Oleh: Muhammad Asrul
A. Pengantar
Berbicara tentang penerapan syariat
Islam, kita akan segera teringat pada berbagai gerakan-gerakan Islam yang tidak
pernah lelah menyuarakan diberlakukannya syariat Islam, mulai dari mereka yang
tergolong radikal sampai pada yang moderat, mulai dari yang menginginkan
penerapan itu sekarang juga sampai pada yang memberikan toleransi terhadap
penerapan secara bertahap atau setelah siap infrastrukturnya.[2] Ini
menunjukkan bahwa dikalangan internal Islam sendiri terdapat berbagai fersi
yang muncul dengan berbagai aspirasi dalam menanggapi isu kemungkinan
diberlakukannya syari’at Islam di Indonesia.
Perdebatan mengenai peluang penerapan
syariat (hukum Islam) di Indonesia, tampaknya merupakan polemik yang tak pernah
berkesudahan sejak sidang BPUPKI/PPKI pada tahun 1945. Pada masa pasca Orde Baru,
tema ini muncul kembali melalui perdebatan tentang perlunya amandemen pasal 29
UUD. Dua fraksi partai Islam yaitu Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP)
dan Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB) dalam pemandangan umum mereka
bersikeras untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta dalam Batang Tubuh UUD 1945,
khususnya pasal 29.[3]
Penerapan hukum Islam atau syariah
sebetulnya bukanlah hal baru. Ia telah sejak lama dipraktekkan oleh beberapa
negara muslim, seperti Arab Saudi, Afghanistan, dan Sudan. Pada tingkat lokal,
syariat Islam juga diberlakukan di Zamfara, sebuah provinsi di Nigeria.
Undang-undang Islam di negara-negara ini secara keras diberlakukan, terutama
menyangkut hukum pidana (hudud). Agaknya, persoalan pidanalah yang menjadi ciri
khas apakah sebuah negara muslim dianggap menerapkan syariat Islam atau tidak.
Dalam sistem hukum Indonesia, dikenal
berbagai sumber hukum nasional yang berasal dari hukum adat, hukum Islam dan
hukum barat. Ketiga sumber hukum tersebut selalu berlomba untuk mejadi hukum
nasional sehingga berlakulah berbagai teori hukum.[4]
Sesungguhnya UUD 1945 sangat akomodatif
terhadap kepentingan warga negara dalam menjalankan ibadahnya. Dalam perspektif
tata hukum Indonesia, fungsi negara adalah melindungi setiap agama dan pemeluknya
melalui peran menjamin pelaksanaan ibadah, memberikan dukungan fasilitas dan
menjaga kerukunan antarumat beragama. Agama haruslah menjadi landasan moral,
karenanya setiap peraturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan
moral dan agama mesti dikesampingkan. Secara normatif, menjalankan syariat
Islam secara kaffah merupakan perintah Allah, dan mengabaikannya dikategorikan
sebagai manusia kafir, zalim, atau fasik.[5]
Dalam benak beberapa kelompok Islamis,
hukum Islam memiliki kesakralan yang tidak bisa diganggu gugat. Terutama
menyangkut hukum yang diatur dengan ayat-ayat yang qath’i. Melawan atau
memberikan tafsiran lain terhadap ayat-ayat tersebut bisa dianggap sebagai
kekufuran. Meski demikian, masyarakat Islam secara luas nampaknya kurang begitu
bersemangat dengan isu penerapan hukum Islam ini.
