Pendahuluan Selama ini pembahasan
tentang politik didominasi oleh pemahaman politik barat. Apapun yang
dibicarakan tentang politik baru akan terasa lengkap dan menarik, atau membuat
bangga yang menyampaikan ketika pendapat dari para ahli politik barat yang
mereka sitir. Yang perlu diketahui bahwa politik barat mempunyai beberapa
karakteristik dalam membangun opini mereka. Beberapa hal tersebut antara lain:
1.
Perebutan
kekuasaan
2.
Cenderung
membicarakan konflik dibandingkan kerjasama
3.
Senantiasa
bersifat rasional dan menolak wahyu
4.
Setiap perbuatan
yang dilakukan mesti dihubungkan dengan kepentingan
Pemikiran ini mendominasi dunia politik,
terutama setelah perjanjian west phalia (1648). Perjanjian ini membahas tentang
konsep negara modern dengan konsep nation state. Maksudnya bahwa setiap negara
baru akan diakui eksistensinya apabila memenuhi beberapa syarat dasar negara,
yaitu:
1.
Wilayah
2.
Penduduk
3.
Pemerintah yang
berdaulat
4.
Pengakuan negara
lain
Konsep ini sebenarnya juga diterima dan
sama dengan islam dalam syarat negara. Hanya saja dalam pengertian yang lebih
spesifik, muncul beberapa persoalan yang sangat membedakannya dengan islam.
Beberapa perbedaan tersebut secara mendasar, paling tidak terletak pada hal:
1.
Loyatiltas masyarakat
kepada negara
2.
Keyakinan bahwa
raja mempunyai hak sendiri dan tuhan juga mempunyai hak yang lain
3.
Mereka lebih
berprinsip untuk menikmati hidup di dunia
4.
Yang paling
penting dalam politik adalah bahwa kita eksist.
Cara berpikir seperti ini sangat terpengaruh
oleh warna pemikiran yunani kuno dan di era sekarang terlihat jelas dengan
thesisnya Huntington yang mempertentangkan antara Islam dan Barat sebagai
benturan peradaban. Sejarah Politik Islam Adapun sejarah politik Islam tidak
bisa dipisahkan dari beberapa kejadian pada masa Rasulullah. Beberapa hal yang
dilakukan rasulullah misalnya, terutama setelah hijrah ke Madinah.
1.
Minta pendapat
beberapa sahabat
2.
Siap menghukum
fatimah jika mencuri
3.
Beberapa hadits
tentang kepemimpinan dan pentingnya menjadi pemimpin yang adil
4.
Sistem
administrasi yang rapi yang dibangun
Konsep politik ini kemudian dipertegas
kembali pada masa pemerintahan khulafaurrashidin. Hanya saja islam pada masa
ini diwarnai oleh pergantian kepemimpinan, terutama di masa-mas akhir yang
diwarnai oleh pertumpahan darah. Masing-masing masa pergantian mempunyai
kharakternya masing-masing. Baru kemudian Islam memasuki masa kekhalifahan yang
tidak lagi terpusat di Madinah, melainkan berpindah ke Damaskus (Umayyah),
Baghdad (Abbasiyah), dan Turky (Turky Ustmani). Masing-masing kekhalifahan
mempunyai karakter politik yang khas pada zamanya. Dan pada mas ustamani
dikenal sebagai keruntuhan kekhalifahan Islam. Politik Dalam Islam Sebagai
agama yang sempurna, islam mengatur semua asfek kehidupan manusia, mulai urusan
sederhana seperti adab makan, tidur, ke kamar mandi dan seterusnya, sampai
urusan keumatan bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara. Sayangnya, selama
ini banyak yang memahami islam dalam pengertian sangat sempit, yaitu sebatas
ritual ibadah saja. Seorang yang rajin sholat ke masjid, mengerjakan puasa dan
membayar zakat, atau mungkin dipanggil pak haji dengan jenggot yang panjang dan
berpakaian sorban, maka dinilai sebagai orang yang sempurna keislamannya. Islam
tidak dimaknai dalam pengertian yang lebih luas. Seakan mereka yang berada di
kelompok ini meyakini bahwa dengan cara inilah salah satu jalan untuk masuk
sorga. Mereka menganggap urusan selain itu adalah masalah duniawi, yang seakan
tidak perlu terlalu diperhatikan. Akibatnya, islam dinilai sebagai agama yang
tidak mampu mengikuti perkembangan jaman. Umat islam dikesankan dengan kelompok
orang yang tradisional, bersarung, kotor, tidak berpendidikan, kasar, dan
sekian banyak image tidak baik lainnya. Sebaliknya, menghadapi kondisi tersebut,
sebagian umat islam justru secara membabi buta mengadopsi semua ajaran bahkan
nilai yang berasal dari luar. Mereka begitu bangga dengan kemajuan dunia barat.
Dan mereka menilai bahwa memang sudah saatnya bagi islam untuk menyesuaikan
diri dengan perkembangan zaman. Biasanya kelompok inilah yang dikenal sebagai
kaum liberalis. Kedua sikap ekstrim tersebut tentu tidak menguntungkan. Dalam
konsep politik, kelompok pertama menilai bahwa semua cukup hanya dengan
Alqur’an dan Sunnah. Tentu umat islam setuju. Namun, penjelasan yang tidak
rinci menjadi persoalan tersendiri. Bagaimana umat islam diminta untuk memahami
Alqur’an dan Sunnah, dan bagaimana pula mereka bisa bersikap kritis terhadap
sejarah masa lalu pemerintahan islam. Maksudnya bahwa kemunculan islamophobia
yang berkembang di dunia barat, sangat mungkin karena kesalahan dalam
menafsirkan sejarah. Oleh karena itu, upaya meluruskan sejarah perlu dilakukan.
