Oleh: Nindya Ayu Anggita
Corak
pemikiran politik Imam Al-Ghazali di latar belakangi oleh pengalaman-pengalaman
Al-Ghazali dengan dunia kekuasaan pada masanya dan latar belakang keilmuannya
yang mendunia. Hal yang menonjol dari sosok al-Ghazali adalah kepakarnnya dalam
tasawwuf dan peningkatan spiritualitas. Di zaman al-Ghazali, praktik-praktik
politik banyak yang menyimpang dari jalur syari’at, seperti korupsi, penyalah
gunaan kekuasaan dan krisi ulama’. Kritik tajam Imam al-Ghazali pada ulama’
pada waktu itu adalah adanya ulama’-ulama’ yang terikat oleh ambisi duniawi.
Ulama yang berfungsi sebagai penasihat penguasa tidak menjalankan misinya
dengan baik. Kritik-kritik tajam al-Ghazali dituangkan dalam beberapa karyanya,
seperti Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk, Ihya’ Ulumuddin,
Al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Fadhaih al-Batiniyah.
Kitab
Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk adalah karya utama tentang
politik beliau yang berisi nasihat-nasihat untuk penguasa. Karya itu adalah kumpulan
tulisan beliau yang dihadiahkan kepada Sultan Muhammad Ibnu Malik dari dinasti
Saljuk. Menurut Imam al-Ghazali, khalifah adalah pelindung pelaksanaan
syari’at. Perjalanan hukum ilahi menjadi tanggung jawab seorang penguasa. Maka,
menurut beliau keberadaan negara adalah sangat urgen. Dalam hal ini
pandangannya tidak banyak berbeda dengan pemikiran Ibnu Taimiyah. ”Keteraturan
agama tidak bisa dihasilkan kecuali dengan seorang Imam (pemimpin negara) yang
ditaati”, kata al-Ghazali. Oleh karena itu, seorang sultan beserta
perangkat-perangkat politiknya harus menjalankan tugas sesuai dengan adab
berpolitik. Jika seorang sultan yang menjaga adab berpolitik, menurut
al-Ghazali, maka sebenenarnya politik, dalam hal ini adalah tugas mulia. Jika
penguasa dan pejabat negara berbuat dzalim, hendaknya dijauhi. Kegelisahan Imam al-Ghazali terhadap
penyimpangan penguasa Buwyhids waktu itu, menyimpulkan dalam pikirannya, bahwa
krisis penguasa sebenarnya berakar dari krisis ulama.
Di samping krisis ulama’ dan
penguasa, pada masa al-Ghazali sempat berkuasa pemimpin yang beraliran
menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaah. Pada masa kekuasaan Buwaihiyah, tidak
saja mereka beraliran Syi’ah, akan tetapi mereka juga bersikap oposan terhadap
kekhalifahan Abbasiyah dan melakukan tindakan korupsi dan politik kotor. Mereka
jelas tidak mengakui kekhalifahan Abbasiyah yang Sunni.
A.
Latar Belakang Perpolitikan Semasa al-Ghazali
Sebelum al-Ghazali (450-505
H/1058-1111 M) lahir peta perpolitikan terpecah dalam beberapa faksi yang
berakar dari perbedaan madzhab kalam. Dalam wilayah Daulah Abbasiyah (132-656
H) berkembang aliran Mur’jiah, Syiah dan Ahlussunnah. Kelompok besar yang
berkonflik adalah Syiah dan Ahlussunnah. Di samping itu kekuasaan Daulah
Umaiyah di Andalusia masih terdapat sisa-sisa yang terpecah-pecah menjadi
kerajaan-kerajaan kecil. Sedangkan di Mesir, berkuasa Daulah yang dipimpin
kelompok Syiah Isma’iliyah.
