Selasa, 25 Maret 2014

Kaidah Kulliyyat

A.     Pengertian
Hukum syara’ secara umum merupakan  hukum umum (kulliyat), sedikit sekali  yang merupakan  hukum khusus. Diantara  hukum syara’ terdapat  hukum-hukum kulliy yang digali oleh para mujtahid dari satu atau berbagai  macam  dalil, karena mereka menemukan bahwa  satu atau beberapa dalil tersebut mengandung illat atau makna yang setara dengan illat, sehingga mereka mempu membentuk hukum kulliy yang mencakup berbagai bagian.[1]
Hukm kulliy dalam istilah ushul fiqh  dinamakan dengan kaidah kulliyat.

B. Bentuk Kaidah Kulliyat.
Berikut beberapa kaidah-kaidah kulliyat[2]:

             اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ  حَرَامٌ
Perantara yang  akan menghantarkan kepada  yang haram  adalah haram. Dalil kaidah ini :

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

 “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am [6]: 108)

Dalam ayat ini Allah melarang mencaci  tuhan orang kafir. Illat dalam ayat ini dihasilkan  karena mencaci  tuhan-tuhan  orang kafir, yang akan berakibat pada caci maki terhadap Allah. Dari ayat ini lalu digali kaidah bahwa perantara yang  akan menghantarkan kepada  yang haram  adalah haram.

             مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلاَّبِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Perkara yang menjadi penyempurna yang wajib, adalah wajib pula hukumnya.
Contohnya adalah membasuh  kedua  tangan sampai siku adalah wajib. Khitab syar’i-nya adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ..


 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,“(QS. Al-Maidah [5]: 6).

Contoh kedua:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (56)
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. An-nur [24] :56)

Di antara perkara yang  menyempurnakan  shalat adalah berwudhu, berwudhu menjadi syarat sahnya shalat, yakni bagi sesuatu yang wajib.
Begitu pula dengan hukum hudud, yang wajib ditegakkan berdasarkan  nash-nash ayat. Akan tetapi hal itu tidak akan sempurna kecuali dengan adanya  imam (kepala Negara). Dari sini maka mengangkat Imam (khalifah) bagi kaum muslimin adalah wajib.

             قَاعِدَةُ اْلإِسْتِصْحَابُ
Secara bahasa adalah  tuntutan persahabatan (bersama-sama). Setiap perkara yang tidak dapat dipisahkan dari perkara lain berarti  telah menyertainya. Istishhabmerupakan hukum yang  menetapkan  tetapnya suatu perkara pada waktu kedua berdasarkan   ketetapan  pada waktu pertama. Yakni, tetapnya suatu perkata di masa kini berdasarkan ketetapannya di masa lalu.

Objek pembahasan istishhab adalah  apabila  suatu hukum telah ditetapkan berdasarkan dalil, dalil ini tidak menunjukkan tetapnya hukum dan berlaku terus menerus, dan tidak  ada dalil lain yang menunjukkan tetapnya hukum dan berlaku secara langgeng serta mujtahid tidak menemukan satu dalilpun yang merubah atau menghilangkan hukum itu.

        Perkara yang keluar dari kaidah istishhab:
a)      Perkara yang keberadaanya dan kelanggengannya telah ditunjukkan melalui  dalilagli, seperti wajib tentang wujud Allah.
b)      Perkara yang bersifat tetap dan berlaku terus-menerus yang ditunjukkan melalui dalil  nagli.  Contonya: tidak bolehnya menerima kesaksian orang yang telah menuduh zina (qadzaf).

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4)

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”(QS. An-nur [24]: 4).

Begitu juga kelanggengan jihad:
اَلْجِهَادُ مَاضٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Jihad itu berlaku  terus-menerus hingga hari kiamat.[3]
Keduanya telah ditetapkan dengan dalil khusus bukan  dengan dalil istishhab.


Contoh kasus kaidah Istishhab:
a)      Orang yang mendakwa  istri yang dinikahinya dan telah dicampurinya tidak perawan (sebelumnya) maka dakwaannya tidak dipercaya, kecuali dengan bukti yang nyata. Yang menjadi asal pada wanita adalah kegadisannya, ini fixed sejak lahir.
b)      Seseorang yang  mendakwa bahwa dia  mempunyai piutang  terhadap orang lain, maka dakwaan tersebut  tidak bisa diterima  kecuali dengan bukti.Perkataan yang diterima adalah perkataan  terdakwa memberlakukan perkataan sebelumnya.
c)      Apabila seseorang  membeli  anjing dengan asumsi bahwa  anjing tersebut adalah anjing yang terdidik, kemudian  dia mendakwa bahwa anjing tersebut tidak terdidik, maka dakwaannya bisa diterima dengan memberlakukan  keadaan sebelumnya. Sebab yang menjadi asal  pada binatang adalah tidak terdidik.
d)      Apabila orang bertayammum, kemudian di tengah shalatnya ia melihat air, maka shalatnya tidak batal dengan memberlakukan keadaan sebelumnya (istishhaban lil hal). Sebab sebelumya telah diputuskan keshahihanya.

