Oleh: Prof. Dr. M. Dien Madjid M.A.
Pendahuluan
Islam merupakan salah satu agama besar
di dunia. Lahirnya Islam di Mekkah pada abad ke tujuh Masehi, dibidani oleh
keadaan sosial yang keras di tengah masyarakat yang masih percaya dengan
paganisme. Di katakan keras, adalah karena saat itu, politik golongan begitu
mendominasi, sehingga semakin memperkeruh ruang ide masyarakat Arab yang secara
geografis jauh pula dari pusat-pusat peradaban (Romawi dan Persia).
Pelan namun pasti, kondisi umat Islam
mulai merambat ke panggung peradaban dunia. Bait demi bait mulai disulam
menjadi suatu jalan bebas hambatan untuk mengangkat martabat Islam di mata
dunia. Yahudi dan Kristen kakak kandung Islam, berkembang di pusat-pusat
peradaban yakni di Jerussalem dan di Roma. Dilain pihak, Islam lahir di tengah
padang sahara tandus Arab, di mana tanaman-tanaman menghijau amat langka dan
boleh dikatakan jauh dari modernitas. Lapat-lapat, ketika tampuk kepemimpinan
umat Islam berada di genggaman Umar bin Khattab, Islam mulai dikenal sebagai
kekuatan baru (New Power) yang manantang kemaharajaan Romawi dan Persia. Bak
jamur di musim hujan, Islam mulai memasuki marak lekuk-lekuk senarai peradaban
dunia.
Berpulangnya Nabi SAW pada tanggal 13
Rabiul Awal tahun 1 H bertepatan
dengan tahun 632 M, tak lantas membuat
umat yang ditinggalkannya manja dan takut. Momen itu justru dijadikan titik
balik untuk mengkampanyekan Islam di pergaulan manusia global.
Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) tampil sebagai pembawa panji
Islam. Sejarah mencatat, pada masa kekuasaan Umar (634-644), Persia mampu
ditundukkan. Ini menjadi bukti historis, Islam adalah calon pemimpin dunia yang
tidak saja mempunyai sifat-sifat profetik (kesalehan) namun juga semangat untuk
menaklukan keangkuhan zaman. Lamat-lamat,
Islam tak hanya jaya di kampung halamannya dan kampung sebelahnya saja, yakni
Romawi dan Persia, tetapi juga mulai meruyak
berdiaspora ke seluruh penjuru dunia, menembus batas-batas geografi,
sukuisme, ras bahkan komunitas sosial yang berbeda. Dibuai dan dibelai oleh
desah-desah angin laut, pada abad ke-7 M, agama Muhammad ini mulai berkenalan
dengan negeri di bawah angin, salah satunya adalah gugusan pulau yang disebut
Nusantara.
Salah satu tempat yang menjadi sentrum
dakwah orang Arab adalah di Batavia (dahulu bernama Jayakarta- kini Jakarta).
Berdasarkan catatan dalam Regeering Almenak
bahwa jumlah orang Arab di Nusantara sampai tahun 1879 berjumlah 14791
jiwa. Khusus di Jakarta berjumlah 866, lebih kecil jumlahnya jika dibanding tahun 1871 berjumlah 1039 jiwa[3]. Belum
dikaji secara mendalam, mengapa terjadi penurunan cacah penduduk (orang Arab)
tersebut. Di tempat ini, awalnya mereka
berdagang[4], lantas mulai mengembangkan sayap aktivitasnya ke bidang
keagamaan. Tak ayal, kesempatan politik terbuka yang diterapkan oleh pemerintah
Hindia-Belanda, mereka manfaatkan untuk menganyam bentangan-bentangan kain
ajaran Islam di wilayah rural Batavia. Lambat laun, penduduk lokal tertarik
untuk mendalami ajaran dari para pendatang Arab itu. Banyak di antara mereka
yang merupakan orang Arab hadrami, atau orang Arab yang bermukim di Hadramaut,
Yaman. Sebagian lagi di antara mereka mempunyai nasab keturunan sampai ke
Rasulullah SAW (Sayid), hanya saja lajur-lajur klan yang membedakannya. Di
antara sekian banyak ulama hadrami kenamaan di Nusantara, Sayid Usman bin Yahya
mempunyai peran sentral, yakni selain aktivitas dakwahnya, kesempatan diangkat
menjadi mufti Betawi (Batavia) oleh pemerintah Hindia Belanda, dimanfaatkan
betul untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan umat Islam. Tak pelak,
kedudukannya sebagai Mufti, kerap diplintir sedemikian rupa sehingga timbul
anggapan bahwa Sayid Usman pro-Belanda. Nah, makalah ini ditulis untuk
mengadakan tinjauan lebih lanjut mengenai aktivitas orang Arab, khususnya
keturunan Sayid yang pada kesempatan ini mengambil prototype dari bentangan
hidup Sayid Usman bin Yahya.
