Judul amanat dari
Galunggung itu menurut Saleh Danasatmita (Dasim Budimansyah ; 1994:1991),
digunakan dalam terbitan museum negeri Jawa Barat pada tahun 1981 karena naskah
aslinya tidak bernama. Keropak tersebut hanya diberi kode MSA (Manuscript
Soenda A) dengan nomor 632. Ada juga yang menyebutnya naskah Brandes karena
cendekiawan itulah yang berhasil mengumpulkannya untuk koleksi museum pusat.
Naskah tersebut tebalnya hanya tujuh lembar temasuk jilid sehingga pleyte dan
poerbadjaraka merasa perlu mencantumkan kata “Catera Desunt” (tidak ada) lagi
pada akhir transkripsi yang dikerjakannya. Tersirat dugaan dari kedua ahli itu:
“Mungkin masih ada lanjutannya”. Mereka itu pula yang memberikan : “Een Peudo
Padjadjaransche Kroniek” (Tombo Padjadjaran yang Palsu) kepada naskah tersebut.
Karena mendapat cap “Palsu”, maka orang pun merasa tidak perlu memperhatikannya
lagi. Terbukti, isi naskah tersebut bukanlah tombo, melainkan ajaran mengenai
pegangan hidup yang menurut penulis naskahnya dituturkan oleh Rakean Darmasiksa
kepada putranya Sang Lumahing Taman (Yang dipusarakan di taman). Halaman
pertama yang berisi silsilah raja-raja hanya bertujuan memperkenalkan asal usul
tokoh Darmasiksa tersebut.
Bukti sejarah tentang
adanya tokoh nu nyusuk na Galunggung, tersimpan di museum pusat berupa prasasti
batu yang diberi nomor D26. Prasasti ini ditemukan disebuah kabuyutan pada
kompleks Bukit Geger Hanjuang, desa Linggawangi, kecamatan Leuwisari,
Tasikmalaya, pada lereng selatan gunung Galunggung.
Holle pernah
mentranskripsikannya tahun 1877, tetapi ia tidak berhasil memecahkan isi baris
kedua. Kemudian Pleyte (1911) atas bantuan Prof. Kern, mengumumknan hasil
bacaannya. Ternyata, ia “kehilangan” satu huruf dan salah baca lima huruf.
Tetapi kedua cendekiawan itu sepakat bahwa prasasti tersebut dibuat dalam tahun
1033 Saka (111M). isi prasasti hanya tiga baris; ditulis dalam huruf dan bahasa
sunda kuno.
Rumatak oleh penduduk
setempat disebut Rumantak. Daerah tersebut, sebelum gunung Galunggung meletus,
merupakan persawahan pada lereng Galunggung. Menurut hasil penelitian panitia
“Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya” yang dipimpin oleh R. U. Sunardjo, SH.,
Rumantak adalah bekas ibukota kerajaan Galunggung. Dengan demikian isi prasasti
dapat diterjemahkan sebagai berikut: Pada tanggal 13 bulan Badra tahun 1033
saka, Ruma(n)tak disusuk oleh Batari Hyang. Kata disusuk dalam hal ini berarti
dikelilingi dengan parit pertahanan, sama halnya dengan berita prasasti
Batutulis tentang Sri Baduga Nyusuk na pakwan.
Jika dihitung dengan
penanggalan masehi, prasasti itu dibuat kira-kira pada tanggal 21 Agustus 2111
masehi. Mungkin sebagai tanda peringatan
selesainya karya Penyusukan tersebut oleh Batari Hyang yang sebagai penguasa
Galunggung saat itu. Hingga kini tanggal 21 Agustus dianggap sebagai hari jadi
Kabupaten Tasikmalaya.
Kisah awal kerajaan
Galunggung dimulai oleh Sempakwaja, (Kisah Kerajaan Galuh; Depdikbud Ciamis;
1997: 5): “Sempakwaja putera selung Wretikandayun raja Galuh yang pertama (612
masehi). Walaupun ia sebagai anak sulung, tetapi tidak dapat menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai Raja Kerajaan Galuh, karena cacat badan, yaitu
“ompong” (giginya tanggal, tidak utuh lagi). Karena itu pula ia dinamakan
Sempakwaja (Sempak = tanggal; Waja = gigi). Yang naik tahta menggantikan
ayahnya adalah mandiminyak., adik bungsu Sempakwaja mendalami agama, dan oleh
ayahnya dijadikan “Batara Dangiang Guru” di Galunggung dengan 13 kerajaan kecil
sebagai bawahannya, yaitu: Karajon, Balamoha, Pagerwesi, Puntang, Kahuripan,
Muntur, Pangajahan, Lembuhuyu, Batur, Balaraja, Parahiyangan, Layuwatang, dan
Kuningan”.
Sempakwaja, dalam
kapasitasnya selku Batara Dangiang Guru, mempunyai hak memberkati penobatan
raja-raja di Kerajaan Galuh tidak akan naik tahta tanpa pemberkatan Sempakwaja.
Masa “kebarataan” di Galunggung tidak bertahan lama, karena beralih ke masa
kerajaan. Setelah Sempakwaja hanya berlangsung empat kali pergantian, yaitu
Batara Kamengputih, Batara Kawindu, Batara Wastahayu, dan Batar Hyang, yang merupakan
Batara yang terakhir dan raja Kerajaan Galunggung yang pertama.
