para ulama
terdahulu. Berikut adalah contoh-contoh ijtihād ta¯bīqī para sahabat dengan
menggunakan metode tahqīq al-manā¯:
a. Ijtihad 'Umar ibn al-Khattāb
Beberapa kasus yang menjadi perhatian para
intelektual muslim dan menganggapnya berani menyalahi teks adalah kasus-kasus
muallaf, tidak memotong tangan pencuri, talak tiga dengan satu lafadh, tidak
melakukan qisas terhadap massa atas pembunuhan seseorang, dan tidak membagikan
ghanimah (rampasan perang).
Dalam hal muallaf, 'Umar menolak untuk memberikan
bagian mereka. Hal ini dianggap bertentangan dengan QS. Al-Taubah [9]: 60. Ayat
ini menjelaskan tentang delapan kelompok manusia yang berhak mendapat bagian
zakat, salah satunya adalah mu`allaf, yakni orang yang diharapkan hatinya
melunak. Bagi 'Umar, sifat “melunakkan hati” bukan merupakan hukum yang tetap,
tetapi merupakan “al-manā¯” yang bila ia ada maka hukum berlaku, tetapi bila
tidak ada maka hukum tidak berlaku. Oleh karenanya, ketika umat Islam tidak
lagi memerlukan kelunakan hati mereka, maka bagian zakatpun tidak diberikan
kepada mereka.[49]
Kasus lain, 'Umar tidak memotong tangan pencuri pada
musim paceklik. Hal ini dianggap bertentangan dengan QS. Al-Maidah [5]: 38.
Padahal 'Umar dengan kecerdasannya melakukan ijtihad dengan metode tahqīq
al-manā¯ dengan melakukan konfirmasi al-manā¯ terhadap situasi yang
terjadi[50]. Dalam hal ini, beberapa riwayat menyebutkan pengecualian terhadap
pelaksanaan hadd, di antaranya adalah pernyataan Rasul untuk meninggalkan
pelaksanaan hadd sebisa mungkin.[51]
Situasi paceklik yang terjadi pada sebagian besar
masyarakat dianggap oleh 'Umar sebagai salah satu hal yang menyebabkan
pelaksanaan hudd ditunda atau bahkan tidak dilakukan. Sehingga, dalam hal ini
'Umar tidak meninggalkan teks, tetapi justru melaksanakannya secara
proporsional.
Demikian juga dengan tiga kasus lainnya, 'Umar telah
meninggalkan hal yang sangat berharga untuk generasi berikutnya berupa
contoh-contoh kasus dan penyelesaiannya dengan menggunakan tahqīq al-manā¯
sebagai metode ijtihād ta¯bīqī yang terkesan seolah meninggalkan teks, padahal
sesungguhnya hal itu merupakan upaya implementasi hukum dengan kecerdasan
ijtihadnya. Salah satu peninggalan 'Umar ibn al-Khattāb yang menjadi pedoman,
bahkan sampai pada masa modern sekarang ini, adalah beberapa prinsip dalam
peradilan.[52]
b. Ijtihad Mu’ā© ibn Jabal
Satu hal yang layak dijadikan contoh tahqīq al-manā¯
yang dilakukan Mu’ā© ibn Jabal adalah konversi zakat pertanian menjadi pakaian yang
mudah di dapat di Yaman tetapi sangat berharga bagi penduduk Madinah yang
sangat memerlukan pakaian.[53]
Konversi yang difatwakan oleh sahabat Mu’ā© ibn
Jabal sangat kental dengan nuansa tahqīq al-manā¯ dengan menggantikan zakat
pertanian dengan harga yang kemudian dikonversi lagi dalam bentuk pakaian.
Bukan hanya mereka berdua yang telah melakukan
ijtihād ta¯bīqī dalam bentuk tahqīq al-manā¯. Kasus-kasus seperti pemilihan Abu
Bakar sebagai khalifah pertama setelah Rasulullah saw wafat, memerangi kelompok
yang menolak membayar zakat, Abu Bakar mengangkat 'Umar sebagai khalifah
penggantinya, pengumpulan sampai penulisan al-Quran, dan berbagai kasus lain
yang telah dilakukan para sahabat merupakan contoh kongkrit ijtihād ta¯bīqī
dalam bentuk ini.
Dalam hal hukum, para ulama juga menempuh ijtihād
ta¯bīqī dengan menggunakan metode tahqīq al-manā¯ al-khā¡¡ ini. Salah satu
contoh untuk hal ini adalah firman Allah swt dalam QS. Al-Maidah [5]: 33[54].
Ayat ini tegas menjelaskan perihal hukuman yang harus dijalankan terhadap para
pelaku hirābah (pembegalan atau perampokan). Pemahaman langsung ayat ini,
sebagaimana dipegangi oleh para ulama, menunjukkan pilihan hukuman yang harus
dijalankan antara membunuh dan menyalib atau memotong tangan dan kaki, atau
membuang para pelakunya ke pengasingan[55]. Akan tetapi, sebagian ulama
memahami adanya isyarat dalam ayat tersebut yang menunjukkan adanya pembagian
hukum yang harus disesuaikan dengan tingkat pidana pembegalan yang terjadi.[56]
Tentunya hal ini memerlukan adanya ijtihād ta¯bīqī dengan menggunakan metode
tahqīq al-manā¯ al-khā¡¡ untuk menentukan hukuman yang paling tepat untuk
pelaku pembegalan tersebut.[57] Bila si pelaku membunuh dan mengambil harta
korbannya, maka ia harus dibunuh dan disalib; bila ia hanya mengambil harta
tanpa pembunuhan, maka hukumannya adalah potong tangan dan kaki secara
menyilang; bila ia menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat akibat ulahnya,
meskipun tanpa pembunuhan dan perampasan harta, maka ia harus diasingkan.[58]
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa ijtihād
ta¯bīqī dengan menggunakan metode tahqīq al-manā¯ harus dilakukan setiap masa
dan di setiap tempat sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan situasi yang
ada pada lingkungan dan tempat tertentu. Secara umum, ijtihād ta¯bīqī dalam
bentuk ini dilakukan untuk mendapatkan simpulan tentang standar dan ukuran
sesuatu, yang kemudian dicocokkan secara khusus pada individu dengan
penyesuaian tertentu.
2. Konsep al-nadhar ila ma`ālāt al-af’āl
Suatu perbuatan yang dibenarkan dalam hukum Islam
untuk dilakukan, bisa saja berujung pada kebalikan akibat yang hendak dituju,
baik karena alasan maslahat yang mungkin dicapai, ataupun karena alasan
mafsadah yang mungkin ditinggalkan. Dengan kata lain, maslahat yang pada
mulanya ingin dicapai melalui perbuatan itu, justeru berakibat mafsadah yang
bisa saja setara kadarnya atau bahkan lebih. Hal ini tentunya bisa saja menjadi
penghalang bagi kondisi perbuatan itu yang pada mulanya boleh dilakukan.