Dan umat islam, jika ternyata memang ada kesalahan sejarah harus berani
mengakui dengan jujur. Tidak perlu ada yang ditakutkan. Bukankah kesalahan
sejarah tidak berarti kesalahan ajaran. Hal ini justru menjadi kritik bagaimana
pemahaman umat islam terhadap agama mereka yang masih sangat lemah. Demikian
juga sikap kelompok liberal. Pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia,
senantiasa menjadi senjata dan menyamakannya secara persis dengan nilai-nilai
islam. Tentu hal ini membahayakan. Pemahaman yang salah dan tidak komprehensif
sangat menyesatkan. Apalagi dengan melepaskan sama sekali simbol-simbol keagamaan
dan syariat yang jelas. Perdebatan ini akan berlangsung terus tanpa mau kembali
melihat sejarah. Yakni tidak memulai perdebatan dalam konteks isu kekinian,
melainkan berusaha memahami dalil-dalil qoth’i tentang politik dari Alqur’an
dan Sunnah. Dan kemudian berusaha melihat sejarah bagaimana Rasulullah dan
generasi terdahulu memahami tafsir dalil-dalil tersebut. Asumsi dan keyakinan
yang perlu ditumbuhkan adalah bahwa merekalah orang yang paling memahami islam.
Perumpamaan dengan permainan pesan berantai merupakan contoh serupa. Yang
terakhir menerima pesan, sangat mungkin berbeda dalam menangkap pesan yang
disampaikan orang pertama. Filsafat Kehidupan Manusia Konsep politik dalam
Islam tidak terlepas dari posisi manusia dalam kehidupan. Manusia merupakan
makhluk dijadikan sebagai khalifah oleh Allah di muka bumi. Allah telah
menciptakan segalanya, kemudian manusia yang diminta untuk memakmurkan bumi.
Tentu saja mereka harus menjalaninya sesuai dengan hukum alam dan undang-undang
yang sudah disiapkan oleh Allah. Dalam hal ini, logika yang dipakai adalah
ibarat barang elektronik yang sekarang berkembang. Seorang pembeli hendaknya
menggunakan barang elektronik tadi sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh
pabrik supaya tidak menyebabkan kerusakan yang tidak diinginkan. Manusia juga
demikian, harus menggunakan hukum yang telah Allah turunkan. Jadi, peran
manusia dalam politik bukan untuk membuat hukum yang baru. Adapun, aturan yang
berusaha untuk mengimbangi perkembangan zaman, pada hakikatnya harus tetap sesuai
dengan hukum yang baku dari Allah. Perkembangan hukum dilakukan untuk hal-hal
yang membawa kebaikan. Demikianlah posisi hubungan antara Allah dengan manusia
dan alam ketika pertama kali nabi Adam dan Hawa diturunkan ke muka bumi. Hanya
saja dalam perjalanannya, banyak manusia yang tidak taat dengan aturan tadi.
Mereka melakukan berbagai kesalahan dan kemaksiatan. Intinya bahwa mereka
terjauh dari tuntunan yang diinginkan oleh Allah. Semakin hari, kondisi ini
bertambah para sehingga Allah mengutus kepada mereka para nabi yang
mengingatkan manusia dari jalan yang benar. Nabi terakhir yang diutus adalah
nabi Muhammad Salallahu’alaihi wassalam yang menyempurnakan ajaran-ajaran agama
sebelumnya. Ajaran Rasulullah sebagai agama sempurna mengatur semua aspek kehidupan
termasuk urusan politik. Oleh karena itu, umat islam perlu mewujudkan suasana
politik sesuai dengan prinsip-prinsip dan landasan berpolitik yang dicontohkan
rasul. Point utama yang diinginkan dalam sistem politik islam adalah penegakan
syariat. Dengan syariat ini, manusia diharapkan bisa hidup selalu dalam ma
‘rufat (kebaikan) dan jauh dari hal-hal yang munkarat (jelek). Allah sebagai
Penguasa dan Pencipta Allah adalah yang menciptakan manusia dan segala makhluk
yang ada di alam semesta. Semua orang percaya akan hal ini, termasuk mereka
yang mengaku ateis sekalipun. Mereka sadar bahwa mesti ada kekuatan yang berada
di luar kekuatan mereka. Mereka tidak mungkin mampu mengatasi kekuatan itu.
Dalam Alquran banyak tantang Allah terhadap mereka orang-orang yang mendustakan
misalnya dengan ayat yang mengatakan, dalam kisah perdebatan nabi Musa dan
Fir’aun. “Jika engkau memang mempunyai kekuasaan, maka cobalah untuk
menerbitkan matahari dari barat. “ Konsep ini dalam kajian keislaman dikenal
sebagai tauhid rububiyah. Artinya keyakinan akan kekuatan maha agung. Hanya
saja, manusia berbeda dalam menginterprestasikan kekuatan tersebut, sehingga
mulainya terjadi perbedaan pemahaman tentang siapa yang dimaksud dengan Tuhan
tadi. Ada orang-orang yang menyakini bahwa kekuatan tersebut adalah Allah,
tetapi tidak sedikit yang mengira kalau pohon yang besar, batu, berhala, dan
berbagai benda lainnya termasuk nenek moyang mereka yang dijadikan sebagai
Tuhan. Dalam konsep islam, dengana kayakinan bahwa Allahlah yang menciptakan
alam semesta dan Allahlah yang wajib disembah, maka muncul pemahaman bahwa
Allah pulalah yang berhak diikuti hukumnya. Hubungan Allah dengan manusia,
bagaikan pembuat mobil dan pemakainya. Pemakai mobil yang ingin selamat tentu
harus mengikuti panduan dan petunjuk dari sang pembat mobil. Tidak mungkin
karena mogok, maka mobil dicarikan rantai dengan asumsi bahwa mobil sama dengan
motor. Artinya hukum dalam hal ini tidak bisa hanya dengan mereka-reka saja.