A. Sinergi Dagang-Dakwah: wajah
Islamisasi Indonesia
Nusantara sejak beberapa abad sebelum
Masehi telah dikenal oleh bangsa-bangsa besar di dunia. Hal pertama yang
terngiang di pikiran umat-umat dari berbagai puak bangsa zaman dahulu, adalah
karena kekayaan alamnya yang begitu melimpah ruah. Perbendaharaan ragam hayati
yang terdiri dari heterogenitas botani, berbagai macam spesies margasatwa serta
bermacam-macam bahan galian dari perut bumi menjadi faktor penarik kedatangan
berbagai manusia dari berbagai negeri untuk menyaksikan bahkan mengadakan
kontak dagang dan menyambung kawat diplomatik dengan negeri kepulauan ini.
Vlekke mengatakan, kendati pada awal
abad Masehi orang Indonesia belum mengetahui pola ragam kehidupan manusia lain
di mancanegara, telah banyak para saudagar asing yang berlayar dari pantai
timur India hingga menyentuh wilayah teritorial Indonesia, serta antara
kepulauan Indonesia ke wilayah yang sekarang ini dikenal sebagai Vietnam. Lebih
lanjut, demikian Vlekke, dalam sebuah kitab suci Budha berjudul Jataka yang
ditulis sebelum abad 300 SM berisi laporan dalam tawarikh Kaisar Wang Mang di
Cina yang mengisahkan sang kaisar Dinasti Han itu mengutus duta ke suatu negeri
yang disebut “Huang-Tche”, yang diidentifikasi sebagai Aceh atau setidaknya
sebuah daerah di Sumatera. Duta Cina itu mengemban misi untuk mendapatkan
seekor badak untuk melengkapi Taman Margasatwa Kekaisaran. Benar saja, Badak
merupakan hewan endemik Sumatera. Selain itu, kawat diplomatik Dinasti
Han-Sumatera dapat ditelisik lebih lanjut melalui berbagai kronik tinggalan
arkeologis yang berasal dari Sumatera bagian selatan, Jawa bagian barat dan
Kalimantan bagian timur.
Selain itu, terdapat historiograf barat
pertama yang menyebut wilayah kepulauan Indonesia (Nusantara) yakni bernama
Ptolomeus (dari Alexandria, 160 M). Ia memperoleh informasi mengenai Indonesia
itu melalui seorang pelaut bernama Alexander, yang telah mengembara di
negeri-negeri sebelah timur Malaya. Ptolomeus membedakan antara sebutan “Negeri
Emas” dan “Negeri Perak” yang keduanya disebut-sebut terletak di Asia bagian
tenggara. Di dekat negeri ini ada “Semenanjung Emas” dan di dekatnya lagi, lima
pulau Barousai, tiga pulau Sabadeibai, tempat para kanibal berdiam, dan pulau
Iabadiu, yang bermakna “pulau Padi”. Di pulau itu terdapat kota bernama “Kota
Perak” (Aceh?). Vlekke beranggapan Semenanjung Emas sebagai Semenanjung Malaya
dan pulau-pulau yang menjadi bagian dari kepulauan Indonesia.[5]
Asumsi Vlekke didukung oleh pendapat
Anthony Reid yang meyakini sematan “emas” berasal dari latar belakang kedudukan
emas itu sendiri yang menjadi identitas kekayaan dan sebagai tanda status raja
dan bagi Budha. Perak umumnya digunakan oleh bangsa Asia Tenggara Daratan yang
mendiami wilayah Burma, Kamboja, Siam dan wilayah sekitarnya, sedangkan emas
digunakan oleh bangsa Semenanjung Melayu dan kepulauan-kepulauan di sekitarnya,
termasuk Nusantara.[6]
Sejak lama, Nusantara dikenal dengan
rempah-rempah yang seakan menjadi land mark yang menjadi primadona sekaligus buruan utama bagi para
saudagar dan pemborong besar dari luar negeri. Tak ayal, terhitung sejak abad
ke 15, perairan Asia Tenggara mulai disesaki oleh kapal-kapal dagang asing yang
berasal dari Gujarat, Arab, Persia, Eropa dan bangsa-bangsa lain yang saling
berlomba untuk mendapatkan rempah-rempah langsung dari sumbernya. Di antara
bangsa-bangsa tersebut yang menorehkan tinta emas dalam proses islamisi di
Nusantara adalah bangsa Arab.