             Kaidah Dharar قائدة الضرار
Kaidah ini mencakup dua perkara:
a)      Suatu perkara dinyatakan dharar  dan tidak terdapat khitab syar’i  yang menunjukkan tuntutan  untuk mengerjakan atau meninggalkannya, atau pilihan antara meninggalkan atau mengerjakannya. Maka keberadaan perkara dharar tersebut merupakan dalil  atas keharamannya, karena Allah telah mengharamkan  sesuatu yang membahayakan, Kaidahnya adalah :
اَلْأَصْلُ فِي الْمَضَارِّ التَّحْرِيْمُ
         Asal sesuatu yang berbahaya adalah haram .
b)      Syari’ telah memperbolehkan   suatu perkara yang berbentuk  umum, akan tetapi dalam salah satu bagian  dari perkara yang mubah itu terdapat bahaya (dharar), maka bagian yang berbahaya atau yang akan mengakibatkan bahaya itu menjadi dalil atas keharamannya.
       Kaidahnya:
كُلُّ فَرْدٍ مِنْ  أَفْرَادِ الْمُبَاحِ إِذَا كَانَ ضَارًّا أَوْمُأَدِّيًا إِلَى ضَرَرِ حُرِّمَ ذَالِكَ الْفَرْدُ وَ ظَلَّ اْلأَمْرُ مُبَاحًا
“Setiap bagian  dari perkara-perkara  yang mubah apabila berbahaya atau akan mengakibatkan bahaya, maka  bagian tersebut diharamkan, sementara perkara yang mubah (lainnya) itu tetap statusnya mubah.”
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ
“Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) atau membahayakan orang lain dalam Islam.”[4]

       Contoh kasus :
1.       Apabila seseorang mempunyai pohon, dahannya memanjang sampai ke rumah tetangga, maka dia dituntut untuk  meninggikan atau memotongnya.
2.       Setiap orang dilarang  mengelola sesuatu yang dimilikinya dengan bentuk pengelolaan yang dapat membahayakan tetangganya, dengan bau ataupun asapnya.
3.       Dilarang mendirikan pabrik  kimia di daerah  yang padat penduduknya supaya  penduduk tidak terganggu  dengan asap atau gas dari pabrik tersebut.
4.       Apabila ada seekor  ayam jantan  milik seseorang  menelan mutiara berharga milik orang lain, maka si pemilik mutiara bisa memiliki ayam jantan tersebut sesuai dengan harganya untuk disembelih dan mengambil mutiara miliknya.
5.       Hakim berhak  melarang  orang yang berhutang  untuk melakukan perjalanan berdasarkan tuntutan orang yang memiliki piutang sampai ia mengangkat wakil untuk menyelesaikan tuntutan.
6.       Orang yang bodoh dilarang melakukan  transasksi agar bisa menghindari bahaya bagi dirinya atau keluarganya karena ketidakmampuannya bertransaksi.


             Istihsanاِسْتِحْسَانٌ 
Istihsan dari segi bahasa artinya  ‘menganggap baik’. maksudnya adalah penentuan hukum suatu masalah dengan mengedepankan aspek yang dianggap lebih baik daripada hokum yang lain, selama itu masih dalam koridor memperhatikan esensi tujuan syariat.[5]

Pembagian istihsan berdasar sanadnya ;
1.       Istihsan yang disandarkan pada tradisi, seperti  akad pesanan atau order. Meskipun itu adalah akad atas sesuatu yang tidak ada, namun dapat dibenarkan secara istihsan. Contohnya adalah Anda memesan makanan untuk suatu acara  atau menjahitkan  kepada penjahit. Meskipun  makanan itu belum  ada wujudnya dan pakaian itu belum jadi, hal ini  tetap sah dalam hukum jual-beli. Karena seperti itulah tadisi yang berlaku  di masyarakat tanpa ada yang mengingkari. Demikian juga dengan wakaf harta atau  barang yang dapat  dipindahkan, dimana tidak ada nash yang mengaturnya. Akan tetapi karean wakaf seperti ini telah banyak dikenal, maka wakafnya tetap sah.Misalnya, wakaf buku dan lain sebagainya.
2.       Istihsan yang disandarkan pada keadaan darurat, seperti dimaafkannya percikan air kencing kepada pakaian, diampuninya kekeliruan atau kelalaian yang kecil, kesucian air sumur dan lain sebagainya.
3.       Istihsan yang disandarkan kepada kemaslahatan, seperti jaminan tenaga kerja, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada dirinya.
4.       Istihsan dengan alasan menghilangkan kesulitan yang ada, seperti kesalahan kecil dalam masalah muamalah.

