Penulis : Imam Yahya
Bagi sebagian kalangan, kehadiran partai
politik Islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai
Bulan Bintang, atau Partai Keadilan Sejahtera dalam kancah perpolitikan di
Indonesia sekarang ini merupakan fragmentasi partai politik Islam tahun
1955-an. Saat itu partai Islam meliputi Masyumi, NU, PSII Partai Syarikat Islam
Indonesia, PERTI Perhimpunan Tarbiyah Islamiyah, serta Partai Persatuan
Thariqat Indonesia. Tokoh-tokohnya tidak beranjak dari para pimpinan organisasi
sosial keagamaan yang menjadi cikal bakal pendiriannya. Tentunya harapan
terhadap tokoh-tokoh berlatar belakang agama itu akan bisa memberikan nuansa
religius dalam berbagai kegiatan partai politik.
Namun partai politik jelas berbeda
dengan organisasi sosial keagamaan seperti NU, `Muhammadiyah maupun lainnya.
Organisasi sosial keagamaan menjadikan tokoh-tokohnya untuk berkonsentrasi di
bidang keagamaan dan kemasyarakatan. Sedang dunia politik adalah bersifat
profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, penuh muatan politis, dan
tendensius. Banyak politisi berlatar belakang agama, yang pada gilirannya
menggiring ke arah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung
kooptatif, hegemonik, dan korup. Akibatnya, kekuatan logika (the power of
logic) yang dimiliki tokoh agama, seperti logika moralitas yang mengedepankan
ketulusan pengabdian menjadi sirna.
Masyarakat yang mempunyai persepsi bahwa
berpolitik itu kotor, lantaran banyaknya prilaku politik dan prilaku politisi
yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah politik yang benar. Di sisi lain tokoh
agama dianggap sebagai penjaga moralitas umat yang bisa memberika uswah dalam
berbagai perilaku kehidupan di masyarakat. Untuk itu tidaklah mungkin seorang tokoh
agamawan bisa menjadi seorang tokoh politik pada waktu yang bersamaan.
Sepintas, argumen yang diajukan beberapa
kalangan agar tokoh agama tidak berpolitik sangat luhur dan mulia. Sebagian
kalangan itu sepertinya menghendaki agar kesucian, keluhuran moral, dan tugas
mulia para kiai yang ada di dunia ‘lain’ harus tetap terjaga dari ‘kubangan’
politik yang penuh dengan kenistaan.
Berpolitik dan berdakwah bagi tokoh
agama bagaikan dua sisi mata uang. Berdakwah dan berpolitik sama-sama
pentingya. Sejarah politik Islam memberikan pelajaran kepada kita, ketika Nabi
wafat persoalan yang pertama muncul adalah persoalan politis, yakni soal
pengankatan wakil pemipin negara Madinah pasca Nabi. Namun dengan semangat
kebersamaan, tokoh-tokoh politik kelompok anshar harus menerima pengangkatan
Abu Bakar yang muhajirin untuk memimpin negara Madinah pasca Nabi.
Dengan paradigma tokoh-tokoh anshar di
atas, berpolitik atau masuk ke salah satu parpol, diharapkan bisa menyuarakan
kebenaran. Inilah mungkin prinsip-prinsip yang dipraktekkan Rasulullah SAW
selama memimpin komunitas muslim di Madinah, bisa menjadi semangat berpolitik
para tokoh agama.
Tentu benar bahwa ketika tokoh agama
berpolitik, maka akan muncul permasalahan, baik berkaitan dengan penggunaan
otoritas dan penggunaan legitimasi, maupun pada substansi keterlibatan tokoh
agama dalam politik praktis. Tokoh agama harus melakukan perannya sesuai dengan
posisi dan kedudukannya di partai politik dimanapun berada.
Peran itu berupa tugas pencerahan bagi
umat manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai para pewaris Nabi. Peran itu
biasa disebut dengan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Sedang rinciannya adalah tugas
untuk: (a) mendidik umat di bidang agama dan lainnya, (b) melakukan kontrol
terhadap masyarakat, (c) memecahkan problem yang terjadi di masyarakat, (d)
menjadi agen perubahan sosial. Kesemua tugas itu, akan berusaha dijalankan oleh
para ulama’ sepanjang hidupnya, meski jalur yang ditempuh berbeda.
Tulisan ini bermaksud melakukan
penelusuran konsep fiqh siyasah berkaitan dengan eksistensi partai politik
dalam sejarah politik Islam. Hal ini penting agar prinsip-prinsip yang pernah
dilakukan dalam sejarah bisa dijadikan sebagai reverensi bagi para tokoh agama
yang bergelut di bidang politik sekarang dan masa yang akan datang. Partai
politik Islam tidak haya berlebelkan Islam tetapi secara substansial partai
politik Islam harus bisa mencerminkan nilai-nilai Islam yang humanis dan
membumi.
Secara tegas sejarah politik Islam tidak
memberikan contoh tentang partai politik. Partai politik baru dikenal pada masa
moden ini. Apa yang bisa kita cari adalah benih-benih partai politik yang telah
dilakukan pada masa lampau khususnya Islam awal.
Peristiwa tsaqifah bani saidah misalnya
yang dikenal sebagai cikal bakal politik Islam, bisa menjadi model munculnya
partai politik dalam sejarah politik Islam. Kelompok ansar yang merupakan
penduduk asli Madinah secara bersama-sama atau berkelompok merasa
bertanggungjawab atas keberlangsungan “negara” Madinah yang telah didirikan
oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kelompok ini semula memandang bahwa
secara politis negara Madinah harus duteruskan dengan cara mencari pengganti
Nabi sebagai khalifah di Madinah. Nabi tidak pernah memberikan petunjuk atas
apa yang harus dilakukan apabila kelak nanti sahabat ditinggalkan Nabinya.
Mereka bermusyawarah dan berkesepakatan bulat memilih Abu Ubaidah sebagai
pemimpin pengganti Nabi Muhammad. Hal ini didasarkan kepada integritas Abu
Ubaidah sebagai sahabat senior dan mumpuni dalam persoalan politik kenegaraan.