Saya berpendapat bahwa posisi Indonesia
dalam bentangan peta dunia, disokong pula oleh sejarawan lainnya, menempati
posisi yang “molek” baik ditinjau dari aspek ekonomis maupun aspek sosiologis
yang juga dihubungkan dengan iklim tropis yang teduh dan sejuk. Kepulauan Indonesia
terletak pada garis khatulistiwa yang berada dalam ruang gerak angin pasat; di
sebelah selatan berhembus pasat tenggara
dan di sebelah utara garis equator pasat timur laut yang bertiup sepanjang
tahun. Kedua angin itu saling bersua di lokus yang disebut international front
yang merupakan titik daerah angin mati.
Tak pelak, keadaan ini menerbitkan dua
faktor yang menyebutkan bahwa angin Indonesia mempunyai laggam yang khas
cenderung unik ketimbang hembusan angin laut di belahan dunia lainnya.
Pertama, peredaran bumi mengitari
matahari yang menyebabkan “daerah angin mati” itu kerap berhijrah dari Lintang
Mangkara (Trofic of Cancer) ke Lintang Jadayat (Trofic of Capricorn). Maka,
pasat tenggara ketika melintasi garis khatulistiwa akan berubah menjadi angin
barat laut.
Kedua,
Indonesia terletak di antara dua kontinen (benua), Asia dan Australia
yang memiliki ornamen iklim yang khas sehingga dapat mempengaruhi arus angin.
Akibatnya, terjadilah angin musim yang kerap berubah arah dan tujuannya. Kejadian
ini telah akrab dalam kehidupan para pelaut Nusantara.[7]
Uka Tjandrasasmita menyebutkan,
kedatangan orang Islam pertama dapat ditelisik dari sumber sejarah yang hingga
kini masih marak dijadikan rujukan utama para sejarawan, yakni berita Cina yang
berasal dari Dinasti T’ang. Kronik tersebut mengisahkan tentang orang-orang
Ta-shih yang mengurungkan niatnya untuk menyerbu kerajaan Ho-ling yang
diperintah oleh Ratu Sima sekitar tahun 674 M. Berdasarkan penafsiran beberapa
ahli, dinyatakan bahwa orang-orang Ta-shih atau Tazi itu merupakan orang-orang
Arab yang lokasinya diperkirakan berada di pesisir barat Sumatera. Bersandarkan
pada bukti tersebut Uka meyakini kontak pertama Islam dengan penduduk Nusantara
terjadi pada abad ke-7.[8]
Terbitnya syiar Islam awal berbarengan
dengan meredupnya pengaruh Sriwijaya di Sumatera pada sekitar abad tersebut.[9]
Bak mendulang emas di air keruh, situasi ini dimanfaatkan betul oleh para
pedagang Muslim untuk membangun perkampungan pedagang yang kala itu didirikan untuk kemudahan akses jual-beli dengan
penduduk lokal. Pelan namun pasti, mereka mulai membentuk struktur pemerintahan
yakni dengan mentahbiskan Merah Silu, kepala suku Gampong Samudera menjadi
Sultan Malik as-Saleh,[10] Sultan pertama Kerajaan Samudera.[11] Kerajaan ini
dikemudian hari menjadi Samudera Pasai.[12] Boleh dikatakan, Aceh merupakan
pintu gerbang awal berseminya Islam di Nusantara yang kemudian mulai menyebar
ke pulau-pulau Nusantara lainnya.
Kendati demikian, Berkenaan dengan
masuknya Islam ke Nusantara, belum ada kesepakatan yang bulat di kalangan para
ahli. Lebih lanjut, kenyataan ini menimbulkan “pasar persepsi” yang diramaikan
dengan berbagai teori yang menjadi perdebatan panjang bahkan cenderung tak
berujung. Perdebatan kusir tersebut- dan masih memungkinkan munculnya penemuan
baru- terutama terfokus pada tiga masalah pokok, yaitu; a. tempat asal
kedatangan Islam di Nusantara, b. para pembawanya dan c. waktu kedatangannya.
Menyangkut ketiga masalah pokok
tersebut, setidaknya ada tiga teori besar yang dapat dikemukakan.[13]
1)
Islam datang langsung dari Arab, tepatnya dari Hadramaut. Teori ini
pertama kali dikedepankan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Nieman (1861),
de Hollander (1861), dan Veth (1878). Sebagai identifikasi sekaligus untuk
mempermudah pengelompokannya teori ini selajutnya disebut “teori Arab”.
2)
Disebutkan pula dalam buku-buku sejarah, Islam masuk ke Indonesia dibawa
oleh orang India, atau disebut “teori
India”. Teori ini menyatakan bahwa Islam di Nusantara datang dari India. Untuk
pertama kalinya, teori ini dikemukakan oleh Pijnappel, seorang ahli Melayu dari
Universitas Leiden, Belanda, pada tahun 1872. Azyumardi Azra menulis: “Berdasarkan
terjemahan Perancis tentang catatan perjalanan Suleiman, Marco Polo, dan Ibn
Battuta, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari
Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara.”
