Membahas tentang tujuan hukum Islam maka tidak bisa
lepas dari teori dan konsep tentang maqasid al-syariah dalam Islam. Teori ini
telah berkembang sejak awal turunnya wahyu, dalam arti tujuan dan maksud dari
adanya syariah (agama Islam) telah menyatu dengan berbagai aturan yang ada di
dalam wahyu tersebut, baik wahyu tersebut dalam bentuk Al-Qur’an maupun
Al-Hadits.
1. Pengertian
Secara etimologi, term Maqashid
Asy-Syariah berasal
dua kata yaitu kata maqashid dan al-syariah. Kata maqashid
adalah kata yang berasal dari kata kerja dalam bentuk fii'l tsulasi yaitu
kata ق ص د، يقصد، قصدا, kalimat ini seringkali dipergunakan dengan makna yang berbeda.
Di antara makna tersebut adalah :
Ø
al- I'timad wa al- I'tisham الإعتماد والإعتصام، وطلب الشئى
Ø
Adil dan moderat, atau tidak berpihak pada satu
sisi, sebagai mana firman Allah ta’ala ومنهم مقتصد
Ø
Istiqamu al-Tariq, sebagaimana firman Allah
ta’ala وعلى الله قصد السبيل
Ø
al-Qurbu, sebagaimana firmanNya لو كان عرضا قريبا وسفرا قاصدا
Ø
al-Kasr (mematahkan) sebagaimana kalau dikatakan
قصدت العود قصدا
Dari beberapa makna tersebut pengertian secara
etimologi dalam pembahasan ini adalah pengertian pertama yaitu الإعتماد والإعتصام (kesengajaan atau tujuan).
Sedang term syariah secara bahasa bermakna على مورد الماء أى مكان ورود الناس للماء
tempat keluarnya air, tempat yang dituju oleh manusia untuk mendapatkan air.
Dengan kata lain juga bermakna al-mawaadli' allatiy yunhadaru ila al-maa'
(tempat-tempat yang darinya dikucurkan air). Sedangkan kata al-syir'ah
menurut bahasa Arab artinya adalah masyra'at al-maa' (sumber air), yakni
maurid al-syaaribah allatiy yasyra'uhaa al-naas, fa yasyrabuuna
minhaa wa yastaquuna (sumber air minum yang dibuka oleh manusia, kemudian
mereka minum dari tempat itu, dan menghilangkan dahaga).[1] Al-Raaziy
di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan bahwa Lafadz al-Syari'ah
bermakna masyra'at al-maa' (maurid al-syaaribah: sumber air)[2].
Mahmud Syaltut mendefinisikan al Syarii'ah dengan
aturan-aturan (system) yang Allah telah syariatkan, atau mensyariatkan pokok
dari aturan-aturan tersebut, agar manusia mengadopsi aturan-aturan tersebut
untuk mengatur hubungan dirinya dengan Tuhannya, dan hubungan dirinya dengan
saudaranya yang Muslim dan saudara kemanusiaannya (non Muslim), dan hubungan
dirinya dengan alam semesta dan kehidupan".[3]
Pengertian ini tentu lebih ke arah pengertian secara istilah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah syari’ah
adalah “Hukum agama yang diamalkan menjadi peraturan-peraturan upacara yang
bertalian dengan agama Islam, palu-memalu, hakekat balas-membalas perbuatan
baik (jahat) dibalas dengan baik (jahat) “.[4]
Dalam literature Inggris digunakan istilah Islamic Law atau Canon law
of Islam ; yaitu keseluruhan dari perintah-perintah Tuhan. tiap-tiap perintah
Tuhan dinamakan hukum, jama’nya ahkaam. Oleh karena itu, syari’at tidak dapat
disamakan dengan hukum dalam dunia modern ini.
