Oleh: Anang Rohwiyono*
Abstrak:
Sebelum Islam datang, dalam menggali dana
spiritual, masyarakat Indonesia membentuk suatu lembaga dana yang disebut Sima
dan Dharma (dermah dalam bahasa Jawa). Setelah Islam masuk ke Indonesia semua
itu diganti dengan wakaf.
Sebelumnya aturan perwakafan tanah milik tidak
diatur dalam peraturan perundang-udangan, sehingga berakibat mudah terjadi
penyimpangan dari tujuan wakaf. Di samping itu karena pencatatan yang kurang
tertib, banyak tanah wakaf yang tidak diketahui datanya. Ada yang diakui oleh
para pengelola bahkan sampai diperjualbelikan.
Atas dasar kenyataan tersebut maka disusun dan
ditetapkan PP No.28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Hal ini untuk
meletakkan dasar hukum Perwakafan yang lebih kuat. Peraturan Pemerintah
tersebut didasarkan pada pasal 49 ayat 3 UUPA yang berbunyi: “Perwakafan
dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Sedang UUPA sendiri
didasarkan pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi: “Bumi, air, angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya”.
Pendahuluan
Perwakafan tanah dan tanah wakaf di Indonesia
adalah termasuk dalam bidang hukum Agraria, sebagai perangkat peraturan yang
mengatur tentang bagaimana penggunaan dan pemanfaatan bumi, air dan ruang
angkasa Indonesia. Oleh karena perwakafan di Indonesia pada umumnya di awal
adalah berobyek tanah, maka masalah wakaf tanah itu diatur di dalam
Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA)
dalam pasal 49 ayat 3 yang berbunyi: “Perwakafan tanah milik dilindungi dan
diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Perlu dijelaskan bahwa wakaf tanah ini merupakan
kelembagaan yang sudah cukup lama dikenal dan pada hakikatnya merupakan salah
satu bentuk dari pemindahan hak atas tanah, akan tetapi bukan merupakan
pemindahan hak atas tanah biasa karena mempunyai kelebihan tersendiri, yaitu
dipandang sebagai ibadah dalam ajaran agama Islam. Dengan demikian perbuatan
hukum di dalam perwakafan tanah ini tidak mempunyai nilai komersial, sehingga
sangat perlu untuk dilestarikan, dikembangkan terus dan lebih disempurnakan
peraturan-peraturannya. Dalam ketentuan PP No.28 Tahun 1977 yang mengatur
mengenai perwakafan tanah milik ini dinyatakan bahwa tanah yang diwakafkan itu
dikeluarkan dari lalu lintas ekonomi. Tanah yang sudah diwakafkan tidak bisa
lagi untuk dijual, diwariskan ataupun dipakai sebagai jaminan utang.
Pelaksanaan dan pengaturan pewakafan tanah hak
milik di Indonesia dapat dibagi dalam tiga kurun waktu:
1.
Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia
2.
Sesudah kemerdekaan Republik Indonesia, sebelum adanya Peraturan Pemerintah No.
28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.
3.
Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang perwakafan
tanah milik.
Dengan demikian perincian dan penjelasan tentang
perwakafan tersebut ada dalam Peraturan Pemerintah tahun 1977, di mana dalam
pasal 1 ayat 1 ditekankan bahwa materi wakaf adalah berupa tanah milik atau
tanah hak pakai (pasal 4). Di dalam PP tersebut juga dimuat adanya pengawasan
pemerintah terhadap pengelolaan dan pendayagunaan tanah wakaf yang dibebankan
kepada para nazir di samping masih terdapat beberapa aturan lain dari Menteri
Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agraria dan sebagainya tentang sertifikasi
tanah wakaf yang merupakan jaminan kepastian hukum.
