Pertumbuhan pemikiran politik Islam, dalam periode awal
banyak dipengaruhi oleh
pergulatan kepentingan
keagamaan. Semenjak Abu
Bakar naik sebagai
khalifah pertama Islam, diskursus politik sangat marak. Baik dalam perbincangan aktor,
apakah Abu Bakar
sebagai seorang kepala
pemerintahan saja atau sebagai sekaligus
pemimpin agama. Di mana ditandai dengan perseteruan
yang keras antara kalangan
Muhajirin yang beretnis
Quraisy yang merasa sebagai
pembela Islam pertama
dengan kalangan Anshor, yang
merasa memiliki tanah air Islam
pertama.
Bahkan
perbincangan dengan keputusan
Abu Bakar untuk memerangi orang
yang tidak membayar pajak, juga telah menimbulkan sejarah baru tentang perkembangan pemikiran politik. Sebab
selama Rasul hidup, beliau tidak
pernah menjatuhkan hukum perang
kepada orang yang tidak mau membayar
zakat. Sehingga terdapat
ahli sejarah, yang mengkritisi fenomena dengan politis,
bahwasannya Abu Bakar memeranginya
lebih karena kepentingan politik,
berupa loyalitas kepada pemimpin,
dari pada persoalan agama an-sich.
Pergulatan pemikiran
politik Islam juga
cukup menonjal dalam mensikapi pemerintahan Umar bin
Khattab yang sangat tegas tetapi demokratis. Banyak
kebijakan-kebijakan politik Umar
bin Khattab yang berbeda dengan
kebijakan Nabi, semisal dalam
persoalan pembagian harta rampasan perang. Apakah ini ijtihadi
politik Umar sendiri, atau bukan ? Umar bin Khattab juga seorang pemimpin yang ingin meletakkan politik dalam panggung
keadilan, hal ini tercemin dalam sikap
Umar ketika dilantik
menjadi Khalifah. Ia mengangkat pedang
tinggi, untuk membela Islam, jika
ia tidak selaras dengan
Islam, maka ia menyuruh masyarakat mengingatkannya dengan
pedang pula.
Demikian
juga dalam masa
pemerintahan Khalifah Utsman, pemikiran
politik tentang kualisi, aliansi tampaknya sangat menonjol. Posisi usia Utsman yang sudah cukup
tua, yang kemudian dimanfaatkan oleh kerabat dekat Utsman
untuk mempengaruhi roda
pemerintahan.
Di mana kemudian ditandai
dengan kondisi nepotisme
dalam pemerintahan Utsman.
Situasi
yang sangat kondusif memunculkan
variasi pemikiran politik adalah
ketika Ali bin Abu
Thalib, diangkat menjadi Khalifah. Konflik politik berkepanjangan berkaitan dengan
pembunuhan Utsman, menjadikan
sebab timbulnya perang saudara di sesama Musli. Bahkan
istri Rasulullah sendiri, Aisyah, ikut mempimpin perang melawan Ali
dalam perang Jamal (Onta). Yang mana dikemudian hari menjadi
diskursus panjang tentang
poleh tidak wanita menjadi pemimpin suatu kaum. Dalam masa inilah kemudian, perbedaan kepentingan
aqidah dipolitisir lebih jauh menjadi
sebuah kepentingan politik.
Dinamika politik inilah yang
kemudian melahirkan mazhab
politik Islam klasik yang terbagi
dalam tiga mazhab besar; yakni Sunni,
Syi'ah dan Khawarij. Dari tiga mazhab politik
ini, di kemudian hari melahirkan derivasi pemikiran yang
sangat kompleks dan berkelanjutan. Dari
generasi 4 Khilafah Rasyidah inilah,
ide pemikiran politik
Klasik banyak dibangun.
Pemikiran Islam Klasik
Dalam
sejarah pertumbuhan peranan negara
--dalam pemikiran politik Islam klasik-- menduduki posisi sentral dari keberlangsungan Islam sebagai
ajaran yang total dan fundamental. Keberadaan
negara dalam batas
tertentu sebagai penjamin terlaksana
tidaknya syari'ah Islam. Bahkan dalam pandangan Ibnu Taimiyyah mendirikan negara adalah sebuah tugas suci
dan rohani bagi setiap muslim.
