Ahmad Adib Musthofa**
A. Pendahuluan
Dewasa ini, pembahasan pluralitas
(kemajemukan) maknanya telah
dikaburkan kaum liberal
menjadi pluralisme. Salah satu yang membingungkan adalah pendefinisian
Pluralisme yang dimaknai sebagai bentuk sikap dari pluralitas. Padahal
pluralitas adalah sebuah keniscayaan bahwa di negara atau daerah tertentu
terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan, sehingga
kehadirannya tidak dapat dihindari dan sudah menjadi sunnatullah. Pluralisme
agama diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran
keagamaan. Sehingga diharapkan seluruh pemeluk agama bersifat inklusif
(terbuka) terhadap pemeluk agama lain, sebab Tanpa pandangan pluralis,
kerukunan umat beragama tidak mungkin terjadi. Pluralisme
bukan hanya menoleransi adanya keragaman agama, tetapi mengakui kebenaran
masing-masing pemahaman serta menghilangkan klaim kebenaran dalam agamanya, setidaknya
menurut logika para pengikutnya. Maka pluralisme dijadikan sebagai bentuk
konkrit dalam menjalankan kerukunan berargama.
Dari definisi tersebut, kaum liberal
menyamakan pluralisme dengan pluralitas, sehingga pluralisme pun dianggap
sebagai sunnatullah. Padahal pluralisme adalah keragamaan sedangkan pluralisme
adalah penyeragaman agama-agama.
"Pluralisme agama adalah suatu
paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan
hidup berdampingan di surga." Pluralisme
Inilah yang akan menimbulkan relativisme agama dan nihilisme kebenaran agama.
Paham ini menjadi tema penting dalam disiplin ilmu sosiologi, teologi dan
filsafat keagamaan yang berkembang di Barat serta agenda penting globalisasi.
Pemahaman tentang pluralisme agama di
Indonesia, merujuk pada dua aliran yang berkembang, yaitu pertama teology
global (global theology) John Hick yang
terpengaruhi oleh Wilfred Cantwell Smith dengan world theology. Dan
kedua aliran kesatuan transenden agama-agama (Transendent Unity of
Religions) yang digagas oleh Fritjhof Shuon yang terpengauh oleh Ananda
Kentish Coomaraswamy dan Rene Guenon yang memiliki konsep serupa (philosophia
perennis milik Coomaraswamy dan primodial tradition milik Guenon).
Kedua aliran pluralisme ini berkembang
dan membangun konsep yang berbeda. Perbedaan konsep diantara dua aliran ini
dipicu oleh latar belakang yang berbeda. Meskipun kedua aliran pluralisme
tersebut sama-sama muncul dari dunia Barat. Barat yang trauma dengan agama,
sebab jika berbicara tentang agama, yang muncul dipikiran orang Barat adalah
kekerasan, ingkuisisi, siksaan, kekakuan, merasa benar sendiri dll. Selain itu,
agama dianggap semakin tidak bisa menjawab tantangan kehidupan yang
semakin rumit. Sehingga agama dan kepercayaan perlu di modernisasikan serta
disesuaikan perkembangan zaman untuk menjawab perubahan-perubahan yang terjadi.
Maka lahir pluralisme agama pada masa pencerahan (Enlightenment) di Eropa.
Tepatnya pada abad 18 Masehi yang terdapat bangkitnya gerakan pemikiran modern.
Pluralisme lahir juga dari problem
teology agama Kristen. Sebab agama
di Barat (Kristen), masalah teologi didominasi oleh filosof. Sehingga teolog
tidak memiliki otoritas. Dari masalah ini terlahir pemikiran yang hanya
mengandalkan akal (filosof). Akal Barat modern tidak bisa menerima dengan
teologi Kristen yang ada. Akhirnya para filosof berusaha mengakalkan teologi
yang dimiliki Kristen. Dan dari sini masalah teologi di kuasai oleh para
filosof. Kemudian lahir produk filsafat atheisme yang muncul pada masa
pencerahan.
Cara berfikir filosof Barat terhadap
teologi ini akhirnya mulai memasuki pemikiran agama Islam setelah perang dunia
ke dua, yaitu mulai terbukannya kesempatan generasi muda muslim untuk mengenyam
pendidikan di Universitas-universitas Barat sehingga bersentuhan langsung dengan
cara berfikir dan budaya Barat. Dari
sarjana-sarjana alumni Barat yang belajar studi Agama ini pluralisme di
pasarkan di Indonesia, dan kemudian masuk dalam wacana-wacana keagamaan.
Kondisi Barat yang sudah merasuk dalam pikiran pelajar Indonesia baik dari cara
berfikir ataupun berbudaya akhirnya diadopsi,
modifikasi dan justifikasi kemudian diwacanakan di masyarakat dengan jalan
pengkaburan makna pluralitas dengan pluralisme, akhirnya menimbulkan anggapan
bahwa pluralisme adalah sunnatullah. Dari kondisi
ini pemahaman pluralisme masuk kewilayah Indonesia.
Pluralisme agama dimunculkan (oleh kaum
pluralis diharapkan) untuk menangani konflik antar umat beragama dan problem
sosial masyarakat khususnya masalah kerukunan antar umat beragama. Siti Musdah
Mulia, mengatakan bahwa persoalan terbesar yang dihadapi umat beragama adalah
konflik agama, baik intern pemeluk agama maupun antar agama. Untuk mencegah
timbulnya konflik tersebut diperlukan suatu dialog sehingga akan melahirkan
komitmen toleransi dan pluralisme. Dari sikap pluralisme ini diperlukan suatu
sikap hidup keagamaan yang relative atau nisbi sebagai jalan keluar dari
kemelut perpecahan dan pertentangan agama. jika semua agama mengambil
sikap seperti ini maka agama bukanlah sebagai factor pemecahbelah
melainkan perekat yang akan menebar rahmat bagi manusia, sebab kebenaran agama
tidak hanya satu melainkan banyak. Dengan cara berpikir seperti ini
pemeluk-pemeluk agama akan mendapatkan kerukunan umat beragama dalam
kemajemukan agama yang real. Selain umat beragama berani mengakui eksistensi
dan hak agama lain dan selanjutnya bersedia aktif dalam usaha memahami
perbedaan dan persamaan berbagai agama menuju terciptanya suatu kerukunan dalam
kemajemukan agama.
Padahal jika untuk kerukunan umat beragama
terdapat toleransi antar umat beragama. Sedangkan pluralisme bukannya untuk
merukunkan konflik umat beragama melainkan menghilangkan identitas agama. Sebab
pluralisme akan mereduksi keistimewaan dari suatu agama menjadi tidak ada klaim
kebenaran diantara agama, sebab kebenaran agama adalah banyak bukan satu.
Sedangkan paham pluralisme agama masuk
ke Indonesia pada disaat cendekiawan Muslim membuka kran liberalisasi yang di
usung oleh Nurcholish Madjid. Berawal dari
sinilah pluralisme dijadikan tren kehidupan umat beragama. Dengan dalih
mencegah dan meredam konflik antar umat beragama. Tetapi,
pluralisme agama bukanlah sekedar toleransi antar umat beragama yang sering di
suarakan oleh para pendukung pluralisme agama. Pluralisme agama adalah sebuah
bentuk untuk menuntut kesamaan dan kesetaraan (equality) dalam segala
hal antar agama. Sehingga jika diterapkan dalam agama, akan menghilangkan
istilah iman-kufur, tauhid-musyrik dan lain sebagainya. Dari konsekuensi paham
ini adalah perubahan ajaran pada tingkatan akidah.
Wacana pluralisme di tanah air tampak
begitu ramai setelah MUI menerbitkan fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005.
Dengan keluarnya fatwa tersebut, pendukung pluralisme agama di Indonesia
dipukul dengan telak oleh fatwa
MUI. Tetapi para pendukung pluralisme agama tidak berhenti begitu saja, ada
kencenderungan mereka berubah kulit dengan istilah Abrahamic faith dan
multikulturalisme. Tetapi
tujuannya tetap sama dengan pluralisme atau kesetaraan.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa paham
pluralisme agama bukan lahir dari kazanah keindonesiaan, walaupun Indonesia
memiliki kebinnekaan. Kaum pluralisme mengklaim bahwa pluralisme agama adalah
bentuk menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tetapi kenyataannya adalah
memaksakan kehendaknya terhadap umat beragama. Dan dari tipologi pluralisme
yang ada di Indonesia adalah Transendent Unity of Religions lebih dikenal. Baik
aliran global teologi atau kesatuan agama-agama adalah memiliki berbasis
relativisme, teosofis dan nihilisme. Oleh karena itu penulis ingin
mengetahui pengaruh wacana pluralisme agama di Indonesia, sebab dari sebagian
kalangan cendekiawan Indonesia mengatakan bahwa sejatinya pluralisme
agama bukanlah menyamakan semua agama, tetapi bentuk toleransi atau pluralisme
social terhadap umat beragama dan apakah benar bahwa pluralisme agama adalah
demikian, akan kita buktikan pada tulisan selanjutnya.
