Rabu, 26 Agustus 2020

Membaca dalam Bingkai Agama

Abdurrahman Misno BP


 Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan sangat menstimulus umatnya untuk membaca. Firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-‘Alaq ayat 1-5 menjadi landasan kuat bahwa membaca merupakan jalan menuju ilmu pengetahuan. Ayat ini juga secara teknis memberikan panduan bagaimana proses membaca haruslah diawali dengan dengan nama Rabb (Tuhan) yang telah menciptakan manusia dan seluruh alam semesta. Ini bermakna bahwa membaca itu haruslah diawali dengan keyakinan mendalam bahwasanya Sang Pencipta seluruh alam semesta ini adalah Dzat yang Tunggal (Esa) yaitu Allah Ta’ala, yang tidak ada sekutu baginya.

Dalam konteks aqidah maka hal ini adalah merupakan keyakinan atau tauhid Rububiyah, yaitu meyakini bahwasanya Allah Ta’ala adalah satu-satunya Pencipta alam semesta, tidak ada yang dapat menciptakan alam semesta kecuali hanya Dia. Allah adalah Sang Pencipta tunggal, pemilik tunggal, pemelihara tunggal dan Pengatur seluruh alama semesta. Dia memelihara semesta; memberikan rizki kepada seluruh makhluknya, termaasuk manusia, menetapkan takdirNya dan berkuasa atas segalanya. Maka buah pertama dari membaca adalah keyakinan bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Rabb (Pencipta), tidak ada selainnya. Demikian pula alam semesta ini bukan tercipta dengan sendirinya, seperti yang diungkapkan oleh orang-orang yang tidak percaya keberadaan Tuhan dari kalangan ateis.

Selanjutnya adalah perintah kembali untuk membaca yang diiringi dengan perintah untuk memuliakanNya. Makna memuliakannya adalah beribadah hanya kepadaNya, sehingga ayat ini terkait dengan tauhid uluhiyah atau ubudiyah, yaitu keyakinan bahwasanya hanya Allah Ta’ala satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi, tidak ada dzat lain yang benar untuk disembah, ditaati, dicintai dan tempat untuk bersandar. Hanya Allah Ta’ala satu-satunya Ilaah (sesembahan) yang berhak untuk disembah, sehingga jika ada orang yang beribadah kepada selainNya maka sejatinya ia telah terjatuh kepada kesalahan yang paling besar karena telah menyekutukannya.

Lanjutan dari ayat berikutnya adalah bagaimana Allah Ta’ala mengajarkan kepada umat manusia umumnya dengan perantaraan Qalam (pena). Dia telah mengajarkan semua hal kepada manusia seagala hal terkait dengan sendi-sendi kehidupan mereka di dunia dan juga di akhirat sana. Manusia lahir dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, kemudian Allah Ta’ala mengajarkan berbagai hal tentang kehidupan. Allah Ta’ala menganugerahkan hati, akal pikiran dan jasad sebagai seperangkat alat untuk mempelajari pengetahuan yang akan menyampaikannya kepada bukti akan keberadaan dan keesaanNya.

Jasad yang terdiri dari panca indra khususnya mata adalah alat untuk dapat mentadaburi kalamNya serta mentafakuri alamNya. Inilah makna dari membaca, yaitu tadabur kalamNya yang berupa Al-Qur’an dan Al-Hadits serta tafakur alamNya di semesta raya. Proses membaca ini akan melahirkan ilmu pengetahuan yang nantinya akan menguatkan keberadaanNya.

Membaca dalam konteks yang lebih sempit adalah memaknai setiap kata dan kalimat yang tersusun, baik berupa kalimat pendek, artikel, makalah, buku serta kitab suci. Sebagai umat Islam tentu saja perintah membaca haruslah diawali dengan membaca Al-Qur’an yang merupakan kalam (firman) Allah yang mulia. Stimulus membaca Al-Qur’an tercermin dalam sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam bahwa setiap huruf yang dibaca akan mendapatkan pahala 10 kali, sehingga satu kata dalam ayat Alif Laam Miim itu akan mendapatkan 30 pahala. Demikian pula perintah membaca Al-Qur’an akan memberikan manfaat bagi para pembacanya di mana Al-Qur’an akan mendatanginya pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat (penolong)nya.

Analogi dari hal ini adalah bahwa proses membaca lainnya semisal hadits, ilmu dan pengetahuan lainnya juga akan memberikan manfaat yang besar bagi pembacanya.

Selanjutnya setelah Al-Qur’an adalah hadits Nabawi, yaitu seluruh ucapan, tindakan, dan taqrir Nabi Muhamamd Shalallahu Alaihi Wassalam yang terbukukan dalam hadits-hadits beliau adalah bahan bacaan yang harus dibaca dan ditelaah oleh umat Islam. Studi mengenai hadits yang begitu intens tentu saja dilakukan dengan membaca setiap sanad, rawi, tabaqat hingga matan dari hadits tersebut. Proses bacaan para ulama ini melahirkan berbagai maha karya yang menjadi bahan bacaan bagi umat Islam lainnya. Sehingga hadits Nabi Nabi Muhamamd Shalallahu Alaihi Wassalam adalah bacaan selanjutnya setelah Al-Qur’an.

Al-Qur’an dan hadits yang menjadi bacaan utama umat Islam kemudian dijelaskan oleh para ulama dalam buku-buku mereka, sehingga umat Islam harus membacanya. Inilah kemudian yang melahirkan ilmu pengetahuan, membaca buku-buku para ulama yang berisi berbagai macam ilmu pengetahuan menjadi warisan bagia umat Islam untuk dibaca. Sehingga jika ada umat yang masih enggan membaca atau tidak tahu apa yang akan dibaca maka sejatinya para ulama terdahulu telah mewariskan jutaan buku yang menjadi obyek bacaan umat Islam.

Merujuk pada fakta ini maka dapat disimpulkan bahwa membaca bagi umat Islam adalah sebuah keniscyaan, bahkan ia menjadi amal sholeh yang mendatangkan pahala yang besar. Membaca juga menjadi sarana dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan terkait dengan masalah keyakinan atau aqidah yang akan membuktikan keberadaan Allah Ta’ala, keesaanNya serta mengetahui nama-nama dan sifat-sifatNya yang mulai. Selanjutnya membaca dalam konteks yang lebih luas untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga manusia akan mendapatkan kesejahteraan di dunia dan juga di akhirat sana.

Membaca dalam bingkai Agama bermakna membaca yang akan menguatkan keyakinan aqidahnya, menambah keshahihan dalam ibadahnya, serta kemanfaatan dalam muamalahnya. Oleh karena itu... Ayo membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...