Ketika
kekuasaan Abbasiyah mengalami kemerosotan, dinasti Buwaihi (333-447) di bawah
Mu’iz al-Daulah ibn Buwaihi memaksa menguasai kekuasaan Abbasiah. Dinasti
Buwihi masuk perpolitikan Abbasiyah. Mereka mendirikan institusi Sultan, yang
sebelumnya tidak ada dalam Abbasiyah. Institusi Sultan berhasil memperdayai
Khalifah di tubuh Daulah Abbasiyah. Peran Khalifah seakan tidak berdaya, yang
berkuasa penuh adalah Sultan – dari orang Buwaihi yang berpaham Syi’ah. Bahkan
Khalifah Al-Fadal tidak memiliki kekuatan apapun, ia bahkan samapi dikurung
oleh orang-orang Buwaihi. Khalifah pada masa itu seperti sekedar menjadi boneka
orang-orang Buwaihi. Akhirnya, kekhalifahan dikuasai oleh Dinasti Buwaihi
selama 110 tahun. Di samping melakukan penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam,
yang juga memprihatinkan adalah kalangan pejabat pemerintah banyak melakukan
korupsi. Di bawah penguasaan pejabat Buwaihi spiritual umat mengalamai
kemerosotan. Di antara ulama juga banyak terjangkit penyakit-penyakit hati.
Bahkan Buwaihi bercita-cita mengubah kerajaan Abbasiah
menjadi kerajaan Syi’ah Zaidiyah, bahkan salah seorang sultannya, Abu Kalijar
mengungumkan bahwa Abbasiah berafiliasi ke Dinasti Fatimi Mesir yang berpaham
Syi’ah Ismailiyah. Namun pada tahun 1055 dinasti Seljuk yang Sunni berhasil
menguasai Baghdad. Dinasti Buwaihid pun menjadi lemah. Meskipun otoritas
politik Daulah Saljuk dipegang oleh sulatan yang dilimpahkan kepada wazir bukan
Khalifah, namun yang menjadi dinasti ini berjaya adalah perhatian sulatan dalam
peningkatan keilmuan warganegara dan memperbaiki pemikiran umat Islam. Hal itu
dibuktikan dengan mendirikan madrasah Nizamiyah yang salah satunya menyebarkan
paham Sunni. Bahkan menurut al-Subki, Nizam al-Muluk mendirikan 9 madrasah
selain madrasah Nizamiyah.
Dinasti Seljuk pun menguasai hampir seluruh negeri, meski di
bebarapa wilayah Buwaihi memiliki kekuasaan. Di bawah Tughrul Beg, kekacauan
masyarakat dan pejabat negera diakhiri dan mendirikan perubahan penting
terutama dalam peningkatan pengetahuan masyarakat. Yang utama adalah mereka
berjasa mendirikan perguruan Nizamiyah. Di perguruan Nizamiyah inilah karir
keilmuan al-Ghazali memuncak, setelah dingkat Khalifah sebagai Guru Besar di
perguruan Nizamiyah. Kepedulian Sultan Saljuk terhadap ilmu ternyata membawa
angin positif bagi masa depan perpolitikan Nizam al-Muluk. Beberapa kerajaan
bergabung diantaranya, Gaznawi India, kerajaan di Sudan. Dan pada saat yang
sama dengan sendirinya pengaruh Syiah merosot hingga ke negeri mesir. Hal
inilah yang menyebabkan Dinasti Fatimi Mesir merosot drastis menuju keruntuhan.
Fatimiyah diliputi krisis multidimensional, mulai ekonomi, politik, dan sosial.
Masa ini merupakan era kejayaan Sunni dan kemerosotan Syiah. Di samping dinasti
Fatimi, di selatan kerajaan Ismili Yaman yang berkuasa mulai tahun 438-569 H di
bawah Bani Sulaihi pun juga menyusut.
Seluruh komunitas Sunni di hampir seluruh negeri menolak
kehadiran syiah batiniyah, yang disamping menyimpang, mereka juga menunjukkan
gerakan militan radikal. Atas dasar inilah Nizam Muluk melarang aliran
batiniyah berkembang di wilayah negerinya. Di sini imam Ghazali memainkan
peranannya sebagai ilmuan Islam. Ia menulis buku Fadaih al-Batiniyah
yang mengkritik pemikiran syiah batiniyah. Gerakan politik Syiah di Irak bukan
berarti mati, ketika kerajaan-kerajaan Syi’ah mulai menyusut, militan syiah
bergerak di bawah tanah. Pada tahun 1092 mereka bahkan tiba-tiba mulai
tunjukkan kekuatan yang dipimpin oleh Hasan Ibn al-Sabbah. Bahkan secara
mengjutkan, syiah batiniyah membantai Nizam Muluk.