Dalam al-Qur’an kata syariah digunakan dalam arti “agama
sebagai jalan lurus yang ditetapkan Allah untuk diikuti oleh manusia agar
memperoleh keselamatan”. Beberapa ahli tafsir al-Qur’an klasik seperti Mujahid
(104 H/722 M) menafsirkan kata-kata “al-syari’ah” dan “al-syir’ah” sebagai
“agama” (al-din). Namun di lain pihak terdapat pula pendapat yang membedakan
syari’ah dengan “al-din” (agama). Syari’ah merujuk kepada aspek–aspek hukum
dari agama, sementara “al-din” merupakan aspek aqidah dari agama. Qatadah (118
H/736 M), ahli tafsir lainnya, dilaporkan dalam konteks penafsiran al-Maidah
(5): 48 menyatakan bahwa agama (yang dibawa oleh semua Nabi) itu satu, tetapi
syari’ah-nya berbeda. Maksudnya adalah inti ajaran agama semua Nabi yaitu
ajaran tauhid adalah sama. Yang berbeda adalah ketentuan-ketentuan hukum dalam
masing-masing agama Nabi tersebut. Sejalan dengan Qatadah adalah Abu Hanifah
(150 H/820 M) yang membedakan antara syari’ah dan din di mana syari’ah
merupakan kewajiban agama yang harus dijalankan, sedangkan “al din” adalah
pokok-pokok keimanan seperti kepercayaan kepada Allah kepada hari kiamat dan
lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya kata “syari’ah”
kadang-kadang digunakan untuk merujuk kepada aspek hukum dari agama Islam dan
kadang dipakai juga untuk menyebut aspek hukum dan agama itu sekaligus.
Al-Asy’ari (324 H/935 M) teolog terkenal secara tegas memaknai syari’ah untuk
merujuk pada aspek hukum dari agama Islam. Ia menyatakan bahwa masalah kasus
cabang agama, seperti kewarisan, hukum halal dan halal, masalah pidana dan
talak harus dikembalikan kepada syari’ah yang dasarnya adalah dalil-dalil sam’i
(revelasional), sedangkan masalah pokok agama dikembalikan kepada sejumlah
prinsip yang didasarkan kepada dalil akal, pengalaman intuisi. Janganlah
dicampuradukkan antara masalah akidah yang didasarkan kepada dalil rasional
(‘aqliyyah) dengan masalah cabang agama yang didasarkan kepada dalil
revelasional (sam’i).
Pengertian yang diberikan al-Asy’ari terhadap syari’ah
masih tetap dipakai hingga sekarang seperti dapat dilihat penggunanan frase
“fakultas syari’ah”, “bank syari’ah” dan judul beberapa buku, serta sejumlah
peraturan perundangan muslim. Berbeda dengan Asy’ari, Syatibi (790 H/1388 M)
mengartikan “syari’ah” sebagai “keseluruhan ketentuan agama yang mengatur
tingkah laku, ucapan dan kepercayaan manusia”. Pengertian ini menggambarkan
syari’ah dalam arti luas yang meliputi aspek hukum dan aspek doktrinal.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa
terminologi “syari’ah” dipakai dalam dua pengertian, yaitu : dalam arti luas
dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, syariah dimaksudkan keseluruhan norma
agama Islam yang meliputi baik aspek doktrinal maupun aspek praktis. Dalam arti
sempit “syari’ah” merujuk pada aspek praktis dari ajaran Islam yaitu, bagian
yang terdiri dari norma yang mengatur tingkah laku konkret manusia seperti
ibadah, nikah, jual beli, perkara di pengadilan, penyelenggaraan negara dan
lainnya. Apabila istilah “hukum Islam” hendak digunakan untuk menerjemahkan
istilah “syari’ah”, maka “syariah” yang dimaksud syari’ah adalah dalam arti
sempit. Maka
pengertian syariat dalam term maqasid syariah adalah peraturan/hukum-hukum
agama yang diwahyukan kepada nabi besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam,
yaitu berupa kitab suci Al-Qur’an, sunnah/hadist nabi yang diperbuat atau disabdakan dan yang
ditakrirkan oleh beliau.
Dari pemahaman kebahasaan mengenai istilah
maqashid dan syariah maka dapat disimpulkan bahwa maqasid al Syariah adalah maksud dan tujuan
dari syariah atau hukum Islam. Menurut 'Allal al Fasiy, maqashid al Syariâh
adalah : Tujuan
yang dikehendaki Syara' dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh Syari' (Allah)
pada setiap hukumAdapun
inti dari maqashid
al Syariâh adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan
keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat,
atau dengan kata lain adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan
penetapan hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan
kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara.