Tetapi sesungguhnya ulasan panjang-lebar
juga dikemukakan oleh C. Snouck Hurgronje dalam Bukunya Islam Oost Nederland
Indie.
1) Yang terkahir adalah “teori Benggal”.
Teori terakhir ini menjelaskan bahwa Islam di Nusantara datang dari Benggal
atau Bangladesh sekarang. Teori ini dikembangkan oleh Fatimi. Fatimi sependapat
dengan Tome Pires yang menyatakan bahwa banyak dari orang-orang yang menempati
posisi penting (sebagai golongan elite) di Pasai merupakan orang Benggali atau
keturunan mereka. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Islam muncul pertama kali
di Semenanjung Malaya adalah dibawa oleh orang-orang dari pantai timur, bukan
dari barat Malaka pada abad ke-11 M, melalui Kanton, Pharang (Vietnam), Leran
dan Trengganu.
Meskipun terdapat tiga teori yang
diharapkan dapat menjelaskan proses Islamisasi di Nusantara seperti yang
tertulis di atas, tetapi tak menutup kemungkinan munculnya “ruang debat” baru
atas keragaman teori tersebut. Berbagai
kritik dan perdebatan dan silang sengkarut-jika tidak dapat disebut saling
sengketa- terjadi di kalangan para ahli. “Teori Arab” umpamanya mendapat
pembelaan yang gigih dari Syed Muhammad Naquib al-Attas. Ia menentang keras
“teori India”. Ia beralibi bahwa, aspek-aspek internal-lah (atau karakteristik
internal Islam) yang harus menjadi perhatian penting dan sentral dalam melihat
proses kedatangan Islam di Nusantara, jangan hanya menitikberatkan pada
unsur-unsur luar atau aspek eksternalnya an sich. Lebih lanjut, al-Attas
menjelaskan bahwa penulis-penulis yang diidentifikasi sebagai orang India serta
kitab-kitab yang dinyatakan berasal dari India oleh sarjana Barat khususnya,
sebenarnya adalah orang Arab yang berasal dari Arab atau Timur Tengah atau
Persia.[14]
Dalam seminar bertema “Masuk dan
berkembangnya Islam di Indonesia” yang diadakan di Medan pada tanggal 17-20
Maret 1969 dan Seminar di Aceh pada tanggal 10-16 Juli 1978 dan 25-30 September
1980, disimpulkan bahwa Islam masuk ke Nusantara langsung dari Arabia, bukan
dari India. Waktu kedatangan Islam pada abad ke-7 M, bukan pada abad ke 12-13
M.[15] Hasil seminar ini memperkuat “Teori Arab” yang dikemukakan al-Attas
sekaligus sebagai bentuk persetujuan para sejarawan Indonesia terhadap
pandangan al-Attas.
“Teori India” sebagaimana dikemukakan
oleh Pijnappel yang mengutarakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari
orang-orang Arab yang bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar,
yang masuk dalam kawasan India. Pijnappel memandang bahwa Islam di Nusantara
disebarkan oleh orang-orang Arab. Pendapatnya ini didasarkan pada seringnya
penyebutan nama dua wilayah India dalam sejarah Nusantara klasik sehingga dalam
komentarnya lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa meskipun Islam di Nusantara
dianggap sebagai “buah tangan” yang dibawa oleh orang-orang Arab, tetapi hal
ini tidak langsung dibawa serta dari Arab, melainkan dari India, terutama dari
pesisir barat, yakni Gujarat dan Malabar. Teori ini sekaligus membantah teori
Fatimi yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara “diimpor” dari pesisir timur
India yaitu dari Bengal dan tidak pula dari Coromandel atau tidak juga dari
India bagian utara.[16]
Selanjutnya, Stutterheim berpendapat
bahwa waktu penyebaran Islam di Nusantara terjadi pada abad ke-13. Ia
mengemukakan kesimpulan ini setelah mengamati bentuk nisan dan relief batu
nisan Sultan pertama kerajaan Samudera (Pasai), al-Malik al-Saleh (w.
1297).[17] Sayangnya Stutterheim tidak memperhatikan proses pengislaman di
Gujarat sendiri. Gujarat baru diislamkan satu tahun kemudian, yaitu pada tahun
1298 M, sebagaimana yang dikemukakan Marison. Seandainya Stutterheim
menyebutnya sebagai proses lebih lanjut dari Islamisasi Nusantara, boleh jadi Gujarat
ikut andil memberikan pengaruhnya di Nusantara mengingat daerah itu (Gujarat)
lebih dekat secara geografis ke wilayah Timur Tengah. Pada saat yang bersamaan,
penyebaran masyarakat Islam kala itu terbentur pada ketakutan akan tentara Mongol yang giat melebarkan
ekspansinya dan tak menutup kemungkinan dapat merampas daerah mereka. Oleh
karena itulah, pilihan mencari daerah baru, menjadi gagasan yang tepat guna
menghindari bangsa Mongol tersebut.