Hukum atau aturan yang harus diikuti hendaknya sesuatu yang sudah ditentukan
oleh Allah. Manusia harus sadar betul bahwa mereka diciptkan dan dijadikan
khalifah di muka bumi ini oleh Allah adalah penciptakana terakhir setelah
diciptakan semualangit dan bumi serta berbagai kebutuhan lainnya. Allah memang
sudah merencakan semuanya, sebagaimana dialog Allah dengan para malaikat yang
diceritakan dalam beberapa surat Alquran. “Sungguh aku akan menciptakan manusia
sebagai khalifah di muka bumi”. kemudian para malaikat berkata,“Apakah engkau
akan menciptakan orang-orang yang akan saling menumpahkan darah wahai Allah”.
Allah menjawab “ bahwa aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” Demikian
posisi manusia di hadapan Allah. Atas kasih sayang-Nya, karena sifat manusia
yang memang cenderung melakukan kerusakan di muka bumi, maka Allah mengutus
nabi dan rasul untuk menyelamatkan mereka. Semua nabi dan rasul ini membawa
kalimat yang sama, yatu tauhid. Maknanya adalah bahwa manusia harus menjadikan
Allah sebagai satu-satunya tuhan dan tidak menyekutukan dengan tuhan-tuhan yang
lain. Konsekeuensi tauhid tersebut adalah penerimaan manusia terhadap
hukum-hukum yang ditentukan oleh Allah. Meskipun demikian, realitanya, manusia
tetap saja banyak yang tidak taat dan berhukum dengan hukum Allah. Hukum Allah
ini biasanya disebut dengan syariah. Karena nabi terakhir yang diutus adalah
nabi Muhammad dengan membawa risalah islam, maka syariah tersebut sering
disebut syariah islamiah. Ukurannya adalah ketaatan kepada ketentuan dalam
Alquran dan sunah. Lagi-lagi syariat ini adalah alat Allah untuk menjadikan
manusia agar selalu ada dalam kebaikan (ma’rifat) dan terjauh dari hal-hal yang
munkar (dibawah kendali setan). Hal ini tentu saja dalam berbagai aspek
kehidupan termasuk politik. Dan politik dalam islam adalah politik yang didasari
oleh tiga faktor pokok, yaitu:
1.
Tauhid –
maksudnya politik benar-benar dibawah kerangkan bahwa Allah adalah satu-satunya
pencipta, yang menjaga, dan yang akan menghancurkan. Selain itu Allah punya kekuasaan untuk
memerintah dan menjaga. Termasuk dalam
menentukan hukum yang harus kita pakai dalam bermasyarakat.
2.
Risalah –
merupakan aturan yang ditentukan Allah melalui rasul yang tercantum dalam
Alquran, hadits, ijma’, ijtihad, qiyas dan akal. Pola sistem kemasyarakat dan
politik yang dipakai adalah kombinasi dari wahyu Allah dengan tuntutan rasul
dalam memahami ayat-ayat qauliyah yang sering disebut sebagai sistem syariah.
3.
Khilafah.
–khilafah disebut sebagai wakil, maksudnya yang mewakili Allah dimuka bumi.
Dalam hal ini kepemimpinan dirasakan untuk sesama, buka sekedar kepentingan
kelompok dan golongan. Makna eqaulity sangat dihargai dalam islam.
(Bersambung ke - Metode Berfikir dan
Prinsip-prinsip Politik Islam)
Metode Berfikir dan Prinsip-prinsip
Politik Islam
Sebagaimana dibahas sebelumnya, islam tidak
hanya sebatas agama, tetapi juga bangsa karena islam juga mengatur negara dan
bagaimana masyarakat harus hidup bersama dalam kepemimpinan pemerintah. Hal ini
terlihat jelas terutama setelah rasul hijrah ke Madinah. Hal mendasar yang
membedakan dengan konsep politik dan negara barat adalah keyakinan dan prinsip
untuk mengatur negara sesuai dengan wahyu. Sebagaimana dikatakan oleh imam Al –
Ghazali, there is no siyasah without religious sciences.
Sumber
Berfikir
Secara prinsip, umat islam sepakat bahwa
sumber hukum islam adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma, Ijtihad, Qiyas, dan Akal.
Hanya saja terdapat beberapa perbedaan pemahaman karena beberapa hal:
terdapat beberapa ayat Al-quran yang
dimansukhkan (ayat lama dihapuskan dan diganti dengan ayat baru)
bahasa Al-quran menggunakan bahasa arab
secara prinsip manusia mempunyai
perbedaan karakter.
Karena perbedaan tersebut, muncul
perdebatan tentang seberapa besar peran akal dalam menafsirkan Al-quran dan
hadits. Sebagian kelompok meletakkan wahyu sebagai harga mutlak tanpa persepsi
yang luas, sementara yang lainnya sangat leluasa dalam menggunakan akal.
Metode Berfikir
Metode adalah cara yang digunakan untuk
menganalisis suatu persoalan dalam pemikiran. Kegiatan ini digunakan untuk
mengukur suatu kebenaran, memferivikasi, dan merasionalkan hasil berfikir.
Dalam islam, metode ini dikenal sebagai manhaj.
Menhaj dalam hal ini terletak pada dua
keseimbangan Islam, disatu sisi menunjukkan bahwa islam menghargai pemikiran,
disisi lain pemikiran ini dibatasi oleh prinsip-prinsip keislaman. Islam tidak
membiarkan manusia hanya menggantungkan diri pada akal, karena akal punya
keterbatasan.
Pada poin ini dalam cara berfikir islam
dan barat mempunyai perdebatan yang tidak kunjung selesai. Barat sangat
mengutamakan pemikiran atas dasar kemanfaatan, konsistensi dan koherensi.