Sebelum Abu Ubaidah dibaiat kaum Anshar,
Abu Bakar dan Umar dating dan menganulir kesepakatan yang dihasilkan. Mensikapi
permintaan Umar ini kaum Anshar berselisih ada yang menerima dan ada yang
menolak bahkan mengancam akan tetap mempunyai pemimpin dari kaum Anshar meski
telah dianulir oleh sahabat Abu Bakar dan Umar.
Namun demi persatuan dan kesatuan umat
Islam saat itu, mayoritas kaum anshar menerima permohonan Umar yang pada
akhirnya meilih Abu Bakar sebagai khalifah pasca meninggalnya Nabi. Alasan Umar,
Abu Bakar adalah sahabat yang paling pantas untuk memimpin umat Islam saat itu.
Demi kebersamaan akhirnya kaum Anshar dan Muhajirin membaiat Abu Bakar sebagai
khalifah.
Ketika dibaiat oleh kaum muslin di
tsaqifah bani saidah, Abu Bakar meminta kepada seluruh kaum muslimin, apabila
mendapatinya kesalahan dan kekurangan untuk segera mengingatkan atau
mengkritiknya. Hal ini karena Abu Bakar menyadari bahwa dirinya adalah manusia
biasa yang diberi amanat kaum muslimin untuk memimpin. Tak ada salahnya kalau kaum
muslimin melakukan kritik demi kebaikan bersama.
Namun berbeda dengan Umar karena
mengetahui keinginan dan harapan kaum Anshar, Khalid bin Walid dengan segala
kelebihan dan kekurangannya diganti dengan Abu Ubaid yang dari Anshar. Ini
adalah respon Umar atas aspirasi kaum anshar yang menginginkan ada ada
rekrutmen kader dari kaum anshar.
Beberapa peristiwa politik yang terjadi
pada zaman klasik bisa kita baca melalui tulisan-tulisan para pujangga politik
muslim seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun maupun Al-Mawardi dan Al-Farra.
Tokoh-tokoh ini menjadi rujukan awal dalam sejarah politik di samping buku-buku
sejarah klasik seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluknya al-Thabari, Ibn Atsir, dan
Sirah Nabawi-nya Ibn Hisyam.
Al-Mawardi misalnya dalam buku al-Ahkam
al-Sulthaniyah memperkenalkan konsep Makzul, yang menurunkan imam (khalifah)
apabila seorang pemimpin itu kedapatan melakukan maksiyat terhadap Allah. Ini
mengandung maksud bahwa seorang pemimpin harus mengabdikan dirinya untuk
kemaslahatan umat dan agamanya.
Sementara Ibn Taimiyah yang hidup pasca
al-Mawardi mengalami masa yang dilematis. Sebagai seorang intelektual muslim,
Ibn Taimiyah menginginkan system ketatanegaraan yang ideal. Kasus pemilihan
kepala negara (khalifah) tidak harus didasarkan pada berbagai kualifikasi yang
terukur. Untuk itu beliau hanya mensyaratkan dua sifat yakni; sifat amanah dan
sifat quwwah. Namun ide Ibn Taimiyah yang fleksibel ini susah diwujudkan karena
terbentur dengan beberapa hal, di antaranya suasana pemerintahan yang sedang mengalami
kemunduran.
Gagasan Partai Politik
1). Pengertian Partai Politik
Partai politik secara etomologis berasal
dari kata partai dan politik. Kata "partai" berasal dari bahasa
Inggris "part" yang berarti menunjuk kepada sebagian orang yang
seazaz, sehaluan, dan setujuan terutama di bidang politik. Sedangkan politik
yang dalam bahasa Inggris politics berarti ilmu yang mengatur ketatanegaraan,
atau seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan.
Jadi partai politik adalah perkumpulan
orang-orang yang seidiologi atau tempat/wadah penyaringan dan pembulatan, serta
tempat berkumpulnya orang-orang yang seide, cita-cita dan kepentingan.
Para ahli politik seperti PJ. Bouman,
Carl J. Friedrich, dan Mac Iver juga mengartikan partai politik sebagai:
sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan
berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang
bersifat idiil maupun materiil.
Secara umum dapat dikatakan, partai
politik adalah suatu kelompok yang teorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini
ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan
cara konstitusionil, serta menumbuhkan partisipasi masyarakat.
Partisipasi politik merupakan salah satu
bentuk dari berbagai kegiatan yang dilakukan partai politik. Partisipasi
politik mencakup semua kegiatan seperti turut serta dalam proses pemilihan
pemimpin¬ politik baik secara langsung atau tak langsung, kegiatan memilih
dalam pemilihan umum, duduk dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan
rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam
badan itu, berkampanye, menghadiri kelompok diskusi dan sebagainya.
Dalam kepustakaan ilmu politik,
ditemukan beberapa definisi yang berbeda mengenai partai politik. Namun ilmuwan
politik tersebut tidak menyertakan aspek ideologi dalam menyusun definisi
partai politik. Ramlan Surbakti menduga, hal itu disebabkan oleh pengaruh
pandangan di Barat bahwa ideologi telah mati. Padahal pada kenyataannya setiap
negara pasti memiliki ideologi, apakah bersifat doktriner, pragmatis atau jalan
tengah dari keduanya, dan hal ini tercermin dalam partai yang ada di negara
bersangkutan, terlepas dari keragaman definisi ideologi yang dipakai oleh
setiap partai politik.
Karena itulah Ramlan Surbakti merumuskan
partai politik sebagai Kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan
stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang
berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui
pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah guna melaksanakan alternatif
kebijakan umum yang mereka susun, sebagai hasil dari pemaduan berbagai
kepentingan yang hidup dalam masyarakat.
Dari sinilah kemudian muncul istilah
partai Islam, atau partai yang dilandasakan pada symbol-simbol Islam, penganut
Islam maupun substansi ajaran Islam. Indonesia sebagai negara yang mayoritas
penduduknya muslim tak bisa mengelakkan dengan menjamurnya partai-partai yang
menamakan dirinya sebagai partai Islam, baik yang secara tekstuial maupun
substansial.