Abdullah Daraz dalam komentarnya terhadap
pandangan al Syatibi menyatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-Nya
adalah untuk terwujudnya kemashlahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, taklif (pembebanan hukum) harus mengacu
kepada terwujudnya tujuan hukum itu. Imam al Ghazali
ketika membahas tentang maqashid menyinggung; “wa maqshudu al syar’i min al khalqi khamsatun
wa hiya an yahfadha lahum dinahum wa nafsahum, wa ‘aqlahum wa naslahum wa
malahum”, tujuan Allah Ta’ala dalam syariatnya bagi makhluk adalah
untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal, keturunan, dan harta mereka. Apa
yang disampaikan al Ghazali ini memang tidak sejelas apa yang disampaikan
ulama-ulama ketika ilmu maqashid syariah sudah mulai berjalan ke arah menjadi
disiplin ilmu yang independen.
Dalam
kitabnya Maqashid al Syariah al Islamiyah, Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa maqashid
syariah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang dicatatkan/diperlihatkan oleh
Allah Ta’ala dalam semua atau sebagian besar syariatNya, juga masuk dalam
wilayah ini sifat-sifat syariah atau tujuan umumnya. Dan al Raisuni menyatakan
bahwa maqashid syariah adalah tujuan-tujuan yang diletakkan oleh syariah untuk
diwujudkan demi kemaslahatan hamba.
2. Sejarah Perkembangan Maqashid Syariah
Seperti
halnya tabiat perkembangan ilmu-ilmu lain yang melewati beberapa fase mulai
dari pembentukan hingga mencapai kematangannya, ilmu Maqashid Syariah pun tidak
lepas dari sunnah ini. Ia tidak lahir secara tiba-tiba di dunia dan menjadi
sebuah ilmu seperti saat ini, tetapi ia juga melewati fase-fase seperti di
atas. Untuk lebih memudahkan dalam melihat fase perkembangan ini, maka ada dua
fase dalam perkembangan ini: fase pra kodifikasi, dan fase kodifikasi.
a) Fase Pra Kodifikasi
Maqashid
syariah sebenarnya sudah ada sejak nash al Qur’an diturunkan dan hadits
disabdakan oleh Nabi. Karena maqashid syariah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan
nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam ayat “wa ma
arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”, bahwa Allah Ta’ala menurunkan
syariatNya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhlukNya.
Oleh
karena itu, setelah Nabi saw. wafat dan wahyu terputus, sementara persoalan
hidup terus berkembang, dan masalah-masalah baru yang tidak pernah terjadi pada
masa Nabi menuntut penyelesaian hukum, maka para sahabat mencoba mencari
sandarannya pada ayat-ayat al Qur’an maupun hadits. Jika mereka tidak menemukan
nash yang sesuai dengan masalah tadi pada al Qur’an maupun hadits, maka mereka
akan berijtihad mencari hikmah-hikmah dan alasan dibalik ayat maupun hadits
yang menerangkan tentang suatu hukum, jika mereka menemukannya maka mereka akan
menggunakan alasan dan hikmah tersebut untuk menghukumi persolan baru tadi.
Pada
umumnya, para sahabat tidak mengalami kesulitan dalam menghukumi suatu
persoalan baru yang muncul, karena mereka sehari-hari telah bergaul dengan
Rasulullah saw. Mereka mengetahui peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab
diturunkannya sebuah ayat, mereka melihat bagaimana Nabi. menjalankan sesuatu
atau meninggalkannya dalam situasi dan kondisi yang berlainan. Mereka mengerti
alasan kenapa Nabi saw. lebih mengutamakan sesuatu dari pada yang lain dan
seterusnya, yang hal ini semua pada akhirnya mengkristal dan melekat dalam diri
mereka hingga kemudian membentuk rasa dan mempertajam intuisi serta cara
berpikir mereka seuai dengan maqashid syariah.
