Daerah di ujung timur pantai utara
Jakarta, merupakan bagian wilayah Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing,
Jakarta Utara. Berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, di sebelah selatan
dengan Kelurahan Sukapura, Kelurahan Cilincing di sebelah selatan, dan Desa
Segera makmur di sebelah timur.
Marunda Pulo sebagai sebuah perkampungan
nelayan berada di wilayah pesisir yang sangat terbuka. Daerah ini memiliki
rumah bersejarah peninggalan "Si Pitung", didominasi oleh rawa-rawa
dan empang tempat pembiakan ikan bandeng. Perkampungan yang ada terkonsentrasi
pada tempat-tempat tertentu. Untuk mencapai perkampungan ini harus menyusuri
sungai ke arah muara dengan menggunakan perahu. Di halaman rumah panggungnya
yang khas Betawi sering terlihat alat-alat untuk menangkap ikan juga kegiatan
penjemuran ikan hasil tangkapan.
Beberapa versi asal nama Marunda dapat
dikelompokkan dalam tiga tipologi. Tipe pertama mengacu pada peristiwa sejarah
dan dikombinasikan dengan perubahan kata akibat pengucapan yang menyimpang. Berawal
dari peristiwa penyerangan Banten ke Sunda Kelapa. Versi ini bisa juga
dihubungkan dengan tulisan F. de Haan yang menyebut daerah Marunda sebagai
tempat konsentrasi gerilyawan Islam dari Banten di abad XX. Tipe kedua berupa
cerita rakyat. Disebutkan bahwa "marunda" berasal dari sebuah pesan
gaib yang terlontar oleh dukun setempat yang kesurupan. Pesan itu menyatakan
bahwa orang yang mengangkut barang ketika melintasi suatu tempat harus
"menunda" perjalanan. Tempat itu sekarang disebut Marunda. Kata Marunda
juga berasal dari kebiasaan penduduk untuk bersopan santun, bersikap
"merendah". Kata "merendah" lama-kelamaan berubah menjadi
Marunda. Versi lain menyebutkan bahwa kata marunda berasal dari kata
"meronda". Tipe ketiga lebih merupakan pendapat pribadi. Berawal dari
kebiasaan menyingkat kalimat, dari "ke rumah Pak Marunda" diganti
menjadi "ke Marunda".
Pemukiman di Marunda Pulo bermula dari
dua saudara, H. Safiudin dan H. Sajidin. Sampai sekarang penduduk Marunda Pulo
tidak memiliki tanah secara pribadi tetapi berstatus menumpang atas izin H.
Idup sebagai pewaris terakhir.
Melihat bentuk Marunda Pulo yang
berbentuk segitiga bisa dikatakan pulau ini terbentuk dalam laguna. Marunda
Pulo terbentuk dari endapan Sungai Marunda di muaranya. Pengendapan itu dipercepat
oleh melambatnya aliran sungai dan dangkalnya laut pantai. Tanah endapan yang
telah mengeras itu dapat ditanami kaktus, akasia, kembang sepatu, dan
bougenville. Tanah di seberang timur Marunda Pulo masih berupa lumpur yang
ditumbuhi pohon bakau, sedang tanah di sebelah barat berupa pasir lepas yang
terus terkikis. Cabang barat Sungai Marunda relatif lurus dan arusnya lebih
deras ketimbang cabang timur. Tanahnya yang berseberangan dengan Pulau Jawa
terdiri dari pasir pantai yang belum memadat dan terus mengalami abrasi. Dulu
di bagian utara jauh menjorok ke laut banyak pohon api-api yang berfungsi
sebagai pelindung dari abrasi. Tetapi makin berkurang akibat penggalian beting
pasir pantai yang membuat terpaan ombak lebih leluasa.
Penduduk Marunda Pulo diidentifikasi
sebagai orang Betawi walau beberapa orang tua sering menyebut diri sebagai
orang Melayu (karena menggunakan bahasa Melayu kasar/Melayu Ora) dan golongan
muda lebih suka sebutan sebagai orang Jakarta. Umumnya bahasa yang dipergunakan
sama dengan orang Betawi dengan pengucapan yang kasar khas orang pantai. Sistem
kekerabatan menggunakan prinsip bilineal yang batasnya dikenal dengan istilah
permili. Kesenian yang hidup di Marunda Pulo antara lain rebana, ketrimping,
lenong, dan tanjidor. Sistem pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan
penanggalan, musim, waktu produksi, dan saat pasang surut banyak dipengaruhi
oleh kebudayaan Cina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...