Pembahasan
A. Wakaf Menurut Hukum Adat
Menurut Ter Haar sebagaimana dikutip oleh
Abdurrahman, bahwa wakaf merupakan Lembaga Hukum Islam yang telah diterima atau
di gerecipieerd sebagai Hukum Adat. Dari Hukum Adat inilah yang
nantinya akan menjadi sumber Hukum Nasional.[1]
Di dalam disertasi Kusuma Atmaja yang dikutip oleh
Abdurrahman dalam bukunya menunjukkan beberapa jenis wakaf yang tidak tunduk
pada aturan-aturan Islam dan merupakan kebiasaan masyarakat Indonesia. Jenis
wakaf tersebut antara lain:
- Pada suku Badui di Cibeo
(Banten Selatan) dikenal “Huma Serang”. Huma adalah ladang-ladang yang
dikerjakan secara bersama dan hasilnya untuk kepentingan bersama.
- Di Bali terdapat tanah dan
barang-barang perhiasan yang disimpan di dalam candi yang menjadi milik
para Dewa.
- Di Lombok terdapat tanah
“Preman”, yaitu tanah negara yang dibebaskan dari pajak (landrente)
untuk diserahkan kepada desa-desa Subak.[2]
Di Jawa juga terdapat tanah seperti tanah wakaf
yang dinamakan tanah perdikan yang dibagi dalam:
- Desa Pesantren, adalah
tanah yang diberikan kepada seorang Kyai untuk mengajarkan agama Islam
- Desa Mijen, ialah
tanah yang diberikan kepada seseorang untuk menanam benih sayuran atau
buah-buahan untuk kepentingan raja.
- Desa Keputihan, ialah
tanah yang diberikan kepada orang sakti.
- Desa Pakuncen, ialah
tanah yang diberikan kepada juru kunci pemakaman raja.
Desa atau tanah tersebut semua adalah milik raja
yang dipinjamkan kepada seseorang atau keluarganya sebagai hadiah atau gaji dan
dibebaskan dari pajak, tetapi akhirnya menjadi bentuk semacam wakaf. [3]
Sebelum Islam datang, dalam menggali dana
spiritual, masyarakat Indonesia membentuk suatu lembaga dana yang disebut Sima
dan Dharma (dermah dalam bahasa Jawa). Setelah Islam masuk ke
Indonesia semua itu diganti dengan wakaf.[4]
B. Peraturan Perwakafan di Indonesia
Aturan wakaf sudah ada sejak jaman Hindia Belanda
hingga jaman kemerdekaan. Tetapi secara administrative baru dimulai pada tahun
1905 dengan adanya pendaftaran tanah wakaf berdasar surat edaran sebagai
berikut:
- Surat Edaran Sekretaris
Gubernement (SESG) tanggal 31 Januari 1905 (Bijblaad 1905, Nomor
6169) tentang perintah kepada Bupati untuk membuat daftar wakaf dan
sejenisnya.
- SESG tanggal 4 April 1931 (Bijblaad
1931, Nomor 12573) sebagai pengganti Bijblaad sebelumnya yang
berisi perintah kepada Bupati untuk meminta Ketua Pengadilan Agama untuk
mendaftar tanah wakaf.
- SESG tanggal 24 Desember 1934 (Bijblaad
1934, Nomor 13390) tentang wewenang Bupati untuk menyelesaikan sengketa
wakaf.
- SESG tanggal 27 Mei 1935 (Bijblaad
1935, Nomor 13480) tentang tata cara perwakafan.[5]
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945 maka sejak tanggal 24 Desember 1960 dibentuklah UUPA (Undang-Undang Pokok
Agraria) yang mengandung ketentuan sebagai berikut:
- Berdasarkan pasal 2 aturan
peralihan UUD 1945, Peraturan Wakaf Hindia Belanda dinyatakan tetap
berlaku dengan dikeluarkannya petunjuk dari Departemen Agama melalui Surat
Edaran Nomor 5/D/1956 tentang prosedur perwakafan tanah, tanggal 8 Oktober
1956.
- Berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Agraria dan Menteri Agama tanggal 15 Maret 1959 Nomor 19/22/37-7,
SK 62/KA/1959 tentang pengesahan tanah milik dialihkan kepada Kepala
Pengawas Agraria Karesidenan yang pelaksanaannya diatur dengan Surat
Keputusan Jawatan Agraria kepada Pusat Jawatan Agama tanggal 13 Februari
1960 Nomor 23/1/34-11.
- Diundangkannya UUPA Nomor 5
tahun 1960, pada bagian XI tertera bahwa untuk keperluan suci dan sosial
(pasal 49 ayat 3) ditentukan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan
diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
- Pada tanggal 17 Mei 1977
ditetapkan PP Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, sebagai
pelaksanaan ketentuan pasal 49 ayat 3 Undang-Undang Pokok Agraria di atas.
- Instruksi Presiden Nomor 1
tahun 1992 yang menetapkan Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya juga
memuat Hukum Perwakafan.[6]
- Pada tanggal 21 Oktober 2004,
pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
dan pada tanggal 15 Desember 2006 pemerintah juga telah menetapkan
Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya.[7]
1. Latar Belakang Lahirnya PP
No. 28 Tahun 1977
Sejak dulu aturan perwakafan tanah milik tidak
diatur dalam peraturan perundang-udangan, sehingga berakibat mudah terjadi
penyimpangan dari tujuan wakaf. Di samping itu karena pencatatan yang kurang
tertib, banyak tanah wakaf yang tidak diketahui datanya. Ada yang diakui oleh
para pengelola bahkan sampai diperjualbelikan.
Ekses dari semua ini adalah sering dibicarakan
orang banyak, bahkan sampai terjadi sengketa tanah sampai berlarut ke
Pengadilan, sehingga bisa menghilangkan simpati umat Islam terhadap Lembaga
Perwakafan itu sendiri, bahkan sampai bisa mendiskreditkan Agama Islam sendiri.
Atas dasar kenyataan tersebut maka disusun dan
ditetapkan PP di atas tentang perwakafan tanah milik. Hal ini untuk meletakkan
dasar hukum Perwakafan yang lebih kuat. Peraturan Pemerintah tersebut
didasarkan pada pasal 49 ayat 3 UUPA yang berbunyi: “Perwakafan dilindungi dan
diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Sedang UUPA sendiri didasarkan pada UUD
1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi: “Bumi, air, angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyatnya”.
2. Latar Belakang Lahirnya
Badan Wakaf Indonesia (BWI)
Badan Wakaf Indonesia (BWI), merupakan badan baru
yang dibentuk pemerintah Republik Indonesia berdasarkan amanat Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Badan ini secara spesifik bertugas
mengembangkan pengelolaan perwakafan di Indonesia ke arah yang profesional dan
modern sehingga menghasilkan manfaat wakaf yang dapat mensejahterakan umat.[8]
Wakaf yang selama ini peruntukannya hanya bersifat
konsumtif dan dikelola secara tradisional, sudah saatnya kini wakaf dikelola
secara produktif. Bersyukurlah kita karena saat ini pengelolaan wakaf secara
produktif sudah diatur dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan
nasional, dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut diamanatkan perlunya
dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI). Dalam pasal 48 dinyatakan bahwa Badan
Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
dapat membentuk perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan
kebutuhan . Dalam pasal 49 ayat (1) disebutkan Badan Wakaf Indonesia mempunyai
tugas dan wewenang:
1.
Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta
benda wakaf.
2.
Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala
nasional dan internasional.
3.
Memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta
benda wakaf.
4.
Memberhentikan dan mengganti nazhir.
5.
Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.
6.
Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan
di bidang perwakafan.
Dalam ayat 2 pasal yang sama menyebutkan bahwa
dalam melaksanakan tugasnya, BWI dapat bekerjasama dengan instansi pemerintah
baik pusat maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional
dan pihak lain yang dianggap perlu.[9]
3. Ketentuan Umum
Di sini perlu dijelaskan beberapa istilah pada PP
Nomor 28 tahun 1977 dan peraturan-peraturan lain yang menyertai, di antaranya:
- Wakaf, perbuatan hukum seseorang
atau badan Hukum dengan memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang
berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya demi
keperluan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam.