Bahkan itulah yang disebut sebagai sumber kebenaran, tapi bagi islam wahyu
tetaplah kebenaran yang mutlak.
Hanya saja kemudian, di islam muncul
perdebatan tentang siapa yang paling berhak untuk melakukan pemikiran terhadap
persoalan keagamaan dan keumatan. Jika dijawab ulama, sekarang kembali muncul
perdebatan tentang siapa yang dianggap sebagai ulama.
Perdebatan konsep politik islam dan
barat
Pada dasarnya semua pemikiran politik
sepakat bahwa pemerintahan dan politik dimaksudkan untuk mengatur masyarakat
sehingga bisa hidup dalam kedamaian, keadilan, dan penjaminan terhadap berbagai
kebutuhan hidup masyarakat lainnya.
Hampir semua pemimpin dunia sekarang ini
merasa bangga jika disebut sebagai pemimpin yang demokratis, termasuk mereka
yang memimpin secara diktator sekalipun. Saddam Hussein atau pak Harto misalnya
yang dipersoalkan dengan beberapa pelanggaran HAM, kemungkinan akan marah jika
ketika masih berkuasa disebut sebagai pemerintah yang tidak demokratis.
Demokrasi begitu diagungkan dan menjadi mimpi semua negara.
Secara harfiah, demokrasi berasal dari
bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang bermakna aturan
atau pemerintah. Jadi, demokrasi adalah pemerintahan yang dipimpin dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam demokrasi, kekuatan tertinggi dalam hukum
ada pada rakyat, bukan pada Tuhan sebagaimana dipahami oleh Negara-negara
teologis.
Pemahaman demokrasi lahir ditengah
kondisi sosial politik Yunani kuno yang diwarnai oleh perang antara negara kota
Anthena dan Sparta, kemudian berkembang drastis setelah terjadi masa
renaissance di Eropa. Menurut Aristoteles (384-322 SM), Allah hanyalah sebagai
pencipta alam. Sementara proses yang berlaku di bumi selanjutnya berdasarkan
hukum alam, tanpa campur tangan sedikit pun dari Allah. Allah menjadikan
manusia sebagai makhluk yang diberikan kekuatan untuk mengatur kehidupan dan
alam semesta. Untuk memimpin manusia, mereka boleh bersepakat menunjuk seorang
kaesar yang menguasai hukum dalam mengatur masyarakat.
Dari konsep inilah pada awalnya
sekularisme muncul. Aristoteles memahami bahwa Kaesar mengatur hukum sendiri,
dan Allah mempunyai hukum yang lain. Keduanya sibuk dengan urusan masing-masing
yang tidak saling berhubungan. Artinya bahwa antara urusan dunia dan agama
tidak bisa disatukan.
Meskipun demikian, prinsip keadilan dan
persamaan menurut Aristoteles tetap bisa diwujudkan. Kepentingan bersama
haruslah merupakan karakter utama dalam sistem demokrasi. Setiap orang punya
hak dan suara karena itulah yang dinamakan kebenaran. Dengan bahasa sederhana
ia menyebut bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan.
Sebagai implementasinya, Yunani kuno
menyelenggarakan demokrasi secara langsung. Rakyat berkumpul di satu tempat
untuk menentukan siapa pemimpin mereka dan bagaimana kebijakan pemerintah harus
diambil. Demokrasi langsung tidak mengalami masalah waktu itu karena jumlah
masyarakat belum banyak dan wilayah negara hanya berupa kota.
Demokrasi langsung tidak bisa
dipertahankan ketika wilayah negara cukup luas dan jumlah penduduk semakin
banyak. Penduduk tidak mungkin dikumpulkan di satu tempat untuk dimintai
pendapat tentang masalah kepemimpinan dan kenegaraan. Pada masa Renaissanse
Eropa muncul konsep demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi ini, penduduk
menunjuk wakil mereka dan memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil tersebut
untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Selanjutnya demokrasi berkembang pesat,
bahkan meliputi berbagai dimensi dalam politik. Di Indonesia muncul istilah
demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi sosialis, dan seterusnya.
Demokrasi mulai menggejala dan menjadi trend pada setiap warna kebijakan
pemerintah. Meskipun demikian, secara lebih sederhana demokrasi sekarang lebih
terlihat pada dua aspek, yaitu demokrasi substansif dan demokrasi prosedural.
Demokrasi substansif maknanya bahwa
demokrasi merupakan alat dalam upaya mewujudkan kemakmuran masyarakat sehingga
memiliki kebebasan, persamaan dan penghargaan terhadap hak-hak mereka.
Sementara demokrasi prosedural, lebih menekankan kepada proses pembentukan
sistem kenegaraan yang dibatasi oleh kegiatan dan birokrasi pemerintahan
seperti pemilu. Persoalan apakah pemilu itu benar-benar akan mengapresiasi
kepentingan masyarakat tidak menjadi masalah utama. Justru sekarang realita
menunjukkan bahwa demokrasi lebih banyak dimaknai dalam artian prosedural.
Semua pemimpin dengan warna kebijakan apapun selama terpilih melalui pemilu
ingin disebut dirinya sebagai pemimpin yang demokratis.
Konsep Demokrasi yang menekankan
kekuasaan dan proses pembuatan hukum kepada rakyat bertentangan dengan prinsip
politik Islam. Masyarakat Islam yang ideal didasarkan pada kondisi sosial
politik Madinah ketika Rasulullah Muhammad menjadi pemimpin. Pembentukan negara
Madinah sejak Rasul hijrah pada tahun 622 M menurut para pemikir politik Islam
merupakan sistem pemerintahan yang meletakkan hukum dari Allah. Manusia harus
taat dengan hukum yang ditentukan Allah. Sebagai upaya untuk memahami
hukum-hukum Allah tersebut, para ulama yang dinilai mempunyai otoritas.
