BAB
I
PENDAHULUAN
Kawasan
Asia Tenggara sejak awal Masehi telah berfungsi sebagai jalur lintas
perdagangan bagi kawasan sekitarnya, Asia Timur dan Asia Selatan. Dari kawasan
Asia Selatan, hubungan pelayaran antar benua terus berlanjut ke Barat sebelum
akhirnya mencapai Eropa. Melalui jalur perdagangan ini, kawasan Asia Tenggara
pada abad-abad berikutnya, ketika perdagangan memasuki era “globalisasi” di
abad ke-5, menjadi lebih ramai dengan hadirnya berbagai pedagang dan pelaut
yang biasa berlayar melalui wilayah tersebut. Sebagai dampak dari hubungan
antar bangsa ini, beberapa Bandar/pelabuhan di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, berubah fungsi menjadi Bandar regional. Wilayah barat Indonesia dan
sekitar Malaka merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena
hasil bumi yang dijual di sana menarik bagi pedagang dan menjadi daerah
lintasan penting antara Cina dan India. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra
dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 Masehi sering disinggahi pedagang asing,
seperti Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatra, Sunda Kelapa dan Gresik
di Jawa.
Dampak
lain dari komunikasi internasional ini adalah masuknya pengaruh tradisi besar
ke Indonesia, mulai Hindu-Budha pada abad ke-1-5 M, kemudian Islam pada abad
ke-7-13 M, dan Eropa sejalan dengan kolonialisme di Indonesia. Masuknya tradisi
Hindu-Budha, dilihat dari aspek kebudayaan, telah membawa dampak yang sangat
besar. Hindu-Budha menjadi agama yang dianut masyarakat setempat, yang disusul
dengan kehadiran bangunan-bangunan keagamaan untuk masyarakat penganut agama
tersebut. Beberapa daerah di kawasan ini kemudian menjadi basis perkembangan
Hindu-Budha, bahkan hinggga sekarang ini, seperti di Jawa dan Bali.
Sebelum
Islam masuk ke bumi Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa, organisasi
pemerintahan, struktur ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia yang berkembang.
Semua itu tidak terlepas dari pengaruh sebelumnya, yaitu kebudayaan nenek
moyang (animisme dan dinamisme), dan Hindu Budha yang berkembang lebih dulu
daripada Islam.
Kondisi
masyarakat daerah pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan lebih maju daripada
daerah lainnya. Terutama pesisir daerah pelabuhan. Alasannya karena daerah
pesisir ini digunakan sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan. Penduduk pesisir
tekena percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah.
Secara tidak langsung, dalam perdagangan yang dilakukan antara keduanya, mereka
menjadi mengerti kebudayaan pedagang asing. Pedagang asing ini seperti pedagang
dari Arab, Persia, China, India dan Eropa. Terutama dengan pedagang muslim,
mereka (pedagang kecil) perlahan-lahan mengetahui apa itu Islam dan bagaiman
ajarannya. Berbeda dengan daerah pedalaman yang lebih tertutup (konservatif)
dari budaya luar. Mereka lebih condong pada kebudayaan nenek moyangnya dan
sulit menerima kebudayaan dari luar.
Awalnya
Islam masuk dari pesisir kemudian menuju daerah pedalaman.
Masuknya
Islam masih terdapat kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha yang masih eksis,
diantaranya adalah kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Kedua kerajaan
ini merupakan kerajaan besar Hindu Budha yang akhir di Nusantara ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
Islam
di Indonesia baik secara historis maupun sosiologis sangat kompleks, terdapat
banyak masalah, misalnya tentang sejarah dan perkembangan awal Islam. Oleh
karena itu, para sarjana sering berbeda pendapat. Harus diakui bahwa penulisan
sejarah Indonesia diawali oleh golongan orientalis yang sering ada usaha untuk
meminimalisasi peran Islam, di samping usaha para sarjana Muslim yang ingin
mengemukakan fakta sejarah yang lebih jujur.
Suatu
kenyataan bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, ramah,
dan toleran. Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam
beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer Muslim. Islam
dalam batas tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para
da’i dan pengembara sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama itu
tidak bertendensi apapun selain bertanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa
pamrih, sehingga nama mereka berlalu saja. Tidak ada catatan sejarah atau
prasasti pribadi yang sengaja dibuat oleh mereka untuk mengabadikan peran
mereka, ditambah lagi wilayah Indonesia yang sangat luas dengan perbedaan
situasi dan kondisi. Oleh karena itu, wajar jika terjadi perbedaan pendapat
tentang kapan, dari mana, dan di mana pertama kali Islam datang ke Indonesia.
