Senin, 07 Februari 2011

Sejarah Kepenulisan Dalam Islam



Budaya baca tulis telah ada semenjak Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad Shalala Alaihi Wasalam. Surat Al-‘Alaq yang disepakati oleh para ulama sebagai wahyu pertama yang diturunkan kepada beliau, memiliki tiga cakupan yang sangat prinsipil: pertama; menjelaskan hikmah penciptaan manusia, keutamaan perintah membaca (iqra’) dan menulis (‘allama bi al-qalam) sebagai keutamaan manusia dari makhluk-Nya yang lain. Kedua; menjelaskan tentang ketamakan manusia terhadap duniawi dan akhirnya hancur karena kecintaannya terhadap dunia, ketiga; mengkisahkan tentang Abu Jahal yang membangkang terhadap ajaran Nabi.1
Wahbah Zuhaili juga menggambarkan bahwa nilai normatif yang ada pada wahyu pertama ini, lebih mengajak kepada manusia untuk memahami urgensi membaca dan menulis. Melalui wahyu pertama, Tuhan memberikan mukjizat kepada Nabi yang dikenal buta huruf, hal ini sebagai pertanda bahwa Tuhan menganugerahkan kepada manusia ‘akal’ yang menjadikan manusia lebih bernilai dibanding makhluk-Nya yang lain. Perintah baca (iqra’) kepada orang yang buta huruf seperti Muhammad tidak dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan atau merendahkan. Tapi, justru hal ini menggambarkan bahwa Tuhan mengantarkan manusia dari dunia ‘gelap’ menuju dunia ‘cerah’ melalui budaya membaca dan menulis.
Dalam wahyu pertama itu, Tuhan menyebutkan kata iqra’ (baca) pada awal surat, kemudian dikaitkan dengan kalimat selanjutnya bismi rabbika al-ladzî khalaq (dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan). Kemudian Tuhan menyandingkan kata iqra’ (baca) dengan kata ‘allama bi al-qalam (yang mengajari dengan qalam [menulis]). Dalam pandangan Wahbah, sandingan ini memiliki kekuatan yang sangat penting bagi manusia, bahwa Tuhan, selain memerintah untuk membaca, juga memerintah untuk menulis.
Dalam hadits-hadits Nabawi disebutkan tentang pentingnya pendidikan baca-tulis, belum genap satu tahun beliau tinggal di Madinah, beliau langsung menulis piagam yang dikenal dengan “Undang-Undang Negara Modern,” meminjam istilah beberapa peneliti. Piagam tersebut mengatur hubungan antara kaum Muhajirin (Mekah) bersama kaum Anshar (Madinah) di satu pihak, dan kaum Muslimin bersama kaum Yahudi di pihak lain. Menurut Azami, Madinah menjadi sebuah negara bagi kaum Muslimin. Sebuah negara menuntut adanya tata tertib, fasilitas, dan administrasi yang jelas. Sehingga tumbuh diwan-diwan atau kesekretariatan pada masa Nabi saw.
Tentang tradisi tulis menulis ini, akhirnya Prof. Azami menyimpulkan: ”Ketika Islam datang, jumlah para penulis masih dibilang minim (di kalangan kaum Quraisy hanya terdapat 17 orang). Tetapi, berkat strategi pengajaran yang diterapkan Nabi saw., ilmu pun tersebar luas dalam waktu yang sangat singkat. Sehingga, jumlah para sahabat yang menulis untuk Nabi ketika itu mencapai enam puluh orang. Dengan merujuk sumber-sumber yang cukup memadai di tengah-tengah kita sekarang ini, kita dapat menggambar grafik yang luas bagi aktivitas tulis-menulis atau administrasi pada masa beliau.” Mengutip kembali Al-Baqilani, Azami menyatakan, “Nabi Shalala Alaihi Wa Salam mempunyai banyak jamaah yang hebat dan cerdas. Semuanya dikenal sebagai sekretaris beliau, dan berasal dari kalangan Muhajirin dan Anshar.”
Setelah beliau wafat, literasi Islam berkembang luar biasa dan dijadikan sarana bagi perkembangan ilmu-ilmu Kauniyyah dan Ilmu Qauliyyah. Selain itu ia juga menjadi wasilah dakwah bagi menyebarnya Islam ke penjuru dunia. Sebagai sebuah wasilah dakwah, pendidikan kepenulisan memiliki peran yang sangat vital. Ia turut menjadi penentu bagi berhasil tidaknya suatu dakwah.
Dari sinilah urgensi pendidikan literasi tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sudah saatnya literasi Islam kembali bangkit memberikan nilai positif bagi dunia literature yang ada.

1 Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, Jilid 7, 1991

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...