Bentuk  istihsan yang lain :
1.       Dibolehkannya melihat aurat dalam rangka  pengobatan kedokteran sebagai pengecualian dari kaidah umum  yang mengharamkannya.
2.       Tidak diangapnya kategori  bunga  berlebih (riba al-fadl)  untuk ukuran-ukruan yang kecil, dikarenakan  susah menghitungnya. Sehingga diperbolehkan untuk melebihkan sedikit dalam transaksi barang yang banyak. Contoh : Anda meminjam beras sebanyak 100 kilogram pada seorang teman. Ketika Anda mengembalikan, ternyata kelebihan  setengah gram. Hal ini diperbolehkan, karena memang sulit untuk menghitung  hal-hal kecil dalam barang besar/ banyak jumlahnya.
3.       Memasuki kamar mandi yang tidak ditentukan  harga sewanya, jangka waktu pemakaiannya, dan tidak adanya  ketentuan banyaknya air yang digunakan. Meskipun  pada dasarnya hal ini dilarang, tetapi karena masyarakat memaklumi hal ini dan tidak adanya aturan yang ketat di sana, maka diperbolehkan.

             اِسْتِصْلاَحٌ / اَلْمَصْلَحَةُ الْمُرْسَلَةُ
Makna istishlah adalah  istidlal (pencarian dalil)  dengan menggunakan  al-maslahah al-mursalah, yakni  yang belum ada dalilnya secara khusus dari nash-nash syariat mengenai  pemberlakuannya atau pembatalannya, tetapi terdapat  dalil umum, bahwa syariat memelihara kemaslahatan  makhluk  dan seluruh hukum-hukum yang disyariatkan  bertujuan mewujudkannya, disamping bertujuan menghindari kerusakan dan  kesulitan dari mereka, baik secara material maupun immaterial, yang sudah terjadi maupun belum terjadi.[6]
Syarat Maslahah-mursalah menurut Al-Ghazali[7]:
1.       Harus masuk akal, sehingga ketika  disampaikan pada akal, akal dapat menerimanya, namun tidak boleh menyangkut hal-hal  ibadah, karena pada dasarnya masalah-masalah ibadah wajib diterima tanpa reserve.
2.       Secara keseluruhan harus sesuai dengan tujuan-tujuan syariat, yang mana  tidak  menghilangkan satu dasar pun dari dasar-dasar agama dan satu-dalil pun dari dalil-dalil yang  qath’i. Tetapi ia  harus sesuai dengan maslahat-maslahat  yang menjadi tujuan syariat.
3.       Maslahat mursalah harus  selalu mengacu kepada pemeliharaan hal-hal yang bersifat vital yaitu menghilangkan kesulitan dan hal-hal  yang memberatkan di dalam agama. .
Berbagai contoh Istishlah :
a.       Sebelum wafatnya, Abu Bakar  menunjuk Umar sebagai penggantinya  untuk menjadi khalifah  kaum muslimin, meski Rasulullah tidak melakukan hal itu.
b.       Istishlah mendorong Umar untuk memberlakukan pajak,  inventarisasi dokumen, menetapkan perbatasan kota-kota,  membuat penjara, dan hal lain yang belum pernah dilakukan Rasul SAW.
c.       Istishlah membuat Usman  menyatukan kaum muslimiin  dalam satumushaf, dan menyebarkanya keseluruh negeri  lalu membakar selainnya. Dia pernah juga memberikan warisan kepada seorang istri yang suaminya melakukan thalak al-faar.
d.       Ali bin Abi thalib, karena istishlah,  dia memerintahkan kepada Abul Aswad Ad-Duali untuk melakukan dasar-dasar ilmu nahwu.  Dia juga memerintahkan kepada para pekerja untuk mejamin  semua barang yang ada di tangannya.
e.       Muadz bin Jabal beristishlah dengan mengambil  pakaian Yaman sebagai ganti zakat-biji-bijian dan buah-buahan.
f.        Para khalifah  sesudah  khulafaurrasyidin    mendiriakan pos  dan melakukan Arabisasi semua dokumen,  membuat mata uang, dan praktek kenegaraan lain  tanpa ada seorang ulama pun yang memprotes usaha merea.
g.       Imam Abu Hanifah  mengatakan kaharusan mengarantina atau mengasingkan  seorang mufti yang tak bermoral,  dokter yang ceroboh,  dan kontraktor yang bangkrut.
h.       Istislah mendorong  jumhur fuqaha  untuk mengatakan bolehnya memerangi  orang muslim, jika berkomplot dengan kaum  kafir.
i.         Ibnu Taimiyyah  berpendapat bahwa yang wajib ditempatkan untuk setiap jabatan adalah yang paling besar maslahatnya sesuai jabatan itu sendiri. Bila hanya ada dua pilihan untuk sebuah jabatan, dimana yang satu lebih amanah dan yang lain lebih kuat, maka yang didahulukan adalah yang lebih bermanfaat dan lebih sedikit mudharatnya untuk jabatan itu. Untuk jabatan tempur misalnya, lebih diutamakan laki-laki yang lebih kuat meskipun pada dirinya ada kemaksiatan dari pada laki-laki yang lemah meskipun lebih shalih.[8]




