Pendahuluan
Sejarah Islam mewariskan khazanah
tradisi politik yang sangat kaya, dimulai dari masa Rasulullah,
khulafaurrasyidin, periode klasik, periode pertengahan hingga masa modern. Jika
khazanah itu dikonsepsikan sangat mungkin melahirkan keanekaragaman teori
pemikiran politik. Namun yang menarik perhatian -setidaknya di masa periode
awal Islam- khazanah itu lebih dominan melahirkan teori-teori firkah dalam
Islam yang sekarang sering disebut sebagai aliran teologi/kalam, bukan
melahirkan teori politik, meskipun sesungguhnya akar persoalannya berawal dari
pertikaian politik.
Memasuki periode klasik yang ditandai
dengan kemapanan yang terjadi di dunia Islam, di masa ini terdapat dua dinasti,
yaitu Bani Umayyah (661-750 M) dan Bani Abbas (750-1258 M). Secara politis,
masa itu Islam memegang kekuasaan dan pengaruhnya di pentas internasional. Pada
periode Bani Umayyah, kajian fiqih politik (siyasah) masih belum juga muncul.
Bani Ummayah lebih mengarahkan kebijakan pada pengembang-an wilayah kekuasaan.
Pada masa Bani Abbasiyah barulah kajian fiqih Siyasah ini mulai
dikembangkan[1]. Namun demikian, kuatnya pengaruh negara membuat kajian yang
dikembangkan oleh para ulama -sunni- waktu itu cenderung akomodatif dan
mendukung kekuasaan.[2] Sementara itu di sisi yang lain syi’ah, khawarij dan
mu’tazilah berkembang menjadi kelompok oposisi, walaupun belum memiliki
pengaruh kuat.
Berdasarkan kenyataan ini, Harun
Nasution menyimpulkan bahwa teori politik sunni abad klasik ini cenderung
memberi legitimasi terhadap kekuasaan[3] ditengah kepentingan-kepentingan
golongan. Karena sifat akomodatif itu sunni mendominasi percaturan politik saat
itu dan para pemikir politiknya mampu mengembangkan doktrin-doktrin mereka di
bawah patronase kekuasaan.
Memasuki periode pertengahan, kekuatan
politik Islam mengalami kemunduran. Berbagai doktrin yang dikembangkan pada
masa sebelumnya tidak efektif lagi dihadapkan kepada situasi obyektif. Maka
pada periode pertengahan itu lahirlah pemikiran politik yang berbeda dengan
sunni periode klasik, yang salah satunya dipresentasikan oleh Ibnu Taimiyah.
Mengkaji pemikiran Ibnu Taimiyah sangat
menarik, karena itulah di dalam makalah ini akan mendeskripsikan pemikiran
politik Ibnu Taimiyah dan menganalisa latar belakang pemikirannya dengan
pendekatan sosiopolitik. Kemudian mendeskripsikan secara analitik bagaimana
pandangan Ibnu Taimiyah tentang politik, pemerintahan, kepemimpinan dan hakikat
negara, di tengah suasana sejarah yang mengitari pemikirannya, serta relevansi
gagasan politik Ibnu Taimiyah dalam konsep negara modern dengan cara
menempatkan pemikiran Ibnu Taimiyah sebagai cermin dari pemikiran yang lahir di
abad modern.
Biografi Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah memiliki nama lengkap Taqi
al-Din Abul Abbas ibn Abd al Halim ibn Abd al-Salam ibn Taimiyah. Goldziher
melukiskannya sebagai “pemilik pribadi paling terkemuka abad ke-7 H”, juga
digambarkan sebagai seorang teolog muslim abad ke-13 dan 14 paling kenamaan.[4]
Ia lahir pada 22 Januari 1262/661 H di
Harran, dekat Damaskus, lima tahun setelah jatuhnya Bagdad ke tangan bangsa
Tatar, yang berarti masa kekuasaan dinasti Abbasiyah telah berakhir, dan tutup
usia pada tahun 728 H/1329 M.[5] Ini berarti ia hidup pada masa dinasti Mamalik
berkuasa atas Mesir dan Syria. Yaitu, pada masa pemerintahan al-Zhahir
Rukhnuddin Baybars (658-676H./1260-1277 M) sampai di tengah masa pemerintahan al-Nashir
Nashiruddin Muhammad (709-741 H/1309-1340 M).[6]
Dunia Islam pada masa Ibn Taimiyah hidup
sedang mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut ditandai dengan puncak
disintegrasi politik, dislokasi sosial, dan dekadensi akhlak serta moral.[7]
Pada saat itu hanya dinasti Mamalik-lah satu-satunya kekuatan di dunia
Islam.[8] Di bagian Timur dinasti ini semua negeri telah ditaklukkan dan
diduduki oleh orang-orang mongol. Sementara itu, pada masa Ibn Taimiyah
orang-orang Mongol ini telah memeluk agama Islam, tetapi keislaman mereka hanya
sekedar formalitas? karena mereka masih terus menghancurkan negeri-negeri Islam
beserta penduduknya.[9] Sedang di negeri-negeri lain di luar dunia Islam ini,
dimana terdapat penduduk yang beragama Islam, kaum muslimin terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan
kecil yang terus-menerus saling berperang.[10] Pada masa itu Islam sedang
dihadapkan kepada tiga ancaman besar, yaitu pejuang-pejuang Kristen dari Erofa,
pasukan Mongol, dan perpecahan dalam tubuh Islam itu sendiri.[11]
Jatuhnya Bagdad ke tangan Tatar adalah
akhir dari dinasti Abbasiyah, dan merupakan proses klimaks disentegrasi
kekuasaan Islam. Hancurnya dinasti ini menyebabkan para sultan, amir, dan raja
yang berkuasa di wilayah-wilayah bekas imperium Abbasiyah yang dulunya menjadi
satelit Bagdad bebas menggunakan gelar khalifah.[12]
Dari para raja, sultan, dan amir yang
ada pada waktu itu, hanya penguasa dari dinasti Mamalik di Mesir yang masih
merasa perlu untuk mengangkat pangeran Abu
al-Qasim Ahmad bin Amir al-Mu’minin, paman Khalifah Mu’tashim yang
dibunuh oleh bangsa Tatar di Bangdad yang bergelar al-Mustanshir bi-Allah untuk
menjadi khalifah di Kairo pada tahun 659 H.[13] Namun kekhalifahan ini hanya
bersifat formalitas, karena otoritas yang sesungguhnya berada di tangan
sultan-sultan Mamalik. Walaupun demikian, dengan pengangkatan al-Mustanshir
bi-Allah tersebut fiksi historis dunia Islam tetap dapat dipertahankan, yaitu
bahwa secara politis dan spiritual dunia Islam masih tetap eksis, sebab