Raja yang memerintah
Kerajaan Galunggung setelah Batari Hyang adalah Rakean Darmasiksa, yang
disebutkan sebagai penutur agama nu nyusuk na Galunggung. Ia naik tahta pada
tahun 1175 Masehi. Raja-raja selanjutnya yang memerintah setelah Rakean
Darmasiksa adalah Ratu Ragasuci, Ratu Gulang Sakti, Ratu Sembah Gelek, Ratu
Panyosongan dan yang terakhir adalah Prabu Rajadipintang yang berasal dari
daerah Puntang.
Setelah lolos dari kerajaan para pemberontak,
raja dan pengikutnya yang setia sampai ke suatu tempat dekat muara sungai kecil
yaitu sungai Cikole ke sungai Cihanjatan (sekarang berada di wilayah Desa
Pusparaja, kecamatan Cigalontang Kabupaten Tasikmalaya). Di tempat itu semua
anak dan semua pengikutnya yang setia dikumpulkan. Raja mengungkapkan isi
hatinya dan menyatakan sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan,
lalu menugaskan kepada anak-anaknya untuk melanjutkan perjalanan. Kepada
anaknya yang sulung, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Raden Kagok
Katalayah Nu Lecing Sang Seda Sakti, baginda raja membekali “kawedukan”
(kekebalan tubuh dari senjata tajam). Beliau di makamkan di daerah Taraju,
Tasikmalaya. Kepada anaknya yang kedua, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ratu
Kuncung Kudratullah dikenal pula dengan sebutan Eyang Mudik Batara Karang,
baginda raja membekali “kebedasan” (kekuatan fisik). Beliau dimakamkan di
daerah Karangnunggul, Tasikmalaya. Kepada anaknya yang ketiga, yang kemudian
hari dikenal dengan sebutan Pangeran Mangkubawang, baginda raja membekali
kepercayaan keduniawian (kekayaan harta benda). Beliau dimakamkan di Mataram,
Yogyakarta. Kepada anaknya yang keempat, yang kemudian hari dikenal dengan
sebutan Sunan Gunung Jati Kalijaga, baginda raja membekali pengetahuan
pertanian. Beliau dimakamkan di daerah Cirebon. Kepada anaknya yang kelima,
yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Komara, baginda
membekali kepintaran (ilmu). Beliau dimakamkan di daerah Banten. Kepada anaknya
yang keenam, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Pangeran Kudratullah,
baginda raja membekali pengetahuan agama. Beliau dimakamkan di daerah Godog,
Garut. Sedangkan kepada anaknya yang bungsu, yang bernama Singaparana, baginda
raja memberi tugas untuk menjaga pusaka kerajaan agar tidak jatuh ke tangan
musuh.
Setelah selesai
menyampaikan amanat baginda raja pamitan, lalu pergi ke sebuah bukit kecil dan
“tilem” di sana. Bukit kecil itu sekarang dikenal dengan nama Gunung Raja, yang
berada di wilayah Desa Pusparaja sekarang. Anak-anak beserta pengikutnya
melanjutkan perjalanan untuk melaksanakan tugasnya masing-masing.
Singaparana yang
mengemban tugas untuk menjaga dan mengamankan pusaka kerajaan setelah menempuh
perjalanan jauh akhirnya sampai ke suatu tempat yang dianggap aman, yaitu suatu
tempat di sebuah lembah di pinggir sungai Ciwulan, dikelilingi perbukitan yang
sunyi senyap. Di tempat itulah, lokasi Kampung Naga sekarang, ia bersama
pengikutnya bermukim. Lokasi pertama yang dijadikan tempat bermukim itu sekarang
dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan “tanah depok” (terletak di
pinggir sebelah timur kampung. Nama “Depok” diduga diambil dari nama
“padepokan” yaitu bangunan tempat berguru, yakni bangunan pertama yang dibangun
Singaparana beserta pengikutnya).
Pemilihan
lokasi yang tersembunyi itu, bisa dipastikan dengan maksud agar terhindar dari
kontak dengan orang lain yang dikhawatirkan dapat membahayakan keamanan pusaka
kerajaan yang harus dijaga jangan sampai jatuh ke tangan musuh. Lokasi tersebut
pada saat ini saja boleh dikatakan “nyingkur” (tersembunyi), apalagi pada saat Singaparana
bersama para pengikutnya pertama kali bermukim. Nama “naga” sendiri, yang
dipergunakan bagi nama diri mereka diduga merupakan personifikasi sebagai
seekor naga yang sedang “ngumpi” (bersembunyi) menghindari kontak dengan dunia
luar. Perwujudan konsep tersebut dalam perilaku sehari-hari nyata benar mana
kala kita menyelami pola kehidupan mereka yang amat sangat sederhana
(bersahaja, lugu), bahkan menjurus ke sifat yang fatalistik. Memang ibarat
seekor “Naga” yang sedang bertapa di lembah yang sunyi sepi
Akan tetapi tentunya
hal ini, menurut kuncen Kampung Naga tidak memiliki arti yang demikian,
dikarenakan bukti sejarah tentang Kampung Naga banyak yang hilang dan diantaranya
diambil oleh pemerintah Belanda pada tahun 1927 ke Batavia, yang sampai
sekarang tidak ada beritanya. Dan pada tahun 1956 Kampung Naga dibakar oleh
gerombolan DI/TII. Dengan demikian masyarakat Kampung Naga sendiri “pareumeun
obor”, dan yang terselamatkan oleh sesepuh Kampung Naga pada waktu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...