Oleh : Imam Yazid
Syariat
terkadang sering disamakan dengan fiqh. Sementara fiqh itu sendiri bermakna pemahaman,
dan secara istilah adalah pemahaman mendalam para ulama tentang hukum syara`
yang bersifat amaliyah atau praktis yang digali dari dalil-dalil yang
terperinci. Fiqh diartikan pula sebagai ilmu yang mengkaji syariat.[1]
Kajian
fiqh lebih luas dibandingkan dengan konsep syariat karena fiqh melibatkan
berbagai metode dan pendekatan dalam memahami semua ajaran Islam. Fiqh dapat
berlaku untuk yang sifatnya naqliyah maupun `aqliyah. Hasbi
Ash-Shiediqie berpendirian bahwa makna fiqh identik dengan hukum Islam atau
syariat Islam. Fiqh adalah koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan
syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Fiqh merupakan syari`ah
`amaliyah.[2]
Kita
mengetahui bahwa ada perubahan hukum yang dibawa oleh para Rasulullah dalam
catatan sejarah. Perubahan hukum itu dapat dipahami sebagai penyesuaian atas
kondisi fisik dan pemikiran manusia pada zaman “para utusan” tersebut diutus.
Misalnya perbedaan antara syariat Islam dengan syariat sebelumnya adalah
mengenai tata cara bertaubat pada masa Nabi Musa yaitu dengan membunuh dirinya,
dan pakaian yang terkena najis harus disucikan dengan cara memotong bagian yang
terkena najis. Diantara syariat itu ada yang masih berlaku meski tidak sama
persis tatacara waktu pelaksanaannya, seperti perintah puasa, qurban, dan
sebagainya.[3] Tata cara taubat telah
diubah oleh Allah melalui QS. Hud: 3 (
وأن استغفروا ربكم ثم توبوا اليه يمتعكم متعا حسنا الى أجل مسمى ويؤتى كل ذى فضل
فضله ) dan
menyucikan pakaian dari najis diubah caranya melalui QS. Al-Mudatstsir: 4 ( وثيابك فطهر).
Sehubungan
masalah syariat berkaitan dengan hukum praktis maka pembahasan tentang Syar’u
Man Qablana ini khusus ditemukan dalam berbagai kitab hukum, spesial pada
cabang ilmu yang membahas mekanisme pembentukan hukum yaitu ilmu Ushul Fiqh.
Sampai saat makalah ini ditulis, penulis belum menemukan pembahasan khusus
tentang Syar`u Man Qablana selain dalam kitab Ushul Fiqh.
Para
ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita atau syar`u man qablana
ialah hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa
oleh para Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh
umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad Saw.
Dimana
kita dapat menemukan syariat terdahulu itu? Apakah dari kitab suci Nabi dan
Rasul terdahulu yang ada sekarang seperti Perjanjian Lama untuk agama Yahudi
dan Injil Bible untuk agama Kristen (Katolik dan Protestan)? Hal ini menjadi
pembicaraan di kalangan ulama.
Meyakini
adanya kitab suci yang diturunkan kepada
nabi-nabi terdahulu adalah merupakan salah satu rukun iman. Namun kita
meyakini pula bahwa Perjanjian Lama yang ada sekarang bukanlah Taurat yang
diturunkan kepada Nabi Musa. Begitu pula Injil atau Bible yang dipegang orang
Kristen saat ini bukanlah Injil yang diturunkan Allah kepada Nabi Isa dalam
arti yang sesungguhnya. Kedua kitab suci yang ada sekarang itu sudah mengalami
perubahan melalui tangan para pengikutnya.
Sehubungan
dengan itu, maka syariat umat terdahulu itu bukanlah yang terdapat dalam
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang ada sekarang. Kedua kitab tersebut
sudah disepakati oleh semua ulama untuk menolaknya. Kalau demikian halnya, maka
yang disebut syariat sebelum kita adalah hukum-hukum yang berlaku untuk umat
sebelum datang risalah Nabi Muhammad sejauh yang dapat dibaca dalam Alquran
atau dinukilkan oleh Nabi Muhammad Saw, karena memang Alquran dan Hadis Nabi
banyak berbicara tentang syariat terdahulu.
