Islam mencapai puncak kemajuan ilmu pengetahuan pada masa kedaulatan Abbasiyah yang berlangsung selama 508 tahun. Pencapaian itu tidak terlepas dari gerakan penerjemahan besar-besaran yang dilakukan sejak Khalifah Al-Mansur (745 M-775 M) hingga Harun Al-Rasyid (786 M-809 M). Kemudian dilanjutkan oleh putranya Al-Ma’mun (813 M-833 M).
Tidak tanggung-tanggung, Khalifah Harun Al-Rasyid membangun Baitul Hikmah sebagai pusat penerjemahan sekaligus sebagai perpustakaan. Kala itu, perpustakaan lebih berfungsi sebagai universitas, karena selain mengkoleksi kitab-kitab, di sana juga bisa membaca, menulis, dan berdiskusi. Berbagai bidang ilmu pengetahuan pun dikuasai umat Islam, baik astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, farmasi, biologi, fisika, hingga sejarah.
Sehingga tidak mengherankan, kalau pada masa-masa itulah lahir banyak ilmuwan muslim kaliber dunia. Seperti Jabir bin Hayyan atau Geber (721 M-815 M) ahli ilmu kimia, Al-Khawarizmi (780 M-846 M) ahli ilmu matematika, Al-Kindi (806 M-873 M) filsuf, Ibnu Sina (980 M-1043 M) atau Avicenna, yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Modern, dan masih banyak lainnya.
Bahkan, pada masa itu pula, imam mazhab fikih yang empat lahir. Di antaranya, Imam Abu Hanifah (700 M-767 M), Imam Malik (713 M-795 M), Imam Syafi’i (767 M-820 M), dan Imam Ahmad bin Hanbal (780 M-855 M).
Sejarah mencatat, pada abad ke-10 M, perpustakaan Baitul Hikmah di Kairo mempunyai 2 juta jilid buku. Perpustakaan di Cordova mempunyai 600.000 jilid buku. Perpustakaan Al-Hakim di Andalusia mempunyai berbagai buku dalam 40 kamar, yang setiap kamarnya berisi 18.000 jilid buku. Perpustakaan Abudal Daulah di Shiros (Iran Selatan) memiliki 360 kamar yang penuh dengan buku-buku.
Sementara itu, ratusan tahun sesudah itu, baru pada abad ke-15 M, menurut catatan Catholic Encyclopedia, perpustakaan Gereja Canterbury yang didaulat sebagai perpustakaan dunia Barat yang paling kaya, jumlah bukunya tidak melebihi 1.800 jilid buku. Tentu sangat jauh, kalau dibandingkan dengan masa-masa kegemilangan Islam.
Menurut Oliver Leaman, proses penerjemahan yang dilakukan ilmuwan muslim tidak sekadar menerjemahkan karya-karya Yunani, tetapi juga mengkaji teks-teks itu, memberi komentar, memodifikasi, dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam. Dante dalam Divine Comedia menyebut Ibnu Rusyd (1126 M-1198 M) sebagai “Sang Komentator” terbesar atas karya-karya Aristoteles.
Menurut Thomas Brown, proses asimilasi tersebut terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Sains, filsafat, dan kedokteran Yunani diadapsi sehingga masuk ke dalam lingkungan pandangan hidup Islam. Proses ini menggambarkan betapa tingginya tingkat kreativitas ilmuwan muslim, sehingga dari proses tersebut telah melahirkan pemikiran baru yang berbeda dari pemikiran Yunani, bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani.
Pada tahun 1258 M, pasukan Mongol memorak-porandakan Baghdad beserta 36 perpustakaan, termasuk Baitul Hikmah. Selanjutnya, Baghdad menderita kemunduran. Baitul Hikmah segera digantikan oleh kota-kota penting di Mesopotamia, Syria, Asia Tengah, Mesir, dan Iran. Seperti Universitas Sevill dan Malaga pada masa Yusuf Abu Al-Halaj (1333 M-1354 M). Peradaban pun dibangun kembali. (edithiya/mg)
http://www.majalahgontor.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=346:baitul-hikmah-sumber-kebangkitan-islam&catid=79:khazanah&Itemid=142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...