Oleh: M. Fahlevi
PENDAHULUAN
Demokrasi dan Islam berkesusaian? Tema inilah yang akan kita bahas habis di
dalam makalah ini. Karena kita mengetahui bahwa demokrasi adalah sistem
pemerintahan yang mengutamakan kepentingan rakyat dan juga agama islam sangat
mengutamakan umat/rakyat. Tapi sekarang ini jika kita melihat dalam pandangan
dunia demokrasi selalu di indentikkan oleh negara barat dan pemerintahan islam
selalu indentik dengan negara timur dan negara timur selalu di indentikkan anti
barat. Maka dari itu makalah ini membahas apakah demokrasi itu ada dalam konsep
ajaran islam? / apakah demokrasi dan islam itu berkesusaian?
Dalam membahas ini kita mengambil 3
tokoh agamawan sekaligus politikus yang aktif dalam gerakan pemerintahan dan
pemikiran-pemikirannya juga banyak memberikan pelajaran kepada negara-negara
islam mengenai demokrasi dan islam. Ketiga tokoh ini selain mempunyai wawasan
tentang agama yang luas juga mempunyai ilmu pemerintahan yang bagus sehingga
dapat merealisasikan islam dengan negara yaitu Mohammad Natsir,Maududi dan
Tariq Ramadhan. Ketiganya adalah tokoh yang pemikirannya di pandang oleh
orang-orang baik di dalam negeri maupun dunia. Karena pemahamannya yang luas
tentang agama tidak hanya ajaran yang bersifat ritual saja tetapi agama juga
mengatur pemerintahan. Sehingga dapat terbentuk negara yang mempunyai konsep
Theokrasi yaitu kekuasaan hukum berada pada Tuhan, karena Tuhanlah yang maha
mengetahui.
DEMOKRASI
DAN ISLAM
Demokrasi banyak negara yang
menggunakan sistem pemerintahan demokrasi karena dianggap bahwa demokrasilah
bentuk pemerintahan yang paling adil karena selalu mengutamakan rakyat. Karena
pemerintahan terdiri dari rakyat yang begitu banyak maka kepuasan dan
kenyamanan rakyat adalah tujuan dari sebuah negara menjaga warganya agar aman
dan damai. Sehingga bisa dibilang kekuasaan ada di tangan rakyat, karena
kebanyakan yang kita lihat di negara-negara yang tidak menerapkan sistem
demokrasi rakyat menjadi tertindas karena tidak keberdayaannya, dan menjadi
tidak punya harapan karena kelemahan yang dibuat oleh penguasa terjadi
kesenjangan sosial yang begitu besar antara rakyat dan penguasa yang menindas
tersebut. Demokrasi selalu mengutamakan rakyat, rakyatlah yang menjadi raja.
Sehingga kekuatan selalu berada di tangan rakyat.
Islam adalah negara yang dibawa oleh Muhammad
saw dalam membawa agama Islam nabi Muhammad saw tidak seperti nabi Isa as yang
hanya menjadi pengajar agama bagi bani israil tetapi Muhammad saw juga menjadi
pemimpin dalam pemerintahan arab jadi yang dibawanya tidak hanya ajaran agama
tetapi agama yang dapat direalisasikan dalam segala hal termasuk pemerintahan
maka dari itu nabi Muhammad saw menjadi pemimpin agama juga menjadi pemimpin
suatu pemerintahan negara. Negara yang dibuatnya adalah negara yang penuh
dengan asas-asas ketuhanan karena hukum yang digunakan oleh negara itu ialah
huku Tuhan / hukum Islam karena Al-Quran adalah wahyu tuhan dan hukum sumber
utamanya adalah Al-Quran maka hukum yang digunakan ialah hukum Tuhan. Sehingga
Islam dapat direalisasikan juga dengan sebuah bukanlah hanya sekedar ajaran
agama yang sempit.
Penjelasan demokrasi dan Islam telah kita
pahami bersama karena keduanya saling berkaitan maka kita akan membahas habis
pemikiran-pemikiran yang menghubungkan keduanya itu dengan menganalisis
pemikiran-pemikiran Mohammad Natsir,Maududi dan Tariq Ramadhan.
Mohammad Natsir
Mohammad Natsir adalah seorang
nasionalis Indonesia yang sangat terkenal sehingga dapat dengan mudah kita
dapati buku-bukunya di indonesia yang membahas tentang pemikiran dari seorang
tokoh Mohammad Natsir tersebut. Negara Indonesia adalah negara demokrasi dan
mayoritas penduduk Indonesia ialah muslim apakah demokrasi itu bisa diterapkan
di indonesia yang mayoritas penduduknya ialah muslim? Inilah yang akan kita
bahas dari pemikiran-pemikiran dari Mohammad Natsir tersebut.