B. Akar Pluralisme Agama di Barat
Pikiran bahwa semua agama pada
hakekatnya sama telah masuk di Indonesia. Pikiran ini bukan hanya memasuki pada
agama-agama tertentu tetapi sudah masuk kesemua agama. pikiran seperti ini
berawal dari perubahan teologi yang dialami oleh masyarakat Barat (Kristen).
Kemunculan ide ini juga dari konsekuensi gereja katolik yang memegang kuat
doktrin “di luar gereja tidak ada keselamatan” (extra ecclesiam nulla salus)
sehingga doktrin tesebut mengancam sekte Kristen. Kemunculan
sekte Kristen juga berawal dari problem teologi, kemudian kepercayaan yang
mereka yakini tidak dapat menjawab perubahan yang terjadi dalam perkembangan
ilmu pengetahuan. Padahal perkembangan teknologi selalu terus berjalan,
globalisasi pertukaran informasi begitu pesat, bahkan dunia menurut McLuhan
(seorang ahli komunikasi Kanada) bagaikan kampung besar (global
Village). Jarak dan
waktu antar wilayah bisa disingkat itulah globalisasi. Dari arus
globalisasi ini akan muncul dua aliran yang sangat berpengaruh dalam kajian
agama khususnya pluralisme. Dua lairan tersebut adalah teology global dan
transcendent unity of religions. Kemunculan pluralisme agama dengan masa
modernisasi di Barat adalah sama tuanya.
Kemunculan pemikiran pluralisme di Barat
tepatnya pada masa pencerahan (Enlightenment) Eropa lebih tepatnya pada
abad ke-18 masehi. Pemikiran ini terjadi pada saat Barat mengalami wacana
pergolakan pemikiran superioritas akal dan pembebasan-pembebasan akal dari
kungkungan doktrin agama (Kristen). dari pergolakan pemikiran inilah yang melahirkan
liberalisme yang
mengharapkan kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme. Doktrin
agama tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga ilmu
pengetahuan harus tunduk terhadap doktrin agama. para ilmuwan mengalami
penyiksaan (masuk ke institusi gereja yang sangat terkenal dengan kejahatannya
dan kekejamannya dan biasa dikenal dengan insquisisi) dari gereja
sebab apa yang mereka temukan bertentangan dengan dokrin kekristenan.
Pada masa pencerahan ini Barat mengalami
masa industri dan masa bangkitnya ilmu pengetahuan. Pada masa-masa ini Barat
disebut juga dengan masa translation (penterjamahan). Banyak buku-buku karya
muslim yang diterjemahkan kembali ke bahasa latin. Buku-buku yang diterjemahkan
khususnya ilmu pengetahuan. Sedangkan pada masa ini pula merupakan masa
mayarakat Barat mulai meninggalkan ajaran agama yang mereka yakini. Dari sini
awal sejarah modern dimulai. Mereka terinspirasi dari karya-karya muslim. Barat
bangkit dari kejumudan akal, sehingga dari kejumudan inilah mereka bangkit dan
berusaha menggunakan rasional akalnya. Akan tetapi nilai-nilai keislaman tidak
terambil olah kalangan Barat. Sebelum zaman penterjemahan karya-karya umat
islam, Barat dalam masa kegelapan. Barat menerjemahkan karya-karya umat Islam
selama 5 abad, mulai dari abad 11 sampai abad ke 16.
Sebelum masa penggunaan rasionalitas
akal, Barat menyebutkan dengan masa kegelapan (dark age). Dominasi
gereja sebagai begitu kuat dalam kehidupan masyarakat Barat. Sebab gereja
diakui sebagai wakil Tuhan dan dalam tindakannya selalu atas nama Tuhan jadi
apapun yang mereka lakukan tidak dapat salah (infallible), Sehingga
menghasilkan pembrontakan dan protes sebagian umat Kristen terhadap gereja.
Gerakan-gerakan tersebutlah yang nantinya akan menghasilkan sekte-sekte
di aliran Kristen. Salahsatu aliran Kristen yang protes terhadap gereja katolik
adalah Kristen protestan yang dipelopori oleh Martin Luther.
Pembrontakan Kristen protestan terus
berlangsung terhadap Kristen katolik. Sehingga Kristen Eropa terpecah menjadi
dua bagian besar yaitu katolik dan protestan. Bertahun-tahun dua agama bersaing
dan saling melakukan pembantaian sehingga
menimbulkan trauma Barat terhadap ajaran agama, sehingga menimbulkan paham
sekulerisme dalam politik, yakni memisahkan agama dengan politik. Agama adalah
wilayah privat (pribadi) dan suci sedangkan politik adalah wilayah public dan
kotor (provan).
Untuk menjawab problem teology Kristen,
perpecahan sekte kristen serta Kristen dalam merespon globalisasi maka
muncullah aliran pluralisme agama. Dua aliran yang berkembang tersebut tumbuh
dari keadaan Barat. Mereka berusaha menyikapi perubahan yang terjadi, khususnya
melalui jalur keagamaan. Dua aliran tersebut adalah teology global dan
transcendent unity of religions. Pada aliran pertama global theology
kepanjangan tangan dan pendukung gerakan globalisasi sedangkan transcendent
unity of religions merupakan aliran pluralisme yang menentang terhadap arus
globalisasi. Tetapi sebetulnya kedua aliran ini ujung-ujungnya sama saja yaitu
merelatifkan kebenaran agama, semua agama adalah jalan kebenaran dan
keselamatan dan tidak ada truts claim kebenaran dalam beragama.
1.
Global Theology
Pendekatan yang dipakai oleh aliran
global teologi terhadap agama adalah lebih bersifat sosiologis, cultural dan
idiologis. Bersifat
sosiologis dan cultural, maksudnya agama disesuaikan dengan perkembangan
sosial, budaya masyarakat yang berkembang. Sedangkan pendekatan idiologis
adalah ide yang menjadi bagian dari gerakan globalisasi. Maknanya munculnya ide
tentang pluralisme agama di Barat adalah berasamaan dengan hadirnya
modernisasi.
Kemunculan ide (global teologi) adalah
untuk menjawab permasalah yang dialami oleh masyarakat Barat (Kristen) dan Arus
globalisasi adalah salah satu yang melatar belakangi kehadiran ide ini.
Pemikiran modernisasi di Barat ternyata tidak bisa menghilangkan peranan agama
dalam kehidupan masyarakat. agama semakin menjadi tema penting dalam masyarakat
modern. Sehingga tema agama menjadi pembahasan tersendiri.
Pengaruh globalisasi begitu kuat
sehingga mampu mengubah kehidupan manusia. Arus globalisasi juga telah
melunturkan sekat-sekat adat, nilai-nilai budaya, kultur bahkan jati diri yang
dimiliki oleh suatu kelompok melebur bersama arus ini. Globalisasi merupakan
sebuah fenomena. Kemunculannya erat dengan politik, teknologi, dan ekonomi.
Fenomena globalisasi ini mulai terjadi
pada abad 19 dan harus disikapi dengan arif dan bijak. Menurut Malcom Walter,
globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme adalah memasarkan idiologi
Barat dan bahkan membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik,
militer dan sumber kekuatan lainnya, oleh karenanya menurut Walter, gerakan
globalisasi ini telah membawa idiologi yang bertujuan agar semua menjadi
terbuka dan bebas menerima idiologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat, seperi
demokrasi, hak asasi manusia, feminisme, liberalisme dan sekulerisme.
Namun,
kemunculan globalisasi membawa dampak negatif bagi agama yaitu kemunculan
wacana teologi radikal. Agama bagi umatnya berfungsi sebagai petunjuk dan
pedoman dalam menjalani realita kehidupan bukan hanya masalah hubungan sosial
antar makhluk tetapi juga meyakini ketuhanan. Tetapi di era globalisasi, fungsi
diatas dibalik menjadi agama yang seharusnya mengikuti konteks kehidupan.
Dengan mengikuti konteks kehidupan maka agama dapat bermanfaat bagi manusia.
Sebab jika agama melawan globalisasi (konteks kehidupan) berarti agama tidak
bisa memberikan manfaat bagi pemeluknya. Oleh karena itu, jika konteks
kehidupan berubah maka nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama juga
berubah dengan semangat perubahan zaman. Teori seperi ini sebetulnya ingin
menancapkan teologi baru yang bernama pluralisme agama.