- Wakif, orang-orang atau badan Hukum
yang mewakafkan tanah miliknya (pasal 1 ayat 2 PP, pasal 1 huruf c
Peraturan Menteri Agama/PMA nomor 1 tahun 1978)
Karena wakaf adalah perbuatan hukum, maka wakif harus
dalam keadaan mampu dan tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum,
kehendak sendiri dan atas kesadarannya tanpa paksaan. Badan Hukum Indonesia
yang dapat menjadi wakif adalah Badan Hukum yang memiliki tanah dengan hak
milik sebagai dimaksud dalam PP Nomor 38 tahun 1963 nomor 61 yaitu:
1. Bank Negara
2. Koperasi
3. Badan keagamaan
yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian atau Menteri Agraria setelah mendengar
dari Menteri Agama.
4. Badan sosial yang
juga ditunjuk setelah mendengar dari Menteri Sosial.
c. Ikrar, adalah pernyataan kehendak wakif
untuk mewakafkan tanah miliknya. Ikrar ini harus diucapkan dengan lisan, jelas
dan tegas kepada nazir yang telah disahkan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf (PPAIW), yang mewilayahi tanah wakaf, dihadiri oleh dua orang saksi.
Setelah ikrar baru dituang dalam bentuk tertulis. Bila tidak mampu ikrar lisan
boleh dengan isyarat. Dan bila wakif tidak bisa hadir dalam upacara ikrar, maka
ditulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama yang mewilayahi
tanah.
d. Nazhir, adalah kelompok orang atau
Badan Hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda-benda wakaf
(pasal 1 ayat 4 PP, pasal 1 huruf e PMA). Susunan kelompok orang di sini
sekurang-kurangnya tiga orang, satu di antaranya sebagai nazir. Dengan batasan
nazir ini maka perorangan tidak dapat ditunjuk sebagai nazir. Hal ini untuk
mencegah penyalahgunaan benda-benda wakaf oleh perseorangan, memudahkan
pengawasan dan menghilangkan benih kecurigaan dan perselisihan, serta
memudahkan koordinasi dan bimbingan. Usaha pemerintah ini semata-mata untuk
mendorong dan meningkatkan produktivitas dan bukan untuk menguasai.
Susunan nazir disahkan oleh Kepala Kantor Urusan
Agama (KUA) selaku PPAIW dengan sarat nazir harus memenuhi ketentuan pasal 6 PP
yaitu:
1. Warga negara Indonesia
2. Beragama Islam
3. Dewasa
4. Sehat jasmani dan rohani
5. Tidak berada dalam pengampuan
6. Bertempat tinggal di kecamatan tempat tanah
berada
Sedangkan nazir badan hukum harus memenuhi syarat
sebgai berikut:
1. Badan Hukum Indonesia berkedudukan di Indonesia
2. Mempunyai perwakilan di kecamatan letak tanah
wakaf.
Seorang nazir berhenti dari jabatannya bila:
1. Meninggal dunia
2. Mengundurkan diri
3. Dibatalkan kedudukannya oleh Kepala KUA karena
beberapa sebab
a. Tidak memenuhi syarat dalam pasal 6 ayat 1 PP.
b. Melakukan tindak pidana
c. Tidak melakukan kewajiban sebagai Nazir.
e. Benda Wakaf, yaitu tanah dengan
hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan
dan perkara (pasal 4 PP.). Hal ini didasarkan pada wakaf itu bersifat suci dan
abadi, maka harus bersih pula dari tanggungan (hipotik), sengketa dan
sebagainya. Oleh karena itu tanah wakaf haruslah tanah milik yang sudah ada
sertifikatnya. Tanah tersebut baik berupa tanah adat yang turun temurun atau
tanah hak milik. Dengan demikian tanah dengan hak lainnya yang sifatnya
terbatas oleh waktu tidak dapat dijadikan benda wakaf. Dalam Undang-Undang No.