Tentunya pembahasan bagaimana format dan
bentuk partai Islam tidak lepas dari pola hubungan Islam dan politik yang
sekarang ini berkembang di tengah masyarakat Indoensia. Partai Islam semacam
Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangaunan serta Partai Bulan
Bintang secara tegas menamakan dirinya partai Islam. Sementara Partai
Kebangkitan Bangsa serta Partai Amanat Nasional yang jelas berlatarbelakang
dirinya organisasi sosial keagamaaan menamakan dirinya sebagai partai terbuka
bagi penganut agama manapun.
Bentuk lain adalah partai seperti Partai
Golongan Karya, atau Partai Demokrat yang banyak orang muslimnya bukan partai
yang berdasarkan Islam. Namun sebagai pribadi-pribadi para anggota partai
Golkar atau Demokrat banyakyang mencoba melakukan agregasi terhadap
kepentingan-kepentingan umat Islam.
Untuk itu format dan bentuk partai Islam
perlu dirumuskan baik sebagai kontektualisasi ajaran Islam maupun sebagai
sumbangan Islam terhadap perkembangan politik di Indonesia.
2). Fungsi Partai Politik
Untuk mengetahui efgektif atau tidakny a
sebuah partai politik, maka kita peerlu melihat kinerja maupun dfungsi-fungsi
yang sudah dilakukan oleh sebuah partai politik.
Dalam Undang-Undang Partai Politik Nomor
31 tahun 2002, partai politik mempunyai beberapa fungsi di antaranya:
1. Pendidikan politik bagi
anggotanya(political education);
2. Sebagai sarana persatuan dankesatuan
bangsa
3. Penyalur aspirasi masyarakat
4. Partisipasi politik warga
5. Rekrutmen politik(political
selection);
Dalam praktik politik di hampir
negara-negara modern saat ini, baik yang bercorak demokratis maupun totaliter,
kehadiran partai politik tidak dapat dielakkan. Di negara-negara demokratis,
partai politik dipakai sebagai sarana untuk mewujudkan hak rakyat dalam
menentukan figur-figur yang akan menjadi pemimpinrrya. Sedangkan di
negara-negara totaliter, partai didirikan oleh elite politik dengan
pertimbangan bahwa rakyat perlu dibina agar tercipta stabilitas yang
berkelanjutan.
Di antara fungsi-fungsi sebuah partai
poltik yang utama adalah sebagai berikut:
1. Partai politik adalah media
penyaluran aspirasi
Dalam masyarakat modern pendapat dan
aspirasi seseorang atau suatu kelompok merupakan suara rakyat yang harus
disalurkan sesuai dengan kran demokrasi. Sekecil apapun suara, suara rakyat
harus mendapatkan porsi yang layak, karena sesungguhnya kebijakan negara akan
kembali untuk kesejahteraan rakyat. Tentunya suara rakyat berbagai ragam macam
dan bentuknya. Oleh karena itu partai politik harus mampu untuk menyeleksi dan
mengambil yang paling aspiratif. Proses ini dinamakan "penggabungan
kepentingan" (interest aggregation).
Setelah dilakukan interest aggregation,
suara-suara ini harus menjadi kebijakan negara agar bias direalisasikan dalam
kehidupan riil. Proses ini dinamakan "perumusan kepentingan"
(interest articulation). Partai politik selanjutnya merumuskannya sebagai usul
kebijaksanaan. Dengan demikian rakyat akan mengetahui dan bermnat untuk
menggunakan partai politik sebagai wadah untuk menyampaikan unek-uneknya tanpa
harus menggunakan kekerasan maupun protes bagai parlemen jalanan.
Di lain fihak partai politik berfungsi
juga untuk memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi
serta dialog dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, di mana partai politik
memainkan peranan sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang
diperintah, antara pemerintah dan warga masyarakat.
2. Partai sebagai sarana pendidikan
politik
Fungsi partai politik adalah sebagai
sarana sosialisasi politik. Di dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan
sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap
phenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada.
Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa
kanak-kanak sampai dewasa. Di samping itu sosialisasi politik juga mencakup
proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari
satu generasi ke generasi berikutnya.
3. Partai politik sebagai sarana
rekruitmen politik
Partai politik juga berfungsi untuk
mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan
politik sebagai anggota partai. Dengan demikian partai turut memperluas
partisipasi politik. Caranya ialah melalui kontak pribadi, persuasi dan
lain-lain. Juga diusahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik menjadi
kader yang di masa mendatang akan mengganti pimpinan lama. Partai politik
sebagai sarana pengatur konflik (conflict management)
Partai Politik dalam Kajian Normatif
Dalam wacana politik Islam kita mengenal
ada tiga pola hubungan Islam dengan politik yang dikenalkan oleh Abdurrahman
Wahid atau Munawir Syadzali. Pertama pola integrative, yakni Islam dipandang
sebagai agama yang kaffah sehingga Islam mengatur segala persoalan baik yang
berdinensi ke-Tuhanan, maupun berdimensi keduniaan termasuk persoalan politik.
Bagi kelompok ini aturan politik dalam Islam haruslah bersifat menyeluruh,
sehingga bagi kelompok ini partai Islam harus berlandaskan kepada Alqur’an dan
Assunnah.
Kedua, pola sekularistik yakni faham
yang menyatakan bahwa Islam itu agama yang mengatur persoalan-persoalan
individual yang berhubungan dengan Tuhannya. Persoalan keduniaan tidak diatur
secara detail dan bahkan Tuhan memberikan kebebasan kepada umatnya. Oleh karena
itu dalam persoalan politik tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk berpartai
politik yang berlandaskan kepada ajaran-ajaran Islam. Apalagi wajib
berlandasakan kepa Alqur’an dan Assunnah.
Ketiga, pola hubungan yang simbiotik di
mana kelompok ini mengakui bahwa Islam adakah agama universal. Islam memberikan
prinsip-prinsip kehidupan keduniaan termasuk bidang politik. Bagi kelompok ini
partai politik adalah urusan keduniaan, sehingga ajaran Islam hanya mengatur
prinsip-prinsip politik secara umum, seperti prinsip al-adalah, al-musawa, dan
al-hurriyyah.