eksistensi khalifah sangat diperlukan sebagai pengganti Nabi. Untuk selanjutnya
khalifah memberikan otoritas yang sesungguhnya kepada sultan Mamalik sehingga
secara yuridis sultan berhak menuntut kepatuhan dari pangeran-pangeran dan
amir-amir di dunia Islam. Itulah sebabnya, meski akhirnya imperium ini bersifat
monarkhis, namun secara de facto inilah satu-satunya kekuatan Islam yang dapat
diandalkan saat itu. Yang menarik kemudian adalah membentuk pandangan Ibnu
Taimiyah bahwa penguasanya adalah pembela-pembela agama dan ia pun memaafkan
kesalahan-kesalahan mereka.[14]
Implikasi Faktor Obyektif dalam
Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah
Lahirnya suatu pemikiran sangat erat
kaitannya dengan konteks sosial sebagai faktor yang melatarinya[15]. Sebuah
pemikiran lahir umumnya setelah mengalami proses dialektika sosial yang
panjang, karena itu tidak dapat memisahkan diri dari faktor situasional yang
mengitarinya. Untuk memahami pemikiran seorang pemikir secara objektif, paling
tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni perkembangan intelektualitasnya
dan realitas objektif yang mengitari hidupnya Pengetahuan atas perkembangan
intelektual seorang pemikir, akan dapat terhindarkan dari jebakan subjektifitas
dan simplikasi. Sedang pengetahuan atas realitas objektif akan dapat menangkap
faktor-faktor yang mendorongnya untuk mengartikulasi-kan ide, pandangan dan
sikapnya, bahkan metode yang yang ditempuh untuk merealisasikan gagasan-gagasan
yang diagendakan.[16] Demikian juga dengan Ibnu Taimiyah, sebagai pemikir yang
realistis, di atas realitas politiklah ia merumuskan pemikirannya sebagai
jawaban terhadap tantangan keadaan yang berkembang di masanya.
Beberapa pemikiran tersebut antara lain
:
1. Kosmopolitanisme[17]
Dalam setiap pemikirannya, Taimiyah
selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan utama berpikir, pun dalam
kosmopolitanisme. Untuk gagasan kosmopolitanisme, Taimiyah kembali berpatokan
pada ajaran bahwa Islam sebagai kebenaran haruslah menjadi kebaikan bagi
seluruh alam (rahmatan lil alamin) seperti disebutkan dalam Q.S. Al-Anbiya : 107.
Dalam pemerintahan syariat yang
dicita-citakan oleh Taimiyah, nilai terpenting yang harus dijaga adalah
keadilan dan mempromosikan kebaikan-mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi
munkar). Dalam aspek politik dan kenegaraan, secara radikal, Taimiyah lebih
memenangkan gagasan keadilan yang universal dibandingkan segala-galanya,
termasuk keimanan agama seseorang. Pendapat Taimiyah yang terkenal adalah
“lebih baik dipimpin oleh pemimpin yang kafir yang adil, daripada dipimpin oleh
pemimpin muslim yang dzalim.”[18]
Jelas sekali pendapat Taimiyah ini dalam
konteks kepemimpinan dan kewarganegaraan sangat kosmopolit dengan memandang
manusia sebagai individu yang merdeka terlepas dari agama, ideologi, asal
negara, dan ikatan-ikatan tradisional lainnya.
Bermula dari pendapat mengutamakan
pemimpin yang adil dibandingkan keimanan ini, Taimiyah melanjutkan lebih jauh
tentang peranan Negara dalam proyek kosmopolitanisme. Taimiyah mengemukakan
tugas utama Negara adalah tegaknya syariat yang tidak lain demi tegaknya keadilan
universal. Dengan demikian syari’ah dan keadilan universal adalah suatu yang
paralel dan harus berjalan seiring.
Lahirnya gagasan kosmopolit dapat
ditelusuri oleh berbagai faktor. Ibnu Taimiyah hidup dalam lingkungan
masyarakat yang hiterogen. Hiterogenitasnya menyangkut hal yang sangat
kompleks, baik dalam hal kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan
hukum. Sebagai akibat sering terjadinya perang, mobilitas penduduk dari
berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu wilayah terdapat berbagai bangsa :
Arab asal Irak, Arab asal Suria, Mesir, Turki, Tatar yang jatuh tertawan dan
kemudian menetap, Armenia dan sebagainya. Mereka masing-masing berbeda dalam
adat istiadat, tradisi, prilaku dan alam pikiran.[19]
Hal tersebut jelas menimbulkan
kerawanan-kerawanan bagi kehidupan bernegara. Dalam situasi demikian sukar
diciptakan stabilitas politik, keserasian sosial, dan pemupukan moral serta
akhlak. Selain itu dipertajam lagi oleh faktor banyaknya mazhab, seperti mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Jika semasa hidupnya sering keluar masuk
penjara, hal itu tidak selalu disebabkan karena ia memusuhi penguasa. Dia
adalah tokoh mazhab Hanbali yang tegas dan berani, karena kritiknya yang tegas
dan tajam terhadap kebiasaan memuja para Nabi dan Wali, maka ia mendapat
tantangan dari para ulama dan mazhab lain.
2. Doktrin Kekhalifahan di tangan orang
Quraisy tidak relevan dan tidak urgen
Isu sentral yang dikumandangkan Ibn
Taimiyyah adalah kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, dengan membuang jauh-jauh
perbuatan syirik, khurafat, bid’ah, pengkultusan seseorang dan lain-lain. Dalam
kerangka inilah kita dapat melihat relevansi kondisi sosial masyarakat yang
mendorong Ibnu Taimiyyah untuk tidak mengakui kehujjahan hadits bahwa pemimpin
harus dari bangsa Quraisy, karena dalam hadits tersebut ada unsur yang menyeru
kepada pengkultusan suatu bangsa atau golongan. Padahal Al-Quran menurut Ibnu
Taimiyah memuliakan manusia bukan karena keturunan dan kebangsaan, namun atas
dasar ketaqwaan.[20] Sehingga wajar kalau pada akhirnya ia tidak mengakui
kequraisyan sebagai salah satu syarat kekhalifahan, tetapi berusaha menggali
syarat-syarat kepemimpinan berdasarkan syari’at melalui pesan dan nilai-nilai
Al-Qur’an.