Benih-benih pluralisme agama sudah
tampak dari tulisan teolog protestan Friedrich Daniel Ernst
Schleiermacher (1768-1834). John Hick
banyak terpengaruh terhadap pemikiran mereka. Menurut penilaian Schleiermacher
bahwa agama adalah urusan privat dan esensinya terletak pada jiwa dan diri
manusia dalam interaksinya dengan yang mutlak (sense of absolute dependence), bukan pada
institusi tertentu. Dari ungkapan Schleiermacher ini agama bukanlah sesuatu
yang institusional, dan yang terpenting adalah esensi agama terdapat pada jiwa
dan interaksi jiwa manusia pada yang mutlak.
Ide pluralisme John Hick adalah
representasi dari penemuan Copernicus tentang ilmu pengetahuan yaitu matahari
sebagai sentral kehidupan. Dalam teori heliosentris Copernicus, bahwa planet
dan galaksi mengitari matahari, maka John Hick mengganti dengan Tuhan sebagai
pusat agama-agama dan menganjurkan untuk merevolusi teologi agama-agama.
setelah terjadinya revolusi ini maka tidak ada agama yang paling benar tetapi
semuanya menuju ke yang mutlak yaitu yang Real absolut.
Selain kesatuan Tuhan sebagai pusat
peredaran agama-agama, Hick juga beranggapan bahwa spiritual keagamaan manusia
tidaklah berhenti dan tetap pada dogma keagamaan, agama bagi Hick adalah
himpunan tradisi yang membentuk suatu keimanan dan senantiasa baru dan
berganti-ganti menyesuaikan dengan perubahan zaman dan perkembangan akal.
Sedangkan perkembangan globalisasi terus melintas diantara kultur-kultur yang
ada, sehingga tidak dimungkinkan adanya agama universal. Tetapi untuk tidak
menghilangkan agama-agama yang ada paling tidak adalah teologi global (theology
global). dengan
demikian jelas bahwa John Hick membawa ide pluralisme agama dasar utamanya adalah
globalisasi
Selain globalisasi sebagai transformasi
teologi agama-agama. Hick juga memiliki istilah fortuity of birth
(ketidaksengajaan kelahiran) instilah ini juga untuk mendukung teori
pluralismenya. Menurut anggapan Hick, manusia tidak memiliki pilihan dimana dan
kapan akan lahir. Jika seorang lahir dilingkungan Islam dipastikan bayi
tersebut akan beragama Islam, jika pada lingkungan Kristen maka dia akan
Kristen dan lain sebagainya. Padahal dalam pandangan Islam bahwa keimanan
manusia merupakan fitrah yang telah diberikan oleh Allah (perjanjian Primodial
sebelum terlahir dibumi). Kemudian seorang bisa menjadi muslim, kristen atau
yahudi karena pemahaman agama yang masuk pada dirinya.
Berangkat dari asumsi manusia beragama
karena lingkungan, maka Hick berpendapat "Teologi agama apapun yang
kridebel, haruslah bener-bener mempertimbangkan factor lingkungan". Dari sini
Hick ingin mengatakan bahwa dengan pluralisme teologi maka umat manusia tidak
akan saling mempermasalahkan agama atau menyalahkan kelahirannya dilingkungan
yang berbeda. Sebab semua
situasi pada hakekatnya sama, baik dilingkungan Kristen, Yahudi, Islam atau
yang lainnya. Inilah sebetulnya yang ingin dibangun oleh Hick melalui the
transformation from religion-centredness to God-centredness.
Mentransformasikan agama-agama yang ada menuju Tuhan yang Real dan absolut.
Sebab Hick beranggapan pada saat sekarang manusia dalam beragama hanya sebatas
sampai kepada yang Real relative. Dan maksud dari transformation
religion-centredness adalah sama dengan konsepnya W. C. Smith, yaitu agama
hanyalah sebagai komulatif tradisi yang tidak layak untuk mengakomodasi
fenomena keagamaan yang selalu berubah-ubah, maka istilah agama harus
ditinggalkan dan diganti menjadi iman dan kumpulan tradisi-tradisi. Dengan kata
lain, bahwa pintu keselamatan bukanlah tunggal tetapi terdapat pada tiap
tradisi dalam merespon Realitas ketuhanan yang mutlak dan absolut
Hick beranggapan juga bahwa Tuhan yang
Real dan absolute dalam Islam adalah Al-Haq, kemudian dalam tradisi Hindu
adanya Nirguna Brahman dan Saguna Brahman, dalam Yahudi Kabbala ada sebutan En
Soph (Tuhan yang mutlak), dalam Kristen ada sebutan Godhead. Nama-nama tersebut
dimaknai oleh sebagai Tuhan yang Real absolut atau Real an Sich atau the
noumenal Real. Sedangkan
Yahweh, Trinitas, Allah, Krisna, Wisnu, Syiwa dan yang lainnya itu menurut Hick
adalah Tuhan Real relative atau the phenomenal Real. Dan kesalahan manusia pada
saat sekarang hanya memahami Tuhan pada tingkat Tuhan yang phenomenal real,
sehingga keselamatan hanya terdapat pada agamanya masing-masing.
Tetapi jika manusia bisa memahami pada
tingkat Tuhan yang Real absolut atau Real an Sich atau the noumenal
Real maka keselamatan terdapat pada setiap agama. Jika Tuhan yang selama ini
adalah Tuhan Real relative maka siapakah yang memberikan larangan dan perintah,
kemudian di tingkat Tuhan real relative perintah dan larangan tidak jelas,
bagaimana manusia akan mencapai pada tingkat pemahaman Tuhan real absolute, dan
inilah bentuk ketidak jelasan teori teologi global.
Kemudian Hick juga mengkritik, Agama
yang masih berkeyakinan pada tingkat Tuhan Real relative atau the phenomenal
Real berarti masih pada tingkatan teologi Ptolemaik. Agama yang
yang masih berkeyakinan bahwa agama sebagai pusat keimanan. Dengan revolusi
Copernicus berarti Tuhanlah yang menjadi pusat agama-agama. hal ini dijelaskan
bahwa revolusi Copernican telah merubah dogma bahwa bumi adalah pusat
dari alam tetapi mataharilh yang sesungguhnya yang berada pada pusat dari semua
planet termasuk bumi kita yang bergerak mengelilinginnya.
Sebetulnya teori pluralisme teologi yang
di tawarkan oleh John Hick adalah untuk menjawab fenomena problem teologi yang
terjadi pada agama Kristen. Dalam agama Kristen terdapat Kristen katolik dengan
doktrin diluar gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus),
dalam protestan terdapat doktrin diluar Kristen tidak ada keselamatan (no
salvation outside Christianity), dan juga terdapat Kristen ortodoks. Semua
sekte yang terdapat Kristen mengkalim bahwa agama yang mereka yakini adalah
yang paling benar, dan untuk mendamaikan diantara mereka dilahirkanlah ide
tersebut yaitu pluralisme teologi. disetiap agama terdapat kebenaran, dan
disetiap agama hanya menuju kepada Tuhan Real an sich yang absolute. Tetapi ide
tersebut ditawarkan kepada masyarakat global sehingga agama tidak perlu
memiliki batas-batas tertentu, sebab fenomena global tidak memiliki batas
kultur atau batas geografis, maka pemahaman terhadap teologi agama harus
dirubah, bukan pada praktek ritual ibadahnya, sebab ritual ibadah warisan dari
orang-orang terdahulu dalam mengapresiasikan ibadah kepada Tuhan yang absolute.
Inilah bentuk pluralisme teologi yang ditawarkan John Hick. Ajaran agama
digiring pada posisi budaya dan tradisi bukan dari aturan Tuhan.
2.
Transendent Unity of Religions
Aliran pluralisme yang kedua adalah transcendent
unity of religion (kesatuan transcendent agama-agama). Kemunculannya
berbeda dengan aliran yang pertama (global teologi). Aliran transcendent
unity of religion muncul untuk menolak modernisasi atau globalisasi. Sebab
menurut pemikiran modern, agama dianggap bisa berubah disesuaikan dengan
sosial, lingkungan, budaya serta mengikuti perkembangan zaman. Padahal dalam
Islam terdapat doktrin yang tetap (eklusif) berkenaan dengan teologi dan
metafisika dan bisa berubah (inklusif) berkenaan dengan moral dan etika.
Kajian pendekatan yang dilakukan aliran
ini berbeda dengan global teologi. Jika global teologi pendekatanya melalui
sosiologis tapi pada transcendent unity of religion lebih kepada filosofis dan
teologis. Aliran ini lebih mengedepankan kepada mempertahankan tradisi. Jika pada
aliran global teologi tidak percaya bahwa Tuhan berbicara (berfirman) kepada
manusia, tapi aliran transcendent unity of religion mempercayai bahwa Tuhan
berbicara (berfirman) kepada manusia. Sehingga aliran ini juga mengakui
kesakralan wahyu.