Menurut Muhammad Abduh (1849-1905),
manusia mempunyai keinginan, kebebasan dan kemampuan yang lebih dibandingkan
makhluk yang lain sehingga dijadikan sebagai khalifah, akan tetapi manusia
setiap melakukan perbuatan harus senantiasa sesuai dengan tuntunan agama
samawi.
Perbedaan tentang sumber hukum tersebut,
membuat konsep demokrasi dan Islam tidak bisa disatukan. Masing-masing pihak
kukuh dengan pendapat dan pendiriannya. Hingga kemudian muncul beberapa pemikir
yang mencoba menjembatani konsep demokrasi dan politik dalam Islam. Pandangan
ini muncul dari kalangan yang mengeyam pendidikan dari Eropa dan Amerika.
Menurut mereka demokrasi dan Islam mempunyai beberapa persamaan dan saling
melengkapi dalam hal:
1. Konsep Bai’ah (oath)
Dalam Islam bai’ah berarti janji setia
dari rakyat untuk menerima kepemimpinan seorang khalifah. Mereka membai’ah
dengan cara menyalami dan menempelkan tangan kepada khalifah yang baru.
Sementara khalifah akan berpidato dan menyampaikan janji untuk kesejahteraan
rakyat. Dengan kata lain, pada waktu membai’ah, berarti terjadi penerimaan
antara kedua belah pihak untuk memimpin dan dipimpin.
Kelompok yang mengatakan bahwa demokrasi
sesuai dengan Islam berargumentasi bahwa bai’ah pada hakikatnya sama dengan
pemilu. Ketika masyarakat mencoblos partai dan wakil rakyat, pada waktu itu
berarti mereka menerima siapapun pemimpin terpilih. Begitu juga dengan
pemimpin, sebelum memimpin pun sudah berjanji untuk menjaga amanat rakyat.
Sekilas argument ini terlihat benar dan
logis, meskipun jika dicermati sebenarnya sangat berbeda. Dalam Islam, bai’ah
baru dilakukan setelah pemimpin definitif ditetapkan, artinya bai’ah dilakukan
hanya kepada seorang pemimpin oleh semua rakyat. Persatuan rakyat jelas
terlihat. Sementara dalam pemilu, rakyat sudah memberikan kepercayaan kepada
mereka yang belum tentu terpilih sebagai pemimpin. Karena banyak pihak yang
diberikan kepercayaan, masyarakat pada hakikatnya sedang terpecah. Meskipun ada
yang mengatakan bahwa dalam demokrasi kita harus menerima siapapun pemimpin
terpilih, realita menunjukkan bahwa hal tersebut tidak terjadi, bahkan pada
level elite sekali pun. Buktinya, partai oposisi kerap muncul, meskipun
dibahasakan sebagai alat pengontrol kepemimpinan. Belum lagi termasuk peluang
yang sangat besar dari para calon pemimpin dan partai politik untuk menipu
habis-habisan rakyat.
Di negara ini seringkali kita menemukan
kebingungan masyarakat ketika melihat iklan negatif yang dikobarkan oleh salah
satu calon presiden. Calon presiden yang dulu juga sempat menjadi presiden,
meskipun pernah mengecewakan rakyat sekarang dengan meyakinkan menyerang calon
incumbent. Bahkan dengan bahasa-bahasa yang tidak beradab tetapi mudah diingat
rakyat, misalnya ”seperti main yoyo, naik dan turun!!” untuk mengkritik
kebijakan pemerintah yang menaikkan dan menurunkan harga BBM.
Di tengah budaya politik dan kebodohan
yang masih melilit mayoritas masyarakat Indonesia, bahasa tersebut akan
diterima tanpa pemikiran kritis, apalagi mudah diingat. Menurut Islam cara
seperti ini jika mengandung kebenaran tergolong ghibah, atau pun jika
mengandung kebohongan disebut fitnah. Baik ghibah maupun fitnah dilarang dan
merupakan gambaran akhlak seseorang, apalagi calon pemimpin. Hanya saja sistem
demokrasi memberikan kebebasan bersuara tanpa batas.
2. Musawah (equality)
Pendapat lain mengatakan bahwa demokrasi
dan Islam sebenarnya sejalan karena sama-sama berusaha untuk mewujudkan
kebersamaan dalam suasana yang egaliter di tengah masyarakat. Persamaan harus
dijunjung tinggi, meskipun berbeda warna kulit, status sosial, suku bangsa,
agama, atau jenis kelamin. Demokrasi menunjukkan komitmennya dengan memberikan
hak kepada seluruh warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu, baik
sebagai pemilih maupun sebagai calon anggota perwakilan atau pemimpin. Bahkan
dalam hal suara wanita, mereka merasa perlu mengaturnya dengan memberikan
kesempatan sebanyak 30 % dari kursi yang tersedia. Mereka menilai bahwa
kepentingan kaum wanita harus benar-benar diperhatikan dan yang paling memahami
kondisi dan kepentingan kaum wanita adalah wanita sendiri.
Kelompok ini mencoba menyelaraskan
konsep tersebut dengan istilah Islam yang berbunyi bahwa tidak ada yang lebih
mulia di sisi Allah kecuali karena ketaqwaannya. Dalam sejarah umat Islam,
rasul juga menunjukkan penghargaan yang luar biasa kepada kaum wanita atau
mereka yang berasal dari golongan yang lain. Bahkan dalam tradisi keilmuan,
Islam juga mempunyai banyak ulama yang berasal dari kaum wanita.