Kepemimpinan berdasarkan syari’ah inilah
yang merupakan konsep politik yang ia tawarkan sebagai usaha memberikan solusi
atas kondisi politik yang dihadapinya.
3. Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang
Institusi Negara
Ibnu Taimiyah menganggap berkelompok
dalam mengelola kapasitas alam, merupakan keniscayaan. Dari konsep ini kemudian
akan melahirkan institusi negara. Taimiyah terkenal dengan gagasan organis
dalam memandang institusi. Ia menekankan dengan sangat keras pentingnya
institusi dalam pengelolaan masyarakat untuk mencapai keadilan.
“Manusia pada dasarnya berwatak madaniy
(suka membangun). Itulah sebabnya jika mereka berkumpul, pastilah mereka
mengembangkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mewujudkan kemaslahatan
dan mengatasai persoalan. Untuk kepentingan itu, diperlukan kerja sama yang
padu antara pemerintah (ruler) dan anggota masyarakat (ruled). Tentu saja
diperlukan ketentuan-ketentuan yang defenitif yang mengatur tugas dan ruang
gerak masing-masing.”[21]
Hakikat pemerintahan menurut Ibnu
Taimiyah, adalah kekuasaan memaksa, yang diperlukan jika manusia ingin hidup di
masyarakat dan solidaritas mereka tidak ingin hancur karena keegoisan manusia
yang alamiah. Karena pemerintahan merupakan kebutuhan alamiah pada masyarakat,
ia muncul melalui suatu proses perebutan yang alamiah, memperoleh legitimasi
melalui perjanjian untuk hidup bersama. Penguasa dengan demikian, dapat
menuntut kepatuhan dari rakyatnya,
karena sekalipun penguasa tersebut tidak adil, itu masih lebih baik daripada
perselisihan dan bubarnya masyarakat; “berikan apa yang menjadi hak penguasa
dari kita dan mintalah kepada Tuhan apa yang menjadi hak untuk kita”.[22]
Hanya saja, Taimiyah meneruskan
pendapatnya itu dengan mewajibkan lembaga di bawah kontrol negara untuk
menegakkan keadilan. Lembaga yang dimaksud oleh Taimiyah adalah lembaga Hisbah
yang menjadi salah satu ciri khas pemerintahan Islam dalam mengelola distribusi
perekonomian dan pasar. Lembaga Hisbah adalah lembaga negara yang memiliki
wewenang yang sangat luas dalam bidang perekonomian dan pasar dan bertugas
mempromosikan apa yang baik dan mencegah apa yang buruk (amar ma’ruf nahi
munkar). Taimiyah menekankan prinsip keadilan sebagai penopang lembaga Hisbah
dalam pemerintahan Islam. Keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat
datangnya pertolongan Tuhan.[23]
Untuk mencegah antagonisme yang berujung
pada ketidakadilan, Taimiyah berpendapat, hukum harus ditegakkan dengan keras
oleh Negara. “Menegakkan hukum adalah tugas pemerintah dan hal ini berlaku baik
untuk delik meninggalkan kewajiban maupun delik mengerjakan larangan.”[24]
Selanjutnya, Taimiyah juga berbicara
tentang hukum keadilan yang terintegrasi dalam pemerintahan. Menurutnya
pemerintahan sebagai syarat mutlak dan fundamental dalam kehidupan
bermasyarakat untuk menegakkan keadilan. Tujuan Taimiyah adalah membangun
pemerintahan berdasarkan syariat (siyasah syari’iyyah). Syariat dalam
pemerintahan ditopang oleh dua pilar-yang juga sering disebut sebagai inti
pemikiran politik Islam, yaitu keadilan dan mempromosikan kebaikan dan mencegah
keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).
Pemimpin menurut Taimiyah
Dalam Islam apa yang kita sebut sebagai
jabatan dan aktivitas politik termasuk dalam kategori “amanat” dan “tugas
publik (waliyat)” seperti yang dipahami dalam syariat. Karena itu, seorang
penguasa politik wajib “menyampaikan amanat kepada pemberi amanat itu” dan
untuk “menghukumi secara adil”[25]. Tujuan semua tugas publik (waliyat) adalah
mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual manusia.
Dengan demikian, kita dapat mengatakan
bahwa posisi kepemimpinan politik (sultan, mulk, amir) dan syariat saling
melengkapi satu sama lain untuk membentuk sebuah pemerintahan yang berdasarkan
syariat. Ibnu Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan tanpa
kekuasaan politik. Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran benar-benar tidak dapat dicapai “kecuali kekuasaan dan otoritas
pemimpin (imam).” Pendapatnya yang terkenal adalah “agama tanpa kekuasaan,
jihad, dan harta, sama buruknya dengan kekuasaan, harta, dan perang tanpa
agama.”[26]
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, tegaknya
keadilan tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya kerjasama. Manusia berkumpul
dan membentuk sebuah komunitas politik, kemudian menunjuk salah seorang sebagai
pemimpin untuk mengorganisir untuk mewujudkan keadilan dan kebermanfaatan
bersama.
Seorang pemimpin tidak menetapkan tujuan
mereka sendiri, melainkan memiliki otoritas untuk bertindak dan dipatuhi,
karena mereka tengah (atau semestinya) berusaha mewujudkan tujuan-tujuan Islam.
Doktrin pemimpin dalam Islam adalah
tidak lain merupakan wali, wakil, dan agen otoritas, sama sekali bukan pemilik.
Inilah maksud bahwa pemimpin adalah penggembala, yang tidak memiliki hewan
gembalaannya; kedudukannya seperti wali bagi anak yatim. Di sini, citra raja
absolut Timur Tengah dan Iran kuno benar-benar diislamkan. Otoritas pemimpin,
sesungguhnya berasal dari Tuhan; namun hal ini berarti bahwa
kepentingan-kepentingan yang wajib ia upayakan sesungguhnya merupakan
kepentingan-kepentingan rakyatnya.
Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan
bahwa kekuasaan kepala negara atau raja hanya merupakan mandat dari Tuhan yang
diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah menganggap
bahwa penguasa-penguasa yang korup adalah yang paling tidak bermoral dan karena
itu tidak ada kewajiban untuk patuh pada mereka, dan ia juga menyalahkan para
ulama dan cerdikcendikia yang mendukung penguasa-penguasa yang tidak
mengindahkan agama dan melakukan penyelewengan dan membuat syari’at tidak mampu
menjawab tuntutan kemanusiaan. Mereka telah dianggap mengingkari prinsip-prinsip
syari’ah. Tapi di lain sisi Ibnu Taimiyah menemukan dilema ketika dihadapkan
tentang ada dan tidak adanya pemimpin dalam sebuah negara. Menurut Ibn
Taimiyah, sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama,
adanya seorang kepala negara merupakan sesuatu yang niscaya dan tidak
terelakkan. Di sini prinsip gagasannya adalah bahwa kaum muslimin dalam hidup
sosial perlu ada pemimpin dan diorientasikan pada stabilitas. Dasar pandangan
ini dikatakan berasal dari Rasulullah Muhammad (?) yang bersabda bahwa 70 tahun
kehidupan sosial di bawah kekuasaan refresif masih lebih baik dari hidup sosial
tanpa ada kepemimpinan atau (lebih baik) dari anarkhi.[27]
Dari sumber lain pernyataan “Lebih baik
60 tahun diperintah oleh pemimpin yang dzalim dibandingkan hidup satu hari
tanpa pemerintahan.”[28] adalah berasal dari pendapat ibnu Taimiyah sendiri
dalam buku As-Siyasah Asy-Syariah.
Bentuk negara menurut Taimiyah
Cukup menarik, sekalipun Ibnu Taimiyah
selalu menekankan kekuasaan politik, negara, dan pemerintahan dalam kehidupan
masyarakat, tetapi Taimiyah meragukan validitas pendapat bahwa kekhalifahan
berasal dari sumber agama (Al-Quran dan As-Sunnah). Suatu pemikiran ekstrem
yang menentang arus pemikiran teori kekhalifahan yang sangat sakral pada masa
itu.
Ibnu Taimiyah juga mengkritik Sunni dan
Syiah. Menurut pandangannya, tidak ada dasar dalam Al-Quran dan As-Sunnah
tentang teori kekhalifahan tradisional ala Sunni dan tidak ada teori imamah
Syiah yang mutlak. Ia melihat Islam sebagai suatu tata sosial yang mempunyai
hukum tertinggi: hukum Allah. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak tertarik
pada negara dan formasinya. Meskipun menerima negara itu sebagai suatu
kebutuhan agama (a religious necessity). Artinya, negara Islam yang dianggap
memenuhi syarat adalah suatu pemerintahan yang mendasarkan pada syariat sebagai
penguasa tertinggi dan tidak memandang apakah negara itu berbentuk khalifahan,
monarki, ataupun republik. Ia lebih memilih meletakkan keadilan pada setiap
pemerintahan sebagai esensi kekuasaan, tinimbang meributkan bentuk negara.
Teori politik Ibnu Taimiyah memiliki
kemiripan yang lebih dekat kepada konsep pemerintahan modern. Dalam asal-usul
negara, ia bermaksud menawarkan interpretasi sosiologis berdasarkan pada
hakikat manusia yang bebas dari penjelasan agama. Sikap tersebut tidak
ditemukan pada teori klasik yang menegaskan bahwa asal-usul kekuasaan hanya
berasal dari sumber agama. Dari sini kita bisa melihat pemikiran Ibnu Taimiyah
“melampaui” tradisi berpikir para filsuf Islam tentang teori kekuasaan.[29]
Pembaharuan pemikiran oleh Taimiyah
Taimiyah melakukan pembaharuan dengan
membuka kembali pintu akal, daripada hanya mengikuti pola yang sudah baku.
Kepercayaan terhadap kemungkinan dan nilai pengetahuan syariah yang independen
mempunyai pengaruh yang kuat pada doktrin Ibnu Taimiyah dan merupakan pendukung
semua langkah pembaruannya yang kontroversial.
Perubahan paling penting yang menyangkut
dengan metode itu adalah adanya rehabilitasi peranan ijtihad yang sering
diartikan dengan ungkapan seseorang terhadap kecakapan dan kemampuan pribadinya
untuk mencapai pengetahuan. Ijtihad dimaksudkan untuk menggantikan metode
taklid yang amat membeo dan kaku. Taklid sendiri berarti mengadopsi segala
keputusan yang ditetapkan oleh para penguasa.
Ia tidak mendukung tafsir teks suci yang
benar-benar harfiah, tetapi menggunakan analogi dan silogisme sebagai alat
untuk menghubungkan contoh-contoh tertentu dengan norma-norma legal melalui
argument rasional. Dia mendukung penalaran individual (ijtihad) yang dilakukan
oleh seorang mujtahid yang memenuhi syarat sebagai bantuan untuk memahami
konsensus (ijmak) umat Islam. Satu hal yang paling mengejutkan, ia mendukung
“jalan tengah” (wasath)-atau rekonsiliasi-antara nalar (metode teologi),
riwayat (metode ahli hadits), dan kehendak bebas (metode sufi).
Selain itu, prinsip-prinsip dan
nilai-nilai fundamental syariah harus mempertimbangkan keadaan-keadaan baru.
Menurutnya, syariat saat ini mungkin membutuhkan banyak adaptasi. Syariat dapat
memberikan bimbingan yang benar untuk setiap masalah hanya jika manusia
menggunakan seluruh upayanya (berijtihad). Ibnu Taimiyah membolehkan penguasa
untuk menerapkan hukuman terhadap sesuatu urusan yang belum ditetapkan oleh
syariat, misalnya hukuman untuk kesalahan administrasi, malpraktik, dan
penyuapan.
Cakrawala Ibnu Taimiyah semakin terbuka
ketika Kekhalifahan Abbasiyah tumbang, karena peristiwa itu membuka jalan bagi
solusi yang lebih radikal terhadap problem-problem yang sekian lama menghantui
masyarakat.
Ibnu Taimiyah menghargai peranan akal
dan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya, tetapi kedudukannya harus berada di
bawah wahyu. Akal yang benar adalah akal yang beroperasi di bawah bimbingan
Al-Quran dan petunjuk Nabi (As-Sunnah).
Relevansi Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah
di Era Modern : Sekilas Perbandingan
dengan Pemikiran Imanuel Kant
Sebagaimana dikemukakan di atas, Ibnu
Taimiyah mengedepankan peranan negara dalam pengelolaan sumber daya alam dan
menegakkan keadilan; memandang dengan kacamata kosmopolit dengan mementingkan
asas keadilan di atas keimanan; dan penyegaran pemikiran dengan mengemukakan
usaha filosofis dalam mencari kebenaran.