41 Tahun 2004 ditambahkan tentang harta benda wakaf yang terbagi:
1. Benda tidak bergerak, meliputi:
a. hak atas
tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik
yang sudah maupun yang belum terdaftar.
b. bangunan atau
bagian bangunan yang berdiri di atastana sebagaimana dimaksud pada huruf a.
c. tanaman dan
benda lain yang berkaitan dengan tanah.
d. hak milik atas
satuan rumah susun sesuai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
e. benda tidak
bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Benda bergerak, adalah harta benda yang tidak
habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. uang
b. logam mulia
c. surat
berharga
d. kendaraan
e. hak atas
kekayaan intelektual
f. hak sewa
g. benda bergerak
lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.[10]
f. Saksi, saksi diperlukan
sebagai penguat adanya pengalihan status tanah dari hak milik menjadi wakaf dan
untuk memantapkan perwakafan dari segi riwayat tanah sebelumnya maupun masa
yang akan datang. Saksi disyaratkan dewasa dan sehat akal serta tidak terhalang
melakukan perbuatan hukum.
g. PPAIW, Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf yaitu pejabat yang ditunjuk oleh menteri Agama, dalam hal ini adalah
kepala KUA Kecamatan setempat (pasal 5 ayat 1 PMA). Wewenang Menteri Agama ini
telah dilimpahkan kepada Kantor Wilayah Departeman Agama Provinsi (Instruksi
Nomor 73/1978).
h. Akta Ikrar Wakaf, akta yang dibuat oleh
PPAIW setelah wakif mengikrarkan penyerahan tanah wakafnya sebagai tanda bukti
sahnya perbuatan wakaf, terutama menurut agama Islam. Akta ini sebagai bahan
pendaftaran tanah wakaf ke kantor Sub Direktorat Agraria setempat untuk
pengalihan hak tanah (pasal 19 PP nomor 10/1961 tentang pendaftaran tanah).
i. Akta Pengganti Ikrar, yaitu
akta yang dibuat PPAIW atas tanah wakaf yang pemakaiannya terjadi sebelum
berlakunya PP nomor 28 tahun 1977.
j. BWI
(Badan Wakaf Indonesia) adalah lembaga independent untuk mengembangkan wakaf di
Indonesia.[11]
4. Fungsi, Unsur Wakaf,
Kewajiban dan Hak Nazir
1. Fungsi wakaf ialah
mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai tujuan (pasal 2 PP). Maka supaya kekal,
benda wakaf itu haruslah dipelihara dan dikelola dengan manajemen yang baik dan
bertanggung jawab, baik kepada wakif, masyarakat maupun ridha Allah.
2. Unsur wakaf
terdiri dari wakif, benda wakaf, ikrar wakaf dan pengurus wakaf atau nazir.
Dalam ikrar juga perlu disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
3. Kewajiban dan Hak
Nazir
Kewajiban nazir :
1. Mengurus dan mengawasi harta wakaf,
yaitu:
a. menyimpan
lembar kedua salinan akta ikrar
b. memelihara tanah
wakaf
c. memanfaatkan
tanah wakaf
d. memelihara dan
berusaha meningkatkan hasil
e.
menyelenggarakan pembukuan wakaf, yaitu:
1. buku tentang keadaan
tanah wakaf
2. buku tentang
pengelolaan dan hasil
3. buku tentang
penggunaan hasil (pasal 7 ayat 1 PP, pasal 10 ayat 1
PMA).
2. Memberikan laporan kepada KUA
Kecamatan, yaitu:
a. hasil
pencatatan wakaf tanah milik oleh pejabat agraria
b. perubahan status
tanah dan perubahan penggunaannya.
c. pelaksanaan
kewajiban nazir pasal 20 ayat 1 PP setiap tahun sekali pada akhir bulan
Desember.
3. Melaporkan anggota nazir yang
berhenti dari jabatan
4. Mengusulkan anggota pengganti kepada
Kepala KUA Kecamatan tempat tanah wakaf berada, untuk disahkan keanggotaannya.
Semua ini dilakukan untuk memudahan koordinasi dan
pengawasan, dan oleh sebab itu nazir berhak mendapatkan penghasilan dan
fasilitas yang wajar atas usaha dan jerih payahnya (pasal 8 PP) untuk
menghindari penyalahgunaan tujuan wakaf.
