Oleh: AM Bambang Prawiro
Islam
sebagai agama yang universal akan senantiasa sesuai untuk diterapkan kapan saja
dan di mana. Selain itu nilai-nilai universalnya juga akan sesuai dengan system
hukum di mana saja. Selain sifat hukumnya yang demikian, hukum Islam juga
memiliki kaidah-kaidah hukum yang menjadi dasar bagi penerimaan mereka terhadap
hukum lainnya.
1.
Pengertian
Adat
Adat secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu
kata العادة (al-‘adah), bentuk jamaknya
adalah عَادَاتٌ, ia berasal dari kata kerja (fi’il) عَادَ- يَعُوْدُ maknanya adalah suatu kebiasaan yang dilakukan secara
berulang-ulang dan telah diketahui.[1]
Jadi untuk mewujudkan adat, sesuatu itu tidak bisa dilakukan dengan sekali atau
dua kali saja tapi harus berkesinambungan.
Menurut al-Suyuthi kadar perulangan tersebut
bersifat relatif. Tidak ada ukuran jumlah yang bisa dipedomani agar suatu
perbuatan bisa disebut adat. Standarisasi dari pengklasifikasian adat ini
tergantung kepada bentuk perbuatan yang dilakukan. Jadi hanya dengan tiga kali
perulangan tapi sudah memenuhi kriteria adat, maka perbuatan tersebut bisa
disebut adat.
Adapun secara istilah para ulama memberikan berbagai
rumusan yang berbeda tergantung dari mana mereka memandang. Menurut Al-Jurjany:
الْعَادةُ
مَا اسْتَمَرَّ النَّاسُ عَلَيْهِ عَلىَ حُكْمِ الْمَعْقثوءلِ وَعَادُوْا إلَيْهِ
مَرَّةً اُخْرَى.
Al-'Aadah ialah sesuatu
(perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, kareana dapat
diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus.
Definisi yang dikemukakan oleh Musthafa Syalabi
(1986: 313) agak mendekati makna bahasa dari adat itu sendiri yang tergambar
dari ungkapannya berikut,
إذا فعل إنسان فعلا من
الأفعال ويكرر منه حتى سهل عليه فعله وشق عليه تركه سمي ذالك عادة له
Apabila
seseorang melakukan sesuatu dan mengulang-ulang perbuatan tersebut, sehingga ia
menjadi mudah melakukannya dan sulit meninggalkannya maka inilah yang disebut adat.
Dalam memahami adat, Musthafa Syalabi melihatnya
dari sisi berkesinambungan. Menurutnya kata adat itu sendiri diambil dari kata
kebiasaan yang mempunyai makna pengulangan. Lain halnya dengan Ahmad Fahmi Abu
Sunnah –seperti yang dikutip oleh Nasrun Haroen (1996: 138)—yang memberi
pengertian adat lebih luas lagi. Menurutnya adat bukan hanya terjadi oleh
adanya pengulangan, namun adat tidak memerlukan pemikiran yang mendalam. Dengan
selalu dilakukan maka perbuatan itu akan muncul sendiri tanpa perlu difikir dan
dikomandoi terlebih dahulu. Selain itu adat juga mencakup permasalahan pribadi atau yang menyangkut orang banyak
serta bisa disebabkan oleh faktor alami. Untuk lebih jelasnya, berikut akan
dikutip rumusan definisi dari Ahmad Fahmi Abu Sunnah,
الأمر المتكرر من غير
علاقة عقلية
Sesuatu yang dikerjakan
secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.
Adat adalah sesuatu yang dikerjakan dan diucapkan
berulang kali, hingga dianggap baik oleh akal pikiran. Istilah lain adalah
‘urf, yang diartikan sebagai “yang dikenal dan dianggap baik”. Menurut sebagian
ulama’, ada perbedaan antara adat (‘adah) dan ‘urf. ‘adah adalah kebiasaan
dalam suatu perbuatan atau perkataan tanpa hubungan rasional dan bersifat
pribadi, seperti kebiasaan makan, tidur dan lain-lain. Sedangkan ‘urf adalah
kebiasaan kebanyakan masyarakat, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Istilah
adat dalam bahasa Indonesia lebih dekat dengan pengertian ‘urf dalam bahasa
arab, bukan ‘adah. Adat menempati posisi penting dalam Islam karena bisa
dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
Menurut Ensiklopedi Indonesia, adat disebut juga ‘urf
atau sesuatu yang dikenal, diketahui dan diulang-ulang serta menjadi kebiasaan
di dalam masyarakat. Dalam berbagai kamus bahasa Arab (seperti al-Qamus, Lisan
al-Arab al-Misbah al-Munir) dijelaskan bahwa makna al-adah dari segi
bahasa adalah suatu perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga
menjadi kebiasaan, karakter atau culture. Dalam Lisan Al-‘Arab
dikatakan bahwa adat adalah terbiasa melakukan, dan membiasakannya akhirnya
menjadi adat baginya. Dalam sebuah syair yang masyhur dikatakan ta-awwad
salihal akhlaqi, fa inni raitul mar`a yaklafu mastaada
(Biasakanlah berakhlaq yang terpuji karena aku melihat seorang akan jinak
terhadap kebiasaannya).
Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula
dipadankan denganal-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf – yang
sering disebut dalam Al-Qur’an – diderivasikan. Oleh karena itu, makna asli
al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). Kepantasan
ini merupakan hasil penilaian hati nurani. Mengenai hati nurani, Rasulullah
pernah memberikan tuntunan agar manusia bertanya kepada hati nuraninya ketika
dihadapkan pada suatu persoalan (mengenai baik dan tidak baik). Beliau juga
pernah menyatakan bahwa keburukan atau dosa ialah sesuatu yang membuat hati
nurani menjadi gundah (tidak sreg).
Dalam perkembangannya, al-‘urf kemudian secara
general digunakan dengan makna tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik
(al-urf al-shahih) dan tradisi buruk (al-‘urf al-fasid). Dalam konteks ini,
tentu saja al-ma’ruf bermakna segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi yang
baik. Arti “baik” disini adalah sesuai dengan tuntunan wahyu.
Amr bi al-ma’ruf berarti memerintahkan sesama
manusia untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang pantas menurut suatu
masyarakat, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai wahyu.
Nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat
merupakan manifestasi hati-hati nurani masyarakat tersebut dalam konteks
kondisi lingkungan yang melingkupi masyarakat tersebut. Kondisi lingkungan yang
berbeda pada masyarakat yang berbeda akan menyebabkan variasi pada nilai-nilai
kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu masyarakat bisa berbeda
dengan tradisi pada masyarakat yang lain.
Sebagai sebuah contoh, apabila Al-Qur’an menyatakan
“wa ‘asyiru hunna bi al-ma’ruf (=Dan pergaulilah isteri-isteri kalian secara
ma’ruf)” maka yang dimaksud adalah tuntutan kepada para suami untuk
memperlakukan isteri-isteri mereka sesuai dengan nilai-nilai kepantasan yang
berlaku dalam masyarakat, yang mana nilai-nilai itu bisa jadi berbeda dengan
yang ada pada masyarakat lainnya. Namun perlu diingat bahwa nilai-nilai
kepantasan itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai wahyu (Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi).
Secara terminologi pandangan fuqaha dan usuliyun
terhadap al-Adah, yaitu sesuatu yang telah familiar, menjadi biasa,
dalam masyarakat dan melekat sehingga menjadi tradisi. Definisi ini mencakup
kebiasan yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok, apakah perkara (adat)
tersebut bersumber dari bersifat natural (alam) seperti perubahan iklim, atau
perkara (adat) tersebut dari hawa nafsu seperti memakan harta dengan cara yang
batil, melakukan kedhaliman kefasikan, kemaksiatan dan lain-lain.
Imam as-Syathibi dalam al-Muwafaqat membagi adat ke
dalam dua bagian yaitu adat yang bersifat syar-i dan adat yang tidak bersifat
syar-i. Adat yang bersifat syar’i dapat diukur dengan dalil-dalil syar’i secara
langsung, mengingat teks-teks syariah memberikan penjelasan secara langsung
baik itu bersifat perintah atau larangan, sedangkan adat yang tidak bersifat
syar’i lebih dipengaruhi oleh kebutuhan insting dan biologis manusia seperti
makan minum, berhubungan dengan istri dan situasi alam seperti perubahan iklim
dan lain-lain, atau dengan kata lain adat yang tidak bersifat syar-i adalah
yang tidak mendapatkan legitimasi dalil syar-i secara langsung.
Kalimat Al-Urf dalam bahasa Arab memiliki makna yang
banyak namun secara garis besar kalimat tersebut memiliki makna yang bersifat
hakiki dan majazi. Makna Urf secara hakiki menunjukkan tentang kejelasan,
ketinggian. dan segala sesuatu yang menurut nurani manusia adalah kebaikan dan
membawa ketenangan juga disebut Al-Urf.
Ibnu Faris di dalam kamusnya mencatat bahwa Kalimat
Urf berasal dari ‘Arafa atau ‘Arfun yang keduanya menunjukkan sesuatu yang
berkesinambungan berhubungan satu dengan lainnya atau membawa ketenangan dan
ketentraman. Kalimat Al-‘Urf dalam penggunaannya lebih mencerminkan kepada
kedua makna tersebut yaitu bersifat kontinyu dan berhubungan satu dengan
lainnya.