B.
Pengelompokan
Syar’u Man Qablana
Syariat
sebelum kita dalam pengertian di atas, dapat dibagi dalam tiga kelompok:
1.
Syariat
terdahulu yang terdapat dalam Alquran atau penjelasan Nabi yang disyariatkan
untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam Alquran atau Hadis
Nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi
Muhammad. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-An`am: 146
n?tãur úïÏ%©!$# (#rß$yd $oYøB§ym ¨@à2 Ï 9àÿàß ( ÆÏBur Ìs)t7ø9$# ÉOoYtóø9$#ur $oYøB§ym öNÎgøn=tæ !$yJßgtBqßsä©
Kami
haramkan atas orang-orang Yahudi setiap (binatang) yang punya kuku; dan dari
sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya.
Ayat
ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu. Kemudian
dijelaskan pula dalam Alquran bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi
Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat Al-An`am: 145
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜt HwÎ) br& cqä3t ºptGøtB ÷rr& $YBy %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9Í\Åz
Katakanlah
aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang haram
terhadap orang untuk dimakan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging
babi.
Hadis
Nabi
احلت لى الغنام ولم تحل لاحد من قبلى
Dihalalkan
untukku harta rampasan yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku.
Hadis
Nabi ini menjelaskan bahwa ghanimah (harta rampasan perang) itu tidak
halal untuk umat terdahulu, namun kemudian dihalalkan untuk umat Nabi Muhammad.
Ulama
telah sepakat menyatakan bahwa syariat terdahulu yang dalam bentuk ini (yang
telah dinasakh) tidak berlaku untuk umat Nabi Muhammad.
2.
Hukum-hukum
dijelaskan dalam Alquran maupun Hadis Nabi disyariatkan untuk umat sebelumnya
dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku
untuk selanjutnya. Umpamanya firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 183
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Hai
orang-orang yang beriman diwajibkan ataspu puasa sebagaimana diwajibkan atas
umat sebelum kalian mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertakwa.
Dalam
ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk terdahulu dan diwajibkan atas
umat Nabi Muhammad.
Contoh
dalam Hadis Nabi adalah tentang berkurban yang dijelaskan disyariatkan untuk
Nabi Ibrahim, juga disyariatkan untuk umat Nabi Muhammad. Hal ini ditegaskan
dalam sabda Nabi:
ضحوا فانها سنة ابيكم ابراهيم
Berkurbanlah
karena yang demikian itu adalah sunah bapakmu, Ibrahim.
Hukum-hukum
dalam bentuk ini berlaku untuk umat Nabi Muhammad. Hal ini telah disepakati
oleh semua ulama. Pemberlakuan hukum untuk umat Nabi Muhammad bukan karena ia
adalah syara’ sebelum kita yang harus berlaku untuk kita, tetapi karena
kewajiban tersebut ditetapkan pemberlakuannya unutk kita dalam Alquran atau
Hadis Nabi.
3.
Hukum-hukum
yang disebutkan dalam Alquran atau hadis Nabi dijelaskan berlaku untuk umat
sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita,
juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh.
Dari
ketiga kelompok syariat sebelum kita, bentuk pertama sudah jelas kedudukannya
yaitu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad. Demikian juga dengan bentuk
kedua yang disepakati telah menjadi hukum Islam. Bentuk ketiga inilah
sebenarnya yang disebut “syariat sebelum kita” yang menjadi bahan kajian ulama
Ushul pada waktu membicarakan dalil-dalil syara` atau metode ijtihad.
Pembahasan
tentang syariat “syariat sebelum kita” ini mucul karena di satu sisi ia
terdapat (disebut) dalam Alquran yang tentu dengan sendirinya mengikat untuk
umat Nabi Muhammad, namun di sisi lain Alquran itu sendiri menyebutkan bahwa
hukum itu berlaku untuk umat tertentu sebelum Nabi Muhammad. Ayat Alquran dalam
hal ini mengisahkan isi sebuah kitab suci terdahulu yang menetapkan hukum bagi
umatnya. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Maidah: 45
$oYö;tFx.ur
öNÍkön=tã
!$pkÏù
¨br&
}§øÿ¨Z9$#
ħøÿ¨Z9$$Î/
ú÷üyèø9$#ur
Èû÷üyèø9$$Î/
Kami
telah tetapkan terhadap mereka (kaum Yahudi) di dalamnya (Kitab Taurat)
bahwasany jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata...