B. Konsep Penerapan Hukum
1. Syariat Islam Tentang Penataan Hukum
Syariat Islam adalah wahyu Allah yang
diturunkan kepada Rasulullah untuk disampaikan kepada umatnya. Ia bukan sebuah
teori, tetapi merupakan ajaran ilahi yang harus dipalajari, dan diberlakukan
untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan masyarakat serta keseimbangan
antara kewajiban dan hak. Syariat Islam akan berlaku bagi semua umat manusia di
dunia sampai akhirat, tetapi bila syariat Islam dijadikan hukum positif disuatu
negara, maka keberlakuannya hanya bagi masyarakat Islam. Ajaran tentang
penataan hukum dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah teori yang
dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat,
tetapi dari segi syariat Islam hal itu tidak saja disebut sebagai teori,
melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan.[6] Secara konseptual
terdapat prinsip-prinsip syariat Islam yang mencakup penataan dan penerapan
hukum Islam bagi orang Islam. Bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada
orang yang beriman agar menjalankan hukumnya.[7]
Para ahli hukum di Indonesia mempelajari
tentang teori-teori penerapan hukum Islam melalui sistem hukum yang pernah
berlaku di Indonesia selama masa kolonial Belanda. Adanya teori-teori ini
menggambarkan, betapa akrabnya hukum Islam dengan penduduk, masyarakat, dan
bangsa Indonesia. Hal ini merupakan indikator bagaimana perjuangan masyarakat
Indonesia yang beragama Islam ingin memberlakukan syariat Islam sesuai perintah
Allah dan rasul-Nya.[8]
Membicarakan tentang teori-teori
permberlakuan hukum Islam, maka akan sangat berkaitan dengan proses bagaimana
unsur-unsur hukum Islam itu dapat menjadi hukum positif atau bagian dari hukum
nasional, disamping hukum adat dan hukum Barat. Adanya politisasi hukum yang
dilakukan oleh kolonial Belanda ke arah mereduksi syariat Islam serta
menjauhkan dari masyarakatnya, menyebabkan hukum Islam sampai saat ini selalu
terpinggirkan dalam proses positivasi hukum dalam perspektif tata hukum
Indonesia.[9]
Ajaran Islam tentang penataan hukum
memberi gambaran, bagaimana sesungguhnya Islam telah menata kehidupan manusia
ini dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan. Teori atau ajaran tentang
penataan hukum menurut perspektif Islam bersumber dari Allah sebagai pencipta
syariat dalam bentuk wahyu, yaitu al-Qur’an. Ia merupakan hukum normatif
bersifat universal dan berlaku untuk seluruh manusia tanpa membedakan
kedudukan, ras, politik, dan sosial-budaya. Keuniversalan hukum al-Qur’an itu
memerlukan penjelasan dalam bentuk implementasi hukum yang bersifat praktis.
Hal ini dilakukan Rasulullah melalui kehidupan sehari-hari, dalam bentuk hukum
normatif bersifat aplikatif, yaitu As-Sunnah.[10] Manakalah terjadi ketiadaan
atau ketidakjelasan hukum yang dimaksud oleh Allah dan rasul-Nya dalam
al-Qur’an dan as-sunnah, maka pembentukan hukumnya diserahkan kepada manusia,
melalui metode ijtihad.
Ajaran tentang penataan hukum ini
menyatakan bahwa bagi setiap orang yang beriman agar menjalankan syariatnya
secara kaffah.[11] Beberapa prinsip yang tercantum dalam al-Qur’an tentang
penataan dan penerapan hukum Islam, menegskan bahwa orang Islam pada dasarnya
diperintahkan supaya taat kepada Allah dan rasul-Nya serta kepada pemerintah.
Orang Islam tidak dibenarkan mengambil pilihan hukum lain manakala Allah dan
rasul-Nya telah menetapkan hukum yang pasti dan jelas.[12] Apabila mengabil
pilihan hukum selain syariat Islam, maka dianggap zalim, kafir, dan fasik.[13]
Oleh karena itu dari segi syariat Islam semestinya berlaku teori penataan
hukum, bahwa setiap orang Islam berlaku hukum Islam dan wajib menjalankannya
sebagai tuntutan akidah.