Terlepas dari kerapuhan dan kekurangan
yang terdapat pada teorinya, pendapat Stutterheim mendapat dukungan dari
Moquette, sarjana asal Belanda. Moquette juga berpendapat bahwa Islam di
Nusantara berasal dari Gujarat. Moquette, laiknya Stutterheim, mengacu pada
hasil penelitian pada bentuk batu nisan. Ia (Moquette) beralasan bahwa bentuk
batu nisan, khusunya di Pasai, mirip dengan batu nisan pada makam Maulana Malik
Ibrahim (w. 822 H/1419 M) di Gresik, Jawa Timur. Bentuk kedua batu nisan itu,
Aceh dan Gresik, mirip pula dengan batu nisan yang ada di Cambay (Gujarat). Ia
berkeyakinan bahwa batu nisan itu diimpor dari India, sebagaimana masuknya
agama Islam. Pun demikian, Islam pastilah berasal dari tempat yang sama, yaitu
India, tepatnya Gujarat. Hal ini didasarkan pada kesamaan bentuk nisan-nisan
makam itu sebagai hasil penelitiannya.[18] Teori yang dikemukakan Stutterheim
dan Moquette ini di kemudian hari dikenal sebagai “teori batu nisan”.
Teori “batu nisan” dari Stutterheim dan
Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India ditentang keras
oleh Fatimi. Menurutnya, penggunaan metode menghubungkan batu nisan Pasai
dengan batu nisan dari Gujarat yang diasosiasikan dengan tempat asal kedatangan
Islam, merupakakan sebuah kekeliruan dan perlu ditinjau ulang. Setelah
melakukan penelitian, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya batu nisan Malik
al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Ia mengungkapkan,
bentuk dan gaya batu nisan itu mesti didatangkan dari Benggal, bukan dari
Gujarat. Keterangan ini menjadi alasan baginya untuk mengukuhkan “teori
Benggal” yang digagasnya, yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari
Benggal. Tetapi terdapat kelemahan elementer pada teori Fatimi, yaitu bahwa ia
tidak memperhatikan perbedaan mazhab fikih yang dianut Muslim Nusantara
(Syafi’i) dengan kebanyakan kaum muslimin yang ada di Benggal yang cenderung
menggunakan mazhab Hanafi.[19] Perbedaan mazhab fikih ini cukup kuat dijadikan
senjata untuk meruntuhkan teori yang dibangun Fatimi.
Jauh sebelum dikenalnya kompas sebagai
penunjuk arah, orang-orang Nusantara telah mengenal “silk route” di daratan
Asia, juga berani mengarungi lautan lepas hanya dengan mengandalkan petunjuk
bintang di langit berlayar sampai ke
Madagaskar. Dan sejak itu pula para pelaut dan pedagang Muslim terus
berdatangan, karena tertarik dengan hasil rempah-rempah yang terdapat di
Nusantara. Para pedagang yang datang ke Nusantara ini selain orang India dan
Cina, juga orang Arab. Umumnya orang Arab ini datang dari Hadramaut melalui dua
jalur. Jalur pertama melalui Persi dan Gujarat dan kedua langsung dari Arab ke
Nusantara ini. Kedatangan mereka selain bertujuan berdagang tetapi juga
sekaligus menyebarkan ajaran agama Islam.
Sejauh menyangkut kehadiran orang-orang
Islam Timur Tengah, yang kebanyakan adalah dari Arab dan Persia, di Nusantara,
Azyumardi Azra mengemukakan demikian:
Kehadiran Muslim Timur Tengah
–kebanyakan Arab dan Persia—di Nusantara pada masa-masa awal ini pertama kali
dilaporkan oleh agamawan dan pengembara terkenal Cina, I-Tsing ketika pada
tahun 671, ia dengan menumpag kapal Arab dan Persia dari Kanton berlabuh ke
pelabuhan muara sungai Bhoga (atau Sribhoga, atau Sribuza, sekarang Musi).
Sribuza, sebagaimana diketahui, telah diidentifikasi banya sarjana modern
sebagai Palembang, ibukota kerajaan Budha
Sriwijaya.[20]
Setelah melihat daerah asal kedatangan
Islam di Nusantara, persoalan selanjutya adalah fenomena dialektika penerimaan
Islam di Nusantara atau apa yang disebut sebagai conversion to Islam.