Tiga pola ini yang secara paradigmatik
menjadi dasar tulisan ini dalam melakukan format ulang terhadap partai politik
perspektif Islam.
a. Prinsip-prinsip politik dalam Islam
Sebagai sebuah ajaran yang universal,
Islam memberikan pedoman bagi seluruh kehidupan umat manusia, baik kehidupan di
dunia ini maupun kelak di akhirat nanti. Ajaran Islam selalu berdimensi dunia
dan akhirat, meski terkadang kita umat Islam belum mampu mengungkap dimensinya.
Rukun Islam yang lima seperti shalat misalnya, tidak saja berarti ibadah
mahdhah kepada Allah, tetapi juga mempunyai dimensi keduniaan seperti
kedisiplinan waktu, kebersamaan dalam berjamaah dan sebagainya. Zakat dan haji
juga kental dengan dimensi duniawinya.
Begitu juga dengan prinsip-prinsip
politik yang terdapat dalam ajaran Islam mempunyai nilai ibadah sekaligus
nilai-nilai keduniaan yang humanis dan fleksibel. Beberapa prinsip yang ada
antara lain: prinsip persatuan dan kesatuan (QS. Al-Baqarah; 213), kepastian
hukum dan keadilan (QS. An-Nisa:58), kepemimpinan (QS, Nisa:59), musyawarah
(QS. As-Syura: 38), persaudaraan (QS. Al-hujurat:2), dan tolong menolong (QS.
Al-Maidah:2).
Negara Islam Madinah yang berdiri
setelah Nabi dan sahabatnya hijrah ke Madinah, merupakan kesempatan pertama
kepada Nabi Muhammad untuk membuktikan bahwa Islam bukan saja sebagai agama
ritual, sebagaimana agama-agama sebelumnya. Islam adalah agama sekaligus
mengajarkan tuntunan bernegara dan bermasyarakat.
Tentu saja format pemerintahan yang
digagas oleh Nabi tidak secara mutlak ditetapkan dalam Al-Qur’an karena
sesungguhnya Al-Qur’an adalah korpus yang bisa diinterpretasikan oleh umat Nabi
hingga akhir masa. Islam hanya mengajarkan nilai-nilai universal yang berkaitan
dengan konsep negara Islam.
Sebagai seorang pemimpin pemerintahan,
Nabi berpegang kepada ajaran-ajaran Islam dalam Al-Qur’an dan Assunnah. Konsep
kepemimpinan yang dikembangkan oleh Nabi adalah konsep yang menekankan pada
aspek musyawarah dan menghargai heteroginitas. Hal ini tercermin dalam banyak
perilaku politik yang dilakukan oleh Nabi.
Pada saat awal Nabi masih di Madinah
adalah mendirikan Masjid dan membuat Perjanjian Madinah atau dikenal dengan :
“Piagam Madinah”. Pembuatan masjid di Madinah merupakan upaya Nabi baik secara
keagamaan maupun politis menggalang persatuan ummat atau kaum muslimin yang
sudah menjadi satu daerah yaitu Madinah. Sebagaimana kita ketahui suku Quraisy
yang berasal dari Makkah terdiri dari suku Aus dan Khzraj, dua suku kuat yang
hingga masuk Islam masih sering terjadi kontak senjata antar dua suku. Melalui
media Masjid, Nabi berupaya untuk mempertemukan sesering mungkim kaum muslimin
untuk memikirkan bersama keberlangsungan Islam atau negara Islam Madinah di
tengah ancaman kaum musyrik Makkah.
Sementara untuk menggalang persatuan
antar penduduk muslim dan non-muslim yakni kaumYahudi di kota Madinah, Nabi
membuat piagam Madinah yang menjadi symbol kebersamaan antar ummat dengan kaum
Yahudi. Di sinin jelas bahwa Nabi Muhamad menjunjung pluralitas suku agama dan
bangsa. Perjanjian Madinah inilah yang hingga kimni masih banyak dicontoh
sebagai landasan menjalin ukhuwwah wathaniyah sesama warga negara. Inilah yang
oleh Phillip K Hitti disebut sebagai miniatur negara bangsa Madinah.
Sebagai seorang pemimpin pemerintahan,
Nabi memimpin jalannya pemerintahan negara Madinah. Namun sebagai orang yang
menjunjung musyawarah dan kebersamaan, Nabi Muhammad membuat strata
pemerintahan. Beberapa prinsip pemerintahan yang dikembangkan oleh Nabi
berdasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an seperti:
1. Prinsip equality (Al-Musawa)
2. Prinsip Independen (Al-Hurriyyah)
3. Prinsip Pluralisme (Taaddudiyah)
Prinsip-prinsip ini yang kemudian
dikembangkan menjadi prinsip berbangsa dan bernegara hingga sekarang ini kita
kenal. Universalisme prinsip ini tidak saja bias dikembangkan di negara-negara
Islam tetapi juga di negara-negara non-muslim.
b. Latar belakang sosial-historis
Secara tegas sejarah politik Islam tidak
memberikan contoh tentang partai politik. Partai politik baru dikenal pada masa
moden ini. Apa yang bisa kita cari adalah benih-benih partai politik yang telah
dilakukan pada masa lampau khususnya Islam awal.
Peristiwa tsaqifah bani saidah misalnya
yang dikenal sebagai cikal bakal politik Islam, bisa menjadi model munculnya
partai politik dalam sejarah politik Islam. Kelompok ansar yang merupakan
penduduk asli Madinah secara bersama-sama atau berkelompok merasa
bertanggungjawab atas keberlangsungan “negara” Madinah yang telah didirikan
oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kelompok ini semula memandang bahwa
secara politis negara Madinah harus duteruskan dengan cara mencari pengganti
Nabi sebagai khalifah di Madinah. Nabi tidak pernah memberikan petunjuk atas apa
yang harus dilakukan apabila kelak nanti sahabat ditinggalkan Nabinya. Mereka
bermusyawarah dan berkesepakatan bulat memilih Abu Ubaidah sebagai pemimpin
pengganti Nabi Muhammad. Hal ini didasarkan kepada integritas Abu Ubaidah
sebagai sahabat senior dan mumpuni dalam persoalan politik kenegaraan.