Bagi Ibnu Taimiyah keadilan adalah
sunnatullah yang pasti, objektif dan tidak berubah, siapa saja yang menegakkan
keadilan akan jaya, dan siapa yang melanggarnya akan binasa. Karena itu dalam
risalahnya ia mengutip ungkapan yang sangat kosmopolit : “Sesungguhnya Allah
akan menegakkan negeri yang adil meskipun kafir, dan tidak akan menegakkan
negeri yang zalim meskipun Islam”. [30]
Menariknya, setelah gagasan Taimiyah
yang kosmopolit ini dikemukakan, lima
abad kemudian dari dunia yang berbeda lahir seorang filosof bernama Immanuel Kant[31] dengan benang merah
pemikiran yang sama, yakni sama-sama berbicara kosmopolitanisme; keadilan,
distribusi sumber daya secara global, dan pencapaiannya melalui institusi
negara, namun dengan warna dan latar etik yang berbeda. Dengan membandingkan
kedua tokoh ini kita dapat mengatakan bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah ini
“melompati zamannya” dan menembus ruang dimana ia tinggal. Karena pemikiran dan
pendapat-pendapatnya yang “melompati zaman” ini pula membuatnya tidak diterima
banyak kalangan Islam sendiri pada masanya.
Kant dikenal dengan Imperatif
Kategoris-nya. Ada dua norma yang mendasari prinsip ini: Pertama, tiap manusia
harus diperlakukan sesuai martabatnya. Ia harus diperlakukan dalam segala hal
sebagai subyek, bukan obyek. Kedua, orang harus bertindak dengan dalil bahwa
apa yang menjadi dasar tindakannya memang merupakan prinsip semesta. Prinsip
semesta yang dimaksud Kant adalah penghargaan akan manusia yang bebas dan
otonom.[32]
Menurut Kant, dalam kebebasan dan
otonominya, tiap-tiap individu cenderung memperjuangkan kemerdekaan yang
dimilikinya. Tapi sangat mungkin, pelaksanaan kemerdekaan seseorang bisa
merugikan orang lain. Untuk menghindari kerugian itu, dibutuhkan hukum sebagai
platform hidup bersama. Hukum merupakan kebutuhan dari setiap mahkluk bebas dan
otonom yang mau tidak mau memang harus hidup bersama. Persis di titik ini,
seolah ada seruan Kant : “hiduplah berdasarkan hukum jika ingin hidup bersama
secara damai dan adil”. Seruan ini bernuansa imperatif etik, dan oleh karena
itu timbul kewajiban untuk menaati hukum.
Senada dengan Kant, Ibnu Taimiyah juga
percaya bahwa untuk membangun tatanan negara yang rasional, diperlukan suatu
hukum dan menejerial pemerintahan yang memastikan tiap orang menghormati
kebebasan orang lain. Meskipun latar etik Kant memiliki perbedaaan yang
mendasar dengan Ibnu Taimiyah. Bagi Kant, sebuah negara tidak perlu mengatur
rakyatnya dengan kontrol yang bersifat moral atau pun religius. Sebab jika
dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran
absolut agama, moralitas, atau kulturnya, maka yang akan terjadi adalah
kekacauan dan konflik. Kebijakan moralistik, hanya akan memecah-belah
masyarakat modern yang plural dalam kategori-kategori agama, moral, maupun
kebudayaan. Dari sinilah Kant mengusulkan tatanan hukum yang obyektif dan
imperatif (sekuler : penulis). Makna hakiki dari hukum yang obyektif dan
imperatif itu, adalah bahwa hukum menjamin kepentingan semua individu menurut
dua prinsip imperatif kategoris di atas, bukan menurut ukuran-ukuran primordial
(agama, moralitas, dan kultur tertentu).
Sementara Ibnu Taimiyah memandang agama
(baca: Islam) dapat menjadi prinsip semesta (universal). Ia berangkat dari
keyakinan bahwa Islam adalah ajaran universal (rahmatan lil ‘alamin) yang dapat
menjadi platform kebersamaan karena mengajarkan nilai-nilai keadilan dan
hak-hak dasar individu.
Dari uraian di atas tampak kesamaan di
antara keduanya adalah keharusan adanya paltform kehidupan sosial bersama yang
disebut hukum. Adapun perbedaan keduanya berangkat dari sumber etik. Hal ini
dapat dipahami, karena setiap karya Kant selalu mempermasalahkan Tuhan yang
dianggapnya tidak bisa dibicarakan karena tidak tergolong dalam
kategori-kategori. Kant sangat mengagungkan rasionalitas. Sebagai ganti dari
hukum-hukum berlatar etik termasuk agama Kant lebih mempercayai hukum Alam
(dalam “a” besar) yang mengatur kehidupan manusia dan menetapkan tujuan-tujuan
sejarah manusia.
Sebaliknya, Ibnu Taimiyah dengan tegas
selalu berpegang teguh pada hukum agama Islam dalam setiap pemikirannya.
Taimiyah menghargai akal, tetapi akal yang terbimbing oleh agama. Kekuasaan,
menurut Taimiyah, adalah kekuasaan kepala negara atau raja hanya merupakan
mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya.
Kant memperkenalkan istilah keharusan
otonom dan keharusan heteronom. Ketika aturan hukum sebagai norma hukum
positif, ia bukan lagi merupakan keharusan yang otonom, melainkan keharusan
yang heteronom. Dalam keharusan yang heteronom, berlakunya norma tidak berasal
dari rasa kewajiban yang mendorong batin batin manusia, melainkan dari sesuatu
yang di luar kewajiban batin. Di sini Kant memperkenalkan istilah legalitat,
yakni ‘sifat hukum’ dari suatu perbuatan. Inti sifat hukum dari suatu perbuatan
adalah, penyesuaian tindakan individu dengan apa yang sudah dibentuk sebagai
hukum”. Lepas dari apa pun motifnya (rasa respek atau takut), orang harus
mengikuti apa yang diperintahkan oleh hukum.
Konsep ini juga dapat disejajarkan
dengan pemikiran Ibnu Taimiyah tentang diperlukannya ketentuan-ketentuan yang
defenitif yang mengatur tugas dan ruang gerak masing-masing dalam wujud hukum yang
berlaku secara obyektif. Inilah yang disebut Ibnu Taimiyah, adalah kekuasaan
memaksa dari the rule (pemerintah) terhadap the ruled (rakyat) yang diperlukan
untuk menjaga masyarakat terhindar dari keegoisan alamiah manusia yang dapat
menghancurkan kehidupan sosial. Oleh karena itulah Ibnu Taimiyah berpendapat
hukum harus ditegakkan dengan keras oleh negara dan negara harus berjalan di
atas keadilan hukum. Di sini tampak gagasan organik Ibnu Taimiyah yang
memandang hukum dan keadilan yang terintegrasi dalam pemerintahan.
