Cendekiawan Muslim Teragung
Umat Islam telah sampai ke tanah Spanyol
(Andalusia) semenjak zaman sahabat Rasul. Kedatangan mereka telah berhasil
mempengaruhi kehidupan masyarakat di sana khususnya dalam bidang keilmuan.
Sepanjang pemerintahan Islam di Spanyol, telah lahir sejumlah cendikiawan dan
sarjana dalam pelbagai bidang ilmu. Sebagian mereka ialah ahli sains,
matematika, astronomi, perobatan, filsafat, sastera, dan sebagainya.
Abu Bakr Muhammad Ibn Yahya al-Saigh atau
lebih terkenal sebagai Ibnu Bajjah adalah salah seorang diantara para
cendekiawan Muslim tersebut. Terlahir di Saragossa tahun 1082 M, Ibnu Bajjah
merupakan seorang sastrawan dan ahli bahasa yang unggul. Ia pernah menjadi
penyair bagi golongan al-Murabbitin yang dipimpin oleh Abu Bakr Ibrahim Ibn
Tafalwit.
Selain itu, Ibnu Bajjah juga ahli di bidang
musik dan pemain gambus yang handal. Ia juga seorang yang hafal Alquran. Dalam
waktu yang sama, Ibnu Bajjah amat terkenal dalam bidang perobatan dan merupakan
salah seorang dokter terkenal yang pernah dilahirkan di Andalusia.
Kehebatannya pun turut terlihat dalam bidang
politik sehingga ia dilantik menjadi menteri semasa Abu Bakr Ibrahim berkuasa
di Saragossa. Lebih menakjubkan lagi beliau dapat menguasai ilmu matematika,
fisika, dan falak. Pada kesempatan itu beliau banyak menulis buku yang
berkaitan dengan ilmu logika. Kemampuannya menguasai berbagai ilmu itu
menjadikannya seorang sarjana teragung bahkan tiada bandingan di Andalusia dan
barangkali di dunia Islam. Sumbangannya dalam bidang keilmuan begitu besar.
Dalam bidang filsafat umpamanya, kemampuan
Ibnu Bajjah setara dengan al-Farabi ataupun Aristoteles. Dalam bidang ini ia
mengemukakan gagasan filsafat ketuhanan yang menetapkan manusia boleh
berhubungan dengan akal fa'al melalui perantaraan ilmu pengetahuan dan
pembangunan potensi manusia.
Menurut Ibnu Bajjah, manusia boleh mendekati
Tuhan melalui amalan berfikir dan tidak semestinya melalui amalan tasawuf yang
dikemukakan oleh Iman al-Ghazali. Dengan ilmu dan amalan berfikir, segala
keutamaan dan perbuatan moral dapat diarahkan untuk memimpin serta menguasai
jiwa. Usaha ini dapat menumpas sifat hewaniah yang bersarang dalam hati dan
diri manusia.
Berdasarkan pendapatnya, seseorang harus
mengupayakan perjuangannya untuk berhubung dengan alam bersama-sama dengan
masyarakatnya ataupun secara terpisah. Kalau masyarakat itu tidak baik maka
seseorang itu harus menyepi dan menyendiri.
Pandangan filsafat Ibnu Bajjah ini jelas
dipengaruhi oleh ide-ide al-Farabi. Pemikiran filsafatnya ini dapat diikuti
dalam Risalah al-Wida dan kitab Tadbir al-Muttawwahid yang secara
umum merupakan pembelaan kepada karya-karya al-Farabi dan Ibn Sina kecuali
bagian yang berkenaan dengan sistem menyepi dan menyendiri.
Namun, ada sebagian pemikir mengatakan bahwa
kitab tersebut sama dengan buku al-Madinah al'Fadhilah yang ditulis
al-Farabi. Dalam buku itu, al-Farabi menjelaskan pandangan beliau mengenai
politik dan falsafah. Semasa membicarakan tentang politik, al-Farabi telah
mencadangkan supaya sebuah negara kebajikan yang diketuai oleh ahli filsafat
diwujudkan.