Pendekatan yang digunakan oleh aliran
ini adalah melalui tradisi tradisional yang terdapat pada agama-agama. Salah
satu konsep tradisi tradisional yang ada di agama-agama adalah konsep Sophia
perrenis jika di
agama Hindu disebut dengan Sanata Dharma, dalam agama Islam disebut
dengan al-hikmah al-khalidah. Kajian dalam konsep tersebut adalah
tentang hakekat esoteris esensi yang
wujud dan hakekat-hakekat eksoterik yang beragam dari manifestasi yang
transcendent.
Gagasan tentang transcendent unity of
religion diusung oleh Frithjof Schuon. Gagasan ini berawal dari keyakinan Schuon
tentang pengetahuan. Bagi dirinya bahwa intelek adalah pusat manusia yang
berada dalam hati. (The "heart" means the Intellect and by
extension the individual essence, the fundamental tendency, of man; in both
senses it is the center of the human being) jadi
kualifikasi antara intelektual harus didampingi dengan kualifikasi moral. Sebab
jika tidak, maka intelektual tidak akan berfungsi tanpa spiritual. Hubungan
diantara intelektual dan spiritual adalah saling keterkaitan dan tidak bisa
saling dipisahkan hidup dalam kebenaran.
Menurut Schuon dimensi esoteris dan
eksoteris yang berada dalam agama dapat diketahui melalui intelektual. Menurut
teorinya adalah secara psikologis ego manusia terkait dengan badan (body), otak
(brain) dan hati (heart). Jika badan diasosiasikan dengan eksistensi fisik,
otak dengan fikiran (mind), maka hati (heart) dikaitkan dengan intelek. Jika
dikaitkan dengan realitas, maka intelek dapat diasosiasikan dengan esensi Tuhan
(yang satu) dan langit (alam yang menjadi model "archetype"
dasar), sedang pikiran dan badan dibawah kendali yang berasal dari
intelek.
Jadi kedudukan intelektual lebih tinggi
dari pada rasio. Intelektual berdasarkan cahaya ketuhanan yang terhubung pada
hubungan manusia dengan Tuhan kemudian teraplikasikan pada kehidupan manusia
sebab intelektual adalah inkarnasi Tuhan pada manusia. Sedangkan ratio (akal)
bekerja berdasarkan data-data. Ratio adalah media untuk menunjukkan jalan
kepada orang buta, sedangkan intelek dapat menggunakan rasio untuk mendukung
aktualisasinya. Intelek manusia terkadang bersifat ketuhanan dan pada
sisi lain bersifat kemanusiaan. Hakekatnya hati merupakan pusat kehidupan
manusia, dan manusia dapat memahami kebenaran melalui intuisi. Dari intuisi
inilah manusia dapat mengetahui antara yang absolut dan yang relative,
sedangkan Schuon berpendapat bahwa agama-agama bertemu pada level esoteris,
esensi yang transcendent dan absolute.
Pemikiran Schuon diatas cenderung
membenarkan semua agama. Pembenaran yang tak berdasarkan wahyu, tetapi
pembenaran berdasarkan intelek. Sedangkan intelek bagi Schuon adalah inkarnasi
Tuhan pada manusia. Jadi manusia dapat menempatkan benar dan salah berdasarkan
intelek manusia. Padahal di dalam Islam benar dan salah selain dapat dilakukan
oleh rasio tetapi berdasarkan wahyu.
Jika dalam beragama yang terpenting
adalah mengakui esensi Tuhan di wilayah esoteris, maka setanpun percaya
bahwa Tuhan adalah sebagai pencipta tapi setan tetap dikutuk oleh Allah, sebab
tidak mau mengakui dan melaksanakan rububiyah Allah.
Jika agama-agama bertemu pada titik
esoteris, sebagai konsekuen logisnya adalah agama-agama terbentuk dari yang
absolute yang transcendent yaitu pada level esoteris. Agama-agama yang ada
adalah bentuk dari manivestasi yang absolute sedangkan keberagaman adalah
bentuk dari eksoterik atau hakekat yang relegius yang berasal dari manivestasi
esotorik. Pada tingkat esotoris keabsolutan Tuhan. Dan apa yang
dimanivestasikan Tuhan yang absolute tidak ada keabsolutan, yang ada hanyalah
relative yang absolute.
C. Pengaruh
Wacana Pluralisme Agama di Indonesia
Pengaruh globalisasasi memberikan pola baru pada agama-agama, dari globalisasi
muncul dua aliran yang salah satunya ingin merubah doktrin agama sesuai
perubahan zaman (menerima globalisasi) dan satu aliran lagi ingin
mempertahankan agama pada posisinya (menolak globalisasi), tetapi kedua-duanya
mengorbankan akidah (teologi) dari masing-masing agama. kedua pola tersebut
terbentuk pada gagasan pluralisme agama. Kemudian wacana Pluralisme agama
yang bergulir di Indonesia tidak lepas dari peranan para cendikiawan dan
sarjanawan. Wacana
pluralisme ini telah merubah realitas keberagaman agama-agama serta
mempengaruhi teologi yang ada pada tiap agama-agama untuk dirubah. Contoh kasus
adalah ungkapan Azyumardi Azra mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan
bahwa Islam itu terdiri dari berbagai macam bentuk dan Islam itu bukan satu
tetapi Islam adalah banyak macam dan alirannya.
Wacana pluralisme mengagetkan umat Islam
dan umat agama lainnya. Padahal dari sejak kelahirannya bangsa ini (Indonesia)
telah hidup bersama dengan keanekaragaman dengan semboyan Bhinneka Tunggal Eka
saling bertoleransi antar umat beragama. Akan tetapi menurut kaum pluralis
toleransi belum memberikan bukti nyata sehingga banyak pertikaian antar umat
beragama disebabkan klaim kebenaran. Padahal kemunculan konflik antar umat
beragama yang terjadi adalah disebabkan unsur sosial, politik dan ekonomi bukan
masalah agama.
Alih-alih ingin mencari solusi
pertikaian yang terjadi, kaum pluralis membawa wacana pluralisme agama dengan
janji serta solusi yang bisa membawa kemaslahatan, tetapi
ternyata kaum pluralis bukan membawa solusi penyelesaian pertikaian melainkan
membawa paham pembenaran terhadap semua agama, dengan cara merubah
teologi-teologi yang sudah ada. Penganut
pluralis beranggapan bahwa teologi yang konvensional sudah tidak layak untuk
diterapkan kembali di zaman yang telah terus berubah (globalisasi), baik
batas-batas kultur, geografis, suku, budaya, agama dan lain sebagainya, maka
agama-agama pun juga harus terbebas dari batas-batas yang memberikan sekat
perbedaan antar agama dan antar umat baragama, dengan harapan tidak adanya
saling klaim bahwa agamanya adalah paling benar. Disinilah tujuan utama dari pluralisme
agama, yaitu; memberikan keragu-raguan terhadap umat beragama terhadap agama
yang dipeluknya dengan tidak boleh mengklaim bahwa agamanya paling benar.
Wacana pluralisme agama telah ada dari sejak abad 18. jika dirunut
kesejarahannya wacana ini muncul dari para filosof Barat yang memandang tentang
ajaran agama. kemudian wacana ini sampai ke Indonesia melalui para sarjanawan
dan cendekiawan yang belajar di Barat atau yang setuju dengan ide-ide Barat. Para
sarjanawan Barat memandang agama sebagai objek kajian keilmuan, serta dalam
penelitiannya pun harus seobjektif mungkin. Mereka mempelajari beberapa agama
berdasarkan metode pendekatan sosiologis dan histories bukan secara normatif.
Mereka balajar agama bukan untuk diamalkan tetapi, mereka belajar agama hanya
sebagai kajian penelitian. Sehingga, agama Islam yang telah sempurna dianggap
tidak/belum sempurna, seiring dengan perubahan zaman yang selalu berubah-ubah,
sehingga Islam yang telah sempurna dan yang bersifat universal pun dianggap
sebagai agama yang menyejarah dan harus bergabung dengan agama-agama lain untuk
mencapai kesempurnaannya. Padahal didalam Islam terdapat yang pokok (usul)
yang tak dapat dirubah sampai kapan pun, tetapi yang furu` bisa
berubah-ubah sesuai dengan aturan-aturan yang mengaturnya.
Kemudian, wacana pluralisme agama tampak begitu ramai dibicarakan dimedia
massa, workshop, kajian-kajian. Wacana ini juga mendapat tanggapan serius oleh
MUI, sehingga MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005 mengeluarkan fatwa
keharaman paham pluralisme agama. Fatwa haram pluralisme dikeluarkan MUI agar
pemikiran ini tidak semakin mewabah pada umat. Sebab pluralisme agama mengajak
kepada umat beragama untuk ragu terhadap agama-agama yang diyakininya.