Oleh karena itu tanpa dikaitan dengan
keberadaan hukum di masyarakat, umat Islam harus tetap berpegang kepada prinsip
bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Apabila ternyata dalam masyarakat
ada norma-norma hukum adat atau hukum
Barat, dengan kekuatan otoritas yang sama atau lebih kuat, maka akan muncul
masalah hubungan sistem hukum. Hukum mana yang akan diterapkan dalam lingkungan
masyarakat, hal ini sangat tergantung pada politik hukum pemerintah atau
politik hukum dalam konstitusi negara. Ketaatan orang Islam terhadap pemerintah
dalam menjalankan hukumnya merupakan bagian dari teori penataan hukum atau
prinsip syariat Islam juga.[14] Dalam posisi ini, maka ketaatan terhadap
pemerintah dalam memberlakukan hukum positif yang bersumber dari hukum adat dan
hukum Barat, bagi umat Islam harus bersifat selektif, sepanjang hukum itu tidak
bertentangan secara prinsipil dengan syariat Islam.
2. Syariat Islam dan Teori Penerimaan
Otoritas Hukum
Teori Penerimaan Otoritas Hukum
diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The
Modern Trends of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto bahwa orang Islam
jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas hukum Islam
kepada dirinya. Berdasarkan teori ini, secara sosilogis, orang yang memeluk
Islam akan menerima otoritas hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat
Islam. Namun ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya, dan sangat
bergantung pada tingkat ketakwaan masing-masing.
Selain Gibb, Charles J. Adams,[16]
mengungkapkan bahwa hukum Islam merupakan subjek terpenting dalam kajian Islam
karena sifatnya yang menyeluruh; meliputi semua bidang hidup dan kehidupan
muslim. Berbeda dengan cara mempelajari hukum -hukum lain, studi tentang hukum
Islam memerlukan pendekatan khusus, sebab yang termasuk bidang hukum Islam itu
bukan hanya apa yang disebut dengan istilah law dalam hukum Eropa,
tetapi juga termasuk masalah sosial lain di luar wilayah yang dikatakan law
itu.
Sebagai sebuah fakta yang terjadi pada
masyarakat yang telah menerima Islam, semua orang Islam akan terus menjalankan
syariat berdasarkan akidah yang dianutnya. Akan sangat sulit memisahkan
masyarakat Islam dengan syariatnya yang menjadi tuntutan hukum dan moral dalam
kehidupannya. Pada masyarakat Indonesia yang keislamannya dianut oleh fanatisme
ajaran atau ketokohannya, akan selalu mempertahankan syariat dan akidahnya
sampai mati.[17]
Dari gambaran diatas terlihat bahwa
hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari agama Islam dan tidak dapat dipisahkan
dari masyarakat Islam. Bahkan – sebagaimana dikatakan Gibb – hukum Islamlah
yang telah berhasil menjaga tetap utuhnya masyarakat Islam. Hukum Islam adalah
aparat yang paling utama bagi kehidupan masyarakat Islam, jika telah menerima
Islam sebagai agamanya, langsung mengakui dan menerima otoritas serta kekuatan
mengikat hukum Islam terhadap mereka.
3. Syariat Islam dan Teori Receptie in
Complexu (RIC)
Teori Receptie in Complexu diperkenalkan
oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van den Berg. Ia mengatakan bahwa,
bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab mereka telah memeluk
agamanya, walaupun dalam pelaksanaanya terdapat penyimpangan-peyimpangan. Juga
mengusahakan agar hukum kewarisan dan hukum perkawinan Islam dijalankan oleh
hakim-hakim Belanda dengan bantuan para penghulu qadhi Islam.[18]
Teori RIC menyatakan bahwa hukum adat
bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masing-masing. Jadi menurut teori ini
bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi yang beragama Islam adalah hukum Islam,
hukum yang berlaku bagi penduduk asli yang beragama Khatolik adalah hukum
Khatolik, demikian juga bagi penganut agama lain.[19]
Kondisi di atas tidak berlangsung lama,
seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya
penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini
telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven
dan C.S. Hurgronje yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal
dengan teori Receptie.[20]
Merekonstruksi catatan sejarah yang ada
pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum
Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam
tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum
yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu
legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari
sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal
formal dan positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan
hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil
dari kitab fikih – yang dianggap representatif – telah disahkan oleh pemerintah
Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.[21]
Setelah lahirnya Undang-Undang yang
berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga
peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai
strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan
baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya).