Bagi
Natsir, agama (baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap
bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam.
Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau idiologi
seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Natsir lalu mengutip nas Alquran
yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam (yang artinya), “Tidaklah Aku
jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.” (51: 56). Bertitik
tolak dari dasar idiologi Islam ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup
seorang Muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar mencapai
kejayaan dunia dan akhirat kelak. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436)
Mohammad Natsir memahami betul
ajaran-ajaran dari agama Islam yang juga mencakup segala hal termasuk
pemerintahan. Maka dari itu Mohammad Natsir menganggap bahwa agama islam dan
negara tidak dapat dipisahkan tetapi yang menjadi maslaah ialah bahwa di dalam
negara Indonesia terdiri beragam ras dan agama yang tidak hanya beragama Islam.
Islam hanyalah agama mayoritas dari agama-agama yang ada di Indonesia. Sehingga
pemerintahan yang dibentuk jika dengan negara Islam dinilai tidak adil dengan
agama yang lain, padahal Indonesia adalah negara demokrasi yang sangat
menjunjung keadilan bagi warga negaranya Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Natsir, ketidakfahaman terhadap negara Islam, negara yang menyatukan
agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran
pemerintahan Islam. “Kalau kita terangkan, bahwa agama dan negara harus
bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (bloody fool) duduk di
atas singgahsana, dikelilingi oleh “haremnya” menonton tari “dayang-dayang”.
Terbayang olehnya yang duduk mengepalai “kementerian kerajaan”, beberapa orang
tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran ‘pemerintahan Islam’
yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh
guru-guru bangsa barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi
orang Eropa: Chalifah = Harem; Islam = poligami.” (Muhammad Natsir, Capita
Selekta, hlm. 438).
Jadi,
Islam memang tidak pernah bersatu dengan negara sebagaimana diduga Soekarno
maupun Kemal.Dengan logika seperti ini, Natsir menilai bahwa sikap mendukung
Soekarno terhadap gagasan pemisahan agama dari negara tidak tepat. Kata Natsir
lebih lanjut, “Maka sekarang, kalau ada pemerintahan yang zalim yang bobrok
seperti yang ada di Turki di zaman Bani Usman itu, bukanlah yang demikian itu,
yang kita jadikan contoh bila kita berkata, bahwa agama dan negara haruslah
bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki dengan
“memisahkan agama” daripadanya seperti dikatakan Ir. Soekarno, sebab memang
agama, sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu.” (Muhammad Natsir,
Capita Selekta, hlm. 440).
Mohammad Natsir tetap mengkritik
pemerintahan Demokrasi yang terpisah dari agama tersebut. Mohammad Natsir
disini hendak menghilangkan citra jelek dari penyatuan agama Islam dengan
negara yang dilakukan oleh negara-negara Islam yang hasilnya adalah buruk. Saya
sangat setuju dengan yang dilakukan oleh Mohammad Natsir karena di zaman
Rasulullah saw pun juga ada agama-agama yang lain seperti Nasrani,Yahudi dan
Majusi tetapi dengan berdirinya negara Islam hukum-hukum negara dan
pemerintahan dapat berjalan dengan baik karena yang menjalankan adalah seorang
figur yang menjalankan syariat dengan kaffah maka dari itu dapat terealisasikan
dengan baik maka hasilnya baik
Dengan tegas pula Natsir mengemukakan bahwa Islam adalah suatu
pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, yang mempunyai sifat-sifat
sendiri pula. Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam
itu … yah Islam. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 453).
Maka dari itu Mohammad Natsir
mengkritik habis demokrasi yang memisahkan agama dengan negara. Tetapi menurut
saya Mohammad Natsir tidak dapat mendirikan negara seperti itu pada indonesia,
memang konsep yang dibawa oleh Mohammad Natsir adalah benar tetapi karakter
yang ada di indonesia tidaklah seperti di zaman nabi Muhammad saw dahulu yang
telah kuat keimanannya. Konsep itu hanya dapat dijalankan jika kualitas umat
islam yang ada di indonesia dapat seperti itu karena nantinya pemerintahan yang
dibuat akan tidak jauh beda dengan pemerintahan yang ada di turky. Yang menjadi
citra jelek atas agama islam yang menyatu dengan negara.
AL-MAUDUDI
Al-Maududi
adalah salah satu tokoh di dunia yang ingin menyatuka agama dengan Islam tetapi
banyak melihat orang jika memikirkan tentang pemikiran tokoh yang satu ini
adalah ke ekstremannya dalam ambisinya ingin menyatukan negara dengan islam .