Hak nazir sesuai ketentuan pasal 11 PMA adalah:
1. Menerima hasil tanah wakaf dengan tidak melebihi
dari 10% hasil bersih
2. Menggunakan fasilitas dan hasil tanah wakaf
sepanjang diperlukan.
4. Tata Cara Wakaf
a. Wakif datang sendiri dihadapan PPAIW untuk
melaksanakan ikrar
b. Sebelum Ikrar, wakif menyerahkan kepada
PPAIW:
1. Sertifikat tanah
hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah yang lain
2. Surat keterangan
kepala desa yang diperlukan yang diperkuat oleh camat tentang kebenaran
kepemilikan dan tiadanya sengketa.
3. Surat keterangan
pendaftaran tanah
4. Izin Bupati atau
Walikota Cq. Subdit Agraria terutama dalam rangka tata kota
c. PPAIW meneliti surat-surat, syarat,
saksi dan mengesahkan susunan nazir.
d. Ikrar diucapkan di hadapan PPAIW dan
dua orang saksi kepada nazir
e. PPAIW membuat akta ikrar wakaf rangkap
tiga dan salinan akta ikrar wakaf rangkap empat:
1. akta satu disimpan PPAIW
2. akta dua sebagai lampiran surat permohonan
pendaftaran tanah wakaf
3. akta tiga dikirim ke Pengadilan Agama
4. salinan akta ke satu untuk wakif
5. salinan akta ke dua untuk nazir
6. salinan akta ke tiga untuk Kepala Kantor Depag
7. salinan akta ke empat untuk Kepala Desa.
f. Langkah selanjutnya adalah
mendaftarkan tanah wakaf ke Subdit Agraria.
Mengenai pendaftaran tanah wakaf ke Subdit Agraria
ini telah diatur pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
nomor 6 tahun 1977 sesuai dengan yang dimaksud dengan pasal 10 Peraturan
Pemerintah nomor 28 tahun 1977.
Pendaftaran ini dilakukan selambat-lambatnya
setelah satu bulan setelah dibuatkan akta dan dilampiri sertifikat atau bukti
pemilikan lain, akta ikrar wakaf, surat pengesahan nazir dan surat keterangan
dari Kepala Desa serta surat izin Bupati atau Walikota.
Sedang perwakafan yang dilakukan sebelum berlakunya
PP nomor 28 tahun 1977 juga perlu didaftarkan sesuai dengan prosedur yang ada.
Aturan mengenai hal ini secara rinci dijelaskan dalam lampiran Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam nomor: KEP/D/75/78 pada romawi IV.
5. Perubahan, Penyelesaian Perselisihan
dan Pengawasan
Perubahan penggunaan dan status tanah bisa
dilakukan dengan tertulis dari Menteri Agama atau pejabat yang telah ditunjuk
dengan alasan:
a. Karena alasan tidak sesuai lagi
dengan tujuan wakaf yang tersebut dalam ikrar
b. Karena kepentingan umum (pasal 11
PP/13 PMA)
Apabila memang terjadi perselisihan perwakafan
tanah maka diselesaikan melalui Pengadilan Agama setempat sesuai wewenang yurisdiksi
pada pengadilan tersebut. Sedang bila ternyata menyangkut hukum pidana seperti
penyerobotan tanah wakaf, maka diselesaikan di Pengadilan Negeri (pasal 12 PP).
Pengawasan dan bimbingan perwakafan tanah milik
agar sesuai dengan peraturan yang ada, maka itu dilakukan oleh
instansi-instansi Departeman Agama secara hirarkis (pasal 14 PMA).
6. Ketentuan Pidana
Untuk menjamin pelaksanaan perwakafan tanah milik
agar sesuai dengan peraturan yang ada, maka terhadap pihak-pihak yang
melanggar ketentuan yang berlaku diberikan sangsi tertentu dengan diancam
hukuman selama-lamanya tiga bulan penjara atau dengan denda sebanyak-banyaknya
Rp. 10.000,00 (sepulu ribu rupiah) sesuai pasal 14 PP. Dalam Undang-Undang No.