Sebagaimana teori kedatangan Islam, tentang konversi masyarakat Nusantara
terhadap Islam, pun dapat dijelaskan melalui tiga teori. Teori-teori tersebut
diharapkan dapat membantu memahami persoalan ini, umumnya pada kasus relasi
Islam-penduduk lokal di Asia Tenggara, di mana Nusantara termasuk dalam kawasan
regional itu. Menurut Ira M. Lapidus, ketiga teori itu ialah[21]:
Pertama, teori yang menekankan peran
para pedagang yang telah melembagakan diri mereka di beberapa wilayah
Indonesia, menikah dengan beberapa keluarga penguasa lokal dan yang telah
menyumbangkan peran diplomatik serta pergaulan internasional terhadap
perusahaan perdagangan para penguasa pesisir.
Kedua, teori yang lebih menekankan pada
makna Islam bagi masyarakat umum daripada kegiatan elite pemerintah. Islam
telah menyumbangkan sebuah landasan ideologi bagi kebijakan individual, bagi
solidaritas kaum tani dan komunitas pedagang, dan lagi integritas kelompok
parokhial yang lebih kecil menjadi masyarakat yang lebih besar.
Di dalam kerangka teori ini, dapat
dijelaskan pula bahwa kehadiran kaum kolonialis justru yang merangsang
terjadinya proses Islamisasi yang intens dan efektif lebih lanjut di Nusantara.
Masyarakat Nusantara, bukan hanya secara geografis dipisahkan oleh pulau-pulau,
tetapi juga mempunyai perbedaan kultur dan pranata sosial yang distingstif.
Modalitas tersebut mampu berkomunikasi dengan Islam sebagai satu-satunya wadah
yang dapat diandalkan menjadi pemersatu dan memberikan warna tersendiri guna
menciptakan sebuah identitas yang unik. Dalam rangka menghadapi gerakan
kolonialisme yang dalam hal ini diwakili oleh para penjajah kafir, Islam
memberikan suatu injeksi yang memodernisir dan merevolusi tata bangun identitas
dan integritas masyarakat lintas-segmen, baik yang berasal dari kalangan
petani, pedagang serta berbagai kelompok profesi lainnya semata-mata untuk
membulatkan “semangat juang”, terlebih dengan ajaran “jihad” dalam konteks
“hubbul wathan” dan “hizbul wathan” yang semakin memperteguh umat muslim untuk bersatu padu menjungkalkan
kolonialisme yang pelan namun pasti telah menyandra kebebasan dan kedaulatan
masyarakat lokal. Dalam konteks demikian, Islam
kaitannya dengan masyarakat pribumi, menjadi semacam “mekanisme
pertahanan diri” (defence mechanism) dalam menghadapi penjajahan dan penindasan
kaum kolonialis yakni dapat dipersepsikan sebagai kristalisasi ide dan gerakan
sebagai simbolisme perlawanan.[22]
Ketiga, teori yang menjelaskan peran
para juru dakwah (da’i) atau kaum sufi, atau juga yang disebut oleh sebagian
orientalis sebagai kaum misionari, baik dari Gujarat, Benggal dan Arabia.
Kedatangan para sufi (darwis) bukan hanya sebagai para guru tetapi sekaligus
juga sebagai pedagang dan politisi yang memasuki lingkungan istana para
penguasa, perkampungan golongan pedagang dan memasuki daerah-daerah rural
seperti perkampungan-perkampungan di daerah pedalaman.
Di luar soal kepastian sejarah mengenai
“kapan, di mana dan oleh siapa” proses Islamisasi terjadi di Nusantara,
termasuk “bagaimana proses peralihan keyakinan (konversi) masyarakat Nusantara
ke Islam”, masalah selanjutnya yang perlu disinggung di sini adalah tentang
fase perkembangan Islam di Nusantara. Berdasarkan beberapa temuan sebagaimana
dikemukakan di atas, perkembangan Islam di Nusantara telah mengalami tiga fase;
Fase Pertama, periode abad 1 sampai ke-4 H (7-10 M) adalah saat mereka yang
beragama Islam singgah di kepulauan Nusantara. Meskipun tidak ada bukti yang
sahih, tetapi bukan tidak mungkin jika dalam periode ini telah mulai terbentuk
komunitas-komunitas Muslim, khususnya di daerah pesisir. Kemungkinan ini
diperkuat oleh bukti yang dikedepankan di akhir periode ini, yang segera
memasuki fase kedua.
Pada fase kedua ini, walaupun pada
periode abad ke-7 sampai 10 M, Jawa
tidak disebut-sebut sebagai tempat persinggahan pedagang Muslim, namun di Leran
(Gresik) terdapat sebuah batu nisan dari seorang yang bernama Fatimah binti
Maimun yang wafat pada tahun 475 H atau 1082 M. Selain itu terdapat pula makam
Troloyo yang berasal dari abad ke-13 M. Sejak ditemukannya makam Fatimah binti
Maimun di Leran, perkembangan Islam di kepulauan Nusantara memasuki fase kedua,
yaitu periode abad ke-11 M sampai akhir abad ke-13 M. Pada periode ini kita
telah mempunyai cukup bukti tentang telah berkembangnya komunitas Muslim di
Nusantara. Fase ketiga adalah perkembangan Islam di Nusantara ditandai dengan
berdirinya kerajaan Pasai pada abad ke-13 M.