Sebelum Abu Ubaidah dibaiat kaum Anshar,
Abu Bakar dan Umar dating dan menganulir kesepakatan yang dihasilkan. Mensikapi
permintaan Umar ini kaum Anshar berselisih ada yang menerima dan ada yang
menolak bahkan mengancam akan tetap mempunyai pemimpin dari kaum Anshar meski
telah dianulir oleh sahabat Abu Bakar dan Umar.
Namun demi persatuan dan kesatuan umat
Islam saat itu, mayoritas kaum anshar menerima permohonan Umar yang pada
akhirnya meilih Abu Bakar sebagai khalifah pasca meninggalnya Nabi. Alasan
Umar, Abu Bakar adalah sahabat yang paling pantas untuk memimpin umat Islam
saat itu. Demi kebersamaan akhirnya kaum Anshar dan Muhajirin membaiat Abu
Bakar sebagai khalifah.
Ketika dibaiat oleh kaum muslin di tsaqifah
bani saidah, Abu Bakar meminta kepada seluruh kaum muslimin, apabila
mendapatinya kesalahan dan kekurangan untuk segera mengingatkan atau
mengkritiknya. Hal ini karena Abu Bakar menyadari bahwa dirinya adalah manusia
biasa yang diberi amanat kaum muslimin untuk memimpin. Tak ada salahnya kalau
kaum muslimin melakukan kritik demi kebaikan bersama.
Masih dalam pandangan siyasah, Abu
Ubaidah yang menjadi pemimpin Anshar tidak mendapat tempat di pemerintahan Abu
Bakar. Abu Bakar lebih banyak mengutamakan sahabat-sahabat yang lebih dulu
masuk Islam sebagai pejabat negara. Khalid bin Walid al-Makhzumi misalnya,
diangkat sebagai panglima tertinggi angkatan perang. Umar Utsman dan Ali
dijadikan sebagai staf ahlinya.
Namun berbeda dengan Umar karena
mengetahui keinginan dan harapan kaum Anshar, Khalid bin Walid dengan segala
kelebihan dan kekurangannya diganti dengan Abu Ubaid yang dari Anshar. Ini
adalah respon Umar atas aspirasi kaum anshar yang menginginkan ada ada
rekrutmen kader dari kaum anshar.
Sebagai khalifah yang dikenal aspiratif,
Umar juga pernah menyatakan di saat baiat agar masyarakat jangan takut untuk
mengkritiknya. Karena sesungguhnya khalifah adalah khadimul ummah, yang
melayani umat Islam, sehingga tugas utamanya adalah memberikan solusi terhadap
apa yang dirasakan umatnya. Sebagai manusia biasa beliau meinta kaum muslimin
mengingatkan segala tindakannya agar tetap sesuai dengan ajaran Rasulallah SAW.
Beberapa peristiwa politik yang terjadi
pada zaman klasik bisa kita baca melalui tulisan-tulisan para pujangga politik
muslim seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun maupun Al-Mawardi dan Al-Farra.
Tokoh-tokoh ini menjadi rujukan awal dalam sejarah politik di samping buku-buku
sejarah klasik seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluknya al-Thabari, Ibn Atsir, dan
Sirah Nabawi-nya Ibn Hisyam.
Al-Mawardi misalnya dalam buku al-Ahkam
al-Sulthaniyah memperkenalkan konsep Makzul, yang menurunkan imam (khalifah)
apabila seorang pemimpin itu kedapatan melakukan maksiyat terhadap Allah. Ini
mengandung maksud bahwa seorang pemimpin harus mengabdikan dirinya untuk
kemaslahatan umat dan agamanya. Meski pemimpin telah dibaiat dan disepakati
oleh kaum muslimin tetapi masyarakat harus melakukan kontrol bahkan boleh
melakukan mosi tidak percaya atas perbuatan pemimpin yang dhalim.
Ajaran politik Islam bukanlah sebagai
konsep langit, tetapi konsep bumi. Ini diharapkan bisa menjadi model bagi
masyarakat bangsa menjadi politisi yang baik dan benar. Politik bukan selamanya
kalah dan menang sebagaimana yang distigmakan sekarang ini. Tetapi sisi positif
dari berpolitik itu lebih besar dari pada ungkapan streotip tadi. Meski baru
mencari landasan normatif dan historis tetapi upaya ini perlu dilanjutkan
dimasa yang akan datang.
Pemikiran Partai Politik dalam Sejarah
Politik Islam
Salah satu ciri pemikiran politik sunni
adalah menekankan pada faham khilafah centries, yakni kepala negara atau
khilafah menempati posisi yang sangat kuat dalam politik kenegaraan.
Sebaliknya, rakyat hanya dijadikan penonton yang harus mentaati segala perintah
kepala negaranya. Ketaatan dan kepatuhan yang berlebihan ini di dasarkan pada
teks-teks Al Qur’an seperti QS. Al-Nisa:59 dan QS Al-An’am: 165.
Pencirian tersebut tentunya didasarkan
pada latar belakang dan kecenderungan tokoh-tokoh sunni dalam persoalan politik
kenegaraan, semisal Al-Mawardi dan Ibn Taimiyah. Mereka berdua adalah tokoh
ilmu politik Islam yang hidup di lingkungan negara Islam yang sedang mengalami
kemunduran, terutama setelah berkobarnya perang suci atau perang salib antara
tentara Islam dengan tentara.
Pembahasan tentang pokok-pokok pemikiran
Ibn Taimiyah dan Al-Mawardi itu dirasa penting karena keduanya memiliki banyak
kesamaan. Namun sebagai sebuah karya yang tidak dalam satu waktu dan tempat,
keduanya memiliki beberapa perbedaan sesuai dengan latar belakang
masing-masing.
1) Perdebatan tentang konsep Imamah
Sebelum masuk pada pembahasan tentang
pokok-pokok pikiran tentang partai politik, perlu ditelusuri terlebih dulu
pandangan al-Mawardi dan Ibn Taimiyah tentang institusi imamah. Pembahasan ini
sangat penting karena beraitan dengan persoalan fundamental yang menyangkut
hak-hak politik warga.