Demikian juga sebaliknya, bisa saja sebuah perbuatan
yang pada mulanya tidak diperkenankan oleh hukum untuk dilakukan berbalik
menjadi sesuatu yang diperbolehkan, disebabkan alasan mafsadah yang mungkin
timbul atau maslahat yang ingin dicapai, berakhir pada situasi sebaliknya.
Dengan kata lain, mafsadah yang diperkirakan akan muncul sebagai akibat
perbuatan itu, justeru berbalik membawa maslahat yang kadarnya setara atau
mungkin lebih. Hal ini, tentunya, mempengaruhi boleh tidaknya suatu perbuatan.
Upaya untuk mencermati hasil akhir dari sebuah perbuatan
yang mungkin timbul, baik kemungkinan maslahat maupun kemungkinan mafsadah
menjadi suatu metode tersendiri untuk mendapatkan makna representatif dari
maqā¡id al-syarī’ah. Dalam teori yang diungkap oleh al-Syā¯ibi, hal semacam ini
disebut dengan al-na§ar fi ma`ālāt al-af’āl[59] (Mencermati akibat/hasil akhir
sebuah perbuatan). Hasil akhir ini bisa berupa maslahat dan bisa juga berupa
mafsadah. Dalam hal ini, perbuatan seorang mukallaf merupakan sarana yang
mengantar menuju maslahat, sehingga bisa disebut sebagai sabab. Sementara
maslahat adalah tujuan yang hendak dicapai melalui perbuatan itu, sehingga
dapat diistilahkan dengan ma`ālāt al-asbāb yang memiliki pengertian sama dengan
ma`ālāt al-af’āl.
Dalam hukum Islam, taklīf (pembebanan hukum)
ditujukan untuk merealisasikan maslahat bagi manusia, baik di dunia maupun di
akhirat[60]. Untuk maslahat di akhirat, maka tujuannya adalah agar mukallaf
dapat menjadi ahli sorga, bukan ahli neraka. Sedangkan untuk maslahat di dunia,
maka bila dicermati, setiap perbuatan sesungguhnya merupakan proses menuju
maslahat. Maslahat atau ma`ālāt al-asbāb pada hakekatnya merupakan representasi
dari maqā¡id al-syari’ah yang dikehendaki oleh al-Syāri’ (pembuat syariah) dari
asbāb (perbuatan) mukallaf. Sementara mujtahid adalah orang yang memiliki
kapasitas untuk menetapkan hukum atas perbuatan mukallaf, sehingga salah satu
hal yang harus dilakukan, salah satunya adalah mencermati ma`ālāt al-asbāb atau
dengan kata lain ma`ālāt al-af’āl.
Untuk melihat betapa pentingnya peran seorang
mujtahid dalam menetapkan hukum atas sebuah perbuatan mukallaf dengan
menggunakan pertimbangan ma`ālāt al-af’āl, salah satunya dengan mencermati QS.
Al-An'ām [6]: 108[61]. Ayat ini menjelaskan bahwa memaki berhala sembahan kaum
musyrik adalah tindakan menghina diri mereka, kaum musyrik itu, dan merendahkan
perbuatan mereka, perbuatan syirik. Akan tetapi, perbuatan mencaci maki mereka
akan berakibat pada tindakan balik mereka mencaci dan memaki Allah swt, sebagai
sembahan kaum mukmin. Padahal, perbuatan mereka menghina Allah swt sekali saja
tidak sebanding dengan cacian kepada sesembahan mereka meskipun ribuan kali.
Artinya, balasan yang mereka lakukan berupa cacian terhadap Allah swt lebih
besar dari cacian terhadap sembahan mereka. Oleh karena itu, perbuatan mencaci
patung berhala dan sesembahan kaum musyrik dilarang agama. Sebab, sekalipun
terkandung maslahat dalam perbuatan itu sehingga boleh dilakukan pada mulanya,
tetapi dengan melihat pada ma`āl (dampak/akibat), maka larangan itu ada
kemudian.[62]
Rasulullah saw pun banyak memberikan contoh
penggunaan pertimbangan ma`āl dalam memberikan putusan hukum tertentu. Di
antaranya adalah keputusan Rasulullah untuk menolak saran Umar ibn Khattab yang
mengusulkan agar Abdullah ibn Ubay ibn Salul dibunuh saja, karena meskipun dia
mengaku muslim, ternyata banyak merugikan kaum muslimin saat itu. Keputusan itu
dilandaskan pada pertimbangan situasi yang sangat mungkin bukan menjadi lebih
baik, tetapi malah lebih runyam, karena sangat dimungkinkan, tuduhan miring
orang kafir terhadap apa yang dilakukan, bila pembunuhan ibn Salul tersebut
dilakukan.[63]
Riwayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa
Rasulullah tidak mengizinkan Umar melakukan pembunuhan terhadap orang yang
sudah pasti munafik dengan pertimbangan akibat dari pembunuhan itu. Jawaban
beliau yang mengkhawatirkan pembicaraan orang-orang nantinya merupakan
pemikiran cerdas tentang ma`āl (akibat/hasil akhir) dari perbuatan itu.
Contoh lain berkaitan dengan pertimbangan ma`āl yang
telah dilakukan Rasulullah saw adalah kasus orang yang buang air seni di dalam
masjid. Saat itu, Rasul membiarkan saja, bahkan melarang sahabat lain yang
hendak menghentikan orang tersebut dari perbuatannya, buang air kecil di dalam
masjid. Setelah selesai, barulah Rasul memberitahukan bahwa hal itu tidak layak
dilakukan di dalam masjid, tempat umat Islam bersujud.[64]
Begitu bijak tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah
saw. Tindakan bijak beliau ini tidak lepas dari pertimbangan ma`āl. Sebab, bila
saat itu Beliau menghentikan orang itu dari perbuatannya, mungkin akan
menimbulkan dampak yang tidak sehat pada diri yang bersangkutan, terutama pada
kemungkinan menimbulkan penyakit pada saluran kencing, di samping kemungkinan
akan tertempelnya najis pada pakaiannya dan tentunya juga di masjid itu.
Masih banyak contoh lain berkaitan dengan pelarangan
yang dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap hal-hal yang boleh diperbuat tetapi
dilarang untuk orang tertentu karena sebab tertentu. Perbuatan qiyām al-lail,
puasa, dan tidak menikah, bukan merupakan perihal yang diharamkan, tetapi
kemudian Rasulullah saw mengharamkannya saat nampak situasi yang menuju sesuatu
yang merusak.[65]
Beberapa contoh di atas mengisyaratkan bahwa suatu
perbuatan boleh jadi pada mulanya boleh dilakukan, tetapi kemudian dilarang
karena dikhawatirkan timbulnya dampak negatif di balik perbuatan itu. Beberapa
hal menjadi sarana untuk sampai pada pertimbangan ma`al ini, di antaranya
kaidah-kaidah tentang sadd al-©arī’ah, raf’ al-haraj, dan daf’ al-«arar.