4. Syariat Islam dan Teori Receptie
Teori Receptie diperkenalkan oleh Prof.
Christian Snouck Hurgronye. Dalam teori ini Hurgronye mengatakan, bahwa bagi
rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat; hukum Islam berlaku apabila
norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.[22]
Hurgronye mengemukakan teori ini karena ia
khawatir adanya pengaruh Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin
al-Afgani yang berpengaruh di Indonesia. Ia menyampaikan usul kepada pemerintah
Hindia Belanda tentang kebijakannya terhadap Islam, yang dikenal dengan Islam
Policy. Rumusan kebijakan terhadap hukum Islam antara lain; (1) dalam bidang
agama, pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur
dan penuh tanpa syarat bagi orang Islam. (2) dalam bidang kemasyarakatan,
pemerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan kebiasaan
rakyat yang berlaku. (3) dalam bidang ketatanegaraan, mencegah tumbuhnya
ideologi yang dapat membawa dan menumbuhkan gerakan Pan Islamisme, yang
mempunyai tujuan mencari kekuatan-kekuatan lain dalam mengahadapi pemerintah
Hindia Belanda.[23]
Menurut Dr. Alfian,[24] teori receptive
berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang-orang pribumi mempunyai
kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka penjahahan atas
Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncagan-guncangan
terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah
Belanda harus mendekati golongan-golongan yang akan menghidupkan hukum adat dan
memberikan dorongan kepada mereka, untuk mendekatkan golongan hukum adat kepada
pemerintahannya.
Melalui kebijakan ini, Hurgronye telah
berhasil meminimalisasi hukum Islam dari masyarakat Indonesia. Hukum Islam yang
hidup di dalam masyarakat Islam ditekan menjadi hukum rakyat rendahan.
5. Syariat Islam dan Teori Receptie Exit
Teori Receptie yang dikembangkan oleh
Hurgronye mendapat tantangan bukan hanya selama Indonesia masih dijajah oleh
Belanda, tetapi berlanjut hingga memasuki kemerdekaan. Salah satu penentangnya
adalah Hazairin, yang berpendirian bahwa setelah Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan, melalui pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945 yang
menyatakan bahwa warisan kolonial Belanda masih tetap berlaku selama jiwanya
tidak bertentangan dengan UUD, maka seluruh peraturan perundang-undangan
pemerintah Hindia Belanda yang mendasarkan pada teori Receptie dianggap tidak
berlaku lagi karena jiwaya bertentangan dengan UUD 1945. Teori Receptie harus
exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Hazairin menyebut teori
Receptie adalah “teori iblis”.[25]
Berdasarkan pemikiran dan penentangannya
terhadap teori Receptie, Hazairin memberikan kesimpulan bahwa; (1) teori
Receptie dianggap tidak berlaku dan exit dari tata hukum negara Indonesia sejak
tahun 1945, (2) sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1, maka Indonesia
berkewajiban membentuk hukum nasional yang salah satu sumbernya adalah hukum
agama, (3) sumber hukum nasional itu selain agama Islam, juga agama lain bagi
pemeluk agamanya masing-masing, baik dibidang hukum perdata maupun hukum pidana
sebagai hukum nasional.[26]
Pemikirian Hazairin di atas sangat
penting untuk dijadikan pedoman dalam mengembalikan pemurnian hukum Islam yang
sejalan dengan ajaran tentang penataan hukum. Memperkuat teori Penataan
Otoritas Hukum dan juga mempertajan teori receptive in complexu yang
disampaikan oleh para ahli Belanda sebelumnya terhadap kebijakan hukum Islam di
Indonesia.