Pemikiran Poliitik Islam klasik
setidaknya diwarnai dengan beberapa
corak pemikiran yang khas;
1. Terdapatnya pengaruh yang signifikan dari
pemikiran-pemikiran Yunani, terutama
Plato. Interaksi dengan pemikiran Yunani ini tampak menonjol dalam
masa-masa pemerintahan kekhilafahan Abbasiyah.
2. Pemikiran politik sebagian besar
memberikan legitimasi terhadap status
quo. Baik dalam formulasi teoretik yang memberikan dukungan
sampai hanya memberikan saran-saran.
3. Pemikiran politik
Islam lebih berkecenderungan menampilkan bentuk-bentuk yang idialis daripada
yang lebih operasional.
Pemikiran Islam
klasik dalam kaitannya
dengan managemen kenegaraan terdapat
variasi pendekatan: Sentralisme Khalifah , Institusionalisme, dan
Organisme.
Managemen kenagaraan dengan pendekatan sentralisme
banyak dikemukakan oleh para filsof baik
dari Al-Farabi, Ibnu Sina maupun Al-Ghazali. Pandangan Farabi dan Ibnu Sina
dalam batas tertentu terasa sangat idealis di
mana khalifah harus dipegang oleh seorang filsuf sebagai bentuk
pengaruh pemikiran Yunani.
Pandangan Al-Ghazali menjadi lebih realistis dibandingkan dengan
mereka karena Ghazali pernah terlibat dalam pemerintahan
dinasti Abbasiyah, sekaligus
teman karib dari Perdana Menteri Nizhamul
Mulk. Pandangan kaum filsof
menempatkan bahwa negara akan baik
dan tidak sangat tergantung kepada
sang Khalifah, jika khalifah
baik maka negara akan baik.
Khalifah merupakan implementasi
bayangan Tuhan di bumi.
Sentralnya peran Khalifah tercermin
dalam pernyataan Ghazali dalam Mukadimmah
buku "Al-Muhtazhir":
Pertama, sesungguhnya keberesan agama
tidaklah tercapai kalau dunianya tidak beres, sedangkan
keberesan dunia tergantung kepada
khalifah yang ditaati. Kedua,
ketentraman dunia dan
keselamatan jiwa dan harta hanyalah
dapat diatur dengan adanya
khalifah yang ditaati. Dengan
alasan ini, Ghazali secara tegas menyatakan syarat menjadi
seorang khalifah adalah mewakili pribadi para shahabat utama, di mana memenuhi syarat ilmiyah dan amaliyah.
Syarat ilmiyah yang berkaitan dengan kepribadian yang baik,
sedang amaliyah yang berkaitan
dengan perasaan emphati kepada lingkungan dengan baik. Di mana
kemudian terangkum ke dalam syarat yang 4:
najah (kemampuan bertindak,
kewibawaan, wara' (jujur), dan ilmuan (cerdas). Jika syarat-syarat
tersebut tidak terpenuhi maka ia akan
ditempatkan ke dalam level
yang lebih rendah wewenangnya
dalam kepemimpinan sesuai
dengan gelarnya. Khalifah bagi yang memenuhi syarat kesemuanya, Imam Dharury, khalifah yang diangkat karena
dharurat saja, Wali bisy-syaukah, kepala
negara yang merampas kekuasaan, dan zus
syaukah, Sehingga baik buruknya akhlaq seorang kepala negara menjadi
prasyarat utama dari khalifah.
Sedangkan pendekatan institusional
banyak dipelopori oleh Imam Mawardi,
karya terbesarnya dalam
politik terangkum dalam
"Al-Ahkam As-Sulthaniyyah". Bagi Mawardi yang paling
penting dalam pengelolaan
negara adalah pemantapan
struktur dan fungsi
kelembagaan, terutama sekali
kelembagaan kepala negara
(khalifah) dan yang memilih kepala
negara (ahl-ikhtiar). Orang-orang yang tergabung dalam kelembagaan ini adalah orang-orang
yang terpercaya, ahlul hal wal aqdi (orang yang faham akan satu hal (profesional) sekaligus orang yang adil).
Pandangan Mawardi tidak banyak berbeda dalam memandang peran kepala
negara (khalifah) sebagai bagian yang sentral.