Bagi al-Syā¯ibī, kaidah dasar pada konsep ma`ālāt
al-af’āl mencakup beberapa hal inti, di antaranya : kaidah al-©arā`i’, kaidah
al-hiyal, dan kaidah murā’āt al-khilāf.[66] Berikut adalah perincian dari
kaidah-kaidah di atas:
a. kaidah al-©arā`i’
Secara bahasa, kata al-©arā`i’ (الذرائع) bentuk plural
dari kata الذريعة yang berarti الوسيلة والسبب إلى
الشئ[67] (jalan dan sebab
menuju sesuatu). Secara terminologis, Badrān Abul ‘Ainain Badrān
mendefinisikannya dengan : الموصل إلى الشيء الممنوع
المشتمل على مفسدة (hal yang
menyampaikan kepada sesuatu yang dilarang yang mengandung mafsadah) seperti
melihat aurat wanita lain dapat menyebabkan zina, maka pelarangan terhadap
melihat aurat wanita merupakan sadd al-©arī’ah. Ia juga bisa didefinisikan
dengan pernyataan ""الموصل إلى الشيء المشروع
المشتمل على مصلحة (hal yang
menyampaikan kepada sesuatu yang dibolehkan yang mengandung maslahat) seperti
upaya untuk sampai ke Baitullah adalah merupakan ©arī'ah untuk sampai kepada
sesuatu yang disyariatkan juga, yakni ibadah haji.[68]
Berbeda dengan Badrān, Sya’bān lebih dulu
menjelaskan penggunaan kata sadd sebelumnya atau tidak. Penggunaan kata sadd
dilakukan oleh fuqaha yang mendefinisikannya hanya pada sesuatu yang dilarang
saja, tetapi bagi yang berpendapat bahwa ©arī’ah berlaku juga untuk sesuatu
yang dibolehkan, maka mereka tidak menggunakan kata sadd. Oleh karena itu, ia
mendefinisikannya dalam dua model. Pertama, jalan menuju sesuatu, baik yang
dibolehkan maupun yang dilarang. Definisi ini dikemukakan oleh al-Qarāfī (wafat
684 H) dalam al-Furūq dan Ibn al-Qayyim (wafat 751 H) dalam I’lām
al-Muwaqqi’īn. Dalam kaitan ini, ©arī’ah memiliki empat kemungkinan, perintah
yang menjadi sarana sampai ke perintah lain seperti upaya untuk menuju shalat
Jum’at; atau perintah yang menjadi sarana untuk sesuatu yang dilarang, seperti
jual beli terkadang sampai pada jual beli yang dilarang; larangan yang
berakibat pada larangan yang lain, seperti perbuatan adu domba menyebabkan pada
adanya pembunuhan; dan larangan berakibat pada sesuatu yang dibolehkan, seperti
kesaksian palsu untuk mendapatkan suatu hak. Kedua, ia hanya merupakan jalan
menuju sesuatu yang dihindari. Kelompok ini mendefinisikannya sebagai sesuatu
yang tampaknya membawa maslahat tetapi berakibat pada adanya mafsadah. Definisi
semacam ini di antaranya diungkap oleh al-Syā¯ibi, Ibn Rusyd (wafat 520 H),
al-Qur¯ūbī (wafat 671 H), Ibn Najjār dan lainnya.[69] Bagi kelompok kedua ini,
©arī’ah hanya berkaitan dengan sesuatu yang berakibat pada mafsadah, sehingga
selalu dikaitkan dengan kata sadd.
Sya’bān juga menambahkan bahwa Ibn Taimiyah (wafat
728 H) mencoba memberikan pilihan ketiga dengan menggabungkan dua pendapat
sebelumnya dengan menyatakan bahwa yang pertama mengungkap kata tersebut secara
mutlak sehingga bisa mengarah pada sadd (menutup) dan fath (membuka).[70]
Tampaknya, Ibn Taimiyah hendak menyatakan bahwa
dalam definisi pertama yang menyatakan zarī’ah secara mutlak, hendaknya dibawa
pada sadd, bukan fath. Oleh karena itu, Sya’ban kemudian mencoba menggabungkan
ketiganya dan menyatakan bahwa perbedaan yang muncul dari ketiga definisi
sesungguhnya hanyalah perbedaan kata saja. Karena mereka sesungguhnya
sependapat bahwa jalan menuju haram adalah haram dan jalan menuju wajib adalah
wajib. Hal ini sejalan dengan kaidah ما لايتم الواجب
إلا به فهو واجب (sesuatu yang
tidak sempurna sebuah kewajiban tanpanya adalah wajib).[71]
Mencermati beberapa definisi di atas, dapat dipahami
bahwa zarī’ah adalah suatu jalan menuju sesuatu, baik itu maslahat maupun
mafsadah. Bila yang dituju adalah sebuah jalan maslahat maka hal itu harus
dibuka dan tidak boleh ditutup, tetapi bila jalan menuju mafsadah, maka harus
ditutup dan tidak boleh diberi kesempatan untuk mencapai mafsadah itu.
Hasil penelitian ulama terdahulu menunjukkan bahwa
segala hal yang dilarang selalu saja termasuk berbagai jalan menuju ke sana
juga dilarang. Demikian juga dengan sebuah perintah, maka jalan menuju ke
perbuatan yang diperintahkan itu juga diperintahkan. Zina adalah sebuah
perbuatan yang diharamkan dan melihat aurat wanita lain dapat menjadikan orang
berbuat zina, maka hal itu juga dilarang. Salat Jumat adalah sebuah perbuatan
yang diperintahkan. Meninggalkan jual beli sebagai bentuk upaya menuju salat
Jumat juga menjadi wajib.
b. kaidah al-hiyal
Kaidah lain yang dapat digunakan dalam ijtihād
ta¯bīqī adalah kaidah al-hiyal. Secara bahasa, al-hiyal merupakan bentuk jama’
dari dari kata الحيلة yang berarti الحِذْقُ وجَوْدَةُ النظر
والقدرةُ على دِقَّة التصرُّف[72]
(kecerdikan, kepandaian menganalisa, dan kemampuan merespons dengan tajam). الحيلة juga
berarti الرُّوَيْغَة[73] (alasan yang dibuat-buat untuk melepaskan diri[74]). Ibrāhīm
Unais menambahkan makna kata ini dengan وسيلة بارعة
تحيل الشيء عن ظاهره ابتغاء الوصول إلى المقصود[75] (jalan cerdas yang mengalihkan sesuatu dari tampaknya untuk
sampai ke tujuan). Di antara ulama, ada juga yang menggunakan istilah
ihtiyāl[76] (mencari hilah).
Dalam terminologi usul fiqh, kata ini memiliki
pengertian yang tidak jauh berbeda dengan maknanya secara etimologis. Ibnu
Taymiyah memaknai kata ini dengan “suatu cara cerdik untuk dapat sampai ke
tujuan, yang baik ataupun yang buruk. Akan tetapi, seringkali kata ini diungkap
untuk mengupayakan agar yang haram menjadi halal”[77]. Ibn al-Qayyim
memahaminya sebagai “penipuan dengan menunjukkan sesuatu yang diperbolehkan
untuk sampai kepada sesuatu yang diharamkan”[78]. Menurut al-Syā¯ibi, pada
hakekatnya, kata ini memiliki pengertian : mendahulukan perbuatan yang
tampaknya boleh untuk menggantikan suatu hukum dan mengalihkannya ke hukum
lain. Dalam hal ini, konsep al-ma`āl-nya adalah mencari celah untuk menyiasati
syari’ah.[79]
Salah satu contoh al-hiyal adalah menghibahkan
sebagian harta menjelang haul untuk menyiasati agar tidak terkena zakat karena
tidak sampai nisab. Pada dasarnya, hibah hukumnya adalah boleh. Andaikata hibah
itu dimaksudkan untuk menghindarkan hukum zakat dalam arti berniat untuk
menyiasati hukum, maka hibah itu menjadi upaya menuju kerusakan dan menjadi
sesuatu yang diharamkan.