Pemikiran yang membuahkan teori receptie
exit ini, sekaligus merupakan upaya menentang atau meng-exit teori receptive
yang memberikan prasayarat bagi hukum Islam untuk dapat diterima sebagai hukum
bila diterima oleh hukum adat. Teori receptive harus exit dari sistem hukum
nasional karena dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah serta tidak
sejalan dengan konstitusi negara Indonesia.
6. Syariat Islam dan Teori Receptio a
Contrario
Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti
Thalib, yang mengungkapkan perkembangan hukum Islam dari segi politik hukum,
berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia. Dinamakan
teori receptio a contrario karena memuat teori tentang kebalikan (contra) dari
teori receptie. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum
perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat ini, dengan mengemukakan
pemikirannya sebagai berikut; (1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam, (2) hal
tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin, dan
moralnya, (3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan
dengan agama Islam dan hukum Islam.[27] Teori ini disebut teori reception a
contrario karena memuat tentang kebalikan dari teori receptive.
Sayuti Thalib berpendirian bahwa di
Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada pancasila dan UUD 1945, semestinya
orang yang beragama menaati hukum agamnya, sesuai dengan sila “Ketuhanan Yang
Maha Esa.” Terhadap aturan-aturan lain, hukum adat misalnya, atuaran-aturan itu
dapat dierlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam pertumbuhan masyarkat modern yang
berhubungan dengan norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat
bertentangan dengan hukum Islam, oleh karena itu bagi orang Islam Indonesia,
norma-norma adat yang bertentangan dengan Pancasila dan hukum Islam mestinya
tidak dapat diberlakukan.[28]
Kalau teori receptie melihat kedudukan
hukum adat didahulukan keberlakuannya dari pada hukum Islam, maka teori
receptio a contrario mendudukkan hukum adat pada posisi sebaliknya, dan hukum
adat dapat diberlakukan jika benar-benar tidak bertentangan dengan hukum Islam.
7. Syariat Islam dan Teori Eksistensi
Teori eksistensi ini dikemukakan oleh H.
Ichtijanto S.A,[29] yang berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya
dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam
didalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukum Islam
sebagai salah satu sumber hukum nasional ialah sebagai berikut; (1) merupakan
bagian integral dari hukum nasional Indonesia, (2) keberadaan, kemandirian,
kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai
hukum nasional, (3) norma-norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring
bahan-bahan hukum nasional Indonesia, dan (4) sebagai bahan utama dan unsur
utama hukum nasional Indonesia.
Kerangka pemikiran yang berkembang dalam
peraturan dan perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan hukum Islam
yang berjalan di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam yang
berkenan dengan puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hiba, baitul-mal, hari-hari
raya besar Islam, selalu ditatai oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat
adanya hubungan yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional,
maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum Islam telah eksis dan semestinya
diakomodasi sebagai sumber hukum nasional.[30]
Eksistensi hukum Islam dalam tata hukum
nasional ini nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan hukum
tertulis. Dalam hukum tertulis juga ada nuansa hukum Islam yang tercantum dalam
hukum nasional.
Dari gambaran diatas dapat dikatakan
bahwa hukum Islam ada di dalam hukum nasional sebagai salah satu sumber
hukumnya. Eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan
terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan
perundang-undangan, seperti undang-undang penyelenggaraan ibadah haji,
pengelolaan zakat, dan perbankan syariah. Demikian juga dapat dikatakan bahwa
hukum Islam yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih tetap
dilaksanakan melalui acara ritual kenegaraan dan kegamaan, seperti isra miraj,
nuzunul qur’an, maulid Nabi Muhammad.
C. Analisis Filosofis Penerapan Hukum
Islam
Dalam kajian ilmu hukum pada umumnya,
ada yang disebut hukum positif dan hukum yang di cita-citakan. Hukum positif
adalah hukum yang sedang berlaku disuatu negara, sedangkan hukum yang di
cita-citakan yaitu hukum yang hidup dimasyarakat, tetapi belum menjadi hukum
positif secara legal-formal. Eksistensi hukum Islam di Indonesia yang menjadi
hukum positif hanya yang berkaitan dengan hukum privat, yaitu ubudiah dan
muamalah. Sedangkan yang berhubungan dengan hukum publik Islam sampai saat ini
masih menjadi hukum yang di cita-citakan.