Ada
beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana
Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Setidaknya ada tiga teori yang
menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke Indonesia. Teori-teori
tersebut mencoba memberikan jawaban atas permasalahan tentang masuknya Islam ke
Indonesia, dengan perbedaan pendapat mengenai waktu masuknya agama Islam, asal
negara yang menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran Islam, dan
pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Indonesia.
Untuk
dapat mengetahui lebih lanjut tentang perbedaan teori-teori itu, di sini akan
dibahas secara sederhana sebagai berikut:
Pertama:
Teori yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M.
Teori
ini dikemukakan pertama kali oleh Pijnapel, seorang sarjana dari Universitas
Leiden, pada tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan
perjalanan Marcopolo yang mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1292 M dan Ibnu
Battuta yang mengunjungi Pasai pada tahun 1345 M, ia menyimpulkan bahwa
orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India yang
membawa Islam ke Asia Tenggara, Indonesia khususnya. Dia mendukung teorinya ini
dengan menyatakan bahwa melalui perdagangan, sangat mungkin adanya hubungan
antara kedua wilayah ini.
Teori
ini lebih lanjut dikembangkan oleh Christian Snouck Hurgronje. Snouck lebih
menitikberatkan pandangannya berdasarkan: Pertama, kurangnya fakta yang
menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.
Kedua, hubungan dagang sudah terjalin lama antara Indonesia dengan India.
Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra pada abad 13 M,
yakni adanya makam atau batu nisan Sultan pertama Kerajaan Samudra Pasai,
Sultan Malik al-Saleh. Pada makam itu tertulis bahwa ia wafat pada Ramadhan 696
H/ 1297 M.
Teori
Snouck ini lebih lanjut dikembangkan oleh Morrison pada 1951. Dengan menunjuk
tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam dating ke
Nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya
para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara.
Di
Indonesia, pendapat ini diusung oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat yang menyakini
Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13 M dan wilayah pertama yang
dijamah adalah Samudera Pasai. Fokus pandangannya tentang masuknya agama Islam
ke Indonesia berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok
masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10
Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu
Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi
Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula
pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini
datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar (fathah), jer dari ze-er (kasrah)
dan beberapa yang lainnya.
Dari
beberapa argumen yang dikemukakan di atas, mereka terlihat Hindu Sentris,
karena beranggapan bahwa seluruh perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya dan
agama di Indonesia tidak mungkin terlepas dari pengaruh India.
Kedua:
Teori yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M/ I H.
Teori
ini dikemukakan Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander
(1861), dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari
Arab. Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab Syafi’i,
sama seperti yang dianut kaum muslimin di Indonesia umumnya. Teori ini juga
dianut oleh Niemann dan de Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan
Mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebab muslim Hadramaut adalah pengikut
mazhab Syafi’i seperti juga kaum muslimin di Indonesia. Sedangkan Veth hanya
menyebut “orang-orang Arab”, tanpa menunjuk asal mereka di Timur Tengah maupun
kaitannya (kalau ada) dengan Hadramaut, Mesir atau India.
Teori
ini juga diajukan oleh Hamka sebagai koreksi dan kritik terhadap teori lama,
yaitu teori yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M.
Koreksinya ini disampaikan dalam pidatonya pada Dies Natalis Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta, pada 1958. Kemudian dikuatkan
dengan sanggahannya dalam seminar Sejarah Masuknya agama Islam ke Indonesia, di
Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13, karena di Indonesia pada abad ke-13
telah berdiri kekuasaan politik Islam.Jadi masuknya agama Islam ke Indonesia
terjadi jauh sebelumnya yakni pada abad ke-7. Hamka juga menolak pendapat yang
menyatakan bahwa orang-orang yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia
adalah berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada peranan
bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia. Gujarat dinyatakan
sebagai tempat singgah semata, dan Makkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai
tempat pengambilan ajaran Islam. Hal ini ia kemukakan berdasarkan bukti adanya
jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional pada abad ke-7 M melalui
selat Malaka. Malaka, jauh sebelum ditaklukkan Portugis (1511), merupakan pusat
utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan
rempah-rempah dari seluruh pelosok Indonesia dibawa ke Cina dan India, terutama
Gujarat, yang melakukan hubungan langsung dagang dengan Malaka pada waktu itu.
Lebih ke Barat lagi dari Gujarat, perjalanan melalui laut melintasi Laut Arab.
Dari sana perjalanan bercabang dua: jalan pertama di sebelah utara menuju Teluk
Oman, melalui Selat Ormuz, ke Teluk Persia. Jalan kedua melalui teluk Aden dan
Laut Merah, dan dari kota Suez jalan perdagangan harus melalui daratan ke Kairo
dan Iskandariah. Melalui jalur pelayaran tersebut, kapal-kapal Arab, Persia,
dan India mondar-mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Cina dengan
menggunakan angin musim unruk pelayaran pulang perginya. Perkembangan pelayaran
dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian
Barat dan timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani
Umayyah di bagian barat dan Kerajaan Cina zaman Dinasti T’ang di Asia bagian
timur serta Kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.