Berkenaan dengan hubungan Nusantara
dengan Timur Tengah sejak kehadiran Islam setidaknya dimulai pada abad ke-8 M
sampai dengan abad ke-15 M, telah mengalami dua fase. Fase pertama, yaitu
hubungan Nusantara dengan Timur Tengah pada abad ke-8 sampai 15 M., pada
umumnya, hubungan keduanya hanya berkenaan dengan perdagangan. Hadirnya banyak
kaum Muslim di Nusantara, terutama dari Arab dan Persia, memperlihatkan bahwa
inisiatif pada hubungan yang terajut pada periode fase pertama ini lebih
diprakarsai oleh mereka (orang Arab dan Persia) tinimbang masyarakat Muslim
Nusantara. Pada abad ke-13 M sampai abad ke-15 M, hubungan kedua wilayah ini
memasuki fase kedua, yaitu bahwa hubungan keduanya mulai menyinggung pada
aspek-aspek yang lebih luas. Jika pada fase pertama, aspek ekonomi
(perdagangan) merupakan ciri umum yang mewarnai keduanya, maka pada fase kedua
ini, Muslim Arab dan Persia, baik para pedagang ataupun pengembara sufi yang
berperan sebagai juru dakwah (da’i) Islam mulai meningkatkan penyebaran Islam
di berbagai wilayah Nusantara. Hubungan keagamaan dan kultural di antara kedua
wilayah ini terjalin lebih erat dan intensif pada fase kedua ini.[23]
Islam mulai memasuki relung batin
kehidupan masyarakat Jawa sejak abad ke-11. Sumber yang kerap dikutip oleh para historiograf adalah
ditemukannya sebuah nisan Islam tertua yang ditemukan di daerah Leran, Gresik,
Jawa Timur yang berangka tahun 475 H (1082 M). batu nisan ini terpahat nama
Fatimah binti Maimun. Menurut penelitian Agus Sunyoto, Fatimah merupakan
anggota kabilah suku Lor yang berasal dari Persia yang datang ke Jawa pada abad
ke-10. Konon, nama Leran sendiri berkait erat dengan nama “Lor”. Fatimah
sendiri, sejatinya bukan datang langsung dari Persia, melainkan sosok yang
lahir di Leran. [24] Hanya saja, ketika membincang pengaruh penyebaran Islam
jika disandarkan pada golongan ini belumlah dapat dikatakan massif.
Dari ketiga bukti arkeologis dan
historis diatas dapat diambil benang merah bahwa kedatangan Islam ke pulau Jawa
dibawa oleh orang-orang dalam kategori teori Arab. Kendati Persia merupakan
puak yang berbeda dengan bangsa Arab, namun dalam konteks ini terlebih ketika
ditinjau secara fisik tentu terdapat kemiripan dengan orang Arab. Van den Berg
dengan tegas menyatakan pula yang memperkenalkan Islam di Nusantara termasuk di
Jawa adalah orang Arab, bersandar hubungan dagang yang cukup erat antara Arab
Selatan khususnya Maskat dan Teluk Persia dengan Nusantara.[25]
Membincang perkembangan Islam dalam
rentang waktu beberapa sumber sejarah di atas, ditinjau dari segi efektifitas
di ruang publikan masyarakat Jawa, belumlah dapat dikatakan sukses. Hal ini
karena pengaruh dari ajaran Hindu-Budha sendiri yang masih kuat berakar mulai
dari tataran elit sampai akar rumput. Sunyoto mengungkapkan, selama bentang
abad ke 5 sampai ke 15 Masehi pengaruh Hinduisme dan Budhisme yang berasal dari
India menguat di berbagai ruang lingkup masyarakat di Nusantara: mulai dari
tatanan sosial, nilai-nilai budaya, teknik arsitektur, tata negara, aturan
hukum, sistem ekonomi dan politik bahkan hingga ajaran agama.[26] Keadaan ini
lambat laun mulai mencair ketika Wali Songo memulai gerakan dakwahnya. Dengan
bersenjatakan kesantunan yang penuh kompromi dengan budaya lokal, Wali Songo
berhasil menancapkan pengaruh agama Muhammad di tanah yang sebelumnya disesaki
oleh penyembahan sang Budha dan Dewa Siwa.