Dalam memandang progresivitas sejarah
terdapat perbedaan mendasar antara Kant dan Taimiyah. Kant memandang Alam
berkendak agar manusia berusaha mewujudkan sejarah universal manusia yang
kosmopolit. Kant menilai inilah puncak sejarah manusia yang sempurna dan
menjadi tugas terakhir yang harus direalisasikan sebelum Alam berakhir.
Pemikiran Kant senada dengan pemikir Barat lainnya yang selalu merefleksikan
progresivitas sejarah ke arah masa depan.
Akan tetapi, Taimiyah berpendapat puncak
sejarah manusia yang sempurna adalah pada zaman Rasulullah SAW dan para
sahabatnya hidup. Setiap pemikir Islam, termasuk Taimiyah, mempercayai bahwa
pencapaian sejarah manusia yang paling puncak adalah pada masa dimana
Rasulullah hidup. Sehingga setiap pemikir Islam selalu merefleksikan tujuan
ideal ke belakang dalam proses filosofisnya. Pendapat ini ia dasarkan pada
sabda Rasulullah SAW: “Zaman terbaik adalah zamanku, kemudian sesudahnya, dan
sesudahnya lagi.
Dengan sedikit menyambungkan benang
pemikiran Ibnu Taimiyah yang hidup di abad pertengahan dengan Kant yang hidup
pada periode modern setidaknya kita akan mengetahui bahwa beberapa gagasan
kosmopolitanisme Ibnu Taimiyah yang ia letakkan dengan menjadikan nilai
keadilan pondasi melebihi agama dan keimanan formal; membuka keran pemikiran
Islam seluas-luasnya; distribusi sumber daya secara global; dan pencapaian
keadilan melalui institusi negara masih relevan dengan alam pemikiran politik
modern.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (Ed), Ensiklopedi
Tematik Dunia Islam : Jilid 2, Jakarta : Ictiar Baru Van Hoeve, 2002
Adams, Ian, “Ideologi Politik Mutakhir,
Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya”, Yogyakarta: Qalam , 2003
Ash-Shadr, Sayyid Muhammad Baqir, Sistem
Politik Islam, (judul Asli : Introduction to Islamic Political System, penerj.
Arif Mulyadi, Jakarta : Lentera, 2001
Bahansawi, Salim, Wawasan Sistem Politik
Islam, Judul Asli : Asy Syari’ah al-Muftara Alaiha, penerj. : Mustolah Maufur,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1995
Black, Antony, Pemikiran Politik Islam:
Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, , Jakarta: Serambi, 2001
Bosworth, C. E. Dinasti-Dinasti Islam,
h. 88-89.
Brock, Gillian,. World Citizenship:
David Miller versus the New Cosmopolitans, 2002, diktat “Kosmopolitanisme” mata
kuliah Teori Politik Internasional Fisipol Universitas Gadjah Mada, 2002
Djaelani, Abdul Qadir, Negara Ideal
Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya : Bina Ilmu), 1995
Djazuli, A. , Fiqh Siyasah :
Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu Syari’ah, edisi Revisi
(Jakarta : Jakarta Putra Grafika), 2007
Ghazali, Adeng Muchtar, Pemikiran Islam
Kontemporer : Suatu refleksi keagamaan yang dialogis, (Jakarta : Pustaka
Setia), 2005
Gibb, H. A. R. The Encycloapedia of
Islam (Leiden : E. J. Brill, 1960)
Goldziher, “Ibn Taimiyah”, Encyclopedia
of Religion and Ethics 7 : 72
Gunawan, Asep (Ed), Artikulasi Islam
Kultural : Dari tahapan Moral ke Periode Sejarah, Kata Pengantar : Dawam
Rahardjo, (Jakarta : Srigunting) , 2004
Hitti, Philip K. dalam History of The
Arab, terj. R. Cecep Lukman Yasin et.al. (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2006)
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah :
Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007)
Jindan, Khalid Ibrahim Teori Politik
Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, Surabaya:
Risalah Gusti, 1995
Kamal, Zainun, Ibnu Taimiyah versus Para
Filosof: Polemik Logika, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan
Peradaban Islam, Pengantar : Ahmad Syafi’I Ma’arif dan M. Amin Abdullah,
Yogyakarta : Pustaka Books Publisher, 2007
Khairuddin, Ahmad, Beberapa Interpretasi
Hadits al-Aimah min Quraisy (Studi Hadis dengan Pendekatan Fiqh Siyasah),
(Banjarmasin : Antasari Press, 2005
Khan, Qamaruddin The Political Thought
of Ibn Taymiyyah., terj. Anas Wahyuddin, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah
(Bandung : Pustaka, 1983).
Lapidus, Ira. M, Sejarah Sosial Umat
Islam : Bagian ke satu dan kedua, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999)
Lewis, Bernard, Bangsa Arab dalam
Lintasan Sejarah : Dari segi geografi sosial, budaya dan peranan Islam, Judul
Asli : The Arabs in History, penerj. : Said Jamhuri, kata pengantar :
Nurcholish Madjid, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1994
Madjid, Nurcholish Pintu-pintu Menuju
Tuhan, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1994.
———————-, Islam Agama Peradaban :
Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Yayasan
Wakaf Paramadina, 1995.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah :
Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta : RajaGrafindo Persada dan LSIK), 1995
Rahman, Budhy Munawar (Ed),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah : (Jakarta : Yayasan Wakaf
Paramadina) , 1994
Reese, William L., Dictionary of
Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought, Atlantic Highlands :
Humanities Press, 1996.