Sedangkan makna Al-Urf secara terminologi memiliki
banyak pengertian antara lain yang dikemukakan oleh An-Nasafi (710 H) yaitu
sesuatu yang menetap dalam jiwa yang akal menerimanya dan sesuai dengan tabiat
yang masih bersih. Dalam definisi tersebut terkandung beberapa aspek bahwa urf
selalu sejalan dengan tabiat yang masih bersih sehingga jiwa merasa tenang
yakni:
a. Dalam prosesnya urf membutuhkan waktu sehingga
menjadi kebiasaan yang tetap dan jiwa menjadi terbiasa dengan sesuatu tersebut.
b. Dibenarkan oleh akal dan tidak bertentangan
dengan ukuran-ukuran kebenaran dalam sebuah komunitas.
Jadi menetap dan diterimanya sesuatu tersebut karena
seringnya dilakukan dan meluasnya dalam suatu komunitas. Ketika sesuatu yang
menetap pada jiwa tersebut tidak memenuhi syarat-syarat di atas, misalnya
terjadi hanya pada orang tertentu atau belum menjadi sesuatu yang familiar
dalam prilaku atau akal tidak membenarkan seperti kebiasaan minum-minuman keras
prilaku jahat dan seterusnya itu semuanya tidak termasuk urf.
Dalam definisi yang lain ditambahkan syarat
kesesuaiannya dengan syariah seperti yang kemukakan oleh Ibnu Athiyah bahwa
“Urf adalah segala sesuatu yang familiar pada jiwa manusia dan tidak
bertentangan dengan syariah”.
Definisi sejenis juga dikemukakan Ibnu Dhofar (565
H) bahwa Urf adalah sesuatu yang menurut akal dibenarkan dan ditetapkan oleh
syariah. Dalam dua definisi tersebut mengangkat syarat kesesuaian dengan
syariah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Jika dilihat dari kronologisnya
maka definisi ini merupakan definisi yang belum dikenal sebelumnya oleh karena
itu muallif kitab Asar Al-Urf memberikan definisi yang lebih luas yaitu bahwa
urf adalah sesuatu yang menetap pada jiwa manusia yang dibenarkan oleh akal
sehat dan diterima oleh tabiat yang masih bersih dan bersifat turun-menurun
yang tidak bertentangan dengan syariah.
Dari hasil perbandingan kedua definisi urf dan adat
dapat kita simpulkan hal-hal sebagai berikut: Pertama: Antara adat dan urf
keduanya harus bersifat terus menerus dan berulang-ulang dalam masalah yang
tidak ada dalil syar-i secara eksplisit. Hal itu sesuai dengan pendapat
sebagian ulama seperti An Nasafi (710 H), Ibnu Abidin (125 H) dan para ulama
lainnya yang memandang bahwa Urf dan adat merupakan dua istilah yang sama.
Kedua: Pada dasarnya urf
menurut pandangan Ibnu Hamam (861 H) lebih umum dibanding dengan Al Adah karena
Urf mencakup qauli dan amali sedangkan adat hanya pada tataran amali saja.
Dengan demikian setiap adat adalah urf tetapi tidak setiap urf adalah adat,
antara keduanya memiliki irisan di mana urf bersifat lebih umum.
Ketiga: Adat bisa bersifat pribadi
namun urf harus bersifat kolektif. Meski demikian keduanya (Urf dan al Adah)
bersifat tiqrar (berulang-ulang), ilfun (mudah dijalankan), adah (kebiasaan),
melekat dengan kehidupan masyarakat. Dan yang patut dicatat bahwa dalam
prakteknya antara keduanya hampir tidak terbedakan apalagi keduanya harus
melalui proses yang sama.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat atau
tradisi bermakna kebiasaan perilaku yang dijumpai secara turun-temurun. Karena
bermula dari kebiasaan dan itu merupakan warisan dari pendahulu, maka akan
terasa sangat ganjil ketika hal itu tidak boleh dilakukan atau dilakukan tapi
tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.
Dalam aspek keseusian dengan syariah ‘urf dan
adat terbagi menjadi dua yakni:
1. Urf Shahih (Kebiasaan atau adat yang benar). Urf
Shahih yaitu urf yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syariah meskipun
tidak ada dalil secara spesifik. Dengan demikian seluruh urf yang muncul karena
maslahat atau tidak bertentangan kaidah-kaidah syariah baik yang bersifat maslahat
maupun menolak mafsadat masuk dalam kategori ini dalam aspek ini contohnya
sangat banyak antara lain munculnya berbagai aturan dalam hidup, dalam
organisasi, pendidikan, dan lain-lain (dikutip dari al Bahusein dalam bukunya
al-qaidah muhakkamah).
2. Urf Fasid (kebiasaan atau adat yang rusak atau
batal). Yaitu urf yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah
syariah atau dianggap batal oleh nushus syariah seperti munculnya urf
berpakaian yang membuka aurat atau berbagai macam kesenian yang mungkar dan
lain-lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...