Dalam penjelasan tentang al-hiyal dan al-tahayyul,
al-Syā¯ibi menjelaskan bahwa sesuatu yang tampaknya boleh dialihkan ke hukum
yang lain menjadi tidak boleh atau sebaliknya. Dalam penjelasannya lebih
lanjut, ia menjelaskan bahwa Allah swt telah mewajibkan dan mengharamkan
sesuatu, terkadang secara mutlak, terkadang terikat dengan syarat atau sebab
tertentu. Shalat, puasa, haji, dan hal-hal seperti ini diwajibkan. Sementara
zina, riba, membunuh dan sejenisnya diharamkan. Di samping itu, Allah juga
mewajibkan dan mengharamkan sesuatu terikat dengan sebab-sebab tertentu seperti
kewajiban kafarat disebabkan na©ar dan keharaman memanfaatkan harta karena
harta itu hasil curian. Bila ada suatu sebab yang menjadikan sebuah kewajiban
sebagai sesuatu yang tidak lagi wajib; seperti salat empat rakaat bagi musafir
bisa menjadi dua rakaat dan melakukan safar agar dapat berbuka puasa. Atau yang
menjadikan sesuatu yang haram sebagai sesuatu yang halal secara lahir; seperti
menghibahkan sebagian harta agar tidak wajib membayar zakat. Inilah yang
disebut al-hīlah dan al-tahayyul ; menjadikan yang wajib menjadi tidak wajib,
bahkan yang haram menjadi halal, atau yang halal menjadi haram.[80]
Bagi al-Syā¯ibi, al-hilah seperti digambarkan di
atas adalah sesuatu yang diharamkan dan tidak boleh dilakukan. Banyak ayat dan
hadis yang diungkap sebagai dalil pengharaman atas al-hīlah seperti di atas.
Salah satu ayat yang menunjukkan pengharamannya adalah ayat talaq dalam QS.
Al-Baqarah (2): 229[81]. Ayat ini membatasi talaq hanya dua kali. Sebelumnya,
talaq dilakukan untuk menyiksa kaum wanita dengan melakukan talaq, lalu
dirujuknya kembali saat iddahnya menjelang selesai, kemudian ditalaq lagi, lalu
rujuk dan seterusnya dilakukan berulang-ulang tanpa ada batasan.[82]
Dalam hadis, ditemukan banyak hal yang ditinggalkan
Rasulullah saw berkaitan dengan pengharaman al-hilah ini. Salah satu contohnya
adalah pengharaman melakukan rekayasa pencampuran atau pemisahan harta untuk
menyiasati kewajiban zakat.[83] Hadis ini menegaskan bahwa merekayasa jumlah
harta agar dapat, atau tidak dapat berzakat, atau agar zakatnya sedikit, atau
sebaliknya adalah termasuk perbuatan yang diharamkan. Perbuatan lain yang
termasuk dalam kategori ini yang diungkap oleh al-sunnah adalah perbuatan suap
menyuap[84] dan pernikahan sela (nikāh muhallil)[85].
Meskipun demikian, bagi al-Syā¯ibi, tidak semua
al-hīlah tidak boleh dilakukan. Sebab, pada dasarnya setiap hukum yang
disyariatkan adalah untuk kepentingan maslahat manusia. Maka, bila al-hīlah itu
bertentangan dengan maslahat, maka ia tidak boleh dilakukan. Berbeda halnya
bila ia tidak bertentangan dengan maslahat, maka tentunya hal itu sangat
mungkin dilakukan. Bahkan, syariah pun dengan tegas memperbolehkannya.
Oleh karena itu, al-Syā¯ibi mengelompokkan al-hīlah
menjadi tiga kelompok, antara lain:
1. al-hīlah yang disepakati tidak boleh, bila
menyebabkan yang wajib tampak seperti tidak wajib atau yang haram tampak halal,
seperti minum obat tidur saat masuk waktu shalat agar tidak shalat karena
hilang akal disebabkan tertidur. Juga, menghibahkan sebagian harta agar tidak
terkena kewajiban haji;
2. al-hīlah yang disepakati kebolehannya dilakukan,
bila untuk membela hak, mencegah kebatilan, selamat dari haram, dan menuju ke
halal. Cara yang digunakan pun bisa yang dibolehkan, bisa juga yang diharamkan;
hanya, bila cara itu diharamkan, maka ia berdosa menggunakannya meskipun
tujuannya tidak diharamkan. Dalam situasi perang, hal ini sangat diperlukan,
karena perang adalah siasat. seperti pernyataan “kafir” dalam desakan dan
ancaman keterpaksaan;
3. al-hīlah yang menjadi perdebatan kebolehan atau
ketidakbolehannya. Hal ini disebabkan tidak adanya petunjuk yang pasti baik
terkait dengan kelompok pertama, ataupun kelompok kedua; juga tidak ada
penjelasan yang menyatakan bahwa ada maksud tertentu dari al-Syāri’ dalam hal
itu atau ada hal yang bertentangan dengan maslahat. Sebagian fuqaha menyatakan
bahwa ihtiyāl tidak bertentangan dengan maslahat, maka menurut mereka hal itu
dibolehkan; sebagian lain menyatakan sebaliknya, maka ihtiyāl menurut mereka
tidak boleh dilakukan.
Menyikapi al-hiyal, para fuqaha memiliki pandangan
yang berbeda. Al-Syā¯ibi menyebutkan bahwa di antara yang membolehkannya adalah
Abu Hanifah. Dia membolehkan hal ini hanya pada hukum individu. Sesuatu yang
dilakukan terhadap harta dengan tujuan apapun, termasuk yang menyebabkannya
tidak wajib zakat, seperti hibah, membayar hutang, dan sebagainya adalah boleh,
karena di dalamnya terdapat maslahah bagi pelakunya, dengan syarat tidak
bermaksud untuk menentang hukum dengan menolak membayar zakat. Hal ini
disebabkan karena penentangan secara terang-terangan terhadap hukum berarti
melawan al-Syāri’. Akan tetapi, bila hal itu tidak secara langsung, tetapi
merupakan efek dari sebuah perbuatan, maka hal itu dianggap tidak menentang
hukum dan diperbolehkan.[86]
Mencermati pembahasan di atas, sangat tampak bahwa
al-hiyal al-syar’iyyah (yang boleh) atau ghair al-syar’iyyah (yang tidak boleh)
sangat tergantung kepada ma`āl atau dampak yang dihasilkannya. Apabila kenyataan
akhirnya bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’ atau maslahat yang dituju
syara’ maka ia menjadi hīlah ghair syar’iyyah (yang tidak boleh dilakukan).
