Berkenaan
dengan urgensi epistemologi, kami akan kutip ungkapan seorang pemikir dan
filosof Islam kontemporer asal Iran , Murthada Muthahhari , ia berkata “Pada
era ini kita menyaksikan keberadaan aliran-aliran filsafat sosial dan ideologi
yang berbeda dimana masing-masingnya mengusulkan suatu jalan dan solusi hidup.
Aliran-aliran ini memiliki sandaran pemikiran yang bersaing satu sama lain
untuk merebut pengaruh.
Muncul
suatu pertanyaan, mengapa aliran-aliran dan ideologi-ideologi tersebut memiliki
perbedaan? Jawabannya, penyebab lahirnya perbedaan-perbedaan tersebut terletak
pada perbedaan pandangan dunianya (word
view) masing-masing. Hal ini karena, semua ideologi berpijak pada
pandangan dunia dan setiap pandangan dunia tertentu akan menghadirkan ideologi
dan aliran sosial tertentu pula. Ideologi menentukan apa yang mesti dilakukan
oleh manusia dan mengajukan bagaimana metode mencapai tujuan itu. Ideologi
menyatakan kepada kita bagaimana hidup semestinya.
Mengapa
ideologi mengarahkan kita? Karena pandangan dunia menegaskan suatu hukum yang
mesti diterapkan pada masyarakat dan sekaligus menentukan arah dan tujuan hidup
masyarakat. Apa yang ditentukan oleh pandangan dunia, itu pula yang akan
diikuti oleh ideologi. Ideologi seperti filsafat praktis, sedangkan pandangan
dunia menempati filsafat teoritis. Filsafat praktis bergantung kepada filsafat
teoritis.
Mengapa
suatu ideologi berpijak pada materialisme dan ideologi lainnya bersandar pada
teisme? Perbedaan pandangan dunia tersebut pada hakikatnya bersumber dari
perbedaan dasar-dasar pengenalan, pengetahuan, dan epistemology
EPISTEMOLOGI
PLATO dan ARISTOTELES
Plato
dapat dikatakan sebagai filosof pertama yang secara jelas mengemukakan
epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah
epistemology ini. Filosof Yunani berikutnya yang berbicara tentang epistemologi
adalah Aristoteles. Ia murid Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama
kira-kira 20 tahun di Akademia.
Pembahasan
tentang epistemologi Plato dan Aristoteles akan lebih jelas dan ringkas kalau
dilakukan dengan cara membandingkan keduanya, sebagaimana tertuang pada table
di bawah ini.
Table komparasi epistemology Plato dan Aristoteles
Topik
Pemikiran
|
Plato
|
Aristoteles
|
Pandangan
tentang dunia
|
Ada
2 dunia: dunia ide & dunia sekarang (semu)
|
Hanya
1 dunia: Dunia nyata yang sedang dijalani
|
Kenyataan
yang sejati
|
Ide-ide
yang berasal dari dunia ide
|
Segala
sesuatu yang di alam yang dapat ditangkap indra
|
Pandangan
tentang manusia
|
Terdiri
dari badan dan jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak abadi).
Jiwa
terpenjara badan.
|
Badan
dan jiwa sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.
|
Asal
pengetahuan
|
Dunia
ide. Namun tertanam dalam jiwa yang ada dalam diri manusia.
|
Kehidupan
sehari-hari dan alam dunia nyata
|
Cara
mendapatkan pengetahuan
|
Mengeluarkan
dari dalam diri (Anamnesis) dengan metoda bidan
|
Observasi
dan abstraksi, diolah dengan logika
|
Perbedaan
epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para
filosof modern. Idealisme Plato mempengaruhi filosof-filosof Rasionalis seperti
Spinoza, Leibniz, dan Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal
dan cara memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsu-filosof Empiris seperti
Locke, Hume, dan Berkeley.
Rasio
Vs Indra Persepsi
Antara
abad 17 hingga akhir abad ke-19, masalah utama yang muncul dalam pembahasan
epistemologi adalah resistensi antara kubu rasionalis vis-à-vis
kubu empiris (indriawi-persepsi). Filosof Francis, René Descartes (1596-1650),
filosof Belanda, Baruch Spinoza (1632-1677), dan filosof Jerman, Wilhelm
Leibniz (1646-1716) adalah para pemimpin kubu rasionalis. Mereka berpandangan
bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah logika
deduktif (baca: qiyas) yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip
swabukti (badihi) atau axioma-axioma. Sementara orang-orang
seperti, Francis Bacon ( 1561-1626) and John Locke (1632-1704) keduanya
adalah filosof Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu
pengetahuan adalah bersandar kepada pengalaman, persepsi dan indriawi.
Filosof
Francis René Descartes secara rigoris menggunakan metode deduksi dalam jelajah
filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik atas karya pionirnya untuk
bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang pertama kali memperkenalkan
metode sangsi dalam investigasi terhadap ilmu pengetahuan.
Descartes
yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat Modern (sekaligus filsafatnya
kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam mengusung metode rasionalnya,
dia menggunakan metode sangsi dalam menyikapi pelbagai fenomena atau untuk
mencerap ilmu pengetahuan. Postulat, Cogito Ergo Sum adalah milik
Descartes. Rumusan postulat ini yang menemaninya untuk menyingkap ilmu
pengetahuan. Menurut Descartes segala sesuatu yang berada di dunia luar harus
disangsikan dan diragukan.
Pandangan
Descartes tentang manusia sering disebut sebagai dualistis. Ia melihat manusia
sebagai dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah
keluasan. Tubuh tidak lain adalah suatu mesin yang dijalankan jiwa. Hal ini
dipengaruhi oleh epistemologinya yang memandang rasio sebagai hal yang paling
utama pada manusia.
Empirisme
pertama kali diperkenalkan oleh filosof dan negarawan Inggris Francis Bacon
pada awal-awal abad ke-17, akan tetapi John Locke yang kemudian mendesignnya
secara sistemik yang dituangkan dalam bukunya "Essay Concerning Human
Understanding (1690). John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu
lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong
tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang
menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi
manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan
seluruh indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap
konsepsi intuisi dan batin. Filosof empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang
manusia sebagai sekumpulan persepsi (“a bundle or collection of perceptions”).
Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan
itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak
mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia
hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat.
Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena
menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak
demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self).
Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi
saja.[bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...