Pendapat
Hamka di atas dikukuhkan lagi dalam seminar Sejarah Islam di Banda aceh pada
1978. Dalam kesimpulan akhir seminar yang disusun oleh Prof. Ali Hasyimi,
disebutkan bahwa agama Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama
Hijriah, langsung dari Arab. Selanjutnya seminar juga berpendapat bahwa daerah
yang pertama kali masuk dan menerima Islam di Indonesia adalah Aceh dan
Kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Perlak. Pendapat A. Hasyimi ini
berdasarkan informasi dari sumber kepustakaan berbahasa Arab, kitab Izhar
al-Haqq fi Mamlaka Ferlaq wa Fasi, yang datanya ia peroleh dari H. Junus
Djamil. Menurut Junus Djamil, kitab ini dikarang oleh Abu Isaq Makarani al-Fasi
setebal dua ratus halaman dan terdapat nama angka tahun tertua Kerajaan Perlak,
255 H/ 840 M. Kitab ini juga memuat daftar silsilah Sultan Perlak. Jadi
terdapat keterangan dari berbagai sumber tertulis tentang kehadiran kesultanan
Islam di Sumatra pada abad ke-3-5 H. namun belum dapat diperoleh data
perbandingan dengan bukti tulisan-tulisan pada makam kuno. Makam kuno di
Sumatra yang beerangka tahun tertua berasal dari abad ke-7 H/ 13 M. Adapun di
Jawa, bukti tertua terdapat di Leran, Gresik, Jawa Timur, berupa komplek
pemakaman Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang muslimah
bernama Fatimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H/ 1082 M,
yaitu pada zaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari
penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Menurut
catatan sejarawan Cina, bangsa Arab sudah mendarat di pesisir pantai Sumatra
sebelum lahirnya Islam. Dari hasil-hasil barang galian yang dilakukan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia telah ditemukan tiga ribu
tulisan pada batu dan logam yang ditulis dalam bahasa Arab. Sebagian diukir
dengan huruf himyar dan sebagian lainnya ditulis dalam bentuk syair Arab pada
batu-batu nisan dan lain-lain dengan mencantumkan tahun Hijrahnya. Kini sudah
dilakukan penelitian intensif oleh beberapa sejarawan Indonesia. Hasil
penelitian itu menyatakan adanya para pedagang Arab di Sumatra Utara atau lebih
tepatnya di Aceh, sebelum lahirnya Islam. Para sejarawan Indonesia itu antara
lain adalah Najib Alatas, Qaddarallah al-Fathimi dan Muhammad Husein Nania.
Menurut
literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab
Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW
memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat
sebuah perkampungan Islam. Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa
Islam telah masuk ke Indonesia pada masa Rasulullah SAW. masih hidup. Secara
ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di
tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama
tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam (sampai
sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara
terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menengok
catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah
berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda
dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu
bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi
dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan
kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama
yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi
perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi
baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana
nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.
Perjalanan
dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut
dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah
sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang
didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat
mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas,
setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun. Jika ini yang terjadi,
maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke
Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat
Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r.a.
Dalam
kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat
kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih (Ta-Cheh), sebutan untuk orang
Arab, pada tahun 651 M atau 31 Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama
kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan
untuk Amirul Mukminin. Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan
bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti
kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan
Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang dua puluh tahun setelah
Rasulullah wafat (632 M). Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para
peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik
orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India
dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Beberapa
catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau
yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima
karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu
ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.
Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus berlanjut
hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya
Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra menyebutkan ada proses
korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman
dengan khalifah yang terkenal adil tersebut. “Dari Raja di Raja [Malik al
Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja;
yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya
terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan
kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja
Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah
mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak
begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan
kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan
kepada saya tentang hukum-hukumnya,” demikian antara lain bunyi surat Raja
Sriwijaya Sri Indravarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis. Diperkirakan
hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun
100 hijriah atau 718 Masehi.
Tak
dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak.
Tapi hubungan antara Sriwijaya dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda
babak baru Islam di Indonesia. Jika awalnya Islam masuk memainkan peranan
hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan
politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya
memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara.
Ketiga:
Teori yang mengkompromikan kedua teori atau pendapat di atas. Menurut teori
ini, Islam memang benar sudah datang ke Indonesia sejak abad ke-7 M, tetapi
baru berkembang pada abad ke-13 M.