Di antara
peristiwa-peristiwa baru yang muncul ketika masa sahabat dan tidak terjadi pada
saat Nabi saw masih hidup antara lain; sebuah kisah tentang sahabat Umar ra.
yang mendengar bahwa sahabat Hudzaifah telah menikah dengan seorang perempuan Yahudi,
kemudian sahabat Umar ra meminta sahabat Hudzaifah untuk menceraikannya. Karena
sahabat Hudzaifah mengetahui bahwa pernikahan dengan ahli kitab diperbolehkan,
maka iapun bertanya kepada sahabat Umar ra, a haramun hiya? (apakah perempuan
itu haram bagi saya?). Sahabat Umar ra. kemudian menjawab: tidak. Tapi saya
kuatir ketika sahabat-sahabat lain melihat kamu menikahi perempuan Yahudi
tersebut, mereka akan mengikutimu, karena pada umumya perempuan-perempuan Yahudi
lebih cantik parasnya, maka hal ini bisa menjadi fitnah bagi
perempuan-perempuan muslim, serta menyebabkan munculnya free sex dan pergaulan
bebas dalam masyarakat karena banyaknya perempuan muslim yang tidak laku.
Contoh
lain; kesepakatan para sahabat untuk melarang Abu Bakar ra bekerja dan
berdagang untuk mencari nafkah bagi keluarganya ketika ia menjabat sebagai
khalifah. Mereka bersepakat untuk mencukupi kebutuhan hidup Khalifah serta
keluarganya dari uang negara, demi kemaslahatan rakyat sehingga ia tidak sibuk
memikirkan urusannya sendiri dan menterlantarkan kepentingan rakyatnya. Contoh
lain lagi, suatu waktu, Umar ra menjumpai orang yang menjual dagangannya di
pasar dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga umum. Maka ia kemudian
mengancam orang tersebut dengan mengatakan; terserah kamu mau memilih, apakah
barang daganganmu kamu naikkan seperti harga umum di pasar ini, atau kamu pergi
membawa barang daganganmu dari pasar ini . Hal ini dilakukan Umar ra karena
untuk menjaga stabilitas harga dan kemaslahatan umum.
Dan
masih banyak lagi contoh lain seperti pembukuan al Qur’an, pembuatan mata uang
dan sebagainya, yang mencerminkan kelekatan para sahabat dengan maqashid
syariah.
Begitu pula ketika masa tabi’in, mereka bergerak dan melangkah pada jalan yang telah dilalui oleh guru-gurunya yaitu para sahabat. Sehingga corak yang terlihat dalam penggunaan maqashid syariah untuk menyelesaikan masalah-masalah baru pada masa ini masih sama dengan masa sebelumnya.
Begitu pula ketika masa tabi’in, mereka bergerak dan melangkah pada jalan yang telah dilalui oleh guru-gurunya yaitu para sahabat. Sehingga corak yang terlihat dalam penggunaan maqashid syariah untuk menyelesaikan masalah-masalah baru pada masa ini masih sama dengan masa sebelumnya.
Misalnya
tentang masalah tas’ir (penetapan harga untuk menjadi patokan umum) ketika
harga kebutuhan-kebutuhan naik. Rasulullah saw. sendiri enggan menetapkan harga
meskipun waktu itu harga-harga naik, dengan memberi isyarat bahwa tas’ir
mengandung unsur tidak rela dan pemaksaan terhadap orang untuk menjual
harganya.
Namun,
Sa’id bin al Musayyab, Rabi’ah bin Abdul Rahman dan lain-lain mengeluarkan
fatwa boleh tas’ir dengan alasan kemaslahatan umum, serta menjelaskan alasan
keengganan Rasul untuk tas’ir adalah tidak adanya tuntutan yang mendesak waktu
itu, karena naiknya harga-harga di masa Nabi lebih dipicu oleh perubahan
kondisi alam, yaitu kemarau panjang yang terjadi waktu itu. Sementara pada masa
tabi’in, kenaikan harga dipicu oleh merebaknya penimbunan barang, kerakusan
para pedagang, serta melemahnya kecenderungan beragama, sehingga hal ini menuntut
penetapan harga umum untuk menjaga keseimbangan dan menghindari praktek
penimbunan. Masih banyak contoh yang lain yang dilakukan oleh para tabiin.