Bagi al-Mawardi, institusi imamah
diwujudkan dalam rangka melindungi kepentingan agama dan mengatur kehidupan
dunia. Hal ini didasarkan pada ijma ulama yang menganggap bahwa perwujudan itu
bersifat fardu kifayah. Di samping itu juga didasarkan pada realitas empirik
selama masa Nabi, al-khulafa al-rasyidin, dan imperium bani Abbasyiyah dan
Umayyah yang merupakan lambang kesatuan politik Islam.
Pandangan ini memberikan implikasi bahwa
sejarah politik pada masa Nabi, khalifah, dan pasca khalifah menjadi ”sunnah”
yang wajib diikuti oleh kaum-kaum sesudahnya. Fakta ini menjadi terjemahan atas
teks-teks agama yang secara umum mewajiban kepatuhan rakyat atas penguasa.
Menghukumi fardu kifayah dalam persoalan
institusi imamah merupaan contoh tentang pendekatan fiqh dalam politik di
kalangan ulama sunni. Meski seharusnya fiqh bersifat mengikat bagi kaum
muslimin, namun kefarduan imamah ini lebih didasarkan pada alasan sosiologis,
bukan alasan teologis. Sekelompok manusia yang berkumpul lebih dari dua maka
seharusnya salah satu menjadi pemimpin. Karena tanpa ada pemimpin kelompok atau
komunitas itu akan hilang dengan sendirinya.
Dalam perspektif ilmu politik
kepemimpinan dibutuhkan manakala terjadi perkumpulan antara beberapa orang yang
mempunyai tujuan bersama. Sekelompok manusia yang berkelompok menjadi sebuah
komunitas politik. Dan komunitas politik itu dapat membentuk Negara manakala
memenuhi unsur-unsur terbentuknya suatu Negara; yakni pertama, adanya wilayah
yang meliputi wilayah darat, laut, dan udara. Kedua, adanya rakyat, yakni semua
orang yang ada di wilayah Negara itu dan yang tunduk pada kekuasaan dari Negara
tersebut, baik menggunakan asas ius sanguinis (keturunan) maupun asas ius soli
(tempat tinggal/tempat kelahiran). Ketiga terwujudnya pemerintahan yang
berkuasa atas seluruh rakyat dan daerahnya, dan keempat terpenuhinya pengakuan
dari Negara lain atas eksistensi Negaranya sendiri.
Sekadar menjelaskan, bahwa al-Mawardi
mendasarkan teori politiknya atas kenyataan yang ada dan kemudian secara
realistik menawarkan saran-saran perbaikan atau reformasi, misalnya dengan
mempertahankan status quo. Dia menekankan, bahwa khalifah harus tetap berbangsa
Arab dari suku Quraisy. Wazir Tafwidh atau pembantu utama Khalifah dalam
penyusunan kebijakan harus berbangsa Arab, dan bahwa perlu ditegaskan persyaratan
bagi pengisian jabatan kepala negara serta jabatan pembantu-pembantunya yang
penting.
Bagi al-Mawardi, imam (yang dalam
pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang
niscaya yang keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara.
Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi
tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga. Dengan
demikian, al-Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara di
samping baju politik. Kemudian dipertegas lagi bahwa Allah mengangkat seorang
pemimpin untuk umatnya sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan
agama, dengan disertai mandat politik. Di sinilah muncul pemahaman bahwa
seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak adalah
pemimpin politik.
Sebelumnya, al-Mawardi menjelaskan bahwa
diperlukan dua hal dalam proses pemilihan atau seleksi. Pertama, ahl al-ikhtiar
atau mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat. Mereka harus memenuhi
tiga syarat: 1). memiliki sikap adil; 2). memiliki ilmu pengetahuan yang
memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat
sebagai imam; dan 3). memiliki wawasan yang luas dan kearifan yang memungkinkan
mereka memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam, dan paling mampu
mengelola kepentingan umat di antara mereka yang memenuhi syarat untuk
jabatan-jabatan itu.
Kedua, ahl al-imamah, atau mereka yang
berhak mengisi jabatan imam. Mereka harus memiliki tujuh syarat: 1). sikap adil
dengan segala persyaratannya; 2). ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad;
3). sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; 4). Utuh anggota-anggota
tubuhnya; 5). Wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan
mengelola kepentingan umum; 6). keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat
dan mengenyahkan musuh; dan 7). Keturunan Quraisy.
Lantas bagaimana ketentuan seorang
imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, al-Mawardi menjelaskan, jabatan
imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia
dipilih oleh parlemen (ahl al-halli wa al-‘aqdi). Mereka inilah yang memiliki
wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model “ahl al-Ikhtiar”.
Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya (wasiat imam sebelumnya). Dalam hal ini,
model pertama dinilai memang selaras dengan demokrasi dalam konteks modern.
Sementara, tipe kedua, al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni
pengangkatan Khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq.
Sebelumnya juga ada rujukan sejarah, lewat pemilihan “dewan formatur” yang
memilih khalifah Utsman juga dipilih oleh khalifah sebelumnya, Umar bin
Khattab.
Dalam masalah pemecatan seorang
khalifah, al-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondisi dirinya, dan
karenanya Ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya
(bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh.
Dalam kaitan ini adalah cacat
pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai
seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan).
Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang
tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang
menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti
membedakan rasa makanan.
Berbeda dengan Ibn Taimiyah yang
berpendapat bahwa mengatur urusan umat memang merupakan bagian dari kewajiban
agama, namun hal ini bukan berarti bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara.
Untuk itu Ibn Taimiyah mendapat bahwa ijma bukan sebagai dalil kewajiban
tersebut. Sebaliknya Ibn Taimiyah menolak ijma dan menawarkan pendekatan
sosiologis dalam mengatur urusan umat.
Bagi Ibn Taimiyah penegakan imamah itu
tidak berdasarkan pada ijma tetapi pada kebutuhan praktis sosiologis.
Implikasinya Ibn Taimiyah menolak kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasyiyah
sebagai pijakan dalam persoalan-persoalan keagamaan.