Satu persamaan yang kentara antara al-Farabi
dengan Ibn Bajjah ialah kedua-duanya meletakkan ilmu mengatasi segala-galanya.
Mereka hampir sependapat bahwa akal dan wahyu merupakan satu hakekat yang padu.
Upaya untuk memisahkan kedua-duanya hanya akan melahirkan sebuah masyarakat dan
negara yang pincang.
Oleh sebab itu, akal dan wahyu harus menjadi
dasar dan asas pembinaan sebuah negara serta masyarakat yang bahagia. Ibnu
Bajjah berpendapat bahwa akal boleh menyebabkan manusia mengenali apa saja
kewujudan benda atau Tuhan. Akal boleh mengenali dengan sendiri perkara-perkara
tersebut tanpa dipengaruhi oleh unsur-unsur kerohanian melalui amalan tasawuf.
Selain itu, Ibnu Bajjah juga telah menulis
sebuah buku yang berjudul Al-Nafs yang membicarakan persoalan yang
berkaitan dengan jiwa. Pembicaraan itu banyak dipengaruhi oleh gagasan
pemikiran filsafat Yunani. Oleh sebab itulah, Ibnu Bajjah banyak membuat ulasan
terhadap karya dan hasil tulisan Aristoteles, Galenos, al-Farabi, dan al-Razi.
Minatnya dalam soal yang berkaitan dengan
ketuhanan dan metafisika jauh mengatasi bidang ilmu lain meski beliau mahir
dalam ilmu psikologi, politik, perobatan, aljabar dan sebagainya. Sewaktu
membicarakan ilmu logika, Ibnu Bajjah berpendapat bahwa sesuatu yang dianggap
ada itu sama ada benar-benar ada atau tidak ada bergantung pada yang diyakini
ada atau hanyalah suatu kemungkinan. Justru apa yang diyakini itulah sebenarnya
satu kebenaran dan sesuatu kemungkinan itu boleh jadi mungkin benar dan tidak
benar.
Kenyataannya, banyak perkara di dunia ini
yang tidak dapat diuraikan menggunakan logika. Jadi, Ibnu Bajjah belajar
ilmu-ilmu lain untuk membantunya memahaminya hal-hal berkaitan dengan
metafisika.
Ilmu sains dan fisika misalnya digunakan oleh
Ibnu Bajjah untuk menguraikan persoalan benda dan rupa. Menurut Ibnu Bajjah,
benda tidak mungkin terwujud tanpa rupa tetapi rupa tanpa benda mungkin wujud.
Oleh sebab itu, kita boleh menggambarkan sesuatu dalam bentuk dan rupa yang
berbeda-beda.
Masih banyak lagi pemikiran filsafat Ibnu
Bajjah yang tidak diketahui karena sebagian besar karya tulisnya telah musnah.
Bahan yang tinggal dan sampai kepada kita hanya merupakan sisa-sisa dokumen
yang berserakan di beberapa perpustakaan di Eropa. Setengah pandangan
filsafatnya jelas mendahului zamannya.
Sebagai contoh, beliau telah lama menggunakan
ungkapan manusia sebagai makhluk sosial, sebelum para sarjana Barat berbuat
demikian. Begitu juga konsep masyarakat madani telah dibicarakan dalam
tulisannya secara tidak langsung. Sesungguhnya Ibn Bajjah merupakan tokoh
ilmuwan yang hebat.
Namun kehebatannya inilah yang mengundang
cemburu beberapa kalangan. Perasaan dengki dan cemburu ini menyebabkannya
diracuni dan akhirnya meninggal dunia pada tahun 1138. Biarpun umur Ibn Bajjah
tidak panjang tetapi sumbangan dan pemikirannya telah meletakkan dasar yang
kokoh bagi perkembangan ilmu dan filsafat di bumi Andalusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...