Pasca
wafatnya Nizam al-Muluk inilah kebesaran Abbasiah mulai turun pada tahun 485 H.
Hal ini membawa dampak buruk bagi kehidupan perpolitikan dan keilmuan di negeri
Irak. Kejatuhan khalifah berdampak pada kembalinya budaya korupsi di kalangan
pejabat, munculnya ulama’ suu’ (jahat) dan pertikaian dengan kelompok sempalan.
Situasi seperti ini yang menjadi tantangan besar bagi Imam al-Ghazali. Ia
mempunyai dua tugas besar yang harus diemban, pertama, memperbaiki pemahaman
ilmu masyarakat dan kedua ia memiliki kewajiban politik untuk mengingatkan
pejabat, sebagaimana yang sudah ia lakukan pada pejabat-pejabat dinasti Saljuk.
Pengalaman-pengalaman
dalam situasi sosial politik seperti tersebut di atas ditambah dengan corak
keilmuan Imam al-Ghazali inilah yang membentuk karakter pemikiran al-Ghazali
tentang politik Islam. Al-Ghazali telah menunjukkan sebagai ulama yang memiliki
pemikiran cemerlang yang disegani dan diteriman oleh para pejabat negara serta
para ulama lainnya. Penulis menilai corak pemikiran politiknya sangat benuansa
etika dan adab politik. Pemikiran yang cukup menarik adalah dalam teorinya
bagaimana cara menjalankan sebuah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan
moralitas untuk kemaslahatan bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas
tinggi ditopang dengan kekuatan moral yang memenuhi beberapa kriteria yang
al-Ghazali idealkan. Pemikiran seperti ini sangat relevan untuk dijadikan
referensi bagi para pejabat saat ini.
B.
Urgensi Negara Menurut al-Ghazali
Sebagaimana para pemikir muslim sunni lainnya, al-Ghazali
berpendapat bahwa wujud sebuah pemerintahan yang syar’i harus ada. Jika tidak
ada pemerintahan yang memegang otoritas publik, maka hal tersebut menyebabkan
kekacauan, permusuhan, pertumpahan darah, kemiskinan, dan tidak stabilnya
ekonomi masyarakat. Apalagi sebagaimana disebut di atas bahwa tidak ada
dikotomi antara agama dan negara. Maka keberadaan pemerintahan sangat
signifikan dalam mewujudkan masyarakat dan perdamaian. Ketertiban merupakan
keniscayaan bagi keberlangsungan kehidupan beragama. Dan kestabilan kehidupan
beragama sangat penting untuk mencapai kesejahteraan dunia akhirat. Negara
adalah suatu prasyarat penting bagi berlangsungnya hukum-hukum Allah SWT untuk
ditegakkan di muka bumi. Tanpa pemerintahan, kehidupan masyarakat tidak dapat
diwujudkan dengan baik.
Bagi al-Ghazali, politik juga tidak hanya bertujuan untuk
menghindarkan pergolakan sosial melalui pemberlakukan hukum dan ketertiban dan
manajemen publik oleh agen negara, tetapi juga bertujuan untuk menghindarkan
pergolakan sosial melalui bimbingan dan kepemimpiann yang diberikan oleh
penguasa dengan pelayanan menarik. Negara,
berkewajiban menyediakan bantuan kepada rakyat untuk memasksimalkan kehidupan
di bumi dengan penuh tanggung jawab. Kondisi jiwa dan fisik harus dilindungi
dengan bijaksana, dengan bantuan ulama menjaga kestabilan sosial spiritual
berdasarkan keimanan. Kehidupan dunia adalah sementara, maka manusia perlu
dipersiapkan secara matang untuk menuju kehidupan yang hakiki. Karena
kebahagiaan sejati itu hanya didapat ketika di akhirat (surga) kelak.