Persoalan seputar penting tidaknya
syariat Islam dilegislasikan menjadi hukum nasional merupakan satu wacana yang
kerap melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Pemikiran kearah itu banyak
disampaikan oleh berbagai kalangan, walaupun dapat dipastikan bahwa pendapat
para ahli tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis,
kultural, ideologis, dan religiositas.
Azyumardi Azra[31] misalnya, dalam
menanggapi soal kemungkinan positifasi syariat Islam menjadi hukum nasional,
mengungkapkan bahwa, yang harus diperhatikan adalah kondisi umat Islam
Indonesia yang bukan merupakan realitas monolitik, tapi adalah realitas yang
beragam, banyak golongannya, pemahaman keislamannya, keterikatannya, dan
pengetahuannya yang berbeda-beda. Realitas sosilogis ini dikhawatirkan akan
menimbulkan persoalan viabilitas. Artinya hukum Islam tersebut tidak bisa
bertahan, bahkan mungkin juga bisa menjadi kontraproduktif ketika lapisan
masyarakat muslim yang pemahamannya terhadap Islam berbeda tadi kemudian tidak
sebagaimana yang diharapkan.
Selain itu, menurut Azyumardi Azra,
perbedaan mazhab fikih juga perlu diperhitungkan, karena harus kita akui bahwa
di dalam soal fikih, khususnya mengenai hudud, terdapat perbedaan yang dari
dulu sampai sekarang belum teratasi. Jadi, ada masalah secara internal di dalam
fikih itu sendiri. Misalnya soal hudud, atau lebih spesifik lagi soal hukum
rajam. Ada kalangan ulama misalnya Mahmud Syaltut berpendapat, hukum rajam
adalah hukuman maksimal. Padahal kalau hukum rajam itu menjadi hukum yang
maksimal, maka salah satu filsafat hukum yang merupakan inti dari filsafat
hukum adalah menghindari semaksimal mungkin hukum yang maksimal. Karena kalau
hukuman maksimal dijatuhkan maka fungsi aspek edukatif dari hukum itu menjadi
hilang. Itu satu contoh yang perlu dipertimbangkan.[32]
Juhaya S. Praja – pendapatnya dalam
merespon wacana dijadikannya hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam
kerangka sistem hukum nasional – mengatakan bahwa, walaupun dalam praktek tidak
lagi berperan secara menyeluruh, hukum Islam masih memiliki arti besar bagi
kehidupan pemeluknya. Setidaknya, ada tiga faktor yang menurut Juhaya Praja
menyebabkan hukum Islam masih memiliki peranan besar dalam kehidupan bangsa.
Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur
kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik
dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan, dan larangan agama.
Kedua, banyak keputusan hukum dan yurisprudensial dari hukum Islam telah
diserap menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang
masih memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam sehingga peranan hukum
Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai
pengaruh cukup besar. [33]
Pendapat yang berbeda disampaikan Habib
Riziq Shihab, menurutnya penerapan hukum Islam harus formalistik-legalistik
melalui institusi Negara. Ia mengatakan bahwa syariat Islam secara formal harus
diperjuangkan dan harus diamalkan secara substansial. Tidak ada gunanya
memperjuangkan formalitas sedangkan substansialnya ditinggalkan. Sebaliknya ia
tidak setuju bila mengatakan yang penting substantinya, formalitasnya tidak
perlu. Justru dengan formalisasi, maka substansi bisa diamalkan. Ia juga
mengungkapkan pendapat Imam al-Ghazali yang berbicara tentang tata Negara
Islam, bahwa “agama adalah fondasi, pemerintahan sebagai penjaganya. Apa-apa
yang tidak ada fondasinya pasti rubuh dan apa-apa yang tidak dijaga pasti akan
hilang.” Karenanya menurut Habib Riziq tidak boleh memisahkan agama dengan
kekuasaan.[34]
Syariat Islam selama ini masih dipahami
– oleh sebagian orang – sebagai hukum normatif yang tidak mempunyai sanksi
yuridis atau kekuatan mengikat bagi masyarakat. Hukum yang bersifat normatif
hanya dianggap sebagai patokan perilaku bagi seseorang dengan sanksi moral dari
masyarakat. Oleh karena itu, keberlakuan syariat Islam sebagai hukum Islam
diserahkan kepada tingkat akidah seseorang. Hal itu menjadi kontraproduktif
ketika bengsa ini hendak memberlakukan syariat Islam secara kaffah.