Pandangan seperti ini memancing
kritik bahwa Mawardi dalam merumuskan
tulisannya atas dasar
apalogi dan legitimasi
kekuasaan kekhalifahan, terutama
dalam hal pembenaran pergantian khalifah secara turun-temurun jika keadaan
terpaksa.
Pandangan Mawardi
tidak bisa dilepaskan
dari kedudukan Mawardi sebagai
sebagai seorang Wazir (Penasehat) dalam
masa khalifah al-Qadir dan al-Qasim pada pemerintahan Abbasiyah. Mawardi
mendapatkan perintah dari khalifah bagaimana secara teoritis bisa mempertahankan kelangsungan kekhalifahan Sunni yang
sedang dalam kemunduran. Nasehat-nasehat Mawardi ini di kemudian hari disadur
oleh Machiavelli dalam
"Sang Pangeran" sebagai nasehat kepada
raja bagaimana menjalankan pemerintahan yang diambang kemunduran
Nasehat Machiavelli adalah nasehat yang
realisme dengan pernyataan bahwa untuk
mempertahankan kekuasaan seorang raja
lebih harus ditakuti
daripada dicintai rakyatnya. Jika rakyat
dicintai maka akan banyak menuntut dan berani. Sedangkan dalam
pandangan Mawardi, raja yang
baik demi mempertahankan kekuasaan adalah raja yang lebih dicintai rakyatnya dan tidak menimbulkan
perasaan takut.
Pandangan yang
ketiga dikemukakan oleh
Ibnu Taimiyyah di mana melandaskan pemikirannya bahwa baik-buruknya suatu pemerintahan tidak hanya ditentukan
oleh kualitas yang baik dari kepala negara akan tetapi
oleh organ kenegaraan secara luas. Pandangan Ibnu
Taimiyyah banyak dirujuk dari
bukunya Minhajul Sunnah dan Siyasah
Asy-Syar'iyyah. Fungsi organisme yang ditamsilkan
oleh hadis tentang hubungan antar
mukmin sebagai saudara dan bangunan
yang saling melengkapi disadurnya
dalam bentuk pemerintahan.
Dengan
pandangan ini Taimiyyah melakukan reformasi sekaligus melakukan
kritik sosial terhadap
sistem kekhalifahan. Runtuh dan hancurnya
sistem kekhilafahan pada satu sisi disebabkan karena masalah
akhlaq pemimpin yang merosot.
Akan tetapi tidak berfungsinya
lembaga-lembaga pendukung
kekhilafahan yang selamanya ini tampak
hanya
sebagai pelengkap saja. Ketergantungan
yang besar kepada sang
Khalifah dalam batas
tertentu menghasilkan kinerja
kekhilafahan yang sesukanya yang kemudian mengarah kepada dekadensi moral.
Runtuhnya kekhalifahan Abbasiyyah sebagai
akibat serangan tentara Monghol secara mendadak karena terjadinya
pengkhianatan Wazir terhadap kekhalifahan, di
mana Khalifah sendiri tidak menyadarinya.
Dari
pijakan ini Taimiyyah
melakukan reformasi terhadap gejala
pengagungan Khalifah pada
mazhab Sunni maupun Imam Ma'shum
pada mazhab Syi'ah sekaligus melakukan kriitikan kepada
mazhab Khawarij. Pandangan ini sebagai upaya untuk
mengkatrol peran ummah sebagai bagian
yang spesfik dari negara
untuk turut menentukan kehidupan bernegara.
Dalam
batasan tertentu posisi
kepala negara akan banyak ditentukan oleh Ummah yang
terwakili dalam lembaga legistatif.
Posisi Ummah ini sebagai sarana
transformasi yang memiliki kedudukan suci sebagaimana kedudukan Nabi.
Pemimpin yang sudah terpilih oleh
lembaga tersebut harus dibai'ah (disumpah dan dipersaksikan). Dalam proses
bai'ah ini, rakyat atau anggota
masyarakat diperkenankan tidak
membai'ah dan tidak akan dikenakan penjara dan ancaman subversif.
