Selasa, 04 Maret 2014

Kisah Pisang Rebus dan Buah Dukuh

Oleh: Abdurrahman

Hujan baru saja reda, gemericiknya masih tersisa di antara sela-sela bebatuan di ujung kampung. Tak banyak yang bisa saya lakukan selain menunggu matahari kembali bersinar di antara awan-awan yang masing menutupinya. Sambil bersandar pada dipan bambu di depan rumah, saya menikmati manisnya buah dukuh. Selain saya, ada adik, ayah yang sedang memperbaik bagian rumah dan ambu yang sedang memasak di bagian belakang saung. Hari ini kami rencananya akan membersihkan rumput-rumput yang tumbuh di sekitar tanaman padi yang kami tanam di huma. Namun karena hujan turun terpaksa kami berhenti dan berteduh pada saung di tengah huma (ladang).
Kami adalah satu di antara keluarga Baduy yang setiap harinya bekerja di huma dengan menanam padi sebagai pekerjaan pokok. Setiap hari, ayah, ibu, saya dan adik berangkat ke huma untuk memelihara tanaman padi yang kami tanam. Lokasinya yang berbukit-bukit memaksa kami untuk bekerja keras dalam menanamnya. Larangan-larangan yang dibuat oleh kepala suku juga harus kami taati seperti tidak boleh mencangkul tanah, memberikan pupuk buatan hingga tidak boleh menggunakan alat-alat modern dalam kehidupan sehari. Hari. Kami merasakan bahwa larangan-larangan itu pasti ada manfaatnya buat kami dan juga manusia semuanya. Hal itu pernah saya dengar dari beberapa teman yang suka pergi ke kantor Desa Kanekes bahwa komunitas kami mendapatkan penghargaan Kalpataru karena berhasil menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Saya sendiri tidak tahu apa itu Kalpataru atau lingkunga hidup, saya tidak pernah sekolah karena memang dilarang oleh ketua suku kami. Sehingga saya juga tidak bisa membaca dan menulis, hanya sesekali jika ada pengunjung yang datang ke komunitas kami mereka sedikit mengenalkan tata cara menulis. Kakak saya yang pertama sudah bisa menulis namanya dengan arang bekas pembakaran di bambu rumah. Kalau saya sih baru tahu beberapa huruf yang digunakan untuk mengeja nama saya…. eS A em, i dan eN.
Sepertinya matahari masih malu menampakan dirinya, padahal  kami sudah sangat ingin untuk menyaksikan sinarnya yang menyinari kawasan Pegunungan Kendeng tempat komunitas kami berada. Gerimis masih setia menyirami setiap jengkal tanah di sekitar saung, ketika sayup-sayup terdengar dari kejauhan suara orang berjalan dari arah barat. Tampak seorang laki-laki muda berbaju kaos warna kuning dan tas punggung di belakang tubuhnya. Lelaki itu tampak lelah dengan berkeringat bercucuran bercampur dengan air hujan yang membekas di bagian tubuhnya. Bajunya juga separuh basah dengan celana setengah betis berwarna hijau tua. “Punten…” lelaki itu masuk ke beranda saung kami meletakan tasnya di dipan tempat saya duduk dan menyandarkan tubuhnya di dipan bambu. “Mangga” ayah dan ambu menjawab hampir bersamaan. “arek ka mana?” Tanya ayah pada lelaki itu. Kami segera masuk ke dalam untuk mengambil baju dan memakainya. Maklum sedari tadi saya tidak memakai baju walaupun udara dingin, bagi kami sudah biasa. “Mau ke tangtu Cikeusik” kata lelaki itu.
Ayah segera menyodorkan buah dukuh yang sedari tadi kami makan bersama, lelaki itu segera mariahnya dan menyantapnya dengan lahap. Sepertinya di tengah hari seperti ini ia belum makan sehingga tampak lahap memakan buah dukuh itu. Sambil menikmati buah dukuh, tangannya membuka tas warna hitam di dekatnya. Ia mengambil beberapa bungkus permen dan menyodorkan kepada saya dan adik saya. “Ambil saja” Ayah memberi isyarat untuk menerima permen tersebut. masing-masing kami mendapatkan tiga permen, saya sendiri segera membukanya dan mengunyah permen tersebut. Rasanya manis, lebih manis dari buah dukuh yang saya makan tadi. Ini adalah makanan orang-orang kota yang jarang sekali kami nikmati, kami hanya terbiasa dengan makan buah dukuh, durian, pisang dan buah-buahan di hutan lainnya. Melihat lelaki itu memberikan permen ayah segera menyuruh kami untuk memberikan kembali buah dukuh yang masih ada di sudut ruang, selain itu ditambah pula pisang rebus yang menjadi menu makan siang kami. Awalnya lelaki itu menolak tapi akhirnya ia menerimanya dan memakan kembali buah dukuh tersebut.
Laki-laki itu kembali membuka tasnya dan mengambil sesuatu dari dalamnya, ia meraih serenceng kopi dan sebungkus kerupuk mentah. Ia memberikannya kepada ayah yang langsung memberikannya kepada ambu. Sepertinya lelaki itu ingin memberikan balasan atas buah dukuh dan juga pisang rebus yang dimakannya. Namun, barang-barang yang diberikannya sangat asing di mata kami. Kerupuk mentah yang terbungkus itu belum pernah kami lihat, hingga ambu bertanya “ini bagaimana cara memasaknya? Direbus atau diapakan”, lelaki itu sedikit heran menjawab “ya digoreng baru bisa untuk makan dengan nasi”. Ambu menghela napas panjang “kami tidak biasa menggoreng, minyaknya tidak ada uang untuk membeli minyak juga tidak ada” kata ibu polos. Lelaki itu melongo, sepertinya heran dengan penjelasan ambu tadi. Memang, keluarga kami jarang sekali makan sesuatu yang digoreng, kami hanya makan nasi ditambah dengan ikan asin atau garam. Kalau ada sayur biasanya daun singkong atau daun lainnya yang direbus dengan ditambah garam, itu saja tidak lebih. Berbeda dengan orang kota yang makanannya enak-enak.
“Nih ada uang Rp 3000 untuk membeli minyak goreng” lelaki itu menyerahkan tiga lembar uang ribuan dari dalam tasnya. Ayah menerimanya dan memasukannya ke dalam kantong bajunya. Saya berfikir dalam hati “Mungkin lelaki ini ingin membalas budi atas pemberian buah dukuh dan pisang rebus itu” setelah puas menikmati buah dukuh dan pisang rebus sampia habis, lelaki itu segera berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya mengelilingi Tanah Baduy. Kami memandang lelaki itu dari kejauhan, benar apa yang dikatakan oleh orang-orang tua zaman dahulu, kalau kita menolong orang lain pasti kita akan ditolong juga. Walaupun kami tidak merasa menolong lelaki itu, namun ia merasa telah tertolong dengan mengganjal perutnya yang mungkin lapar karena sudah tengah hari belum makan. Walaupun hanya buah dukuh dan singkong rebus, namun baginya cukup untuk bekal perjalanan menuju ke kampung Cikeusik Baduy Dalam. Mulia sekali hati lelaki itu, semog saya bisa lebih banyak membantu orang lain, meneolong mereka dan memberikan yang terbaik untuk seluruh manusia di dunia ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...