Tetapi, bila sebaliknya, tidak dituju meskipun dengan itu gugur juga kewajiban
zakat umpamanya, maka hal seperti ini dianggap sebagai hīlah syar’iyyah (yang
boleh dilakukan).
c. kaidah murā’āt al-khilāf
Secara bahasa, murā’āt al-khilāf berarti
mempertimbangkan perbedaan pendapat. Secara terminologis, ‘Allāl al-Fāsi
mendefinisikannya sebagai إعطاء كل واحد من الدليلين
حكمه[87] (memberikan hukum
bagi masing-masing dalil dari dua dalil yang berbeda). Al-Syā¯ibi menjelaskan
hal ini bahwa: sesuatu yang dilarang oleh syara’ bila terjadi, maka kejadian
itu tidak harus menjadi sebab untuk dibolehkannya berbuat aniaya kepadanya
dengan melebihkan hukuman dari apa yang telah ditetapkan syara’. Gha¡b
(memanfaatkan milik orang lain tanpa izin) umpamanya, secara syara’ adalah
perbuatan yang terlarang, tetapi bila sudah terjadi, maka orang yang haknya
di-gha¡b, berhak untuk mendapatkan haknya, tetapi orang yang telah melakukan
ghasb tidak harus mendapatkan balasan melebihi apa yang telah dilakukannya.
Maka, bila pelaku dituntut untuk mengganti yang di-gha¡b-nya sesuai nilainya,
maka hal itu adalah sebuah bentuk keadilan. Tetapi bila melebihi itu maka hal
itu tidak benar.[88]
Al-Fāsi menyebutkan bahwa konsep ini diakui oleh
Mālik sebagai bagian dari konsep istihsān dan dianggap oleh al-Qabbāb dari
kalangan Mālikiyyah sebagai salah satu konsep terbaiknya.[89] Pernikahan tanpa
wali adalah salah satu hal yang diperselisihkan keabsahannya. Dalam pandangan
Mazhab Maliki, pernikahan semacam ini termasuk salah satu yang harus dinyatakan
faskh[90] (batal). Argumen yang digunakan dalam hal ini adalah hadis riwayat
al-Tirmizi yang menjelaskan bahwa nikah tanpa wali adalah batil, atau
dinyatakan tidak sah.[91]
Hadis ini dengan tegas menyatakan bahwa nikah tanpa
izin walinya adalah batal. Akan tetapi, Mazhab Maliki berpendapat bahwa bila
nikah ini telah terjadi, maka faskh harus dilakukan dengan talak, wanita berhak
atas mahar, dan bahkan berhak atas waris. Hal ini merupakan bentuk perhatian
ulama mazhab Maliki terhadap perbedaan yang terjadi di kalangan para fuqaha.
Adanya perbedaan pendapat dalam hal status hukum wanita yang menikah tanpa wali
menjadi bahan pertimbangan bagi mazhab Maliki dalam kasus ini, sehingga
meskipun menurut pendapatnya nikah semacam ini dianggap faskh, tapi tetap
memberikan hak atas mahar dan waris pada wanita yang telah terlanjur menikah
tanpa wali. Inilah yang dimaksud dengan murā’āt al-khilāf.
Pendirian semacam ini tampak sekali dibangun di atas
konsep ma`ālāt al-af’āl dengan memperhatikan dampak negatif yang sangat mungkin
terjadi bila harus mempertahankan pendapat lain yang dianggap lebih kuat,
padahal pernikahan tanpa wali telah terjadi. Bila hanya berpegang pada satu
pendapat saja dan tidak mempertimbangkan apakah kasus itu telah terjadi atau
belum, tentu akan timbul mafsadah yang lebih besar lagi.
Oleh karenanya, nikah yang semula dinilai sebagai nikah
yang fāsid dan harus di-faskh, setelah terjadi, ia diposisikan sebagai nikah
yang sah dalam akibat hukumnya. Bila tidak demikian, maka hukumnya adalah zina,
padahal para ulama sepakat bahwa kasus ini tidak termasuk dalam kasus zina.[92]
Di samping contoh di atas, al-Syā¯ibi juga
mengungkap banyak contoh lain, di antaranya: al-qar«, sesungguhnya ia asalnya
adalah riba, karena merupakan tukar menukar dirham dengan dirham pada masa yang
akan datang. Tetapi, ia dihalalkan karena di dalamnya terdapat kemudahan dan
keluasan bagi orang-orang yang memerlukan itu. Begitu juga dengan berbagai hal
yang diberikan hukum rukh¡ah, seperti salat jama’, qasr, salat khauf, berbuka
puasa bagi musafir, dan sebagainya; pada hakekatnya adalah sekumpulan hukum
yang ada dengan mempertimbangkan konsep ma`āl dalam mencapai maslahah dan
menghindari mafsadah.
Dari contoh di atas, sangat tampak bahwa seorang
mujtahid dapat saja mengalihkan suatu hukum dari yang kuat kepada hukum yang
lebih lemah disebabkan pertimbangan ma`āl, bila dipandang lebih memenuhi
maslahat. Cara demikian ini merupakan salah satu kaidah dalam ijtihād ta¯bīqī .
Tampaknya dalam konsep al-Syā¯ibi, ijtihād ta¯bīqī
dengan mempertimbangkan konsep ma`ālāt al-af’āl dilakukan dengan menggunakan
kaidah-kaidah tentang ©arī’ah, al-hiyal, dan murā’āt al-khilāf. Tiga kelompok
kaidah di atas adalah sarana untuk menuju istihsān untuk mencapai maqā¡id
syarī’ah yang telah disepakati, yakni bahwa syari’ah Islam diturunkan untuk
menuju kemaslahatan umat.
Dengan demikian, ijtihād ta¯bīqī dalam konsepsi yang
dikembangkan oleh al-Syatibi adalah ijtihad dengan menggunakan dua konsepsi
besar, yakni tahqīq al-manā¯ dan ma`ālāt al-af’āl. Dengan mempergunakan dua hal
ini, ijtihad dapat dilakukan oleh mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam
bentuknya yang kedua, ijtihād ta¯bīqī .
D. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
ijtihād ta¯bīqī yang dimaksud adalah upaya maksimal seorang faqih dalam
mengimplementasikan hukum hasil istinbā¯ ke dalam realitas kehidupan. Berbeda
dengan istilah ta¯bīq al-syarī’ah atau ta¯bīq al-ahkām. Yang cenderung dimaknai
sebagai penerapan hukum atau penegakan hukum yang lebih berkonotasi pada
positivisasi hukum melalui pembentukan undang-undang dan atau sejenisnya yang
memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Salah satu ulama yang telah mengemukakan konsep
ijtihad ta¯bīqī adalah Abu Ishaq al-Syatibi yang diungkap dalam karya
monumentalnya al-Muwafaqat fi Usul al-Syariah. Dalam konsep yang
dikembangkannya, ijtihād ta¯bīqī merupakan ijtihad dengan menggunakan dua
konsepsi besar, yakni tahqīq al-manā¯ dan al-nadhar ila ma`ālāt al-af’āl.