Alasan tersebut benar adanya, tetapi ada
beberapa hal yang tidak dilihat dalam sejarah dan pemahaman Islam. Semua orang
memang mempunyai kesempatan untuk memberikan pendapatnya, hanya saja Islam
lebih menghargai mereka yang berilmu dan mempunyai pemahaman lebih baik. Islam
tidak menyamakan kualitas pemahaman seorang professor dengan mereka yang tidak
berpendidikan sebagaimana secara implementatif terjadi dengan pemilu. Ketika
konsep satu pemilih dinilai satu suara (one vote one voice), hal itu memberikan
kesempatan kepada mereka yang tidak mempunyai pemahaman apa-apa memenangkan
pemilihan. Karena Islam begitu menekankan ruju’ kepada Al-quran dan sunnah,
dikhawatirkan pemilihan dengan satu pemilih satu suara menyebabkan prinsip
dalam syariat tersingkirkan. Begitu juga nilai kemaslahatan masyarakat tidak
dapat diwujudkan secara maksimal.
Jadi dalam Islam, dikenal persamaan yang
terbatas dan terbatas pada beberapa konteks tertentu. Orang yang berilmu
dinilai tidak sama dengan orang yang bodoh.
3. Syura (consultation)
Pendapat selanjutnya yang mensinergiskan
demokrasi dengan Islam terletak pada proses penyelesaian masalah dari kedua sistem yang dilakukan
melalui cara musyawarah. Menurut pandangan kelompok ini, lembaga perwakilan
adalah tempat bermusyawarah para wakil rakyat untuk menyelesaikan masalah.
Artinya tidak ada pemaksaan kehendak dalam suatu keputusan melainkan merupakan
keputusan bersama.
Dalam musyawarah, suara diwakili oleh
majelis, dan menjelis ini dianggap sebagai perwakilan masyarakat. Mereka
hendaknya orang yang berilmu, takut kepada Allah, dan berpihak kepada rakyat.
Secara konsep penjelasan ini bisa
diterima. Apalagi dalam sejarah kita juga melihat sikap rendah hati rasul untuk
bermusyawarah dengan para sahabat. Rasul pernah mendapat masukan dari Salman
Al-Farisi untuk menggali parit dalam perang khandak. Juga pernah menerima
masukan Umar bin Khattab untuk menebus tawanan perang dengan meminta mereka
mengajar baca tulis umat Islam sebanyak sepuluh orang untuk melepaskan satu
tawanan, dan masih banyak contoh yang lain.
Persoalannya, apakah benar dalam
kehidupan demokrasi selama ini tidak terjadi pemaksaan kehendak oleh para
anggota dewan dalam beberapa keputusan mereka. Seringkali kita melihat
kebijakan yang menyakitkan karena ditengah penderitaan rakyat justru para wakil
rakyat membahas masalah kenaikan biaya fasilitas anggota dewan.
Kondisi tersebut berbeda dengan Islam
yang memberikan kesempatan bersuara dan menyampaikan persoalan kepada mereka
yang benar-benar memahami kondisi masyarakat, sehingga keputusan musyawah tidak
akan memarjinalkan masyarakat. Jadi, konsep musyawarah dalam islam dan
demokrasi sebenarnya sama, hanya saja karena sudah beda dari awal tentang
pemahaman siapa yang berhak menjadi wakil hal ini menjadi masalah serius.
4. Adalah (justice) dan Maslahah (common
goals)
Keadilan menurut kelompok yang menilai
demokrasi sejalan dengan Islam merupakan prinsip dan kondisi yang
dicita-citakan. Demokrasi memperjuangkan persamaan dalam upaya menggapai
keadilan. Ketika wanita dan laki-laki diberikan hak satu orang satu suara, maka
itulah keadilan. Islam juga dikenal sebagai agama yang sangat adil, baik secara
tekstual maupun implementasi sejarah. Islam begitu memuliakan pemimpin yang
adil. Seorang pemimpin yang adil akan senantiasa berusaha untuk mewujudkan kepentingan
bersama (maslahah). Begitu juga sejarah Islam menunjukkan bahwa para khalifah
seperti Umar bin Khattab berusaha untuk menjadi pemimpin terbaik bagi
masyarakatnya.
Umar pernah menangis tersedu-sedu ketika
ada seekor anak keledai terperosok di jalan Baghdad yang berlobang. Ia takut
bagaimana mempertanggungjawabkan kelalaiannya dihadapan Allah kelak. Bayangkan,
hanya karena seekor keledai, bagaimana pula kalau manusia yang mati. Umar juga
sering berkeliling di tengah masyarakat untuk mengetahui kondisi mereka. Sampai
suatu malam, Sayyid Qutb rela memanggul sendiri karung gandum untuk seorang ibu
yang memasak batu karena ketiadaan ekonomi. Begitu mulia dan adilnya
kepemimpinan Umar. Sayyid Qutb tidak mau makan sampai semua masyarakat merasa
kenyang, dan tidak berpakaian kecuali sama dengan penampilan rakyat pada
umumnya.
Pertanyaannya, apakah demokrasi yang
begitu dipuja sekarang menghasilkan pemimpin sekualitas Umar. Justru yang
terjadi adalah mereka yang lebih banyak memikirkan kepentingan pribadi dan kelompok
atau partai mereka sendiri. Mereka membiarkan masyarakat hidup dalam
kesengsaraan.
(Bersambung ke – Fikih Ikhtilaf dan
Mazhab dalam Politik Islam)
Fikih Ikhtilaf dan Mazhab dalam Politik
Islam
Manusia seringkali berbeda dalam menilai
dan memandang suatu persoalan, termasuk dalam hal pemahaman agama. Di Islam,
juga terjadi perbedaan pemahaman, meskipun sebenarnya perbedaan yang dibolehkan
hanya pada persoalan-persoalan cabang saja. Perbedaan ini diibaratkan kisah
ketika beberapa orang buta dimintai pendapat untuk menjelaskan tentang wujud
gajah.