anjirnya orang Arab di Tanah Air,
membawa goresan warna nan rancak dalam perkembangan dakwah Nusantara. Jika
ditilik lebih lanjut, Wali Songo yang dapat dikategorikan sebagai penabur benih
Islam generasi awal, merupakan keturunan Sayid. Tujuh dari sembilan Wali Songo,
meruapakan keturunan orang-orang Arab yang di dalam tubuhnya mengalir deras
darah penghulu kaum Muslim sepanjang zaman, Nabi Muhammad Saw. Namun, gelaran
habib dan sayid yang sejak medio kolonial ramai disematkan pada keturunan Nabi
SAW tersebut, belumlah ada di masa itu. Para pendakwah Arab lebih senang
menggunakan nama-nama lokal yang akrab di telinga masyarakat awam yang saat itu
masih menganut ajaran Hindu-Budha. Sebagai contoh Raden Paku yang merupakan
putra Syekh Maulana Ishak yang dikemudian hari dikenal sebagai Sunan Giri,[27]
menggunakan nama Prabu Satmata, sebutan yang terasa lebih ramah ditelinga para
penduduk pribumi.
Seiring perjalanan waktu, kaum Sayid ini
kian hari kian membengkak memenuhi konstelasi dakwah Islam melanjutkan estafet
tugas dari para pendahulunya. Di masa kolonial, terlebih sejak munculnya
Belanda sebagai elite yang menguasai peta kekuatan birokrasi dan administrasi
Nusantara, setelah sebelumnya membenamkan pengaruh para raja-raja lokal, peran
para Sayid begitu mengemuka. Terjadi semacam titik balik alih peran, dari yang
sebelumnya mereka sangat dibenci oleh bangsa Barat,[28] karena dianggap
membakar gelora makar melalui ajaran Islamnya, kini mulai diperhatikan
keberadannya. Dari sekian banyak kota-pelabuhan (emporium) yang terkenal di Nusantara,
Jayakarta yang kemudian berganti nama menjadi Batavia, merupakan primadona
Timur yang harum dibicarakan orang. Bak seorang gadis rupawan, wajahnya begitu
anggun didasari atas pertimbangan ekonomi yang potensial. Tidak salah kiranya,
VOC rela merogoh kocek lebih dalam untuk menyulap Jayakarta menjadi
Batavia[29], ibukota Belanda di Hindia Timur.
Sunda Kalapa, merujuk pada ulasan Uka
Tjandrasasmita yang menyitir laporan perjalanan Tome Pires, mengungkapkan bahwa
Kalapa (Sunda Kalapa) adalah emporium penting kerajaan Sunda yang merupakan
muara terkonsolidasinya barang-barang dari berbagai daerah pedalaman yang
dikirim alat transportasi air melalui
sungai yang bermuara pada teluk Jakarta sekarang. Tak ayal, peranan Ciliwung dan Cisadane dalam kelancaran arus
distribusi barang dagangan amatlah vital. Ciliwung menjadi jalur air yang
menghubungkan Bogor dengan pusat kerajaan Sunda yang lancar dialirkan kembali
ke Kalapa. Sedangkan Cisadane, menghubungkan daerah pedalaman Bogor lalu
transit ke pelabuhan Tangerang dan dilanjutkan pula ke Kalapa. Pun juga peran
Citarum yang mengangkut komoditas dagang dari daerah yang dilaluinnya lalu
diteruskan hingga ke Kalapa. Kondisi geografis Jakarta yang dilewati oleh
sungai-sungai besar, seperti Cisadane, Ciliwung dan Kali Bekasi, serta adanya
cekungan teluk di bibir pantai menjadi faktor potensial bagi perkembangan dan
pemukiman masyarakatnya. Dan hal ini terjadi berkesinambungan hingga masa
kini.[30]
Jejak rekam perjalanan Batavia tersebut,
kiranya cukup untuk bahan pertimbangan para Sayid di negeri asalnya-termasuk
dari Hadramaut- untuk ikut serta dalam arus besar dakwah Arab-Nusantara.[31]
Mereka yang berasal dari Hadramaut, lazim disebut Arab hadrami. Jika
mengkhususkan waktu untuk berlama-lama membuka korpus-korpus sejarah, maka akan
ditemukan nama besar Nuruddin Ar-Raniri, penghulu ulama sekaligus mufti
kerajaan Aceh abad-17, yang menurut Azyumardi Azra mempunyai darah Arab
hadrami.[32] Kendati telah banyak di antara mereka yang melukis hidup di
Nusantara, umumnya masih dalam hitungan per-individu. Komunitas orang Arab
hadrami[33] sendiri, merujuk pada catatan van den Berg, mulai datang secara
massal ke Nusantara pada awal abad ke-18. Pelabuhan pertama yang mereka
singgahi adalah Aceh. Dari sini mereka mulai pindah ke wilayah lainnya.
Palembang dan Pontianak menjadi dua kota yang disukai oleh orang Arab hadram
masa itu. Seiring perjalanan waktu, mereka pun mulai berdiaspora tak hanya
terpaku pada dua kota ini. mereka mulai menetap di Jawa pada tahun 1870.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...