[1]Ibrāhīm Unais dkk. (ed.), al-Mu’jam al-Wasīt,
(Cairo: Dārul Ma’rifah, 1972), h. 142, Lihat juga, Muhammad ibn Mukarran ibn
Manzur al-Ifrīqi al-Masri, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dar Sadir, tth.), Juz 3. h.
133
[2]Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus
Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1558
[3]Ibrāhīm Unais dkk. (ed.), al-Mu’jam al- Wasī¯, h.
142
[4]Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Ali ibn Yūsuf al-Syairāzi
al- Fairuz ābādi, al-Luma’ fi U¡l al-Fiqh, (Surabaya: Maktabah Muhammad ibn
Ahmad Nabhan wa Auladuh, tth.) h. 70
[5] Al-Āmidī, al-Ihkām fī U¡l al-Ahkām, (ttp. :
Ma¯ba’ah ¢abih, 1347 H), Juz 3, h. 139
[6]Ab Hāmid al-Ghazāli, al-Musta¡fā min ‘ilm
al-U¡l, (ttp: Ma¯ba’ah Mus¯afā Muhammad, 1356 H), Juz 2, h. 101
[7] Muhammad ibn Idrīs al-Syāfi’i, al-Risālah,
Tahqiq oleh Ahmad Muhammad Syākir, (ttp: tanpa penerbit, tth.), h. 477
[8] Muhammad al-Amīn ibn Muhammad al-Mukhtār
al-Syanqīti, Muzakkirah fī U¡l al-Fiqh, (Iskandaria: Dar al-Basirah, tth.), h.
270
[9] Jamāluddīn Abdurrahmān ibn Hasan al-Isnawi,
Nihāyat al-Sl fī Syarh Minhāj al-Wu¡l Ilā ‘Ilm al-U¡l li al-Qā«i al-Bai«āwi,
(Beirut: Dar Ibn Hazm, 1420 H), Juz. 2, h. 1025
[10] Qu¯b Mu¡¯afa Sān, al-Ijtihād al-Jamā’i
al-Mansyd fi ¬aw` al-Wāqi’ al-Mu’ā¡ir, (Beirut: Dar an-Nafaes, 2006), h. 24 –
25
[11] Dengan menggunakan tasydīd di atas huruf ba` ( ب )
[12] Ibrāhīm Unais dkk. (ed.), al-Mu’jam al-Wasī¯,
h. 550
[13] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus
Arab-Indonesia Terlengkap, h. 840
[14] Ketika memaknai kata ijtihad, Abu Zahrah
memberikan mendefinisikannya dengan menyatakan: استفراغ
الجهد وبذل الوسع إما في استنباط الأحكام الشرعية وإما في تطبيقها (pengerahan segenap kemampuan baik untuk
menyimpulkan hukum maupun untuk menyesuaikannya). Lihat Muhammad Ab Zahrah,
U¡l al-Fiqh, (ttp: Dar al-Fikr al-Arabi, 1377 H/1985 M), h. 379
[15] Muhammad Ab Zahrah, U¡l al-Fiqh, h. 379
[16] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, tahqīq oleh Abdullah Darraz, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1425 H/2004
M), Juz 4, h. 463 – 464
[17] Fathi al-Durayni, al-Manāhij al-U¡liyyah bi
al-Ra`y fi al-Tasyrī’ al-Islāmi, (Damaskus: Dar al-Kitab al-Hadis, 1975), h.
[18] Secara bahasa, Tahqīq berarti mencocokkan,
sedangkan al-manā¯ berarti tempat bergantung. Lihat Ahmad Warson Munawwir,
al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, h. 282 dan h. 1476
[19] Abu Ishāq al-Syā¯ibī, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, h. 464
[20] Abu Ishāq al-Syā¯ibī, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, h. 464 – 465
[21] Abu Ishāq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, h. 465
[22] Dalam hal ini, al-Syā¯ibi menyatakan bahwa
ijtihad jenis ini harus selalu ada yang melakukannya pada setiap masa, setiap
generasi, dan setiap tempat. Hal ini dibedakannya dengan ijtihad dalam bentuk
tanqīh al-manā¯ dan takhrīj al-manā¯, karena keduanya adalah bagian dari
al-qiyas dan bisa saja suatu masa, suatu generasi, dan suatu tempat tidak
terdapat mujtahid dalam tingkat ini. Lihat Abu Ishāq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt
fī U¡l al-Syarī’ah, h. 464 – 469
[23] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, h. 470
[24] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, h. 471
[25] Perhatikan QS. Al-Anfal (8): 29, إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا dan QS. al-Baqarah (2): 269, يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ
فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
. Bagi penulis, dua potongan ayat ini cukup menjelaskan bahwa hanya orang-orang
tertentu saja yang mendapatkan فُرْقَان dan ْحِكْمَةَ . Abu Bakar al-Jazā`iri memaknai kata yang pertama dengan
“cahaya” dan yang kedua sebagai “rahasia di balik syari’ah”. Lihat, Abu Bakar
al-Jazā`iri, Aysar al-Tafāsīr, http://www.altafsir.com, jilid 1, h. 137 dan
jilid 2, h. 38.
[26] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ
مَاذَا قَالَ جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ
مَبْرُور (¢ahīh al-Bukhāri,
hadis no. 1422)
[27] عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ لِوَقْتِهَا وَبِرُّ
الْوَالِدَيْنِ ثُمَّ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (¢ahīh al-Bukhāri, hadis no. 6980)
[28] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنْ الدُّعَاءِ (Sunan al-Tirmi©i, hadis no. 3292)
[29] عَنْ أَبِي أُمَامَةَ
قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ
مُرْنِي بِأَمْرٍ آخُذُهُ عَنْكَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ
لَهُ (Sunan al-Nasā`i, hadis
no. 2190)
[30] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ مُرْنِي
بِأَمْرٍ وَلَا تُكْثِرْ عَلَيَّ حَتَّى أَعْقِلَهُ قَالَ لَا تَغْضَبْ فَأَعَادَ
عَلَيْهِ فَأَعَادَ عَلَيْهِ قَالَ لَا تَغْضَبْ (Musnad Ahmad, hadis no. 8389)
[31] عن سفيان بن عبد الله
الثقفي عن أبيه قال قلت يا رسول الله مرني بأمر في الاسلام لا أسأل عنه أحدا غيرك
بعدك قال قل آمنت بالله ثم استقم قال فما أتقي فأشار إلى لسانه (Al-Sunan al-Kubrā li al-Nasā`i, hadis no.