Hal tersebut menunjukkan secara jelas bahwa urusan agama dan
dunia tidak dapat dipisahkan. Korelasi ini oleh al-Ghazali dikuatkan dengan
sebuah hadis Nabi SAW bahwa dunia adalah bagaikan ladang yang manusia dapat
memanen hasilnya di akhirat kelak. Sedangkan untuk menjaga kestabilan dunia
diperlukan sebuah sistem pemerintahan yang berdasarkan syari’ah. Negara adala
penjaga bagi terlaksananya hukum-hukum agama Islam. Berarti, pemikiran politik
yang ditawarkan bukanlah pemikiran pragmatis, karena al-Ghazali konsisten bahwa
pendirian negara tidak sekedar demi terlaksananya kepentingan individu atau
kelompok, akan tetapi ia menginginkan perbaikan semua umat manusia di dunia. Ia
tidak hanya mengarahkan pendidikan fisik dan moralitas akan tetapi lebih jauh
al-Ghazali semuanya itu menurut beliau adalah dianggap sangat penting agar
dapat selamat dan bahagia di akhirat.
C. Kesimpulan
Pemikiran-pemikiran Imam al-Ghazali memiliki corak bahwa
konsepsi etika politik al-Ghazali adalah suatu teori sistem pemerintahan yang
berisikan masyarakat dan aparatur negara yang mempunyai moral yang baik dengan
ditopang oleh agama sebagai dasar negara. Hal yang menarik dan patut menjadi
referensi politisi muslim adalah, al-Ghazali mementingka ilmu dan adab yang
benar dalam berpolitik. Dengan ilmu dan adab yang benar, akan melahirkan
pemerintahan yang baik, termasuk unsur-unsur yang sangat penting seperti
keadilan, transparansi dan integritas.
Usaha-usaha
perbaikan perpolitikan al-Ghazali dilakukan dengan konsep amar ma’ruf nahi
munkar. Tahapan usaha yang dilakukan adalah, peringatan, kemudian nasehat.
Al-Ghazali sangat komitmen terhadap faktor perbaikan dan pembaharuan.
Baginya, seorang ulama atau ilmuan tidak semestinya melakukan reformasi
konstruktif di dalam arena politik. Karena ini merupakan bentuk dari amar
ma’ruf nahi munkar.
Dalam
memenuhi tugas tersebut, perbaikan harus dimulai dari diri lebih dulu, terutama
memperbaiki basicfaith – karena hal itu mempengaruhi model perilaku
manusia. Politik, moral, pemikiran dan tindakan harus benar-benar memiliki
keterkaitan antara satu dan yang lainnya dalam sistem yang integratif.
Ilmu
dan adab yang ditekankan al-Ghazali dalam perbaikan politik adalah model
perbaikan integratif. Seorang pemimpin atau pejabat negara tidak saja menguasai
teori-teori politik akan tetapi mereka juga harus faqih. Yang ditekankan
adalah tidak saja seorang politikus itu paham ilmu-ilmu fardlu kifayah akan
tetapi ia juga harus menguasai ilm-ilmu fardlu ’ain.
Poin
penting lainnya yang bisa disimpulkan dari pemikiran politik al-Ghazali adalah
seorang pemimpin negara dan pejabatnya mesti membina hubungan baik dengan
ulama. Karena dari mereka akan diperolah kebaikan-kebaikan. Ulama tidak boleh
ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulama,
juga harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat
akidah dan moral.
Referensi:
Ahmad
Syarbasi, Al-Ghazali wa al-Tasawwuf al-Islami (Kairo: Dar al-Hilal)
Dhiauddin
Rais,Teori Politik Islam,Terjemahan al-Nadzariat al-Siyasah al-Islamiyah
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
Abu
Hamid Muhammad bin Muhamma al-Thusi al-Ghazali, Al-Iqtishad fii al-‘Itiqad,
(Beirut: Dar al-Qutaibah, 2003)
Sibawaihi,Eskatologi
al-Ghazali dan Fazlur Rahman (Yogyakarta: Islamika, 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...