Oleh: Abu Aisyah
Sebagaimana anak kecil lainnya, ketika
saya masih kecil maka paling tidak suka kalau harus minum obat ketika sakit. Walaupun
dengan rayuan dari ibu bahwa obat itu tidak terlalu pahit namun selalu berujung
dengan rasa pahit yang bagi saya luar biasa. Paling-paling ibu akan mengucapkan
kata-kata sederhana “Namanya juga obat ya pahit”
Tiga puluh tahun lebih sudah berlalu,
ternyata perkembangan teknologi obat masih lambat sehingga rasa obat sejak
dahulu hingga saat ini masih terasa pahit. Ada beberapa jenis obat yang
ditambah dengan beberapa perasa buatan yang sedikit mengurangi rasa pahit
tersebut namun tidak mewakili rasa obat yang masih tetap pahit.
Ternyata tidak hanya obat untuk
mengobati penyakit fisik yang terasa pahit, bahkan obat yang digunakan untuk
mengobati sakit psikis terasa lebih pahit lagi. Pahitnya bukan hanya terasa di
lidah namun merasuk hingga ke jantung hati dan setiap sendi jasmani. Pahitnya obat
inilah yang sering kali saya rasakan, tidak banyak yang bisa diceritakan selain
sakit di hati yang selalu membebani diri. Ketika obat itu ditawarkan oleh
seseorang untuk menyembuhkan yang terasa adalah pahit yang kian menjadi.
“Namanya juga obat ya pahit” suara pelan
itu kembali terngiang di telinga ini. Memang obat itu akan terasa pahit ketika
menyentuh langit-langit mulut dan kerongkongan, namun efeknya akan terasa
ketika telah melewati keduanya. Bahkan dengan izin Allah ta’ala jika obat
tersebut cocok dengan penyakit yang diderita maka sakit yang ada akan sembuh
atau minimal berkurang nyerinya.
Menikmati pahitnya obat adalah sebuah
perjuangan luar biasa, jika obat itu hanya untuk mengobati luka di anggota
badan mungkin hanya sampai mulut dan tenggorokan saja pahitnya. Namun jika obat
itu adalah luka jiwa dalam dada maka pahitnya obat itu akan terasa hingga
merasuk ke sukma. Siapa saja yang menelannya akan merasakan efek yang luar
biasa, jika kekebalan jiwanya terjaga tentu perlahan obat itu akan mengurangi
derita batinnya. Tapi jika ternyata luka di jiwa itu sudah parah luar biasa
maka “gila” karena senyawa jiwa yang menolak obat itu bisa terjadi dengan
sendirinya.
Pahitnya obat bagi penyakit di dada
memang luar biasa, namun bukan berarti kita harus meninggalkannya. Karena jika
luka di jiwa ini tidak dicari penawarnya bisa jadi akan mengakibatkan sukma ini
akan menderita selamanya, tidak hanya di dunia namun juga di akhirat sana. Oleh
karena itu telahlah obat itu walaupun pahit rasanya, jika tidak bisa sekaligus
bertahaplah dalam mengonsumsinya. Jangan pernah berhenti… karena jika berhenti
maka luka jiwa itu akan kembali menganga bahkan bisa jadi akan mengakibatkan
matinya jiwa sebelum raga ini hancur binasa… saya akan terus menelan pahitnya
obat ini, walaupun mungkin sekali-kali akan memuntahkan obat itu lagi. Semoga saja
Allah meridhai, bukankah tugas kita adalah berusaha? Sembuh dan tidaknya
penyakit jiwa berada di tanganNya Yang Mulia…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...