Ayat
ini mengisahkan hukum yang berlaku pada orang Yahudi di masa dahulu kala.
C.
Kehujjahan
Syar`u Man Qablana
Para
ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum kita itu menjadi dalil
dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad. Kaidah Syar`u Man Qablana ini
dimasukkan Al-Ghazali ke dalam empat kaidah yang tidak disepakati oleh para
ulama Ushul.[4]
Pendapat
mereka dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Jumhur ulama
Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta ulama kalam
Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita
dalam bentuk yang ketiga tersebut di atas tidak berlaku untuk kita (umat Nabi
Muhammad) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad.
Alasannya adalah bahwa syariat sebelum kita itu berlaku secara umum. Lain
halnya syariat yang dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku
secara umum dan menasakh syariat sebelumnya.
2.
Sebagian
sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang
disebutkan dalam Alquran atau Sunah Nabi meskipun tidak diarahkan untuk umat
Nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka
berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad. Dari sini muncul kaidah
شرع من قبلنا شرع لنا
Alasan yang mereka kemukakan adalah beberapa petunjuk
dari ayat Alquran yang diantaranya:
a.
Surat al-Syura:
13
tíu° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Ó»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZø¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤Ïãur ( ÷br& (#qãKÏ%r& tûïÏe$!$# wur (#qè%§xÿtGs? ÏmÏù 4
Dia
telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkanNya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan jangan
kamu berpecah belah tentangnya”
b.
Surat al-Nahl:
123
§NèO !$uZøym÷rr& y7øs9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOÏdºtö/Î) $ZÿÏZym ( $tBur tb%x. z`ÏB tûüÅ2Îô³ßJø9$# ÇÊËÌÈ
Kemudian
Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus.
Sehubungan
dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah memberlakukan hukum qishash yang
seimbang sebagaimana tersebut dalam surat Al-Maidah: 45[5]
bagi umat Islam, meskipun ayat tersebut diarahkan kepada orang Yahudi.
Berdasarkan pendapat ini orang muslim yang membunuh kafir dzimmi dikenai
qishash sebagaimana orang kafir dzimmi membunuh orang Islam. Sedangkan kalangan
ulama Syafi’iyah yang tidak memberlakukan syariat umat Yahudi itu untuk umat
Islam memahami ayat tersebut bahwa tidak perlu ada keseimbangan dalam
pelaksanaan qishash antara mushlim dan non-muslim sebagaimana yang diberlakukan
terhadap orang Yahudi. Oleh karena itu, bila orang muslim membunuh kafir
dzimmi, maka tidak diberlakukan hukum qishash. Tetapi bila kafir dzimmi yang
membunuh orang Islam, maka diberlakukan qishash.
Sebenarnya
perbedaan pendapat dalam soal qishash itu tidak semata disebabkan oleh
perbedaan pendapat dalam hal pemberlakuan syariat sebelum kita tersebut, tetapi
ada beberapa faktor (pertimbangan) lainnya. Meskipun dalam hal ini terdapat
perbedaan pendapat, namun yang berpendapat bahwa syariat sebelum kita itu dapat
menjadi syariat bagi kita adalah bukan karena ia adalah syariat sebelum kita
tetapi karena ia terdapat dalam Alquran dan Sunah Nabi yang harus dijadikan
pedoman. Demikian, kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum Islam tidak
berdiri sendiri.
Nabi
Muhammad Saw. sampai usia 40 tahun belum menerima risalah dari Allah Swt. untuk
diberlakukan bagi umatnya. Selama masa menjelang menerima risalah itu, apakah
beliau beramal mengikuti syariat agama sebelumnya atau tidak? Dalam hal ini
ulama ushul berbeda pendapat, yaitu:
1.
sebagian ulama,
termasuk Abu Husein al-Bashri, berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah
mengikuti syariat manapun dari syariat nabi-nabi sebelumnya ketika beliau belum
menerima wahyu. Alasannya karena sekiranya Nabi Muhammad beramal dengan salah
satu syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya tentu akan ada penukilan
dari beliau dan akan dikenal luas (populer) tentang beramalnya dengan syariat
itu, serta Nabi Muhammad sendiri akan bergabung dan berbaur dengan sesama umat
yang menjalankan syariat tersebut.