         C. Perbedaan Pendapat Seputar Kaidah Kulliyat

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan   kaidah kulliyat ini. Atha’ bin Khalil (ulama HT) tidak memasukkan kaidah istihsan dan  istislah / maslahat mursalah dengan alasan keduanya bukanlah dalil syara’. Begitu juga kaidahsyar’un man qablana dan madzhab sahabat, merujuk pada surat  An-Nisa ayat 59:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

”Jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. ”

Lebih lanjut mengenai istihsan,  Atha’ bin Khalil  berpendapat bahwa setiap muslim dituntut untuk mengikuti  hukum Allah dan Rasul-Nya, atau  yang ditunjuk oleh keduanya, yaitu  Ijma sahabat dan Qiyas. Sedangkan istihsan yang berarti  beralih dari  suatu dalil tanpa adanya dalil, tidak termasuk mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasulnya.[9]

Mengenai maslahah-mursalah Atha’ bin Khalil menjelaskan, kemaslahaan yang sebenarnya adalah kemaslahatan  berdasarkan dalil syara’. Dimana ada perintah syara’,  di sana ada kemaslahatan. Sedangkan maslahat mursalah adalah menghukumi yang didasarkan pada maslahat yang tidak ditetapkan oleh syara’. Kedua, membangun suatu hukum atas dasar kemaslahatan yang tidak diakui oleh syara’ berarti menjadikan  akal yang tidak didukung oleh dalil sebagai hakim. Ini tidak diperbolehkan.[10]

Dr. Yusuf Qaradhawi menerangkan bahwa memang para ulama dalam hal ini berbeda, ada yang menganggap  tidak ada dan ada pula  yang menganggapnya sebagai hukum pasti.  Ada juga yang saklek dan ada juga yang luwes. Menyempitkan dan  yang meluaskannya. Semuanya memberikan khasanah  yang luas  bagi ahli fikih, sehingga memungkinkan  mereka beristinbat dan mentakhrij serta melapangkan  makhluk Allah melalui syariat dan dalil-dalilnyayang melimpah.[11]

Terkait pendapat Atha’ bin Khalil yang tidak memasukkan kaidah istihsan dan  Maslahat mursalah, berikut  pendata Dr. Yusuf Qaradhawi mengenai kedua hal tersebut:

Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, istihsan  bukan berarti semata-mata  menuruti syahwat dan hawa nafsu tanpa  bersandar pada sumber asli, akan tetapi maknanya adalah  mendahulukan kemaslahatan  sebagai  bagian yang standar atas qiyas yang bersifat umum,  atau mendahulukan qiyas yang alasannya tidak begitu jelas, namun pengaruhnya  sangat lemah. Atau melakukan  pengkhususan yang umum dengan dalil  yang standar atau sejenis.

Imam Asy-Syatibi Al-Maliki, dalam hal ini  mengatakan: ”istihsan menurut kami  dan pengikut madzhab Hanafi  adalah mengamalkan dalil  yang lebih kuat di antara  dua dalil yang  ada. Mengambil  dalil yang umum  jika memungkinkan dan menggunakan  qiyas jika tidak ada dalil yang lain. Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa istihsan yaitu mengkhususkan yang umum dengan  dalil  apapun dan pengecualian qiyas dari dalil apapun.”  Imam Malik  juga menyatakan, ”sembilan persepuluh ilmu adalah istihsan”. Begitu juga muridnya, Ashbagh, menyatakan, ”orang yang tenggelam dalam qiyas, dia nyaris  meninggalkan dari Sunnah. Dan istihsan adalah tiang ilmu.”[12]

Mengenai istishlah/maslahat mursalah, Dr. Yusuf menyatakan bahwa  Jumhur ulama –dari segi praktek- memasukkan al-maslahat al-mursalah sebagai dalil syar’i yagn menjadi landasan bangunan tasyri’ atau  fatwa atau pengadilan (qadha’). Orang yang membaca kitab-kitab fikih di madzhab yang berbeda-beda akan menemukan ratusan contoh  hukum yang tidak diperinci, kecuali berdasarkan kemaslahatan  yang ingin dicapai  atau kerusakan yang ingin dihindari.[13]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...