Keragu-raguan tersebut ditimbulkan karena pluralisme agama menanamkan paham
relatifisme. Dari
anggapan relatifitas tafsiran terhadap agama maka akan menghasilkan sesuatu
yang lebih bahaya lagi, yaitu; aliran nihilisme kebenaran agama.
Dengan pluralisme agama, umat beragama
digiring pada wilayah pemikiran yang meragukan, yaitu; menerima semua kebenaran
agama, sebab semua agama sama derajatnya yaitu sama-sama benar. Menurut kaum
pluralis, manusia adalah makluk relatif. Maka, tafsiran kebenaran agama yang
dicapai bersifat relatif, tidak mutlak. Oleh karena itu tak seorangpun dapat
memutlakkan pendapatnya dan mengklaim bahwa pendapatnya adalah kebenaran.
Pendapat hasil pemikiran/tafsiran
manusia relatif diatas dijawab oleh Wan Mohd Nor Wan Daud. Menurut
beliau, pendapat seperti itu adalah keliru, sepintas tampak logis dan indah.
Padahal Allah menganugrahi akal manusia untuk berpikir, dan untuk sampai pada
derajat keyakinan yang tentu saja pada level manusia, bukan pada level Tuhan.
Dengan akal dan keyakinan itulah kita paham mana yang haq dan mana yang bathil.
Sedangkan menurut Adian Husaini, manusia diperintahkan menyakini kebenaran yang
mutlak, pada tataran manusia, bukan pada tataran Tuhan. Sebab itu tidak
mungkin. Apakah kebenaran dengan K besar atau k kecil, yang terpenting adalah
bahwa akal manusia bisa mencapai tahap kepastian dan keyakinan (`ilm).
Selain pluralisme mengajak kepada
relatifisme, pluralisme bisa mengajak kepada nihilisme. Jika pada relatifisme
semua agama adalah benar semua, maka nihilisme akan menafikan semua kebenaran
agama atau bisa jadi tidak ada kebenaran dalam agama. Inilah sebenarnya
pengaruh pluralisme, yaitu ingin menyingkirkan ajaran agama dari kehidupan
masyarakat dengan menanamkan keragu-raguan. Sebab agama dianggap menjadi
penghalang proses globalisasi dan demokrasi.
Wacana pluralisme agama di Indonesia
tidak lepas dari peran cendekiawan muslim Indonesia yaitu Prof. Dr. Nurcholish
Madjid, lewat idenya Islam inklusif, Islam
dan Islam pluralis. Ide teologi Nurcholish Madjid Kemudian diikuti dan
dimodifikasi oleh Budhy Munawar-Rachman menjadi teologi eksklusif, inklusif dan
paralelis. Sikap Inklusif artinya agama-agama lain adalah bentuk implicit agama
kita, artinya agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan
pengikutnya sedangkan pluralis adalah agama-agama lain adalah jalan yang
sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama. Ide Islam inklusif yang
dimiliki Nurcholish Madjid adalah mengikuti teologi yang dimiliki oleh Kristen.
Inklusif Kristen muncul sejak berakhirnya Konsili Vatikan II (1962-1965),
Katolik Roma melakukan perubahan konsep teologinya, dari (extra
ecclesiam nulla salus) menjadi teologi inklusif.
Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam
agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap haormat yang tulus, Gereja
merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran,
yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan
sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi
semua orang.
Masih dalam dokumen konsili Vatikan II
tentang nostra aetate (pernyataan gereja dengan agama-agama lain)
tentang agama Islam. Gereja juga menghargai Umat Islam yang menyembah Allah
satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan mahakuasa,
Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepda Umat manusia. Kaum muslimin
berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan allah
juga yang ersifat rahasia, seperti dahulu Abraham – iman Islam dengan suka rela
mengacu kepadanya – telah menyertakan diri kepada Allah.
Teologi inklusif Kristen ini kemudian dimodifikasi oleh Nurcholish Madjid
menjadi teologi Islam inklusif, kemudian dipaparkan Nurcholish Madjid saat
pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 21 Okober 1992. Beliau
memberikan judul pidatonya "Beberapa Renungan tentang Kehidupan
Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang". Dalam pidatonya
tersebut beliau menggagas tentang Islam sebagai agama yang hanîf dan
inklusif serta melancarkan kritik keras terhadap gejala fundamentalisme dan
radikalisme agama. Untuk mendukung gagasan ide inklusifnya, Nurcholish Madjid mendefinisikan
ulang makna Islam. Islam dalam
pandangannya bukan hanya sebutan khusus bagi suatu agama, tetapi sebutan yang
bisa dipakai semua agama. Agama yang pasrah terhadap Tuhan adalah bentuk dari
Islam. Melalui gagasan tersebut, beliau memberikan sebuah definisi baru atas
Islam. Dari definisi Islam yang beliau miliki maka agama apapun adalah bentuk
dari Islam. Padahal Rasulullah telah
mendefiniskan Islam itu adalah suatu agama yang nama agamanya diberikan
langsung dari Allah dan Islam bukan nama khayalan manusia.
Pendefinisian ulang makna Islam oleh Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam
Doktrin dan Peradaban; Karena prinsip-prinsip itu maka semua agama yang
benar pada hakekatnya adalah "al-islam", yakni, semuanya
mengajarkan sikap pasrah kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
Kitab Suci berulang kali kita dapati penegasan bahwa agama para nabi terdahulu
sebelum Nabi Muhammad s.a.w. adalah semuannya al-islam karena inti
semuannya adalah ajaran tentang sikap pasrah kepada Tuhan. Atas dasar inilah
maka agama yang dibawa oleh nabi Muhammad disebut agama Islam, karena ia secara
sadar dan dengan penuh deliberasi mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan,
sehingga agama Nabi Muhammad merupakan al-islam par excellence,
namun bukan satu-satunya, dan tidak unik dalam arti berdiri sendiri, melainkan
tampil dalam rangkaian dengan agama-agama al-islam yang lain, yang telah
tampil terdahulu.
Dari pendefinisian ini, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa semua agama adalah
sama. Kesamaan yang dimaksud oleh Nurcholish adalah pasrah terhadap Tuhan. Jadi
agama apapun dengan menyembah Tuhan apapun jika mereka pasrah, maka agama
tersebut dapat disebut Islam. Disini Nurcholish Madjid dalam memaknai Islam
menggunakan pemikiran tekstualis, padahal pemikiran tektualis menjadi musuh
beliau. Jika makna Islam adalah kepasrahan, bagaimana Nurcholish Madjid akan
memaknai hadis nabi tentang rukun Islam, Padahal
dalam hadis tersebut sangat jelas makna Islam adalah nama suatu agama.
Dari pendapat Nurcholish Madjid diatas, beliau terlihat keberatan bahwa Islam
sebagai nama dari sebuah agama sehingga harus didefinisikan ulang. Padahal
istilah Islam bukan dari sahabat atau ulama, melainkan pemberian langsung oleh
Allah melalui wahyu. Selain
keberatan terhadap istilah Islam sebagai Agama Nurcholish Madjid juga Islam itu
juga bermacam-macam dan Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad adalah Islam par
excellence (terbaik). Padahal sejak nabi Adam As sampai nabi Muhammad Islam
itu adalah satu yaitu menyembah dan pasrah kepada Allah. Islam adalah agama
tauhid walaupun syariat yang diberikan Allah berbeda. Jika pada zaman sebelum
nabi Muhammad para nabi diutus hanya kepada kaumnya tetapi pada saat nabi
Muhammad, dakwah nabi lebih universal dan inilah kesempurnaan Islam.
Membaca gagasan ide Nurcholish Madjid tentang pendefinisian ulang Islam telah
menyesatkan. Ide tersebut tidak berdasarkan Al-Quran atau As-Sunnah dan sangat
jelasa beliau hanya mengandalkan akalnya. Dan ide tersebut untuk mendukung
pluralisme agama. Gagasan penyamaan semua agama (bahwa segala agama yang tunduk
terhadap Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Islam) merupakan penanaman
kerelativitasan agama. dan ini berarti semua agama adalah relative sebab
manusia adalah sifatnya relative, maka kebenaran agama adalah relatif. Selain
Nurcholish Madjid, banyak para cendekiawan yang beranggapan bahwa pluralisme
sangat diperlukan dalam mejaga keharmonisan antar agama dan antar umat
beragama. Diantara para cendekiawan yang menegaskan perlunya umat beragama
sadar terhadap pluralisme agama adalah:
1. Prof
Dr Dawam Rahardjo, "kebenaran tidak bisa dimonopoli oleh satu pihak,
melainkan tersebar di banyak tempat. Setiap orang dan kelompok memiliki hak
atas klaim kebenaran. Kebenaran tidak tunggal, tetapi banyak.