Pendapat ini dikuatkan oleh Sidi Nazar Bakry yang mengutip para Jumhur Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa Nabi
sebelum diutus menjadi Rasul tidak terikat dengan peraturan/syari’at sebelum
Islam, karena jika Nabi Saw. terikat dengan
syari’at sebelum Islam, maka akan ada dalil yang menunjukkannya.[6]
2.
sebagian ulama
lainnya berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti salah satu syariat yang
dibawa oleh Nabi dan Rasul sebelumnya menjelang beliau menerima risalah.
Alasannya ialah bahwa Muhammad sebelum menerima risalah telah thawaf di
Baitullah, dan biasa makan daging kurban. Hal ini bukanlah suatu amalan yang
dapat ditetapkan dengan akal. Dengan demikian mesti ada petunjuk wahyu yang
diikuti beliau, yaitu syariat dari Nabi dan Rasul terdahulu.
Di
kalangan ulama yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad mengikuti suatu syariat
sebelumnya berbeda pendapat dalam hal syariat Nabi yang diikutinya itu:[7]
1)
ada yang
menyatakan beliau mengikuti syariat Nabi Nuh dengan alasan bahwa Nuh adalah
Nabi yang paling awal disebut membawa syariat, sebagai tersebut dalam surat
al-Syura: 13
tíu° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Ó»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î)
Disyariatkan
kepadamu dari agama apa yang diwasiatkan dengannya kepada Nuh dan Kami wahyukan
kepadamu
2)
ada yang
mengatakan bahwa Muhammad mengikuti syariat Nabi Ibrahim, karena Nabi Ibrahim
adalah yang mengasaskan agama Islam, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali
Imran: 67
$tB tb%x. ãNÏdºtö/Î) $wÏqåku wur $|ÏR#uóÇnS `Å3»s9ur c%x. $ZÿÏZym $VJÎ=ó¡B
Ibrahim
itu bukan beragama Yahudi dan bukan pulaberagama Nasrani, tetapi ia adalah
orang yang lurus lagi muslim.
3)
Ada juga yang
berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti syariat Nabi Musa, karena Nabi Musa
adalah yang pertama disebut sebagai pembawa kitab.
3.
Pendapat ulama
yang bersikap tawaqquf, dalam arti tidak menentukan sikap tentang apakah
Nabi menjalankan syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya atau tidak,
meskipun ada kemungkinan masih berlakunya syariat lama tersebut. Pendapat ini
adalah yang terpilih menurut Al-Amidi dan Qadhi Abdul Jabbar dan ulama lain
yang sependapat.
Pembahasan
ulama ushul berikutnya berkembang kepada kemungkinan Nabi Muhammad
mengikuti syariat sebelumnya sesudah beliau menerima risalah. Dalam hal ini
timbul beberapa pendapat:
1.
Abu Hanifah,
Ahmad (dalam salah satu riwayat) dan sebagian pengikut Syafi’i berpendapat
bahwa Nabi Muhammad ada mengikuti syariat sebelumnya yang sah yang diterimanya
melalui wahyu, dan tidak melalui kitab suci para nabi dan rasul terdahulu yang
sudah diperbarui Allah atau diubah oleh para pendetanya, selama syariat
tersebut belum dinasakh.
Mereka
mengajukan argumen dengan beberapa ayat Alquran dan Hadis yang diantaranya
adalah
1)
Surat al-Nahl:
123
§NèO !$uZøym÷rr& y7øs9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOÏdºtö/Î) $ZÿÏZym (
Kemudian
Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif
2)
Surat
Al-Maidah: 44
!$¯RÎ) $uZø9tRr& sp1uöqG9$# $pkÏù Wèd ÖqçRur 4 ãNä3øts $pkÍ5 cqÎ;¨Y9$#
Kami
telah menurunkan Taurat yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya yang para
nabi berhukum berhukum dengannya.