Pandangan Ibnu
Taimiyah ini sebagai reaksi dari masa
dis-integrasi kekhilafahan Abbasiyah dan
keimamahan Syiah. Ibnu Taimiyah yang besar dengan mazhab Hambali yang
kritis terhadap pemerintahan
tidak banyak melakukan
pembelaan akan pemerintahaan
yang ada akan
tetapi melakukan pembenahan-pembenahan kenegaraan menurut pedoman Qur'an dan Sunnah sekaligus dengan menggunakan kekuatan akal.
Dasar-dasar peletakan
pemikiran Ibnu Taimiyyah mengilhami penggalian-penggalian
asas politik Islam secara lebih
cermat. Seperti masalah
keadilan, Ibnu Taimiyyah memberikan peryataan
yang cukup kontroversi
dengan ungkapan "Lebih baik
dipimpin oleh orang kafir yang adil
daripada dipimpin orang Islam yang zhalim".
Pernyataan seperti ini jelas
tidak bisa diterima
bagi kalangan sentralisme
khalifah dan institusionalis yang
mengedepan-kan syarat keislaman daripada
keadilan. Pandangan
kontroversi ini setidaknya
sebagai akumulasi masalah Taimiyyah yang menghadapi penguasa
Islam yang zalim. Ibnu Taimiyyah yang bermazhab Hambali sangat sering bersitegang dengan
penguasa yang kemudian menghantarkannnya ke penjara. Bahkan Taimiiyah maupun Imam Hambali meninggal di
penjara.
Konsep
syura pada akhirnya
menjadi embrio yang dikupas
oleh Taimiyyah. Dengan konsep Syura,
maka ummat akan ditempatkan sebagai
peran yang sentral
dalam kedudukan
pemerintahan dan negara. Syura diambil dari kata
al-istikharaaj yang maksudnya
mengambil madu sedikit demi sedikit,
jika hendak mengeluarkannya dari sarangnya dan memeriknya,
memilih sesuatu untuk diketahui
keadaannya. Atau Imam al-Qurtubi berkata
bahwa kata istisyarah diambil dari perkataan Arab: Syarratid Dabbatu Wasyaurabika idza'alimat
khabaraha bijarinau ghairahu ( menguji
hewan untuk mengetahui
sejauh mana larinya atau lainnya.
Syura
kemudian mendapat peran yang legal untuk melakukan prinsip politik Islam berupa bai'ah. Bai'ah adalah berasal dari kata bay'a yang
artinya menjual. Dalam praktek historis, bay'ah sudah dilaksanakan oleh
Nabi selama 2 kali Bay'ah Aqobah I dan II) ketika di Makkah dan kemudian dikembangkan dalam
parktek berikutnya.
Dari ketiga perspektif pemikiran
tersebut tampaknya mempunyai elan vital di jamannya. Pemikiran
sentralisme khalifah dan institusionalisme melihat bahwa hanya elemen pemimpin negaralah
yang mampu mempertahankan negara ancaman kehancuran
dari luar. Artinya
pemikiran ini sebenarnya
tidak menafikan akan arti
kelembagaan yang
lain.
Sedangkan pemikiran organis muncul
sebagai bentuk terapi untuk
membangun kembali sistem
kenegaraan Islam yang sudah tercabik-cabik, dengan menempatkan
kekuatan organis sebagai penyangganya.
Pemikiran Islam Modern
Pemikiran Politik Islam modern mulai
tampak arusnya ketika dunia Islam dalam kondisi terjajah oleh
kekuatan barat. Selama ini
pemikiran politik Islam,
merespon persoalan internal
bergeser kepada persoalan eksternal. Kondisi keterpurukan
dunia Islam menjadikan
pengaruh ajaran Islam dalam
keseharian menjadi pudar
bahkan terancam punah (perish). Hal ini yang
mengilhami para tokoh pembaharu Islam seperti Jamaludin
al-Afghani untuk mengumandangkan produksi
pemikiran dalam mensikapi dan
menggalang umat Islam dalam menghadapi.
Corak
yang mendasar dari pemikiran politik
Islam modern adalah sebagai berikut:
a. Formulasi pemikiran
sedikit banyak sebagai
respon kekalahan dunia Islam
atas Barat daripada
sistem internal masyarakat Islam sendiri
b. Formulasi pemikiran sedikit banyak
ingin mengembalikan pelaksanaan ajaran
Islam secara murni (salafi)
c. Dalam sifat
kenegaraan, terpusatkan pada
usaha pembebasan negara.