Teori
yang ketiga ini dianut oleh J.C. van Leur. Ia menyatakan bahwa pada 674 M di
pantai Barat Sumatra telah terdapat perkampungan (Koloni) Arab Islam. Dengan
pertimbangan bangsa Arab telah mendirikan perkampungan perdagangannya di Kanton
pada abad ke-4. Perkampungan perdagangan ini mulai dibicarakan lagi pada 618 M
dan 626 M. Tahun-tahun berikutnya perkembangan perkampungan perdagangan ini
mulai mempraktikkan ajaran agama Islam. Dari keterangan ini, masuknya Islam ke
Indonesia tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan telah terjadi sejak abad
ke-7. Sedangkan abad ke-13 merupakan saat perkembangan agama Islam, sebagai
akibat adanya perubahan jalan laut perdagangan, yang tadinya melalui Selat
Sunda berubah melewati selat Malaka. Perubahan ini mempengaruhi timbulnya pusat
perdagangan Islam di Selat Malaka. Perluasan lebih lanjut dipengaruhi oleh
adanya perubahan politik di India, yaitu runtuhnya kekuasaan Brahmana yang
diikuti dengan timbulnya kekuasaan politik Mongol (1526) dan jatuhnya Kerajaan
Vijayanagar (1556). Perubahan politik ini memberi peluang kepada agama Islam
untuk mengembangkan pengaruhnya di Indonesia.
Meskipun
pendapat J.C. van Leur ini sedikit berbeda dengan pendapat sejarawan
sebelumnya, namun ia tidak dapat melepaskan pandangannya dari pengaruh Gujarat
tentang masuknya agama Islam ke Indonesia, mengikuti pendapat Snouck Hurgronje.
Selain perbedaan waktu, ia juga mengakui adanya peranan bangsa Arab sebagai
pembawa agama Islam.
Sarjana
Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah juga mendukung teori ini. Menurut
pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad ke-7 M,
tapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan.
Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada
abad ke-13 M dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat
arus balik kehancuran Baghdad, ibukota Abbasiyah, oleh Hulagu. Kehancuran
Baghdad menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktifitas perdagangan ke arah
Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.
BAB
III
KESIMPULAN
Muslim
Indonesia punya sejarah luar biasa. Sahabat Rasulullah, pernah pula langsung
berdakwah di Nusantara. Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah
urusan mudah. Tak banyak jejak yang bisa dilacak. Ada beberapa teori yang
hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun
kalangan intelektual Islam sendiri. Secara garis besar perbedaan teori itu
dapat dibagi menjadi sebagai berikut:
Pertama:
Teori yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M. Teori
ini dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis Belanda, seperti Pijnapel,
Snouck Hurgronje, dan Morrison. Menurut mereka, Islam datang ke Indonesia bukan
dari Arab langsung melainkan dari Gujarat. Adapun di Indonesia, pendapat ini
diusung oleh Hoesein Djajadiningrat. Namun berbeda dengan para sarjana barat,
ia mengatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari Persia.
Kedua:
Teori yang mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 M dan
berasal langsung dari Arab. Teori ini dikemukakan oleh Crawfurd, Keyzer,
Niemann, De Hollander, Veth, dan para sarjana Muslim, seperti Hamka dan A.
Hasymy.
Ketiga:
Teori yang mengkompromikan kedua teori di atas, yaitu memang benar Islam telah
datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M, namun baru berkembang
secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 M. Teori
ini dianut oleh J.C. van Leur dan Taufik Abdullah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Taufik. Sejarah Umat Islam Indonesia. Majelis Ulama Indonesia, 1991.
al-Alusi,
Adil Muhyiddin, Dr. Al-‘Urûbah wa al-Islâm fi Janûb Syarqî Asia: Al-Hind wa
Indonesia. Penerjemah H. Salim Basyarahil. Jakarta: Gema Insani Press, 1992
Ambary,
Hasan Muarif, Prof. Dr. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis
Islam Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Azra,
Azyumardi, Prof. DR. M.A. Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan
Kekuasaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000.
Badawi,
Abdurrahman. Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terjemahan Amroeni Drajat, cet.II.
Yogyakarta: LKiS, 2003.
Hamka,
Prof. Dr. Sejarah Umat Islam. Singapura: Pustaka Nasional, 2001.
Sunanto,
Musyrifah, Prof. Dr. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2007.
Supriyadi,
Dedi, M.Ag. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Suryanegara,
Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung:
Mizan, 1995,
Tim
Penulis. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi).
Jakarta: CeQDA, 2007.
www.swaramuslim.net.
“Sejarah Islam Nusantara”, diakses pada 28 Desember 2009
Yatim,
Badri, Dr. M.A. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta:
Rajawali Pers, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...