11489)
[32] عَنْ طَارِقِ بْنِ
شِهَابٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَقَدْ وَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ قَالَ كَلِمَةُ
حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِر
(Sunan al-Nasā`i, hadis no. 4138)
[33] عَنْ عَمْرِو بْنِ
عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ أُهَرِيقَ دَمُهُ
وَعُقِرَ جَوَادُهُ (Sunan Ibn
Mājah, hadis no. 2784)
[34] عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ
أَيُّ الْعِبَادِ أَفْضَلُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ
الذَّاكِرُونَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمِنْ الْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ لَوْ ضَرَبَ بِسَيْفِهِ فِي
الْكُفَّارِ وَالْمُشْرِكِينَ حَتَّى يَنْكَسِرَ وَيَخْتَضِبَ دَمًا لَكَانَ
الذَّاكِرُونَ اللَّهَ أَفْضَلَ مِنْهُ دَرَجَةً (Sunan al-Tirmi©i, hadis no. 3298)
[35] عَنْ يَزِيدَ بْنِ
أَبِي حَبِيبٍ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو
بْنِ الْعَاصِ يَقُولُ: إِنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ
مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (¢ahīh
Muslim, hadis no. 57)
[36] حَدَّثَنِي عَطَاءُ
بْنُ يَزِيدَ اللَّيْثِيُّ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ حَدَّثَهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ قَالُوا ثُمَّ مَنْ قَالَ مُؤْمِنٌ فِي
شِعْبٍ مِنْ الشِّعَابِ يَتَّقِي اللَّهَ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ (¢ahīh al-Bukhāri, hadis no. 2578)
[37] عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرٍو قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ قَالَ كُلُّ مَخْمُومِ الْقَلْبِ صَدُوقِ اللِّسَانِ
قَالُوا صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ
التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ فِيهِ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ (Sunan Ibn Mājah, hadis no. 4206)
[38] حَدَّثَنَا يَزِيدُ
حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ أَوْ قَالَ خَيْرٌ
شَكَّ يَزِيدُ قَالَ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ قِيلَ فَأَيُّ
النَّاسِ شَرٌّ قَالَ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ (Musnad Ahmad, hadis no. 19578)
[39] عن درة بنت أبي لهب رضي
الله عنها قالت : قلت : يا رسول الله ، أي الناس أفضل ؟ قال : أتقاهم لله عز وجل
وأوصلهم لرحمه وآمرهم بالمعروف وأنهاهم عن المنكر (Al-Āhād wa al-Ma£āni li ibn Abi ‘Ā¡im, hadis no. 2811)
[40] عَنْ أَبِي عَبْدِ
الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ
وَعَلَّمَهُ (¢ahīh al-Bukhāri,
hadis no. 4639)
[41] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ (¢ahīh al-Bukhāri, hadis no. 5651)
[42] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدُ
سَفَرًا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْصِنِي قَالَ أُوصِيكَ بِتَقْوَى اللَّهِ
وَالتَّكْبِيرِ عَلَى كُلِّ شَرَفٍ فَلَمَّا وَلَّى الرَّجُلُ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ ازْوِ لَهُ الْأَرْضَ وَهَوِّنْ
عَلَيْهِ السَّفَرَ (Musnad
Ahmad, hadis no. 7959)
[43] عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَجُلًا جَاءَهُ فَقَالَ أَوْصِنِي فَقَالَ سَأَلْتَ عَمَّا
سَأَلْتُ عَنْهُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَبْلِكَ
أُوصِيكَ بِتَقْوَى اللَّهِ فَإِنَّهُ رَأْسُ كُلِّ شَيْءٍ وَعَلَيْكَ
بِالْجِهَادِ فَإِنَّهُ رَهْبَانِيَّةُ الْإِسْلَامِ وَعَلَيْكَ بِذِكْرِ اللَّهِ
وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ فَإِنَّهُ رَوْحُكَ فِي السَّمَاءِ وَذِكْرُكَ فِي
الْأَرْضِ (Musnad Ahmad, hadis
no. 11349)
[44] حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الطُّفَاوِيُّ قَالَ سَمِعْتُ الْعَاصِ بْنَ عَمْرٍو
الطُّفَاوِيَّ قَالَ خَرَجَ أَبُو الْغَادِيَةِ وحَبِيبُ بْنُ الْحَارِثِ وَأُمُّ
أَبِي الْعَالِيَةِ مُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَسْلَمُوا فَقَالَتْ الْمَرْأَةُ أَوْصِنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ إِيَّاكِ وَمَا يَسُوءُ الْأُذُنَ (Musnad Ahmad, hadis no. 16102)
[45] عَنْ ضِرْغَامَةَ بْنِ
عُلَيْبَةَ بْنِ حَرْمَلَةَ الْعَنْبَرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ
قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ اتَّقِ
اللَّهَ وَإِذَا كُنْتَ فِي مَجْلِسِ قَوْمٍ فَسَمِعْتَهُمْ يَقُولُونَ مَا
يُعْجِبُكَ فَأْتِهِ وَإِذَا سَمِعْتَهُمْ يَقُولُونَ مَا تَكْرَهُ فَاتْرُكْه (Musnad Ahmad, hadis no. 17971)
[46] حَدَّثَنَا عُبَيْدُ
اللَّهِ بْنُ هَوْذَةَ الْقُرَيْعِيُّ أَنَّهُ قَالَ حَدَّثَنِي رَجُلٌ سَمِعَ
جَرْمُوزًا الْهُجَيْمِيَّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْصِنِي قَالَ
أُوصِيكَ أَنْ لَا تَكُونَ لَعَّانًا
(Musnad Ahmad, hadis no. 19757)
[47] عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ
عَبْدُ الرَّحْمَنِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْصِنِي قَالَ اتَّقِ
اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
(Musnad Ahmad, hadis no. 20435)
[48] Ahmad Baw’d, Fiqh al-Wāqi’: U¡l wa ¬awābi¯,
h. 113
[49] Muhammad Sa’īd Rama«ān al-Bū¯ī, ¬awābi¯
al-Ma¡lahah fi al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), cet.