41 Tahun 2004 pasal 67 tentang ketentuan pidana dijelaskan:
a. Setiap orang
yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan
dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf
yang telah diwakafkan sebagaimana dmaksud dalam pasal 41, dipidana dengan
pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
b. Setiap orang yang
dengan sengaja merubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun
dan atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
c. Setiap orang
yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan
dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan
atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).[12]
Penutup
Undang-Undang Pokok Agraria yang di dalamnya
mencakup tentang peraturan perwakafan di Indonesia dan juga Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah memberikan penjelasan secara lengkap tentang
hal-hal yang mengatur seluk-beluk perwakafan. Dengan adanya undang-undang
tersebut diharapkan mampu merangsang niat dan semangat umat Islam untuk
berlomba-lomba dalam berwakaf. Selain itu juga agar terjadi keseragaman dan
keteraturan tentang wakaf. Tidak kalah pentingnya bagi pihak pemerintah untuk
menjadi motivator dan pengelola serta Pembina masyarakat dalam berwakaf.
Pemerintahlah yang seharusnya menjadi pengawal undang-undang perwakafan yang
telah ada secara serius dan amanah, karena bila pemerintah tidak amanah dalam
menangani wakaf, maka tidak akan terjadi perubahan terhadap tingkat
kesejahteraan bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Aneka Masalah Hukum Agraria dalam
Pembangunan di Indonesia Seri Hukum Agraria II.
Bandung: Alumni. 1978.
……….. Masalah Pencabutan Hak-Hak atas Tanah di
Indonesia Seri Hukum Agraria I. Bandung: Alumni. 1978.
Djatnika, Rahmat. Wakaf Tanah. Surabaya:
Al-Ikhlas. 1982.
……….. Pandangan Islam tentang Infak, Shadaqah,
Zakat danWakaf sebagai Komponen
Makro dalam
Pembangunan Ekonomi. Surabaya: Al-Ikhlas. 1983.
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Perwakafan Tanah Milik. Jakarta: Proyek
Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf. 1985.
Profil Badan Wakaf Indonesia Periode 2007-2010.
Jakarta: Badan Wakaf Indonesia.
2008.
Suhadi, Imam. Hukum Wakaf di Indonesia.
Yogyakarta: Dua Dimensi. 1985.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
dan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun
2006 tentang Pelaksanaannya. Jakarta: Dirjen Bimas Islam
Depag RI. 2007.
* Penulis adalah dosen FAI-UHAMKA
[1] Abdurrahman. Aneka Masalah Hukum Agraria
dalam Pembangunan di Indonesia, Seri Hukum Agraria II. Bandung: Alumni.
1978. hal. 13.
[2] Abdurrahman, Ibid. hal. 14
[3] Imam Suhadi. Hukum Wakaf di Indonesia.
Yogyakarta: Dua Dimensi. 1985. hal. 34.
[4] Rahmat Djatnika. Wakaf Tanah.
Surabaya: Al-Ikhlas. 1982. hal. 12.
[5] Imam Suhadi. Hukum Wakaf….. hal. 26.
[6] Ibid. hal. 27.
[7] Lihat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya.
Dirjen. Bimas Islam Depag RI. Tahun 2007.
[8] Profil Badan Wakaf Indonesia Periode
2007-2010. Jakarta: Badan Wakaf Indonesia. 2008. Hal. 3.
[9] Profil Badan Wakaf Indonesia Periode
2007-2010. Jakarta: Badan Wakaf Indonesia. 2008. Hal. 9-10.
[10] Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya.
Dirjen. Bimas Islam Depag RI. Tahun 2007. Hal. 11-12.
[11] Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya.
Dirjen. Bimas Islam Depag RI. Tahun 2007. Hal. 4.
[12] Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya.
Dirjen. Bimas Islam Depag RI. Tahun 2007. Hal. 33-34. Lihat juga sanksi
administrative pada halaman yang sama.
http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=270
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...