Konsep
khilafah sebenarnya amat berkaitan dengan konsep Daulah al-Islam-Dar al-Islam
secara menyuluh di seluruh dunia. Daulah Islam di masa silam amat berhasil
dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan syariat. Mendirikan Daulah Islamiyah
adalah wajib syar’i dan didukung banyak ayat al-Quran dan al-Hadits yang
membicarakannya karena daulah Islam dan pemerintahan Islam yang akan melindungi
Islam secara utuh. Menurut Yusuf al-Qardhawi memiliki karekteristik Daulah
Islam yang intinya adalah sebagai berikut: “Daulah Madaniyah yang merujuk pada
Islam, bersekala internasional, berdasarkan konstitusi dan hukum syariah,
berdasarkan musyawarah dan bukan kekuasaan ala kisra, daulah pemberi petunjuk
dan bukan pengumpul pajak, melindungi orang-orang lemah, melindungi hak dan
kebebasan, daulah yang berprinsip pada akhlak. Sementara itu, tabiat Daulah
Islam adalah bukan daulah teokrat,tapi pemerintahan sipil.”
(Yusuf
Qardawi, Daulah Islamiah, 2000, hal. 40)
Inilah konsep yang jadi dasar oleh Maududi
menurut Maududi dengan konsep khilafah maka islam akan berhasil dan dapat
melindungi umatnya dan dapat dipandang oleh negara seluruh dunia dengan
penyatuan antara Islam dan Negara, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep
theo-demokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini
tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi
ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti
demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan
tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat
hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan
rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik
rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali
saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di
tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali
malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21).
Seperti halnya dengan Mohammad Natsir
Maududi mengkritik keras sistem demokrasi tetapi berbeda dengan mohammad
Natsir. Jika Mohammad Natsir hanyalah mengkritik praktik dari demokrasi
tersebut bahwa sistem Deokrasi adalah baik tetapi penyatuan islam dan negara
juga dapat dijalankan dengan sistem demokrasi tetapi Maududi mengkritik sistem
demokrasi secara keseluruhan. Karena bagi Maududi yang diajarkan oleh islam
adalah sistem khilafah dan telah terbukti di zaman Rasulullah saw bahwa sistem
khalifah yang dibawa oleh islam adalah berhasil menyatukan negara dan islam.
Disini menurut saya pemikiran Maududi terlalu sempir memandang islam sebenarnya
Islam di zaman sekarang dapat di intrepetasikan kedalam segala hal karena
mengikuti perkembangan zaman.
TARIQ RAMADHAN
Tariq Ramadhan yang namanya sangat
terkenal bagi cendikiawan muslim sebagai tokoh muslim di dunia barat yang
pemikirannya sangat cemerlang bagi kehidupan muslim yang tinggal di barat.
Tariq Ramadhan di dalama pemikirannya selalu ingin menjadikan umat muslim yang
memiliki kehidupan di barat agar diterima oleh mayoritas tanpa menghilangkan
identitas kemuslimannya.
Begitu
juga yang Khalifah Ali lakukan dalam menyikapi permasalah-permasalahan yang
berkaitan dengan sosial-politik. Beliau sebagai pemimpin memiliki kewajiban dan
hak pada rakyat sebagaimana rakyat pun memiliki kewajiban dan hak pada seorang
pemimpin. Beliau berkata: Adalah hak anda untut menuntut bahwa saya tidak akan
menyembunyikan sesuatu dari anda, kecuali soal perang. Dan bahwa saya tidak
akan menjalankan urusan-urusan (tanpa konsultasi dan sepengetahuan anda)
kecuali yang berkaitan dengan hukum-hukum ilahiyah (Ahmed Vaezi, Agama Politik
Nalar Politik Islam, Penerbit Citra, 2006, h. 242).
Seperti yang kita ketahui bahwa
Tariq Ramadhan adalah pemikir yang membela Islam bahwa dengan demokrasi dapat
di realisasikan. Menurutnya walaupun demokrasi tidak ada di dalam al-quran
tetapi bukan berarti demokrasi tidak dapat dijalankan sebagai jawaban adanya
dugaan oleh orang-orang yang berpikiran sekularisasi. Pemikiran dari Tariq
Ramadhan hampir sama dengan pemikiran dari Mohammad Natsir mengenai Demokrasi
bahwa Demokrasi dapat dijalankan dengan cara Islam berbeda dengan pendapat dari
Maududi bahwa bahwa hanya sistem khilafah sajalah yang dapat mengembalikan
kejayaan Islam di zaman Rasulullah saw dan dapat dipandang oleh dunia
internasional bahwa negara dengan sistem khalifah dapat melindungi umatnya
sebagaimana di zaman Rasulullah saw.