Kesalahpahaman tersebut membuat syariat Islam hanya menjadi kekuatan moral
ketimbang daya ikat hukum yang harus ditegakkan atau diberlakukan sebagai
tuntutan akidah. Padahal syariat Islam di turunkan Allah kepada umat manusia
untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Kekuatan syariat Islam dalam menata
ketertiban dan kedamaian masyarakat selain yang bersifat normatif dalam bidang
ubudiah dan muamalah, juga harus ditopang dalam bidang jinayah agar segala
hak-hak masyarakat yang terampas bisa dikembalikan. Oleh karena itu, hukum
pidana Islam sebagai hukum publik harus dilegislasi menjadi hukum positif.[35]
Berdasarkan pemikiran-pemikiran diatas,
kami dapat mengatakan bahwa syariat Islam bukan hanya simbolisme ajaran moral
yang dilaksanakan secara ritual saja, tetapi merupakan pragmatisme ajaran yang
mesti diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu bila syariat Islam
tidak dapat dilaksanakan secara kolektif melalui formalisasi atau otoritas
negara, maka ia harus dilaksanakan secara individual sebagai tuntutan akidah.
Pelaksanaan syariat Islam secara individual memang hanya bisa pada tataran
normatif yang berkaitan dengan ubudiah dan muamalah, sedangkan penegakan hukum
Islam yang berhubungan dengan hukum publik, memang tetap mesti ada campur
tangan negara, tentunya dengan mempertimbangkan segala aspek-aspek sosiologis
sehingga dapat mendukung proses implementasinya.
D. Faktor Pendukung dan Kendala
Penerapan Hukum Islam
1. Faktor-faktor Pendukung Usaha
Penerapan Syariat Islam
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi
modal atau kekuatan dalam usaha menuju penerapan syariat Islam;[36]
Jumlah umat Islam cukup signifikan.
Maraknya gerakan-gerakan Islam yang
senantiasa menyuarakan diterapkannya syariat Islam.
Gagalnya beberapa sistem hukum dan
bernegara yang bukan Islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia,
sehingga mereka membutuhkan alternatif-alternatif yang lain. Diantara
alternatif itu ialah Islam.
Keberhasilan usaha-usaha politik dari
kalangan Islam dan partai-partai politik Islam di beberapa negeri muslim.
Sejarah umat Islam yang cemerlang di
masa lampau ketika mereka menerapkan syariat Islam. Sejarah cemerlang ini
setidak-tidaknya bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam
atas kembalinya masa kejayaan mereka.
2. Kendala-Kendala dalam Usaha Penerapan
Syariat Islam
Secara umum hambatan-hambatan yang ada
adalah sebagai berikut;[37]
Hambatan eksternal berupa pihak-pihak
yang memang sejak awal memiliki antipati terhadap Islam dan syariat Islam.
Mereka adalah para pengusung agama dan ideologi tertentu diluar Islam, terutama
yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka senantiasa menyebarluaskan
imej yang negative tentang Islam dan syariat Islam, misalnya dengan
menjelek-jelekkan Islam dengan slogan “Harem dan Pedang” (sebagai simbol bagi
pengungkungan kaum wanita dan kekerasan).
Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya
tidak terlalu ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat Islam
karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut
sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul
ma’aashiy.
Hambatan dari pihak-pihak yang menolak
syariat Islam karena belum memahami syariat Islam, atau memahaminya dengan
pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam disebut sebagai
ahlul jahl.
Disamping itu, usaha-usaha menuju
penerapan syariat Islam juga berkaitan dengan masalah strategi.
Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan
syariat Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang
berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan apabila
strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama lain.
[1] Mahasiswa Pascasarja Universitas
Muslim Indonesia Makassar
[2] http://www.menaraislam.com
[3] Lihat, Arskal Salim, Penerapan
Syariat Bukan Negara Islam, dalam http://www.islamlib.com
[4] A. Rahmat Rosyadi, dan H. M. Rais
Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Edisi:
I, Ghalia Indonesia, Bogor, April 2006), h. 9
[5] Lihat Ibdi, h. 2. “…Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir”, (Q.s; al-Maidah/5:44). “…Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim”, (Q.s; al-Maidah/5:45), “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”,
(Q.s; al-Maidah/5:47).
[6] H. Ichtijanto S.A, Pengembangan
Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia,
Perkembangan dan Pembentukan, (Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991), h. 95-149
[7] A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais
Ahmad, Op.Cit, h. 67
[8] Ibid, h. 68
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] “Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
(Q.S. al-Baqarah/2:208)
[12] “Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S. al-Ahzab/33:36)
[13] “…Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir”, (Q.s; al-Maidah/5:44). “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”,
(Q.s; al-Maidah/5:45), “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”, (Q.s; al-Maidah/5:47)
[14] “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” ((Q.s; an-Nisaa’/4:59)
[15] H. Ichtijanto S.A, Op.Cit, h. 114
[16] Charles J. Adams, dalam Muhammad
Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Cet:VII, RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 1999), h. 11
[17] A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais
Ahmad, Op.Cit, h. 73
[18] Ibid, h. 73-74
[19] http://makalahdanskripsi.blogspot.com,
Makalah Hukum Islam I (teori receptio in complexu)
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais
Ahmad, Op.Cit, h. 78
[23] Abu Bakar Aceh, dalam, H.
Ichtijanto S.A, Op.Cit, h. 124
[24] Alfian (editor), Segi-Segi Sosial
Masyarakat Aceh, (LP3S, Jakarta, 1997), h. 207-209.
[25] H. Ichtijanto S.A, Op.Cit, h.
127-128
[26] Ibid, h. 131
[27] Selengkapnya lihat, H. Sayuti
Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Bina
Aksara, 1980), h. 15-70
[28] A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais
Ahmad, Op.Cit, h. 85
[29] Teori Eksistensi ini adalah hasil
pemikiran Ichtijanto yang ditulis dalam sebuah judul: Pengembangan Teori
Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, salah satu subjudulnya: Hukum Islam Ada
dalam Hukum Nasional (Teori Eksistensi). Lihat, Cik Hasan Bisri, Hukum Islam di
Indonesia, Pengembangan dan Pembentukan, (Rosda Karya, Bandung, 1991), h. 137
[30] A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais
Ahmad, Op.Cit, h. 89
[31] Lihat, wawancara Azyumardi Azra,
dalam http://www.islamlib.com
[32] Ibid
[33] Juhaya S. Praja, Hukum Islam di
Indonesia, Pemikiran dan Praktik, (Rosda Karya, Bandung, 1991), h. xv
[34] Lihat wawancara dengan Khamami
Zadan dan Efendi Edyar bertajuk Jika Syariah Islam Jalan, Maka Jadi Negara
Islam, dalam LAKPESDAM-TAF, Tashwirul Afkar, (Jurnal Refleksi Pemikiran
Keagamaan dan Kebudayaan), (Edisi No. 12, tahun 2002), h. 99-100
[35] A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais
Ahmad, h. 96
[36] www.menaraislam.com, Strategi
Menuju Penerapan Syariat Islam
[37] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...