2. Dr.
Alwi Shihab, "Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan
eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan
begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh
ide mengenai Pluralisme keAgamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengertian
lain, eksklusivisme keAgamaan tidak sesuai dengan semangat Al Quran. Sebab al
Quran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya."
Pengaruh yang lain adalah munculnya
beberapa aliran-aliran sesat yang tumbuh subur di Indonesia. Seperti Ahmadiyah,
Lia Eden, bahkan mereka meminta kepada pemerintah untuk dapat diakui tumbuh di
negeri ini. Agar dapat di terima di masyarakat Indonesia. mereka (aliran-aliran
sesat dan kaum pluralis) berusaha untuk mencabut undang-undang No. 1 Tahun 1965
tentang Larangan Penodaan Agama. Dengan alasan tidak sesuai dengan UUD 1945 dan
falsafah bangsa Indonesia (Pancasila). Tetapi Mahkamah Konstitusi menolaknya.
** Peserta Program Kaderisasi Ulama angkatan ketiga ISID-Gontor 2010 utusan
dari Pondok Pesantren Al-Manshur Darunnajah III Serang, Banten.
Perbedaan-perbedaan aspek inilah
yang mendorong manusia untuk saling kenal (lita`arafu) dengan yang
lainnya. QS Al-Hujuraat 13
Fatwa MUI juga
menolak asas pluralisme beragama, tapi bisa menerima pluralitas karena
merupakan realitas. MUI agaknya membedakan pluralitas dan pluralisme, yang
memang berbeda. Yang satu pemikiran dan yang lain adalah realitas yang tak bisa
ditolak. Namun, keduanya berkaitan satu sama lain. Lihat, M. Dawam Raharjo, "Kala
MUI Mengharamkan Pluralisme", Koran Tempo, Senin, 01 agustus 2005.
"Pluralisme kenapa diharamkan itu kan tak lain dari tidak mengakui
kemajemukan", lihat, Ahmad Syafii Ma`arif. Kompas, 23 April 2010.
"Maka
Pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu sistem nilai yang memandang
secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya
sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu,"
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Paramadina: Jakarta, 2000)
cetakan keempat, hal lxxv. Djohan Effendi, Diskusi Ramadan, Solo: Indahnya
Beragama dalam Keberagaman, dalam catatan Tahsinul Khuluq, dikutip dari
http://islamlib.com/id/artikel/indahnya-beragama-dalam-keberagaman/
Ulil Abshar
Abdalla, "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" Artikel
diterbitkan oleh Koran Harian Kompas pada tanggal 18-11-2002
Hamid Fahmy
Zarkasyi, Pengantar, "Islam dan Paham Pluralisme Agama",
Islamia, Tahun I Nomor 3, terbit Septembar-Oktober 2004. hal. 5-6
Profesor John
Harwood Hick lahir di Yorkshire Inggris tahun 1922. Hick adalah seorang teolog
dan filsuf agama. Selama lima belas tahun di Universitas
Birmingham , Hick menjadi seorang pendiri, serta orang pertama yang
menduduki, untuk kelompok All Faiths for One Race (AFFOR), ia menjabat sebagai
pemimpin di Agama dan Budaya Panel, yang divisi dari Birmingham Komite Hubungan
Masyarakat, dan dia juga memimpin komite koordinasi untuk konferensi 1944
diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Pendidikan baru dengan tujuan
menciptakan silabus baru untuk pengajaran agama di sekolah-sekolah kota.
Anis Malik Thoha,
"Konsep World Theology dan Global Theology", Islamia, THN I Nomor
4/Januari-Maret 2005. hal 52-53
Hamid Fahmy
Zarkasyi, Paham Pluralisme Agama, Makalah disampaikan pada Acara
Training Da'i tetang Aqidah dan Pemikiran Islam, Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia, di Cilegon Banten, pada Ahad, tanggal 27 Mei 2007.
Scott Peck,
The Road Less Travelled, (London: Arrow Books Ltd., 1990) hal. 237-238. lihat,
Fatimah Abdullah, "Konsep Islam Sebagai Din Kajian Terhadap Pemikiran
Prof. Dr. SMN. Al-Attas", Islamia, Nomor 3 terbit September-November 2004.
hal 49
Masalah
problem teologi Kristen dibahas dalah buku, Adian Husaini, Wajah Peradaban
Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, (Jakarta: Gema Insani
, 2005)., hal 339-394, dan dalam buku Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat
dalam Studi Islam di perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insani, 2006)., hal
101-115.
Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal.lxxii. Adian
Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia, makalah disampaikan dalam
acara Rakorda Majelis Ulama se-Jawa dan Lampung di Serang-Banten 11 Agustus
2009, hal.20. Zuly Qodir, "Muhamadiyah dan Pluralisme Agama,"
dalam Pluralisme dan Liberalisme: Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah,
(ed.) Imron Nasri (Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005),hal 87-93. Lihat
Biyanto, "Pluralisme Keagamaan dalam perdebatan" Pandangan Kaum
Muda Muhamadiyah, (Malang: UMMPRESS 2009), hal. 10-11
Siti Musdah
Mulia, "Pluralisme Agama dan Masa Depan Indonesia", Nilai-nilai
Pluralisme dalam Islam. Bingkai gagasan yang berserak, (ed) Sururin,
(Bandung: diterbitkan atas kerja sama Penerbit Nuansa dengan Fatayat NU dan The
Ford Foundation, 2005).hal 227-235.
Liberalisasi
Islam di Indonesia di gulirkan oleh Nurcholish Madjid pada 3 Januari 1970.
Idenya itu diadopsi dari pemikiran Harvey Cox dengan bukunya yang terkenal
berjudul The Secular City. pada tanggal 12 Januari 1970 Nurcholish
Madjid secara resmi meluncurkan gagasan sekularisasinya dalam diskusi di Markas
PB Pelajar Islam Indonesia (PII) di Jalan Menteng Raya 58. Ketika itu
Nurcholish meluncurkan makalah berjudul "Keharusan Pembaharuan
Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat". Dua puluh tahun kemudian,
gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki
Jakarta pada tanggal 21 Oktober 1992 dengan judul "Beberapa Renungan
tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia". Lihat situs http://www.arrahmah.com/index.php/blog/read/1376/liberalisasi-islam-di-indonesia
dikutip tanggal 28 Maret 2010.
Sedangkan menurut
Anis Malik Thoha dalam wawancaranya dengan majalah Islamia mengatakan bahwa:
kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme agama menjunjung tinggi dan
mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena
kebenaran eksklusif sebuah agama. Baca Wawancara wartawan Islamia dengan Dr.
Anis Malik Thaha "Pluralisme Agama sama dengan Agama Baru",
Islamia, tahun I No.1/Muharram 1425
Banyak
cendekiawan yang merasa gerah dengan fatwa tersebut bahkan, Ahmad Sayafii
Ma`arif, Tanggal 1 Agustus 2005, Syafii meminta agar Majelis Ulama Indonesia
(MUI) mengkaji kembali fatwanya. Ulama-ulama di MUI dianggapnya tak paham
pluralisme. Yang dikutip dari koran Sinar Harapan. Kemudian tulisan M. Dawam
Raharjo, "Kala MUI Mengharamkan Pluralisme", Koran Tempo,
Senin, 01 agustus 2005. lihat, Ahmad Syafii Ma`arif. "Pluralisme kenapa
diharamkan itu kan tak lain dari tidak mengakui kemajemukan", Kompas, 23
April 2010. A.Syafii Ma`arif, "Mendudukkan Pluralisme Agama",
Republika, 17 Maret 2009
“….sebutan
lama”pluralisme” pun meredup. Namun ada yang memprotes bahwa sebutan
“multikulturalisme” terlalu bias, berbau Eropa dan Amerika Utara.” Ahmad Baso,
dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung:
Kerjasama Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005). Hal., 27.
Seperti sekte
Mormon yang menjadi korban dari doktrin tersebut. Perlakuan diskriminatif kerap
diterima para pengikut sekte ini sehingga menimbulkan konflik beradarah. Untuk
meredam konflik tersebut serta menghilangkan sikap intoleran antar ras, etnis,
dan agama maka paham liberal merupakan angina segar bagi penyelesaian konflik
tersebut. Sehingga konsili vatikan harus merubah doktrin extra
ecclesiam nulla salus menjadi doktrin keselamatan umum dan ini ditetapkan
dalam konsili Vatikan II tahun 60-an. Dengan muculnya doktrin terwebut maka
tidak ada klaim kebenaran atau superior. Bahwa keselamatan dapat ditemukan di
tempat lain. Lihat John Hick dan Brian Bebblethwaite, (eds.), Christianity
and Other Religions (Glasgow: Fount Paperbacks, 1980), hal. 80-86
Pengantar
Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, M.A dalam bukunya Choirul Mahfud, Pendidikan
Multikultural. Hal. xvii
Liberalisme
pada awalnya sebagai aliran sosial politis, dari aliran inilah pluralisme
muncul. pluralisme lebih kental terhadap aroma politik kemudian kemunculannya
dikemas dengan pluralisme politik yang merupakan produk dari liberalisme
politik. Sehingga pluralisme dalam terminology sosialis lebih kental dengan
aroma politik dari pada sebagai permasalahn agama. lihat Anis Malik Thoha, Tren
Pluralisme agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: Persepektif 2005), dan gerakan
ini pada awalnya hanya untuk membatasi intervensi gereja dalam administrasi
pemerintah. Akan tetapi gerakan ini pada abad 19 menular pada Kristen protestan
sehingga lahirlah protestan liberalisme. Lihat Nirwan Syafrin, Islam dan
Pluralisme Agama, dalam Majalah Islamia tahun I NO.3/September-November
2004.