2.
Ulama kalam
Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi setelah menerima risalah
(wahyu) tidak pernah mengikuti syariat sebelumnya. Mereka mengemukakan argumen
sebagai berikut:
a.
Dalam dialog
yang berlangsung antara Nabi dengan Mu’az ibn Jabal tentang cara Mu’az
menyelesaikan perkara sewaktu tidak menemukan jawabannya dalam Alquran dan
Sunah, Mu’az mengatakan bahwa ia akan menggunakan ijtihad dengan akal
pikirannya (ra’yu). Dia tidak menyinggung untuk mengambil ketentuan dari
syariat sebelumnya. Jawaban Mu’az itu mendapat pujian (persetujuan) Nabi.
b.
Kalau Nabi dan
umatnya mengikuti syariat sebelumnya dalam beribadah, tentu mempelajari syariat
sebelumnya itu menjadi wajib kifayah dan Nabi sendiri wajib merujuknya, dan
Nabi sendiri tidak akan berhenti memberikan jawaban terhadap suatu masalah saat
tidak (belum) menerima wahyu. Kenyataannya menunjukkan bahwa Nabi tidak pernah
berpedoman pada syariat sebelumnya.
c.
Ijma’ ulama
menetapkan bahwa syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad itu menasakh syariat
sebelumnya. Seandainya Nabi pernah mengikuti syariat sebelumnya, maka tentu
syariat Islam akan memberikan pengakuan terhadap syariat-syariat sebelumnya,
dan tidak akan menasakhnya.
D.
Penutup
Pada
prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas
yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu adalah
yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan
ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda
sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
Oleh
karena agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan agama terakhir maka
akan ditemukan beberapa hal berkaitan syariat sebelum Islam, pertama penghapusan
terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita sehingga tidak berlaku lagi,
kedua sebagian hukum-hukum umat yang terdahulu ada yang dinyatakan masih
berlaku melalui Alquran atau Hadis, dan ketiga sebagian dinyatakan namun tidak dijelaskan
masih berlaku atau tidak.
Para ulama berpendapat
bahwa untuk masalah aqidah, syari’at Islam tidak membatalkannya dengan
catatan tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Sedangkan syariat sebelum Islam yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak menjadi syariat bagi Rasulullah Saw dan umatnya
kecuali yang
dinyatakan dalam
Alquran dan
Sunnah melahirkan kaidah tersendiri dalam perumusan hukum Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Lisan al-Arab.
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam. Bandung:
Pustaka Setia, 2008.
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, revisi 3. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2009.
Muhyiddin Darwisy, I`rab al-Qur’an al-Karim Wa Bayanuh,
jilid 9, cet. iii. Suriah: Dar al-Irsyad, 1412 H.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. xii. Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, juz iv. Beirut: Dar
al-Jail, 1408 H.
Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir Al-Manar, juz 3. Beirut:
Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1420 H.
Tafsir al-Thabari
Juhaya S. Pradja, Filsafat Hukum Islam. Bandung:
Yayasan Piara, 1997.
Hasbi Ash-Shiediqie, Falsafah Hukum Islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1993.
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet.
xii. Kairo: Dar al-Qalam, 1398 H.
Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.
[4] Keempat kaidah
itu adalah Syar`u Man Qablana, Qaul al-Shahabi, Istihsan, Istishlah. Lihat
Al-Ghazali, Al-Mustashfa.
$oYö;tFx.ur
öNÍkön=tã !$pkÏù ¨br&
}§øÿ¨Z9$#
ħøÿ¨Z9$$Î/
ú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/
y#RF{$#ur
É#RF{$$Î/
cèW{$#ur ÈbèW{$$Î/
£`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù X£|Ás?
¾ÏmÎ/
uqßgsù ×ou$¤ÿ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9
Nà6øts
!$yJÎ/ tAtRr& ª!$#
y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd
tbqßJÎ=»©à9$#
ÇÍÎÈ
[6] Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,
cet. 4 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003),
hal. 239.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...