Dalam
perkembangan lanjut terjadi
dinamika yang cukup beragam dalam meletakkan landasan dasar
formulasi pemikiran. Setidaknya
formulasi pemikiran terpilah dalam dua
kelompok besar; pertama, Kalangan-kalangan yang
ingin meletakkan usaha permurnian
ajaran Islam (Purifikasi) sebagai jalan
satu-satunya usaha menghadapi
Barat. Ada kecenderungan kalangan
ini bersikap selektif bahkan sampai menolak
pemikiran Barat, dalam
kerangka pembangunan
masyarakat. Pemikiran ini
sedikit banyak mendapatkan pengaruh dari pemikiran Imam Hambali, Ibnu Taimiyyah, di masa
klasik. Gerakan purifikasi tampak
difahami sebagai sarana
mengembalikan kejayaan Islam di masa sebelumnya.
Sedangkan kalangan yang kedua, yakni kalangan yang sebelumnya melakukan kritik terhadap
pemahaman Islam yang cenderung konservatif.
Kalangan ini menjadi tercerahkan
atau dalam penilaian
kelompok purifikasi telah
terbaratkan. Setidaknya pandangan ini
berawal dari sikap akomodatif kepada
Barat, di mana tercermin dengan sikap
untuk membangkitkan Islam setidaknya
meniru model Barat dan membangun
peradaban Renaisance. Hal
inilah yang kemudian mengilhami konsep sekulerisasi pemikiran politik
Islam yang selama ini difahami
digunakan secara sepihak oleh penguasa
demi kelangsungan status quo. Pandangan
ini menemukan titik sentralnya dalam tulisan politik Islam sekuler
pertama yang dilakukan oleh Ali Abdul
Raziq, seorang hakim syari'ah
dan dosen di
Al-Azhar dalam Kitabnya Al-Islam
Al-Ushul Wa Al-Hukmi. Dengan gerakan ini maka
pengadopsian pemikiran Barat menjadi
salah satu kebutuhan yang
mendasar untuk membangun masyarakat Islam.
Dalam
dinamika berikutnya, pemikiran politik
Islam tidak hanya merespon intervensi eksternal, yang selama ini dituduh
sebagai sumber malapetaka di dunia Islam. Kekuatan eksternal juga
telah memapankan eksistensinya
di dunia Islam dengan membentuk seperangkat sistem
kemasyarakatan yang cukup
kokoh dalam menyebarkan pengaruhnya. Dari persoalan inilah
muncul pemikiran Islam, yang
lebih spesifik yang lahir dari
gerakan-gerakan sosial (harakah
Islamiyyah), yang berusaha melakukan kritisi terhdap regim pro Barat.
Format
yang digunakan oleh
organisasi sosial ini setidaknya terpilahkan dalam 2 pola
besar, yakni: pertama, pola Ishlah (pembaharuan, memperbaiki sistem (evolusi)). Kedua, pola inqilabiah
(perombakan total, revolusi). Dari dua
pola besar tersebut akhirnya terpola dalam
4 pola besar:
1. Gradualis-Adaptis, di mana organisasi
yang termasuk di dalamnya adalah
Ikhwanul Muslimin di
Maghribi dan Jama'at Islami di
Pakistan
2. Revolusioner Syi'ah, di mana organisasi yang termasuk di dalamnya adalah Partai Republik
Islam Iran, Hizbi Ad-Da'wa di
Iraq, Hizbullah Libanon,
Jihad Islam Libanon
3. Revolusioner Sunni, di mana
organisasi yang termasuk di dalamnya
adalah AL-Jihad Mesir, Organisasi
Pembebasan Islam Mesir, Ikhwanul
Muslimin Siria, Jama'a Abu Dzar Siria,
Hizbi Tharir Jordania dan Siria
4. Messianis-Primitif, di mana
organisasi yang termasuk di dalamnya
adalah Al-Ikhwan Saudi Arabia,
Tafkir Wal Hijra Mesir, Mahdiyya
Sudan, Al-Arqam.