Meski demikian menurut Ibn Taimiyyah,
imamah atau kepemimpinan dalam sebuah komunitas masyarakat merupakan kewajiban
yang amat penting. Menurutnya sebuah komunitas masyarakat tanpa pemimpin akan
berujung pada kondisi chaos, karena pada dasarnya manusia memiliki sifat homo
homini lupus, siapa yang kuat dia-lah yang akan berkuasa. Oleh karena itu
kondisi tanpa pemimpin lebih jelek daripada sebuah komunitas yang dipimpin oleh
orang yang dhalim dan bodoh.
2). Ahl Halli Wal Aqdi: Ide Partai
Politik Versi Al-Mawardi
Apa yang digagas oleh dua tokoh Ibn
Taimiyah dan al-Mawardi tentang Ahl Halli Wal Aqdi –atau ahl al-syaukah dalam
bahasa Ibn Taimiyah--, memberikan pandangan bahwa cita-cita partai politik
sudah dikonsepkan oleh dua tokoh tersebut.
Menurut al-Mawardi dlam pemilihan kepala
negara harus ada dua institusi; ahl al-ikhtiyar (sekelompok orang yang berhak
memilih) dan ahl imamah (sekelompok orang yang berhak menjadi imam).
Selanjutnya al-Mawardi mensyaratkan ahl al-ikhtiyar harus adil, punya wawasan
yang luas dan bijaksana, agar mampu memilih imam yang bagus. Bagitu juga ahl
al-imamah harus memenuhi tujuh syarat di antaranya harus suku quraisy.
Ahl al-ikhtiyar atau selanjutnya disebut
ahl al-hilli al-aqdi berhak memilih imam atau kepala negara. Bahkan menurut
al-Mawardi mengangkat imam bisa juga diwasiatkan oleh kepala negara sebelumnya
kepada calon imam yang aan datang. Menurutnya kebolehan ini berbdasarkan apa
yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar ketika meninggalkan kekhalifahannya.
Sebelum Abu Bakar meninggal beliau menunjuk Umar dan kemudian Umar dibaiat oleh
kaum muslimin.
Baiat mutlak diperlukan sebagai tanda
kesepakatan politik antara pemilih dan yang dipilihnya. Secara garis besar
kepala negara terpilih mempunyai beberapa tugas dan kewajiban; memelihara
agama, melaksanakan hukum yang adil, memelihara keamanan negara, menegakkan
hudud, membentengi negara ari mususg, memungut fai dan zakat, membagian kepada
mustahiq, menyampaikan amanah, memperhatikan rakyatnya secara politis. Dengan
tugas dan kewajiban tersebut, maka ada hak bagi kepala negara untuk menuntut
kesetiaan rakyat kepada pemimpinnya.
Al-Mawardi juga menegaskan apabila
kepala negara di tengah jalan melanggar apa yang diwajibkan kepadnya seperti
tidak adanya amanah maka hak masyaraat adalah memakzulkan imam, yakni
menurunkan imam demi hukum.
Yang menjadi persoalan adalah ketidak
tegasan al-Mawardi tentang prosedur pemilihan Ahl Halli Wal Aqdi. Prakteknya
Ahl Halli Wal Aqdi diangkat oleh kepala negara, sehingga Ahl Halli Wal Aqdi
tidak efektif sebagai alat kontrol bagi kepala negara. Karena mereka diangkat oleh
orang yang dikontrolnya. Apalagi al-Mawardi juga berpendapat bahwq kepala
negara bisa diangkat berdasarkan wasiat kepala negara sebelumnya.
Dalam bukunya Kitab al-Ahkam
al-Sulthaniyyah, menyebutkan bahwa pemilihan kandidat diawali dengan meneliti
persyaratan kandidat. Kandidat yang memiliki kualitas yang paling tinggilah
yang akan dipilih sebagai kepala negara. Namun kesediaan kandidat juga menjadi
pertimbangan tersebut. Karena hal ini merupakan kesepakatan kedua belah fihak;
pemilih (ahl al-ikhtiyar) dan yang dipilih (ah al- imamah).
Menurut al-Mawardi, ahl imamah mempunyai
beberapa tugas dan kewajiban, di antaranya: memelihara agama, melaksnakan hukum
di antara rakyatnya dan menyelesaikan perkara yang terjadi agar tidak ada yang
teraniaya dan menganiaya, memelihara keamanan dalam negeri, menegakkan hudud,
membentuk tentara yang kuat untuk membentengi negara dari musuh, melakukan
jihad terhadap orang yang menolak dakwah, memungut harta fai’ dan zakat dari
para muzakki, membagikan zakat kepada para mustahiq, menyampaikan amanah, dan
meningkatkan segala sesuatu yang dapat meningkatkan politik pemerintahannya.
Begitu juga dengan ahl al-ikhtiyar.
Mereka wajib taat terhadap pemimpin negara selagi kepala negara tersebut masih
dalam menjalankan tugas kenegaraan. Sebaliknya manakala kepala negara bisa
dilengserkan manakala kepala negara menyimpang dari konteks keadilan,
kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya atau tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai kepala negara.
Namun al-Mawardi tampak ragu dengan
pernyataannya bahwa penyimpangan kepala negara secara otomatis bisa dijadikan
dalalah untuk melengserkan kepala negara. Apabila dia bisa memberikan alasan
yang rasional, maka perlu dipertimbangkan. Jadi, yang jelas bisa melengserkan
adalah alasan-alasan fisikly, seperti hilangnya kesehatan atau berkurangnya
fungsi organ tubuhnya. Di samping itu ketidakjelasan al-Mawardi karena beliau
tidak menjelaskan bagaimana tehnis untuk pemilihan kepala negara.
Mungkin saja ketidakjelasan ini sebagai
keberpihakan al-Mawardi terhadap kekhalifahan Abbasyiah yang disinyalir banyak
melakukan pelanggaran dalam kekuasaan. Idealnya seorang khalifah bisa
menentukan arah perjalanan pemerintahan secara independent, tanpa ada gangguan
dari orang-orang dekatnya. Namun fakta pada masa Abbasyiah, khalifah tidak
banyak melakukan apa-apa.
Mestinya andaikata al-Mawardi
menjelaskan secara rinci ide-ide besarnya tentang good governance pada saat
itu, banyak di antara khalifah dari bani Abbasyiah yang harus lengser demi
hukum. Hal ini sangat mungkin karena al-Mawardi sendiri sebagai Qadhi
al-Qudhat.
