Selasa, 04 Maret 2014

Teori Penyerapan Hukum Islam

Oleh: Abdurrahman MBP

Penyerapan hukum Islam oleh komunitas adat adalah sebuah fenomena yang terjadi di Indonesia. Maka untuk mendeskripsikan fenomena ini peneliti juga menggunakan teori resepsi (receptie) sebagai Middle theory. Teori ini digunakan untuk menjelaskan lebih lanjut masalah penyerapan hukum Islam oleh masyarakat di Indonesia maka. Teori resepsi adalah teori mengenai penyerapan hukum Islam oleh masyarakat Indonesia karena beberapa alasan, sebagian karena kesadaran akan konsekuensi syahadatnya, sebagian karena peraturan dari pemerintah menghendaki demikian dan karena kondisi lingkungan mengharuskan hal tersebut.
Penyerapan hukum Islam oleh masyarakat di Indonesia telah menarik  perhatian beberapa cendekiawan dari Belanda untuk melakukan studi dengan tema ini. Maka munculah beberapa teori mengenai hal ini yaitu teori receptio in complexu dan theory receptie. Kedua teori ini setelah masa kemerdekaan dikritik oleh para ahli hukum dalam negeri dengan theory receptie exit dan theory receptio a contrario. Berikut adalah pembahasannya:    
Teori pertama tentang penyerapan hukum adalah teori receptio in complexu yang dirumuskan oleh Lodewijk Willem Cristian Van Den Berg (1845-1927).[1] Sebelumnya teori ini juga disebutkan oleh H.A.R. Gibb, Menurut teori ini bagi orang Islam yang berlaku penuh adalah hukum Islam sebab dia telah memeluk Islam walaupun dalam pelaksanaannya masih terdapat penyimpangan-penyimpangan. Secara fakta teori Berg lebih rinci dibandingkan teori yang dikemukakan H.A.R. Gibb, sebab prakteknya hingga sekarang umat Islam di Indonesia masih banyak yang belum taat dalam menjalankan ajaran Islam. Ketaatan mereka masih terbatas pada shalat lima waktu, zakat, puasa dan haji, sedangkan ajaran Islam lainnya masih kurang diperhatikan misalnya ajaran Islam tentang ekonomi dan perbankan Islam.[2]
Teori penerimaan hukum ini kemudian dikenal dengan istilah receptio in complexu yaitu penerimaan hukum Islam secara keseluruhan oleh masyarakat yang beragama Islam. Karakteristik dari teori ini adalah:
1.        Hukum Islam dapat berlaku di Indonesia bagi pemeluk Islam
2.        Umat Islam harus taat pada ajaran Islam
3.        Hukum Islam berlaku universal pada berbagai bidang ekonomi, hukum pidana dan hukum perdata.[3]
Teori ini menjadi acuan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah penjajah waktu itu dengan dikeluarkannya peraturan dalam Regeering Reglement (RR) th.1855, Statsblad 1855 Nomor 2. RR merupakan Undang-Undang Dasar Hindia Belanda. Bahkan dalam ayat 2 pasal 75 RR itu ditegaskan: ”Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia itu atau dengan mereka yang dipersamakan dengan mereka maka mereka tunduk kepada hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama (godsdienstige wetten) atau ketentuan-ketentuan lama mereka”.
Teori ini kemudian digantikan oleh teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam di Indonesia baru berlaku apabila hukum adat menghendaki hal tersebut. Teori ini merupakan hasil dari penelitian Christian Snouck Hurgronye (1857-1936) yang dilakukan di Aceh dan Gayo. Ia menyimpulkan bahwa hukum Islam di Indonesia baru berlaku ketika telah diterima (receptie) oleh hukum adat. Teori ini tidak lepas dari kepentingan bangsa penjajah waktu itu yang ingin melemahkan perjuangan umat Islam di Indonesia. Teori ini kemudian dikuatkan oleh kebijakan pemerintah kolonial dengan dikeluarkannya Wet op De Staatsregeling (IS) atau IS (Indische Staatsregeling) tahun 1929 Pasal 134 ayat (2) yang berbunyi: ”Dalam hal terjadi masalah perdata antar sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh Hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya”.[4] 
Teori ini mendapat pertentangan yang sengit dari kalangan umat Islam dan juga tokoh-tokoh hukum Belanda, Hazairin menyebut teori ini sebagai teori Iblis karena telah mematikan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Sementara Mr. Scholten van Oud Haarlem menulis sebuah nota kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap Bumiputera sebagai pencegahan terhadap perlawanan yang akan terjadi, maka diberlakukan pasal 75 RR (Regeering Reglement) suatu peraturan yang menjadi dasar bagi pemerintah Belanda untuk menjalankan kekuasaannya di Indonesia, S. 1855: 2 memberikan instruksi kepada pengadilan agar tetap mempergunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan itu sejauh tidak bertentangan dengan kepatutan dan keadilan yang diakui umum.
Teori yang dirumuskan Hazairin dikenal dengan teori receptie exit yang berarti bahwa setelah Indonesia merdeka dan setelah UUD 1945 dijadikan UUD negara, maka walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan ajaran receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Setelah Proklamasi, kemudian Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku yang di dalamnya ada semangat merdeka di bidang hukum. Dengan peraturan peralihannya guna menghindari kevakuman hukum masih diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan bangunan-bangunan hukum yang ada selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Beliau berpendapat bahwa banyak aturan pemerintah Hindia Belanda yang bertentangan dengan UUD. Pertentangan tersebut terdapat pada pembukaan Undang-Undang Dasar Alinea ke III dan Alinea ke IV serta pada Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Kesimpulan dari teori ini adalah:
1.    Teori receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara Indonesia sejak Tahun 1945 dengan merdekanya bangsa Indonesia dan memulai berlakunya UUD 1945 dan dasar negara Indonesia. Demikian pula keadaan itu setelah adanya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali pada UUD 1945.
2.    Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 maka negara Republik Indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional Indonesia bahannya adalah hukum agama. Negara mempunyai kewajiban kenegaraan untuk itu.
3.    Hukum agama yang masuk dan menjadi hukum Nasional Indonesia itu bukan hukum Islam saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama lain. Hukum agama di bidang hukum perdata dan hukum pidana diserap menjadi hukum nasional Indonesia. Istilah hukum baru Indonesia dengan dasar Pancasila.[5]
Selanjutnya muncul Teori Receptio A Contrario yang dikemukakan oleh Sajuti Thalib sebagi murid Hazairin, teori ini menyebutkan bahwa bagi umat Islam berlaku hukum Islam, hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam. Teori Receptio A Contrario memiliki unsur-unsur berikut:
1.      Hukum Islam berlaku di Indonesia
2.      Bagi umat Islam Indonesia berlaku hukum Islam.
3.      Hukum adat bisa berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.[6]
Semua teori tersebut memiliki banyak kelebihan dan kekurangan, maka untuk melihat pola-pola penyerapan hukum Islam yang dilakukan oleh masyarakat adat bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai teori, namun karena ruang lingkupnya adalah fakta hukum maka teori yang untuk digunakan adalah teori Receptie (penyerapan hukum).


[1] Sajuti Thalib, Receptio A Contratrio, Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam. (Jakarta:  Bina Aksara, 1985), c et. Kelima, hlm. 5
[2] Sajuti Thalib, Receptio A Contratrio, Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam. (Jakarta: Bina Aksara,1985), cet. Kelima, hlm. 5
[3] Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, hlm. 81.
[4] R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2000), cet. Ke-lima belas, hlm.10.
[5] Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), cet. Ketiga, hlm. 52.
[6] Lihat Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya. (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. I, hlm. 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...