Sedangkan diskursus tentang besar pemikiran
Islam tentang managemen kenegaraan dalam masa modern ditunjukkan oleh
peristiwa keruntuhan khilafah Turki Utsmani di
1924. Hancurnya model kekhilafahan
klasik ini memungkinkan
munculnya pemikiran-pemikiran baru. Respon
terhadap fenomena ini muncul beberapa model pengelolaan negara: Subtansialisme dan formalisme.
Aliran
subtansialisme
berkecenderungan melihat
negara sebagai sesuatu yang otonom. Negara
tidak bisa dipengaruhi oleh
keyakinan ataupun agama
tertentu. Kalaupun ada pengaruh sebatas pada dataran semangat tidak sampai
menyentuh pada seluruh aspek.
Pandangan substan-sialisme
tercerahkan dengan semangat sekularisasi di dunia Islam. Faham
ini dilontarkan pertama kali
oleh seorang Hakim sekaligus
dosen Universitas Al-Azhar dalam
karyanya Al-Islam Ushul Wa
Al-Hukmi, Ali Abdur
Raziq. Dalam pemikiran Ali Abdur Raziq, managemen negara Islam selama ini
hanya terpaku kepada
ijtihad ulama. Kekhilafahan selama lebih dari 8 abad tidak lebih dari produk
ulama. Dan sejarah masyarakat
Islam adalah tidak layak digunakan
sebagai pembenaran sebuah kebijakan masa
kini. Banyak sekali kebijakan
despotis negara berlangsung
dan kebal kritik karena didukung ulama atas nama agama.
Usulan
yang kontroversial dalam usaha merespon
dan sejajar dengan managemen kenegaraan Barat,
maka dunia Islam harus
merubah pola managemen kenegaraan
seperti Barat. Dengan semboyan, Serahkan Hak Tuhan Pada Tuhan, dan
Serahkan Hak Kaisar Pada Kaisar.
Aliran
formalis berkecenderungan
melihat kesamaan pola bahwa keberadaan negara tidak bisa dipisahkan
dari agama seperti halnya
pemikiran Islam Klasik. Agama dalam
batas tertentu harus terlibat dalam
urusan kenegaraan,
simbol-simbol agama dimungkinkan tercermin dalam
aspek kelembagaan negara. Pandangan formalis ini
tercerahkan dengan semangat
Pan-Islamisme (Persatuan Islam). Kepeloporan Pan-Islamisme
dikibarkan oleh Al-Afghani maupun Sayyid Rasyid Ridha. Sebelum runtuhnya kekhilafahn Utsmani,
Al-Afghani sering diundang ke
Turki untuk mempertahankan secara teroritis dan
konseptual tentang
legitimasi lembaga kekhilafahan yang
sedang mengalami krisis kepercayaan.
Pan-Islamisme dalam
batas tertentu adalah sebagai terapi terakhir
untuk mencoba menghidupkan
semangat kekhilafahan di dunia Islam. Dalam pemikiran formalisme ini
mendapat klarifikasi dari Sayyid Abul A'la Al-Maududi. Maududi melihat
bahwa organisasi kenegaraan adalah sesuatu yang integral dengan kekuasaan Tuhan.
Suatu negara itu ada
karena ada kedaulatan Tuhan atas
negara, sehingga aturan-aturan dalam negara harus mencerminkan kedulatan Tuhan.
Ungkapan ini kemudian diistilahi dengan istilah
theo-Demokrasi, sebagai bentuk pendefinisian kembali demokrasi menurut
pandangan Islam.
Pada akhirnya pandangan formalis
Maududi adalah bagaimana
mengformat sebuah negara adalah
sebagai negara dunia (world-state).
Dan ini
tidak bisa dipisahkan dari konsep
kekhilafahan dalam
pemikiran Islam klasik. Sekaligus Maududi memberikan klarifikasi tentang
fenomena kerajaan di dunia Islam, secara
tegas Maududi mengatakan
bahwa Khilafah Bukan Kerajaan. Khilafah
dipandu oleh musyawarah sedangkan kerajaan dipandu oleh kepentingan kaum
tertentu. Kerajaan pada akhirnya hanya
akan mengambalikan kekuasaan ke dalam
batas wilayah, ras dan kepentingan tertentu.
Pandangan formalis kemudian banyak berdekatan dengan
pemikiran fundamentalisme Islam
yang ingin meletakkan urusan agama dan
negara adalah urusan yang satu (din wa daulah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...