Beberapa penyebab perbedaan tersebut
antarlain karena:
a. Perbedaan Akhlaq
b. Perbedaan Fikir
1. Islam
2. Bahasa
3. Etnik
4. Manusiawi
Secara mendasar, beberapa hal yang
menyebabkan perbedaan antaralain:
perbedaan kemampuan intelektual
perbedaan orientasi dan keahlian
Sementara dalam konsep politik islam,
beberapa hal yang menyebabkan perbedaan antaralain:
fanatisme
perebutan kekuasaan – lihat kisah ketika
nabi wafat sebagaimana sudah dibahas
pengaruh dari pemikiran di luar islam –
pemeluk dari budaya lain dan buku-buku filsafat.
Perbedaan tersebut pada akhirnya
memunculkan perdebatan di tengah umat islam tentang 3 hal paling tidak dalam
masalah politik, yaitu:
apakah boleh ada dua khalifah atau harus
satu khalifah dalam satu waktu.
apakah harus dari suku qurais
kebersihan seorang khalifah dari dosa
Ketiga hal ini dikenal sebagai sumber
penyebab perbedaan umat islam dalam pandangan politik.
Dalam implementasinya, terdapat tiga
cara dalam islam ketika melakukan pergantian kepemimpinan:
pemilihan Abu Bakar asshiddiq di
tsaqifah bani sa’idah
penunjukan terhadap kekhalifahan
sesudahnya
khalifah dinominasi kemudian di pilih –
umar menunjuk enam orang sahabat lainnya.
Syiah
Muncul pada masa ustman – dan mendukung
ali sebagai orang yang paling tepat menggantikan rasul sebagai khalifah.
Kelompok ini merupakan hasil dari pergolakan yang terjadi pada masa ustman.
Pada masa ustman perpecahan begitu kentara karena beberapa hal:
ijin para sahabat bertebaran keluar dari
kota madinah
ustman begitu mencintai keluarganya dan
mengangkat mereka sebagai pejabat negara
kelemahlembutan ustman yang tidak
langsung menindak pejaba-pejabat yang tidak merakyat
kelompok yang tidak menyukai islam
Pada waktu itu penduduk Mesir menolak
kepemimpinan gubernur yang ditunjuk ustman karena berlaku dhalim. Apalagi pada
waktu rasul masih hidup yang bersangkutan merupakan penentang rasul. Ustman
tidak bersikap tegas.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh Abdullah
bin Saba’ untuk memecahbelah umat islam. Apalagi setelah akhirnya Ustman dan
Ali bin Abi Tholib terbunuh. Disisi lain waktu itu Mua’wiyah dan para
pejabatnya dalam setiap akhir khutbah selalu menjelek-jelekkan Ali bin Abi
Tholib. Puncaknya adalah ketika Yazid bin Mua’wiyah membunuh Husein bin Abi
Tholib beserta sekitar 70 anggota keluarga lainnya. Simpati terhadap keluarga
Ali ini yang dijadikan Abdullah bin saba’ yang merupakan seorang yahudi untuk
semakin memecahbelah umat Islam.
Kelompok syiah berjumlah sekitar 10 s.d
15 % dari kaum muslim. Mayoritas kelompok ini tinggal di Iran, mencapai 89 %,
azerbaijan 67 %, bahrain 60-70 % dan irak 60%. Hanya saja mereka terbagi
menjadi beberapa macam dalam perkembangannya, yaitu zaidis, ismailis, dan isna’
ashari (80%), dll.
1. Saba’iyah.
Diajarkan oleh Abdullah bin saba’.
Menurutnya, setiap nabi punya wasiat dan Ali adalah wasiat nabi Muhammad. Ia
juga menyebarkan ajaran bahwa nabi Muhammad akan kembali. Sementara Ali dia
katakan sesungguhnya belum mati, melainkan naik ke atas langit. Adapun yang
terbunuh adalah setan yang diserupakan dengan Ali. Bahka ia mengatakan bahwa
petir adalah suara ali dan kilat adalah senyumnya.
2. Ghurabiyah
Kelompok ini tidak sampai mempertuhankan
Ali sebagaimana saba’iyah, tetapi memuliakan Ali bahkan lebih baik daripada
nabi Muhammad. Menurut mereka, malaikat Jibril salah dalam memberikan wahyu
karena seharusnya diserahkan kepada Ali. Tetapi karena mirip dengan nabi
Muhammad, sebagaimana miripnya burung gagak (ghurab) yang satu dengan lainnya.
Kaisaniyah
Kelompok ini menginginkan pembalasan
dendam atas kematian Ali. Ia pandai menyebar berita bohong yang memprediksi
masa depan, dan melakukan pembunuhan terhadap siapapun yang membunuh Husein
sehingga menarik simpatik orang –orang syiah. Mereka juga percaya bahwa para
imam akan kembali dalam bentuk reinkarnasi (pengaruh hindu).
Zaidiyah
Dipelopori oleh Zaid bin Ali bin Zainal
Arifin. Aliran zaidiyah paling dekat dengan sunni karena tidak menuhankan atas
mengangkat Ali pada derajat kenabian. Mereka juga tidak mengkafirkan para
sahabat, hanya menilai bahwa para imam adalah yang terbaik setelah derajat
kenabian. Tetapi pada akhirnya, kelompok ini berupah menjadi lebih ekstrim.
Isnah Ashari.
Mereka percaya bahwa Alilah yang pantas
menggantikan nabi, buktinya dalam setiap perang yang tidak ada rasul Ali
menjadi komandan perang. Pada waktu haji juga ketika turun surat Albara’ah,
Alilah yang diminta untuk membacakannya. Syiah Isna Ashari percaya bahwa imam
mahdi yang menghilang pada tahun 874 akan kembali sebagai imam kedua belas
untuk menegakkan keadilan dan persamaan di muka bumi. Sebagai pengganti imam
mahdi untuk sementara waktu mereka mengangkat Ayatollah. Contoh gerakan yang
dilakukan oleh orang-orang syiah ini dan sangat besar adalah revolusi Iran pada
tahun 1979.