Inquisisi
adalah institusi pengadilan gereja yang didirikan oleh Monark Katolik Ferdinand
dan Isabella yang bertujuan untuk memelihara ortodoksi kristen. Institusi ini
mengadili perkara-perkara aliran sesat. Institusi akhirnya di hapuskan pada
tanggal 15 juli 1854.
Seorang
pastur jerman dan ahli teologi Kristen serta pendiri gereja protestan
(1483-1546). Luther adalah tokoh terkemuka bagi reformasi gereja. Martin Luther
melakukan protes terhadap doktrin kekristenan tentang jual beli surat
pengampunan dosa (Indulgensia). Pada tanggal 31 Oktober 1517 melakukan
pembrontakan pada Paus melalui menempelkan 95 poin penyataan di pintu gereja.
Penjualan indolgensia merupakan penyelewengan.
Perebutan
tahta di Inggris raja Henry VIII (1491-1547) memisahkan dari Paus dan membentuk
gereja sendiri. Di Prancis katolik dan protestan bertarung dengan sangat
mengerikan. Pembantaian kaum protestan (Calvinists di Paris) oleh kaum Katolik
pada tahun 1572 yang lebih dikenal dengan The St. Bartholomew`s Day Massacre.
Diperkirakan 10.000 mati. Philip J. Adler, World Civilizations,
(Belmont: Wasworth, 2000), hal. 322. lihat Adian Husaini , Wajah Peradaban
Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, ( Jakarta: Gema
Insani Press, 2005) hal 38-39
Charles
Darwin (1809-1882) dan Herbert Spencer (1820-1904, menjastifikasi adanya
perubahan dalam agama. Friedrick Max Muller (1794-1827), Emile Durkheim
(1858-1917), Rudolf Otto (1869-1937) mereka mengatakan agama dengan realitas
sosial
Pengantar, Merespon
Globalisasi dengan Pluralisme Agama, dalam Majalah Islamia, tahun I
NO.4/Januari-Maret 2005
Globalisasi
pada ranah politik ditandai dengan berakhirnya perang dingin antara Timur –yang
dalam hal ini diwakili oleh Uni Sovyet, dan Barat –yang dalam hal ini di wakili
oleh Amerika. Dengan kekalahan Uni Sovyet berarti menandakan penguasaan
terhadap wilayah-wilayah yang lainnya.
Dengan banyak
penemuan-penemuan tingkat produksi semakin tinggi, revolusi informasi dengan
ledakan telekomunikasi yang luar biasa dan arus perpindahan informasi yang tak
terkendalikan dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Globalisasi pada
pada ranah ekonomi ditandainya lahirnya Organisasi Perdaganan Dunia (WTO) pada
tahun 1995 yang kemudian menjadi bibit persemaian awal ide pasar perdagangan
bebas di antara semua negara. Lihat Muh. Ikhsan, Makalah Pengaruh
Globalisasi Terhadap Krisis Identitas Muslim, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 2006)
Waters,
Malkom, Globalization, (London: Routledge, 1995). Hal. 3. lihat Prof. Dr. Amer
Al-Roubaie, Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam, dalam Telaah Utama
majalah Islamia, tahun I NO.4/Januari-Maret 2005
Lihat, Friedrich
Schleiemacher, "On Religion Speeches ti its Cultured Despisers"
(New York: Harper, 1958), dikutip Dr. Muhammad Legenhausen, Islam and
Religious Pluralism, (terj) Arif Mulayadi, (Jakarta: Lentera 2002), hal.28.
"Schleiermacher menganggap bahwa secara esensi bersifat personal dan
privat pada jiwa manusia kemudian melebur dalam pada Yang Tak Terbatas
bukan pada system-sistem doktrin keagamaan dan juaga tidak pada penampakan
lahiriyah yang lain. Dan pengalaman religius batiniah adalah inti dari semua
agama.
Lihat http://www.sabda.org/biokristi/schleiermacher
dikutip tanggal 9 april 2009, Nirwan Syafrin, Diskusi Buku Islam dan
Pluralisme Agama, Islamia No.3/September-November 2004
"hendaknya
kita siap merespons situasi baru dengan memulai program jangka panjang guna
membangun teologi global atau humanis. Karena dapat diamati bahwa teologi
global akan relevan dengan kelangsungan kondisi pluralitas agama sebagai bentuk
kehidupan beragama yang realistis." John Hick, God and the Universe of
Faiths, (Oxford: Oneworld, [1973] 1993) hal.106 lihat Anis Malik Thoha, Tren
Pluralisme Agama, hal. 80
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ
تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ
Dari Abu Hurairah RA bersabda: setiap
anak manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orangtuanyalah
yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagaimana
binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian
melihat ada cacat padanya?. (HR. Bukhari)
John Hick, God
Has Many Name (terjemahan) Amin Ma`ruf dan Elga Sarapung, (Yogyakarta:
Institut Dian/Interfidei, 2006) hal. 67-68
Anis Malik
Thoha, Konsep World Theology dan Global Theology", Islamia, Nomor
4/Januari-Maret 2005, hal 55-56
John Hick, Philosophy
of religion, (Prentice Hall, 1990) hal.117, lihat John Hick, Dialogues
in The Philosophy of Religion, (Palgrave Macmillan, 2001) hal. I32
Sebuah teori ilmu
pengetahuan sebelum teori Copernicus. Teori Ptolemaik adalah bahwa bumi sebagai
pusat peredaran kehidupan
Wan Azhar Wan
Ahmad, Kesatuan Transenden Agama-Agama Sebuah Respon awal, Islamia,
Nomor 3/September-November 2004, hal 70.
Truths or
principles of a divine origin revealed or unveiled to mankind and, in fact, a
whole cosmic sector through various figures envisaged as messengers, prophets,
avataras, the logos or other transmitting agencies, along with all the
ramifications and applications of these principles in different realms
including law and social structure art symbolism, the sciences and embracing of
course supreme knowledge along with the means for its attainment. Sayyed
Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred, (Albany: State University of New
York, 1989 ), hal 68. "Realitas-realitas atau prinsip-prinsip dasar
ketuhanan yang asli yang diwahyukan kepada seluruh manusia dan segenap alam
lewat perantara para rasul, nabi avatara dan logos atau perantara-perantara
yang lain, dengan berbagai cabang prinsip tersebut dan aplikasinya dalam
berbagai bidang termasuk hukum, bangunan sosial seni, symbol dan berbagai macam
ilmu …." Lihat anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, hal., 112
Istilah
filsafat perennial dipopulerkan oleh Aldous Huxley dengan karyanya The
Perennial Philosophy yang terbit tahun 1946. Sophia Perennis bukan sebuah
disiplin ilmu teapi sebuah pandangan dunia yang tidak hanya memberikan
perspektif berdasarkan disiplin intelektual, tetapi juga memberikan sumbangan
bagi kehidupan itu sendiri. Adnan Aslan, Pluralisme Agama dalam Filsafat
Islam dan Kristen Seyyed Hossein Nasr dan John Hick, (terj) Munir, (
Bandung: Alifya, 2004), hal. 64-65. The
Sophia Perennis is to know the total Truth and consequently to will the Good
and love Beauty and this in conformity to this Truth hence with full awareness
of the reasons for doing so (Sophia Perennis adalah untuk mengetahui total
kebenaran dan konsekuensinya untuk mencapai kebaikan dan kecintaan yang sesuai
dengan kebenaran dengan rasa penuh kesadaran untuk melakukannya) www.frithjof-schuon.com
dikutip pada tanggal 12 April 2010
Esoteric
adalah radius yang memberikan sarana untuk melangkah dari pinggir ke pusat,
tetapi ia tidak tersedia bagi semua orang, mengingat tidak setiap orang ingin
atau memenuhi syarat untuk melakukan perjalanan ke pusat dalam kehidupan ini.