Salim, Abdul Muin, Fiqh Siyasah :
Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Jakarta : RajaGrafindo Persada),
2002
Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Siyasah :
Pengantar Ilmu Politik Islam (Bandung : Public Duties in Islam, The Institution
of the Hisba, London: , 1985
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara
: ajaran, sejarah dan pemikiran (Jakarta : UI Press), 1990
Supriyadi, Dedi, Perbandingan Fiqh
Siyasah : Konsep, Aliran, dan Tokoh-Tokoh Politik Islam, Pengantar : Fauzan Ali
Rasyid, Jakarta: Pustaka Setia, 2007
Surwandono, “Pemikiran Politik Islam“,
2001, Yogyakarta: LPPI UMY
Strathern, Paul,.“90 Menit Bersama
Kant”, Jakarta: Erlangga, 2001
Taha, Ahmadi, Ibnu Taimiyah Sejarah
Hidup dan Pemikiran, Surabaya : Bina Ilmu, 2007
Taimiyah, Ibnu,.“Siyasah Syar’iyah :
Etika Politik Islam”, Surabaya : Risalah Gusti, 2005
Taimiyah, Ibnu,.“Tugas Negara Menurut
Islam”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Tanya, Bernard L (et. al) Teori Hukum :
StrategiTertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya : CV. Kita, 2007
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di
Kawasan Dunia Islam : Melacak akar-akar sejarah, sosial, politik, dan budaya
umat Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada), 2002
Wijdan SZ, Aden, dkk, Pemikiran dan
Peradaban Islam, Kata Pengantar : Ahmad Syafi’i Ma’arif, (Yogyakarta : Safiria
Insania Press dan PSI UII), 2007.
Yatim, Badri Sejarah Peradaban Islam :
Dirasah Islamiyah II (Jakarta : Rajawali Press, 2006), h. 117-123.
Zamharir, Muhammad Hari, Agama dan
Negara : Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Jakarta : Murai
Kencana, 2004
[1] Penulis dapat menyatakan seperti ini
karena di masa Bani Umayyah belum ada karya yang dapat dijadikan referensi
pemikiran politik Islam. Memasuki pertengahan abad ke-9 barulah lahir karya
Ibnu Abi Rabi berjudul “Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik” dan abad 10 M
karya monumental ilmuwan legendaris muslim yang hidup di masa Dinasti
Abbasiyah, yakni Al-Mawardi dengan
karyanya yang berjudul Al Ahkam al-Sulthania wa al Wilayat al-Diniyyah.
[2] Ibn Abi Rabi’ adalah dianggap ulama
sunni pertama yang menulis kitab siyasah mempersembahkan karyanya berjudul
“Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik” kepada Khalifah Mu’tashim (833-842 M).
Sebagai buku persembahan tentu tidak memberikan koreksi terhadap penguasa.
Dalam buku itu Ibn Abi Rabi memuji-muji Al-Mu’tashim sebagai Khalifah yang
adil, bijaksana dan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. (Munawir
Sjadzali, 43). Sementara Al-Ghazali (1058-1111 M) dalam Iqtishad fi al-I’tiqad
menyebutkan bahwa kekuasaan kepala negara adalah kudus (suci). Karenanya umat
tidak boleh memberontak pada kekuasaan. Al-Ghazali dan Al-Mawardi secara tegas
menyatakan seperti pemuka sunni lainnya menetapkan syarat quraisy untuk menjadi
kepala negara. Pandangan mereka dapat dianggap sebagai pembelaan terhadap
kekuasaan. Ini wajar, karena ketika itu puncuk pimpinan ada di tangan orang
quraisy di samping hadis yang secara teks menyebutkan ketentuan tersebut.
[3] Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah :
Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007) h.
22.
[4] Goldziher, “Ibn Taimiyah”,
Encyclopedia of Religion and Ethics 7 : 72
[5] Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan
Tata Negara : ajaran, sejarah dan pemikiran (Jakarta : UI Press, 1990), h. 79
dan 82; Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, keduanya menyebutkan
kelahiran Ibnu Taimiyah tanggal 22 Januari 1262 M. Jika tanggal tersebut
dihijriahkan menjadi 29 Shafar 660 H. Sebenarnya tanggal kelahiran ini masih
diperselisihkan. Dalam buku Siyasah Syar’iyah :. Etika Politik Islam, Editor
Ali Syami an-Nasysyar menyebutkan tanggal kelahiran Ibnu Taimiyah 10 Rabiul
Awal 611 H yang bila disesuaikan dengan kalender Masehi berarti tanggal 20 Juli
1214 M. Sementara Ahmadi Thaha menyebut tanggal kelahirannya 10 Rabiul Awal 661
H bila dihijriahkan menjadi 12 Januari 1263 M. Jika mengacu pada tahun
penyerbuan bangsa Tartar yang menaklukan kota Bagdad pada tahun 667 Hijriah,
saat itu Ibnu Taimiyah (masih berusia sekitar 6 tahun) dilarikan oleh ayahnya
ke Damaskus. Dari peristiwa tersebut dapat ditarik kesimpulan yang paling mendekati
kebenaran tahun kelahirannya adalah 661 H.
[6] Sultan-sultan Mamalik antara
al-Zhahir dan al-Nashir adalah al-Sa’id Nashiruddin Barakah
(676-678H./1277-1280 M), al-Adil Badruddin Salamisy (678-678 H./1280-1280 M),
al-Manshur Saifuddin Qala’un al-Alfi (678-689 H./1280-1290 M.), al-Asyraf
Shalah al Din Khalil (689-693 H.)/1290-1294 M.) Pemerintahan al-Nashir
Nashiruddin Muhammad yang pertama (693-694 H./1294-1295 M.), al-Adil Zainuddin
Kitbugha (694-696 H.)/1295-1297 M.), al-Manshur Hasanuddin Lajin (696-698
H./1297-1299 M.), Pemerintahan al-Nashir Nashiruddin Muhammad yang kedua
(698-708 H./1299-1303 M.), dan al-Muzaffar Ruknuddin Baybars II (708-709
H./1309-1309 M.). C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, h. 88-89.
[7] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,
h. 80
[8] Dikatakan demikian karena di saat
segenap wilayah Islam dikuasai oleh
pasukan Mongol, Dinasti Mamalik bahkan dapat mengalahkan mereka dalam
pertempuran Ain Jalut, Syria.
[9] Timur lenk atau Timur si pincang
adalah keturunan bangsa Mongol yang sudah memeluk Islam tetapi serangannya ke
beberapa wilayah Islam menimbulkan malapetaka yang tidak kalah hebat dari
serangan Hulagu Khan. Lihat dalam Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam :
Dirasah Islamiyah II (Jakarta : Rajawali Press, 2006), h. 117-123.
[10] Qamaruddin Khan, The Political
Thought of Ibn Taymiyyah., terj. Anas Wahyuddin, Pemikiran Politik Ibnu
Taymiyyah (Bandung : Pustaka, 1983), h. 34.