Ismailiyah
Cenderung menyembunyikan diri dan
identitas. Mereka juga percaya dengan illuminisme.
Hakimiyah dan druz
Allah bersembunyi di dalam tubuh
manusia.
Nashiriah
Sunni
Pada zaman rasul dan sahabat, istilah
sunni belum dikenal. Hanya saja rasul pernah bersabda tentang perpecahan yang
akan terjadi di tengah umat ini, dan kelompok yang selamat adalah mereka yang
mengikuti jama’ah. Maksudnya senantiasa dalam ketaatan kepada Allah dan sunnah
rasul meskipun sendirian.
Kelompok ini baru menjadi sebuah gerakan
ketika semakin banyak penyempalan dalam islam yang membingungkan masyarakat.
Sunni adalah mayoritas dibandingkan syiah dengan jumlah mencapai 80 % lebih
dari kelompok muslim. Sekarang ini, kelompok sunni oleh barat lebih dikenal
sebagai kelompok yang fundamentalis, radikal dan menentang keberadaan barat.
Beberapa konsep dalam sunni yang
menakutkan barat antaralain:
Gerakan politik
Misalnya bernama gerakan politik islam
ikhwanul muslimin di mesir. Punya banyak cabang dibeberapa negara seperti
aljazair, kuwait, palestina, jordania, sudan dan dan syirian.
Secara lokal gerakan-gerakan ini
menerima konsep nation state, bergerak secara konstitusional dan menghindari
tindakan kekerasan kecuali dengan kekuasaan asing. Mereka membentuk diri dalam
partai dengan kader-kader militan, sehingga terkesan menerima demokrasi. Di
turky dan marokko misalnya kelompok ini bernama partai keadilan dan
pembangunan.
konsep da’wah
Misalnya gerakan yang dilakukan oleh
jama’ah tabligh dan salafi. Kelompok ini bergerak pada upaya menemukan kembali
identitas sebagai muslim, perbaikan moral masyarakat, dan penguatan akidah
umat. Mereka tidak mempunyai kepentingan politik.
konsep jihad
Yang sekarang ini dipahami dalam tiga
asfek, yaitu jihad secara internal (menekan pemerintah muslim yang tidak
berpihak kepada islam), jihad dengan non muslim yang memerangi islam, dan jihad
dengan dunia global (melawan barat).
Dalam kelompok sunni dikenal beberapa
mazhab, antaralain:
a. Abu Hanifah (699-767)– qiyas,
b. Malik bin Annas (715-795) – sunnah
dan ijma’
c. Assyafiah (767-820) – qiyas maslahah.
d. Ahmad bin Hambal (780-855) – ijtihad.
Di era ini gerakan yang dinilai paling
massif menentang barat adalah gerakan salafy. Beberapa ciri gerakan salafy
adalah:
a. fokus gerakan utama adalah dalam
bidang da’wah
b. kegiatan da’wah tadi didasarkan pada
alquran dan sunnah yang dipahami secara literal dan dogmatis?
c. pengajaran sangat menekankan
penggunaan bahasa arab
d. dianggap sangat konservative karena
menolak kebid’ahan
e. penekanan gerakan pada upaya
perbaikan tauhid
f. arah gerakan banyak terpengaruh oleh
ajaran muhammad bin abdul wahab
g. tujuan utama adalah bagaimana bisa
menjadi muslim yang baik
h. contoh terbaik adalah para
salafussholih
Khawarij
Kelompok ini muncul pada
masa Ali bin Abi Thalib. Pada waktu perang Jamal antara Ali dan Mua’wiyah
mereka mencari penyelesaian dengan mengangkat alquran (tahkim). Amru bin Ash
dari mua’wiyah dan Abu Musa Al ashari dari kelompok Ali. Dan tahkim itu berisi
bahwa Ali bersedia turun sebagai khalifah dan menyerahkan kekuasaan kepada
Mu’awiyah. Mereka yang awalnya meminta Ali untuk melakukan tahkim akhirnya
menolak dan menganggap Ali kafir.
Mereka berpegang teguh pada pendapat
tekstual dengan makna ”tidak ada hukum kecuali hukum Allah”. Mereka juga gemar
menebus tawanan perang, cinta mati dan siap menghadapi bahaya dengan resiko
meskipun karena alasan sepele. Mereka ikhlas hanya saja cara berfikir dan
pemahaman islamnya sangat lemah.
Beberapa prinsip yang mereka pegang antaralain:
a. khalifah harus dipilih dengan
melibatkan semua orang muslim
b. jabatan khalifah bukan hanya hak
orang-orang arab.
c. orang yang berdosa adalah kafir.
Dan secara lahiriah orang-orang ini akan
nampak:
a. fasih dan lancar dalam berbicara
serta menguasai metode penyajian
b. memelajari alquan dan sunah dan
tradisi arab dengan tekun, penjelasan yang terang dan semangat tinggi.
c. menyenangi debat dan diskusi dengan
syair
d. perdebatan dengan fanatisme
e.memahami alquran secara tekstual,
tanpa mengkaji maksud, tujuan dan konteks nas.
Golongan mereka pun juga banyak,
misalnya Azariqah dengan beberapa pikiran mereka yang nampak berbeda lainnya
antaralain:
a. orang yang berbeda pendapat dengan
mereka disebut musyrik.
b. wilayah di luar daerah mereka adalah
darul harb
c. mereka yang berbeda pendapat akan
kekal di neraka
d. tidak ada hukum rajam
e. nabi bisa saja melakukan perbuatan
dosa besar dan kecil. Dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...