Oleh karena itu untuk mempertahankan
prinsip di atas, al-Mawardi merumuskan konsep wazir tafwid dan wazir tanfidz
dalam pemerintahan. Wazir yang pertama adalah kementrian yang memiliki
kekuasaan yang agak luas. Wazir ini bisa menentukan kebiajkan politik sendiri.
Karenanya al-Mawardi mensyaratkan jabatan diisi oleh orang-orang Arab yang
setia kepada kepala negara. Sedangkan wazir bentuk kedua tidak memiliki
kewenangannya tersendiri.
3) Ahl al-Syaukah, Partai Politik versi
Ibn Taimiyah
Sementara itu, Ibn Taimiyah menolak
pendapat al-Mawardi yang memberikan wewenang penuh kepada ahl ahl-hilli wa
al-aqdi. Bagi Ibn Taimiyah posisi ini akan mengarah pada pengultusan ahl
al-hilli, dan akan fatal akibatnya. Beliau menawarkan konsep ahl al-syaukah,
yakni mereka yang mempunyai kekuatan. Mereka adalah orang-orang terpandang dari
berbagai profesi dan latar belakang yang mempunyai pengaruh dan terpandang di
masyarakatnya. Bahkan menurut Ibn taimiyah ebagaimana dikutip oleh Qamarudin
khan, istilah ahl hilli tidak dikenal dalam awal sejarah Islam. Istilah ini
mulai ditawarkan sejak Abbasyiyah berkuasa.
Pendapat ini berbeda dengan al-Mawardi
yang meniscayakan pemilihan kepala negara ada di tangan Ahl Halli Wal Aqdi. Ibn
Taimiyah tidak menerima teori khilafah sunni. Ibn Taimiyah menolak pengangkatan
kepala negara oleh Ahl Halli Wal Aqdi karena bagi Ibn taimiyah keadaan Ahl
Halli Wal Aqdi hanya sebagai stempel atas apa yang didiinginkan oleh kepala
negara.
Menurut Qamarudin, Ahl Halli Wal Aqdi
tidak dikenal dalam sejarah klasik pra Abbasyiah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian
ulang atas praktek Ahl Halli Wal Aqdi pada zaman Abbasyiyah. Sangat mungkin
apabila Ahl Halli Wal Aqdi mengarah pada terbentuknya sistem kependetaan dalam
Kristen, atau imamah di kalangan muslim Syi’ah.
Sebagai alternatif, Ibn Taimiyah
menawarkan konsep al-Syaukah, yakni orang-orang dari berbagai profesi dan
kedudukan yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Ahl al-Syaukah inilah
yang memilih dan mengangkat kepala negara, kemudian diikuti sumpah setia oleh
masyarakat untuk mentaati segala perintahnya. Seorang tidak bisa menjadi kepala
negara tanpa dukungan dari ahl al-syaukah.
Pendapat Ibn Taimiyah ini didasarkan
pada perilaku politik klasik pada masa al-khulafa al-rasyidun, sewaktu
pengangkatan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Abu Bakar menjadi khalifah pertama
kali pasca nabi bukan karena bay’at Umar, tetapi karena baiat sejumlah
tokoh-tokoh sahabat senior yang selanjutnya diiringi sumpah setia oleh seluruh
kaum muslim pada saat itu. Begiu juga Umar, diangkat sebagai al-khulafa bukan
karena wasiat yang diberikan Abu Bakar, tetapi karena disepakati oleh para
tokoh sahabat senior. Untuk itu mereka berdua tidak bisa menjadi khalifah tanpa
ada baiat dari kaum muslimin.
Ibn Taimiyah menolak keabsahan kepala
negara yang dipilih oleh dua atau empat oarang saja, sebgaimana dikemiukakan
al-Mawardi. Karena cara-cara semacam bisa menjurus pada pembenaran terhadap
pergantian kepala negara yang kekuasaannya dicapai dengan cara paksa.
Bila dikaitkan dengan latar belakang
sosial Ibn Taimiyah, pandangannya merupakan refleksi atas kekecewaannya
terhadap Abbasyiah. Sejak abad ke IX, sebenarnya bani Abbas sudah mulai mundur
yakni pada masa khalifah al-Watsiq (842-874 M) sampai al-Mu’tashim. Mereka
lebih banyak berlaku sebagai khalifah boneka, karena secara de facto mereka
hanya diperintah oleh pejabat-pejabat di bawahnya.
Namun demikian Ibn taimiyah juga
mengakui bahwa sedikit sekali pemimpin yang memiliki kualifikasi dunia sifat
yakni wibawa dan adil.
Dari sini lahirnya kontrak antara kepala
negara dan rakyat dan terjadilah hak dan kewajiban timbal balik antara
keduanya. Kepala negara mempunyai hak untuk ditata dan berkewajiban untuk
mencukupi segala kebutuhan warganya. Sebaliknya rakyat juga mempunyai kewajiban
untuk taat kepada kepala negara.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ditarik
simpulan sebagai berikut: Pertama, dalam tradisi fiqh siyasah partai politik
diinspirasikan oleh institusi ahl al-halli wal aqdi sebagaimana disebutkan
al-Mawardi, atau ahl al-syaukah dalam bahasa Ibn Taimiyah. Institusi ini bertugas
untuk mencari, memilih dan menetapkan kepala negara.
Kedua, partai politik dalam perspektif
Fiqh Siyasah mendasarkan pada keseimbangan urusan duniawi dan ukhrawi (siyasat
al-dunya dan haratsat al-din). Hal ini penting agar partai politik tidak hanya
mendasarkan pada idiologi who get what, atau idiologi menang kalah.
Ketiga, dalam pemilihan anggota partai
politik, diharuskan diambilkan dari orang-orang yang berpengaruh di
masyarakatnya. Apalagi menurut Al-Mawardi para tokoh politik harus memenuhi
beberapa kriteria di antaranya adil, bijaksana punya integritas kepribadian,
sehat jasmani dan rohani. Hal ini untuk menghindarkan partai politik hanya
diisi oleh para pencar keuntungan pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...