Sayangnya, pemahaman yang dimiliki para tabi’in dalam menggunakan maqashid
syariah tidak dibarengi dengan kesadaran mereka untuk membukukan ilmu ini
sehingga menjadi khazanah umat berikutnya agar mudah dipelajari.
3. Fase Kodifikasi
Menurut
al Raisuni; barangkali orang yang paling awal menggunakan kata maqashid dalam
judul karangannya adalah al Hakim al Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam bukunya al
Shalatu wa Maqasiduha. Tapi jika kita menelusuri karangan-karangan
yang sudah memuat tentang maqashid syari’ah, maka kita akan menemukannya jauh
sebelum al Tirmidzi. Karena Imam Malik (w. 179 H) dalam Muwattha’nya sudah menuliskan
riwayat yang menunjuk pada kasus penggunaan maqashid pada masa sahabat.
Kemudian
setelah, itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam karyanya yang sangat
populer al Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan mengenai ta’lil
ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid kulliyyah seperti
hifzhu al nafs dan hifzhu al mal, yang merupakan cikal bakal bagi tema-tema
ilmu maqashid. Setelah Imam Syafi’i, muncul al Hakim al Tirmidzi, disusul Abu
Bakar Muhammad al Qaffal al Kabir (w. 365H) dalam kitabnya Mahasinu al Syariah,
yang mencoba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih mudah
dipahami dan diterima oleh manusia.
Kemudian
datang setelahnya al Syaikh al Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya Ilalu al
Syarai’ wa al Ahkam, yang mengumpulkan riwayat-riwayat tentang ta’lilu al ahkam
dari ulama-ulama Syiah, dan al ‘Amiri (w. 381H) dalam kitabnya al I’lam bi
Manaqibi al Islam, meskipun kitab ini membahas tentang perbandingan agama,
namun ia menyinggung tentang Dlaruriyyat al Khams (lima hal pokok yang dijaga
dalam agama, yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang
merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid syariah.
Setelah
itu datang Imam Haramain (w. 478H) dalam kitabnya al Burhan yang menyinggung
tentang dlaruriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga menjadi tema pokok dalam
Ilmu Maqashid. Kemudian datang Imam Ghazali (w. 505H) yang membahas beberapa
metode untuk mengetahui maqashid, dan menawarkan cara untuk menjaga maqashid
syariah dari dua sisi al wujud (yang mengokohkan eksistensinya) dan al ‘adam (
menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya).
Kemudian
imam al Razi (w. 606H), lalu imam al Amidi (w. 631H), dan ‘Izzuddin bin ‘Abd al
Salam (w. 660H), kemudian al Qarafi (w. 684H), al Thufi (w. 716H), Ibnu al
Taimiyyah (w. 728H), Ibnu al Qayyim al Jauziyyah (w. 751H), baru setelah itu
disusul oleh imam al Syatibi. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa dalam ilmu
maqashid syariah, imam Syatibi melanjutkan apa yang telah dibahas oleh
ulama-ulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh imam Syatibi bisa menarik
perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan persoalan-persoalan yang tercecer
dan dibahas sepotong-sepotong oleh orang-orang sebelumnya menjadi sebuah
pembahasan tersendiri dalam kitabnya al Muwafaqat dimana ia mengkhususkan
pembahasan mengenai maqashid ini satu juz (yaitu juz dua) dari empat juz isi
kitabnya. Ia juga mengembangkan dan memperluas apa yang telah dibahas oleh
ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid ini, juga menyusunnya secara urut dan
sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga lebih
mudah untuk dipelajari.
Hal
inilah yang menjadi kontribusi signifikan imam Syatibi dalam ilmu maqashid
syariah, sehingga amal yang dilakukannya menyadarkan banyak pihak tentang
pentingnya maqashid ini, serta memberi inspirasi banyak orang untuk membahas
maqashid syariah ini lebih jauh, hingga Ibnu ‘Asyur (w. 1393H) pada akhirnya
mempromosikan maqashid syariah ini sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri
sendiri.
[1] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 8, hal. 175
[2] Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, juz 1, hal. 161
[3] Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islaam, 'Aqiidah wa
Syarii'ah, hal. 12
[4] Kamus Besar bahasa Indonesia,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...