Namun mengikuti dimensi esotoris agama berarti tetap berada di pinggiran dan
karenanya disuatu dunia yang memiliki suatu pusat, dan tetap memenuhi syarat
untuk menjalankan perjalanan menuju pusat di akhirat dengan melihat Tuhan
Sebago satu-satunya kemungkinan yang ada dari sudut pandang esotoris. Sayyed
Hosen Nasr, Knowledge and the Sacred, (Albany: State University of New York
Press, 1981),hal.77 lihat Adnan Aslan, Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam
dan Kristen Seyyed Hossein Nasr dan John Hick, (terj) Munir, ( Bandung:
Alifya, 2004), hal. 238
Frithjof Schoun, Spiritual
Perpectives and Human Facts: A New Translation with Selected Letters
(Indiana: World Wisdom , 2007), hal. 79.
the
relationship between intellectuality and spirituality is like relationship
between center and circumference in the sense that intellectualiy transcends us
whereas spirituality enfold us. intellectuality becomes spirituality when the
whole man, and not only his intelligence, lives in the truth. Ibid., Hal 79
Frithjof
Schuon, James S. Cutsinger, Gnosis: Divine wisdom: A New Translation With
Selected Letters, (Indiana: World Wisdom, 2006), hal., 76-80
Adin Armas, Gagasan
Frithjof Schuon Tentang Titik Temu Agama-agama, ISLAMIA, tahun I
NO.3/September-November 2004
Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, "Kendatipun cara atau jalan keberagaman menuju Tuhan
berbeda-beda namun Tuhan yang hendak kita tuju adalah Tuhan yang sama Allah
Yang Maha Esa." Pengantar buku Pluralitas agama Kerukunan dalam
Keragaman, (Jakarta: KOMPAS, 2001) hal. 6., Prof. Dr. Dawam Raharjo,
"kebenaran tidak bisa dimonopoli oleh satu pihak, melainkan tersebar di
banyak tempat. Setiap orang dan kelompok memiliki hak atas klaim kebenaran
tidak tunggal, tetapi banyak, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/26/op01.html.,
Budhy Munawar Rahman, dalam artikelnya Basis Teologi Persaudaraan antara
Agama, dikutip dari situs www.islamlib.com.,
Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: JIL, 2002), hal. 51-53., Dr.
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama,
(Bandung: Mizan, 1997). Hal. 108-109., Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan
Kematian Syekh Siti Jenar,(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002)hal,. 44., Satu
Tuhan Beribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007). Hal. 124-125.,
Ulil Abshar Abdalla, artikel Menyegarkan kembali Pemahaman Islam,
Kompas, 18-11-2002 dan situs Jaringan Islam Liberal www.islamlib.com., Sumanto Al
Qurtuby, Lubang Hitam Agama, (Yogyakarta: Rumah Kata, 2005). Hal. 45.,
"sesungguhnya,
orang sering menolak kalau dikatakan bahwa Islam itu banyak. Menurut saya Islam
memang pluralis, Islam itu banyak, tetapi ada yang menolaknya dan mengatakan
bahwa Islam hanya satu. Azyumardi Azra, Pluralisme Islam dalam Perspektif
Historis, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (ed) Sururin, (Bandung:
Kerjasama Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005). Hal., 150.
"Dalam
beragama diperlukan adanya suatu sikap hidup keagamaan yang relatif atau nisbi
sebagai jalan keluar dari kemelut perpecahan dan pertentangan agama yang pasti
merusak kesatuan dan persatuan bangsa. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa
jika semua agama mengambil sikap yang sama maka dapatlah dijamin bahwa agama
bukan lagi merupakan factor pemecahbelah yang akan membawa malapetaka bagi
kehidupan manusia, melainkan sebagai perekat yang akan menebarkan rahmat bagi
semua manusia, bahkan bagi alam semesta." Siti Musdah Mulia, dalam sururin
(ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Ftayat NU dan The
Ford Foundation, 2005). Hal. 234
"….berkaitan
tema Islam dan pluralisme buat saya jelas mengindikasikan dibutuhkannya sebuah
rumusan teologi baru yang lain dari teologi konvensional, karena nyata-nyata
rumusan teologi konvensional dipandang tidak capable untuk menjelaskan realitas
umat yang plural. Dengan tema Islam dan pluralisme, disana akan kita temukan
gagasan tentang hubungan antaragaman, toleransi yang sesungguhnya, bukan lazy
toleran sebagai mana pernah terjadi era rezim Orde Baru." Zuly Qodir, Islam
Liberal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (Edisi Revisi) 2007), hal. 147.
"Gagasan
Pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan
oleh proses penetrasi kultur Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini
diperkuat oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran
Islam, baru muncul pada masa-masa pasca-perang Dunia kedua, yaitu ketika mulai
terbuka kesempatan besar bagi generasi muslim untuk mengenyam pendidikan di
universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan
langsung dengan budaya Barat. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama,
hal 23, The Asia Foundation has been Supporting a diverse group of
mass-based Muslim group since 1970s. http://www.asiafoundation.org/Location/indonesia.html
Lihat, Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo:
CIOS, 2007) hal. 85-90.
" Kebenaran
agama tidak hanya satu, melainkan banyak. Yang dimaksudkan kebenaran agama
disini adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga
kebenaran agama dapat beragam." Siti Musdah Mulia, dalam Sururin (ed)
Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Fatayat NU dan The Ford
Foundation, 2005) hal. 235. "ada banyak jalan menuju sorga. Katolik bukan
jalan satu-satunya. Orang yang ingin masuk surga tidak harus melalui
Kristen" ungkapan Romo Mangun yang dikutip oleh Arief Budiman dalam Dialog
Kritik dan Identitas Agama, Seri Dian I/Tahun I (Yogyakarta:
Dian/Interfidei, 1993), hal. 185
Menrut Hans
Kung "empat kemungkinan pendirian terhadap keaneka ragaman agama-agama
dunia: a) Taka ada satu agama pun yang benar (atau semua agama sama-sama tidak
benar); b) Hanya ada satu agama yang benar (atau semua agama lainnya tidak
benar); c) Setiap agama adalah benar (atau semua agama "sama-sama"
benar); d) Hanya ada satu agama yang benar dalam arti semua agama lainnya
mengambil bagain dalam kebenaran agama yang satu itu. Theology for the Third
Millenium, 230-237. Bdk. Hams Kung "Towards an Ecumenical Theology of
Religions: Some Theses for Clarifications "dalam CONCIL-IUM 183 (1986),
119s. dikutip oleh St. Sunardi, Dialog: Kritik dan Identitas Agama,
(Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993). Hal. 69.
Siti Musdah
Mulia, "Pluralisme Agama dan Masa Depan Indonesia",
Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (ed) Sururin, (Bandung: Fatayat NU, 2005),
hal., 233-235, Ahmad Syafii Maarif, Memutlakan Kenisbia, Republika
29/12/2006.
Prof. Dr. Wan
Mohd Nor Wan Daud seorang pemikir dan intelektual yang telah menyelesaikan
Ph.D. di Chicago Uneversity dengan tesis berjudul "The Concept of
Knowledge in Islam and Its Implications in the Malaysian Concept"
dibawah bimbingan Prof. Fazlur Rahman. Beliau sejak 1988 ikut merintis ISTAC
dan membantu Prof. Naquib al-Atta dan tahun 1998 beliau menjabat Deputy
Director ISTAC.
Adian Husaini,
Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema
Insani, 2006), hal. 195-199
Dawam Raharjo
memberikan julukan pada Nurcholish Madjid dengan seorang yang inklusif.,
dikutip dari http://islamlib.com/id/artikel/membedah-pluralisme-cak-nur/
tanggal 15 april 2010. teologi inklusif diibaratkan bahwa agama adalah
sebagai cahaya-cahaya tapi yang paling terang adalah cahaya agamanya. Ide
teologi Nur Cholish ini dipengaruhi oleh teologi agama Kristen. Diantara teolog
kristen yang mempengaruhi beliau adalah Hendrik Khaemer, Karl Barth, Karl
Rahner, John Hick
Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992) cet. Ke-IV tahun 2000,
hal.,426-440.
Rasulullah
pernah mengirim surat kepada Heraclitus, Kaisar Romawi Timur, Kepada Kaisar
Persia Ebrewez, Kepada Kaisar Najasyi, Kepada penguasa Mesir Muqauqis.
Surat nabi itu adalah bentuk dari dakwah Rasulullah mengajak masuk agama Islam.
Aslim taslam jadi hanya agama Islamlah agama keselamatan. Agama yang hanya
berserah diri kepada Allah. Tuhan yang disembah oleh para nabi dengan konsep
tauhid.
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ ( رواه البخارى)
ٍ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمًا بَارِزًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ َ يَا رَسُولَ
اللَّهِ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا
تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ وَتُؤَدِّيَ
الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ ( رواه مسلم )
Alwi Shihab, Islam
Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997), hal.
108-109.
Mahasiswa
Program PAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...