4, h. 154 – 155
[50] Muhammad Sa’īd Rama«ān al-Bū¯ī, ¬awābi¯
al-Ma¡lahah fi al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, h. 157
[51] عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْرَءُوا الْحُدُودَ
عَنْ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا
سَبِيلَهُ فَإِنَّ الْإِمَامَ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ
يُخْطِئَ فِي الْعُقُوبَةِ
(Sunan al-Tirmi©i, hadis no. 1344)
[52] حدثنا إدريس أبو عبد
الله بن إدريس قال : أتيت سعيد بن أبي بردة ، فسألته عن رسائل ، عمر بن الخطاب
التي كان يكتب بها إلى أبي موسى الأشعري ، وكان أبو موسى قد أوصى إلى أبي بردة ،
فأخرج إلي كتبا ، فرأيت في كتاب منها : أما بعد : فإن القضاء فريضة محكمة ، وسنة
متبعة ، فافهم إذا أدلي إليك ، فإنه لا ينفع تكلم بحق لا نفاذ له ، آس بين الاثنين
في مجلسك ووجهك ، حتى لا يطمع شريف في حيفك ولا ييأس وضيع - وربما قال : ضعيف - من
عدلك ، الفهم الفهم فيما ينخلج في صدرك - وربما قال : في نفسك - ويشكل عليك ما لم
ينزل في الكتاب ولم تجر به سنة ، واعرف الأشباه والأمثال ، ثم قس الأمور بعضها
ببعض وانظر أقربها إلى الله ، وأشبهها بالحق فاتبعه (Abu Bakar Ahmad ibn Ali ibn ¤abit ibn Ahmad ibn Mahdi
Al-Kha¯īb al-Baghdādi, al-Faqīh wa al-Mutafaqqih, tahqīq oleh Adil ibn Yūsuf
al-‘Azzazi, (Saudi Arabia: Dar Ibn al-Jauzi, 1417 H), Juz 2, h. 90)
[53] عن طاوس قال قال معاذ
يعني ابن جبل باليمن ائتوني بخميس أو لبيس آخذه منكم مكان الصدقة فانه اهون عليكم
وخير للمهاجرين بالمدينة (Abu
Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali Al- Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, (ttp: Dar
al-Fikr, tth), Juz 4, h. 113)
[54] إِنَّمَا جَزَاءُ
الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا
أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ
مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا
وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
[55] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-An¡āri
Al-Qur¯ubi, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Quran, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi,
1985), Juz 6, h. 152
[56] Hal ini diungkap di antaranya oleh Abu Yūsuf ,
al-Lais, dan Abu Hanifah. Lihat, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-An¡āri
Al-Qur¯ubi, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Quran,, Juz 6, h. 151
[57] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, h. 475
[58] Abu Abdillāh Muhammad ibn Ahmad al-An¡āri
Al-Qur¯ubi, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Quran, Juz 6, h. 151
[59] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, h. 552
[60] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, h. 553
[61] وَلَا تَسُبُّوا
الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ
عِلْمٍ ...
[62] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, h. 555
[63] حَدَّثَنَا
الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَفِظْنَاهُ مِنْ عَمْرِو بْنِ
دِينَارٍ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
يَقُولُ كُنَّا فِي غَزَاةٍ فَكَسَعَ رَجُلٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلًا مِنْ
الْأَنْصَارِ فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ يَا لَلْأَنْصَارِ وَقَالَ الْمُهَاجِرِيُّ
يَا لَلْمُهَاجِرِينَ فَسَمَّعَهَا اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَا هَذَا فَقَالُوا كَسَعَ رَجُلٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلًا
مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ يَا لَلْأَنْصَارِ وَقَالَ
الْمُهَاجِرِيُّ يَا لَلْمُهَاجِرِينَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ قَالَ جَابِرٌ وَكَانَتْ الْأَنْصَارُ
حِينَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثَرَ ثُمَّ كَثُرَ
الْمُهَاجِرُونَ بَعْدُ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ أَوَقَدْ فَعَلُوا
وَاللَّهِ لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا
الْأَذَلَّ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعْنِي يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أَنَّ مُحَمَّدًا
يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ (¢ahīh
al-Bukhāri, hadis no. 4527)
[64] حَدَّثَنَا زُهَيْرُ
بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ الْحَنَفِيُّ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ
بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ
مَالِكٍ وَهُوَ عَمُّ إِسْحَقَ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ
فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَهْ مَهْ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ ثُمَّ إِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ إِنَّ
هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ
إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ
الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ فَأَمَرَ رَجُلًا مِنْ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ
عَلَيْهِ (¢ahīh Muslim, hadis
no. 429)
[65] ¢ahīh Muslim, hadis no. 2487
[66] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡ūl
al-Syarī’ah, h. 556 - 566
[67] Sa’di Abu Habib, Al-Qāmus al-Fiqhi, (Damaskus:
dar al-Fikr, 1993), cet 2, Juz 1, h. 136. Lihat juga, Muhammad Rawwās Qal’ahji,
Mu’jam Lughat al-Fuqahā, (Beirut: Dar al-Nafa`is, 1988), cet 2, juz 1, h. 214
[68] Badrān Abul ‘Ainain Badrān, U¡ūl al-Fiqh
al-Islāmī, (Iskandariah: Muassasah Syabab al-Jami’ah, tth.), h. 241
[69] Sya’bān Muhammad Ismā'īl, U¡ūl al-Fiqh
al-Muyassar, (Cairo: Dar al-Kitab al-Jami’i, 1994), h. 125 – 126
[70] الذَّرِيعَةُ مَا كَانَ
وَسِيلَةً وَطَرِيقًا إلَى الشَّيْءِ ، لَكِنْ صَارَتْ فِي عُرْفِ الْفُقَهَاءِ
عِبَارَةً عَمَّا أَفَضْت إلَى فِعْلٍ مُحَرَّمٍ ، وَلَوْ تَجَرَّدَتْ عَنْ ذَلِكَ
الْإِفْضَاءِ لَمْ يَكُنْ فِيهَا مَفْسَدَةٌ (Ibn Taymiyah, al-Fatāwa al-Kubrā, Juz 9, h. 235)
[71] Sya’bān Muhammad Ismā'īl, U¡ūl al-Fiqh
al-Muyassar, h. 128
[72] Muhammad ibn Mukarran ibn Man§ūr al-Ifrīqī
al-Masrī, Lisān al-‘Arab, Juz 11, h. 184
[73] Al-Fairūz Ābādi, al-Qāmūs al-Muhīt,
(http://al-warraq.com), Juz 2, h. 348
[74] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia
Terlengkap, h. 311
[75] Ibrāhīm Unais dkk. (ed.), al-Mu’jam al-Wasī¯,
h. 209
[76] Abu Umar, al-Maus’ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah, (Kuwait: Wizarat al-Awqaf al-Kuwaitiyyah, tth), h. 438
[77] Ibn Taymiyah, al-Fatāwa, Juz 3, h. 256
[78] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi’īn
‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), Juz 2, h. 122
[79] Abu Ishāq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, h. 558
[80] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, Juz 2, h. 655 – 656
[81] الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ
تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا
حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ
يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
[82] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, Juz 2, h. 658
[83] حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي
ثُمَامَةُ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ
مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَة
(¢ahīīh al-Bukhāri, hadis no. 1358)
[84] عن أبي هريرة قال : لعن
رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي والمرتشي في الحكم (Sunan al-Tirmi©i, hadis no. 1336)
[85] عن ابن عباس قال : -
لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم المحلل والمحلل له (Sunan Ibn Mājah, hadis no. 1934)
[86] Abu Ishaq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, Juz 4, h. 558
[87]‘Allāl al-Fāsi, Maqā¡id al-Syarī’ah
al-Islāmiyyah wa Makārimuhā, , h. 140
[88] Abu Ishāq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, Juz 4, h. 559
[89]‘Allāl al-Fāsi, Maqāsid al-Syarī’ah
al-Islāmiyyah wa Makārimuhā, h. 140
[90]Ahmad Ibn Muhammad al-Sāwi, Hāsyiyat al-¢āwi li
al-Syarh al-¢aghir, , Juz 4, h. 497
[91] عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ
نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ
مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ (Sunan al-Tirmizi, hadis no. 1021)
[92] Abu Ishāq al-Syā¯ibi, al-Muwāfaqāt fī U¡l
al-Syarī’ah, Juz 4, h. 561
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...