Prinsip
pertama, menghormati hukum. Islam memiliki kejelasan hukum-hukum yang ada pada
syari’at. Di mana hukum-hukum ini hampir mencakup segala bidang. Tidak dapat
kita katakan karena Islam adalah suatu agama sehingga hukum-hukumnya pun hanya
bersifat keagamaan saja. Pada kenyataanya kita akan menemukan bahwa hukum-hukum
yang ada di dalamnya juga berkenaan dengan kehidupan sosial dan negara. “Siapa
pun yang pernah membaca Piagam Madinah yang pertama akan yakin bahwa dari awal,
Islam telah memikirkan organisasi sosial dan politiknya untuk berada di seputar
hukum.” (Tariq Ramadhan, Menjadi Modern Bersama Islam, TERAJU, 2003, h. 118.)
Dari
perkataan tersebut dapat kita ketahui bahwa Tariq Ramadhan benar-benar
mengimani bahwa Islam dapat di intrepetasi di setiap zaman dengan segala hal.
Lain halnya dengan para sekularisasi yang tidak sependapat bahwa islam dan
demokrasi tidak dapat bersatu. Jadi hukum islam bukan hanya untuk orang islam
saja tetapi di zaman Rasulullah saw pun terdapat berbagai macam suku dan agama
dan hukum-hukum yang ditegakkan hukum islam tidak hanya mencakup orang islam
saja tetapi secara keseluruhan baik dia beragama yahudi maupun nasrani.
Maka dari itu kita dapat melihat
bahwa hukum-hukum dan ajaran-ajaran di dalam alquran mempunyai fleksibelitas
karena al-quran juga menjelaskan bahwa di dalam al-quran juga keberadaan
agama-agama seperti yahudi dan nasrani juga ada di dalam kehidupan di zaman
Rasulullah saw hidup sebagai pemimpin agama dan juga sebagai pemimpin ajaran
agama jadi bukan berarti karena Rasulullah saw membawa islam dalam kehidupan
bani arab bukan berarti hanya orang yang beragama islam yang dilindungi tetapi
semua agamapun mendapatkan haknya sama. Begitu juga dengan demokrasi ala islam
jika ini diterapkan bukanlah pendiskriminasian agama-agama yang lain.
KESIMPULAN
Kita
mengetahui bahwa semua isi dalam Al-Quran adalah bersifat universal dan tidak
mencakup suku dan suatu kelompok tertentu karena al-quran dan ajaran islam
diturunkan untuk seluruh manusia sehingga hukum-hukum yang terdapat dalam
al-quran adalah bermanfaat buat seluruh manusia. Al-quran hanya menjelaskan
mengenai Grand Theory yang bersifat universal dan sehingga yang partikularnya
dengan berbagai cara asal tidak keluar dari garis konteks garis besar yang ada
dalam al-quran. Karena konsep yang ada dalam al-quran dapat direalisasikan
dalam banyak cara asal sesuai dengan ajaran al-quran bukan berarti jika
Rasulullah saw tidak pernah melaksanakan hal tersebut, di zaman kita penerapan
itu bukan berarti menyalahi yang Rasulullah sae ajarkan. Demokrasi walaupun
identik dengan negara barat tetapi dapat
“Apakah yang sebaik-baik jihad?”
Rasulullah menjawab “mengatakan barang yang hak terhadap sultan yang dzalim”.
(H.R. Nasai)
apabila
orang melihat sesorang melihat kedzaliman akan tetapi mereka biarkan, tidak
mereka betulkan, azabnya jatuh kepada mereka semua, baik si dzalim maupun
orang-orang yang membiarkan berlakunya kedzaliman itu” (H.R Abu Daud dan
Turmudzi)
inilah garis besar yang diajarkan
oleh islam bukan berarti jika suatu negara islam melaksanakan demokrasi berarti
menyalahi apa yang islam ajarkan. Karena demokrasi yang ada dalam islam
tidaklah sama dengan demokrasi yang diadopsi oleh barat. Kita dapat memiliki
demokrasi yang menjadi ciri khas islam tanpa menghilangkan identitas dari
keislaman. Maka dari itu bukan berarti jika kita mengadopsi paham demokrasi
kita mengabdi pada barat dan mengikuti pemikiran dari filosof barat akan tetapi
itulah yang di zaman kita diperlukan karena semua hukum dalam islam bersumber
pada al-quran dan as-sunnah sehingga demokrasi pun yang di buat di dalam islam
tidak akan keluar dalam hal tersebut. Yang jelas islam bermakna universal
sehingga dapat mencakup dari semua aspek tidaklah sempit makna-makna yang ada
dalam al-quran.
REFERENSI
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 438
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 440
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 453
Yusuf Qardawi, Daulah Islamiah, 2000, hal. 40
Amien Rais, 1988:19-21
Ahmed Vaezi, Agama Politik Nalar Politik Islam, Penerbit
Citra, 2006, h. 242
Tariq Ramadhan, Menjadi Modern Bersama Islam, TERAJU,
2003, h. 118
H.R. Nasai
H.R Abu Daud dan Turmudzi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...