[11] Lihat penjelasan Philip K. Hitti
dalam History of The Arab, terj. R. Cecep Lukman Yasin et.al. (Jakarta :
Serambi Ilmu Semesta, 2006) cet. 2. h. 616-623 dia mengemukakan faktor internal
lebih banyak berperan sebagai sebab kehancuran kekhalifahan daripada faktor
eksternal.
[12] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 80
[13] Lihat uraian Albert Hourani,
Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung : Mizan, 2004)., h.41-42
[14] Dinasti Mamalik atau Mamluk
merupakan fenomena unik di dalam sejarah politik Islam. Kelahirannya berasal
dari para budak yang berasal dari berbagai suku dan bangsa yang menciptakan
suatu tatanan kekuatan militer di wilayah asing. Merekalah yang berhasil
membebaskan Suriah dan Mesir yang sebelumnya dikuasai Tentara Salib. Selama
beberapa waktu mereka pula yang berhasil menahan laju serangan bangsa mongol
yang dipimpin oleh Hulagu dan Timur Lenk. Seandainya mereka gagal bertahan,
tentu tatanan sejarah dan kebudayaan Asia Barat dan Mesir yang memiliki akar
Islam berubah drastis. Dinasti Mamluk menguasai satu kawasan paling “panas” di
dunia dan memelihara keutuhan wilayah tersebut meskipun mereka terdiri dari ras
yang berbeda-beda.
[15] Lihat : H.. M.. Atho Mudzhar,
Membaca Gelombang Ijtihad – Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1998), h. 105. Pendekatan seperti ini adalah dasar pemikiran yang
dikembangkan oleh para pemikir Islam kontemporer dalam menggagas metode studi
Ilmu-ilmu keislaman. Mereka menghendaki agar studi ilmu-ilmu keislaman
dilakukan seharusnya tidak terasing dari konteks sosial historisnya. Muhammad
Arkoun, misalnya, mempertanyakan menghilangnya dimensi historisitas (tarikhiyat
dari keilmuah fiqh dan kalam. Ia dengan tegas mempertanyakan keabsahan
pengekalan teori-teori kalam, fikih (termasuk di dalamnya fikih siyasah) dan
sudah barang tentu tasawuf yang disusun beberapa puluh abad yang lalu untuk
diajarkan terus-menerus pada era sekarang setelah permasalahan dan tantangan
zaman terus menerus berubah tidak lagi seperti sediakalan. Lihat, M. Amin
Abdullah, Ta’wil al-Ilmi : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,
al-Jamiah, Vol. 39. No. 2, (Yogyakarta:IAIN Sunan Kalijaga,2001), h.363-364.
Karl Mannheim lewat teori relasionalnya
juga sangat menekankan pentingnya hubungan antara pemikiran dengan konteks
sosialnya. Teori itu mengatakan bahwa setiap pemikiran selalu berkaitan dengan
keseluruhan struktur sosial yang melingkupinya. Lihat : Karl Mannheim, Ideologi
dan Utopia, menyingkap kaitan pikiran dan politik, terj. F. Budi Hardiman
(Yogyakarta : Kanisius, 1991) hlm. 222. Dengan teori ini, kebenaran pemikiran
sesungguhnya hanyalah kebenaran kontekstual, bukan kebenaran universal. Untuk
itu memahami butir pikiran seseorang tidak bisa lepas dari konteks dan struktur
kemasuk-akalan yang dimiliki orang itu, termasuk memahami pemikiran Ibnu
Taimiyah.
[16] Masyaruddin, Pemberontakan Tasawuf
: Kritik Ibnu Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf, Surabaya : JP Box dan STAIN Kudus Press, 2007. h. 27.
[17] Berasal dari kata cosmopolitan,
diantara artinya : having a broad view or experience of the world and free from
national prejude. Lihat AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, New
York : Oxford University, 1995, h. 262. Cosmopolite adalah sebutan bagi orang
yang berpandangan internasional, warga dunia. Lihat John M. Echols dan Hasan
Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1996. h. 149.
[18] Surwandono, “Pemikiran Politik
Islam“, 2001, Yogyakarta: LPPI UMY
[19] H. A. R. Gibb, The Encycloapedia of
Islam (Leiden : E. J. Brill, 1960), h. 59
[20] Lihat Q. S.
[21] Ibnu Taimiyah, Tugas Negara menurut
Islam, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 35.
[22] Lihat Albert Hourani, Pemikiran
Liberal di Dunia Arab, (Bandung : Mizan, 2004)., h. 31, pandangan tersebut
diambil dari karya Ibnu Taimiyah Al-Siyasah yang diterjemahkan dalam bahasa
Prancis.
[23] Ibnu Taimiyah, Public Duties in
Islam, The Institution of the Hisba,1985, London
[24] Ibnu Taimiyah, Tugas Negara Menurut
Islam, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[25] Lihat Q. S. 4 (An-Nisa) : 61-62
[26] Antony Black, Pemikiran Politik
Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, 2001, Jakarta: Serambi
[27] Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam
Bernegara, terjemahan Firdaus AN, (Jakarta : Bulan Bintang, 1960) h. 229-241.
[28] Lihat Masrohin dalam “Pengantar
Penerjemah” untuk buku Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah
Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, 1995, Surabaya: Risalah Gusti,
1995. h. vii.
[29] Khalid Ibrahim Jindan, Teori
Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, 1995,
Surabaya: Risalah Gusti
[30] Lihat Nurcholish Madjid,
Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1994. h. 43,
ungkapan di atas berasal dari Ali bin Abi Thalib yang banyak dikutip oleh ulama
klasik.
[31] Lihat dalam : William L. Reese,
Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought, Atlantic
Highlands : Humanities Press, 1996 h. 372-376. Immanuel Kant (1724-1804) adalah
seorang filosof berkebangsaan Jerman. Ia lahir di Konigsberg, sebuah kota kecil
di Prusia Timur. Masa hidupnya dihabiskan di kota kelahirannya ini. Ketika
berusia 16 tahun Kant memasuki Universitas Konigsberg, setelah tamat lalu
menjadi privatdozent (dosen luar biasa). Tahun 1755 ia kembali ke Universitas
menjadi dosen di Konigsberg, dan 15 tahun kemudian diangkat menjadi propesor.
Karya-karyanya yang termasyur adalah : Critique of Pure Reason (1781),
Prolegomena to any Future Metaphysics (1783), Foundation of Metaphysics of
Ethics (1785), Critique of Practical
Reason (1788) dan Critique of Judgement (1790)
[32] Lihat dalam Tanya Bernard L.
(et.al), Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Surabaya : CV. Kita, 2007. h. 90-91.