Oleh
: Abu Fatih
1. Keotentikan Sumbernya.
Hal
ini karena ‘aqidah Ahlus Sunnah semata-mata hanya bersandarkan kepada
al-Qur-an, hadits dan ijma’ para ulama Salaf serta penjelasan dari mereka. Ciri
ini tidak terdapat pada aliran-aliran Mutakalimin, ahli bid’ah dan kaum Sufi
yang selalu bersandar kepada akal dan pemikiran atau kepada kasyaf, ilham,
wujud dan sumber-sumber lain yang berasal dari manusia yang lemah. Mereka
jadikan hal tersebut sebagai patokan atau sandaran di dalam masalah-masalah
yang ghaib. Padahal ‘aqidah itu semuanya ghaib. Sedangkan Ahlus Sunnah selalu
berpegang teguh al-Qur-an dan Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
Ijma’ Salafush Shalih dan penjelasan-penjelasan dari mereka. Jadi, ‘aqidah apa
saja yang bersumber dari selain al-Qur-an, hadits, ijma’ dan penjelasan mereka
itu, maka adalah termasuk kesesatan dan kebid’ahan.[1].
2.
Berpegang Teguh
Kepada Prinsip Berserah Diri Kepada Allah Dan Kepada Rasul-Nya Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam
Sebab
‘aqidah adalah masalah yang ghaib, dan hal yang ghaib itu hanya tegak dan
bersandar kepada kepasrahan (taslim) dan keyakinan sepenuhnya (mutlak) kepada
Allah (dan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam). Maksudnya, hal tersebut
adalah apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya (wajib diterima dan diyakini
sepenuhnya. Taslim merupakan ciri dan sifat kaum beriman yang karenanya mereka
dipuji oleh Allah, seraya berfirman:
"Artinya :
Alif Laam Mim. Kitab al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi
mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka beriman kepada yang ghaib..."[Al-Baqarah:
1-3]
Perkara ghaib
itu tidak dapat diketahui atau dijangkau oleh akal, maka oleh karena itu Ahlus
Sunnah membatasi diri di dalam masalah ‘aqidah kepada berita dan wahyu yang
datang dari Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sangat berbeda dengan Ahli bid’ah dan
Ahli Kalam (mutakalimin). Mereka memahami masalah yang ghaib itu dengan
berbagai dugaan. Tidak mungkin mereka mengetahui masalah-masalah ghaib. Mereka
tidak melapangkan akalnya [2]. dengan taslim, berserah diri kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan tidak pula menyelamatkan ‘aqidah mereka dengan ittiba’ dan
mereka tidak membiarkan kaum Muslimin awam berada pada fitrah yang telah Allah
fitrahkan kepada mereka.[3]
3. Sejalan Dengan Fitrah
Yang Suci Dan Akal Yang Sehat.
Hal
itu karena ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jam’ah berdiri di atas prinsip ittiba’
(mengikuti), iqtidha’ (meneladani) dan berpedoman kepada petunjuk Allah,
bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ‘aqidah generasi
terdahulu (Salaful Ummah). ‘Aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari sumber fitrah
yang suci dan akal yang sehat itu sendiri serta pedoman yang lurus. Betapa
sejuknya sumber rujukan ini. Sedangkan ‘aqidah dan keyakinan golongan yang lain
itu hanya berupa khayalan dan dugaan-dugaan yang membutakan fitrah dan
membingungkan akal belaka.[4].
4. Mata Rantai Sanadnya Sampai Kepada Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam, Para Shahabatnya Dan Para Tabi’in Serta Para Imam Yang
Mendapatkan Petunjuk
Tidak
ada satu dasar pun dari dasar-dasar ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tidak
mempunyai dasar atau sanad atas qudwah (contoh) dari para Shahabat, Tabi’in dan
para Imam yang mendapatkan petunjuk hingga Hari Kiamat. Hal ini sangat berbeda
dengan ‘aqidah kaum mubtadi‘ah (ahli bid’ah) yang menyalahi kaum Salaf di dalam
ber‘aqidah. ‘aqidah mereka merupakan hal yang baru (bid’ah) tidak mempunyai
sandaran dari al-Qur'an dan as-sunnah, ataupun dari para Shahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Tabi’in. Oleh karena itu, maka mereka
berpegang kepada kebid’ahan sedangkan setiap bid’ah adalah kesesatan.[5]
5. Jelas Dan Gamblang.
‘Aqidah
Ahlus Sunnah mempunyai ciri khas yaitu gamblang dan jelas, bebas dari
kontradiksi dan ketidakjelasan, jauh dari filsafat dan kerumitan kata dan
maknanya, karena ‘aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari firman Allah yang sangat
jelas yang tidak datang kepadanya kebatilan (kepalsuan) baik dari depan maupun
dari belakang, dan bersumber dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang tidak pernah berbicara dengan hawa nafsunya. Sedangkan ‘aqidah dan
keyakinan yang lainnya berasal dari ramuan yang dibuat oleh manusia atau ta’wil
dan tahrif mereka terhadap teks-teks syar’i. Sungguh sangat jauh perbedaan
sumber dari ‘aqidah Ahlus Sunnah dan kelompok yang lainnya. ‘Aqidah Ahlus
Sunnah adalah tauqifiyah (berdasarkan dalil/nash) dan bersifat ghaib, tidak ada
pintu bagi ijtihad sebagaimana yang telah dimaklumi.[6]
6. Bebas Dari Kerancuan,
Kontradiksi Dan Kesamaran.
‘Aqidah
Islam yang murni ini tidak ada kerancuan padanya, tidak pula kontradiksi dan
kesamaran. Hal itu karena ‘aqidah tersebut bersumber dari wahyu, kekuatan
hubungan para penganutnya dengan Allah, realisasi ubudiyah (penghambaan) hanya
kepada-Nya semata, penuh tawakkal kepada-Nya semata, kekokohan keyakinan mereka
terhadap al-haq (kebenaran) yang mereka miliki. Orang yang meyakini ‘aqidah Salaf
tidak akan ada kebingungan, kecemasan, keraguan dan syubhat di dalam beragama.
Berbeda halnya dengan para ahli bid’ah, tujuan dan sasaran mereka tidak pernah
lepas dari penyakit bingung, cemas, ragu, rancu dan mengikuti kesamaran. Sebagai contoh yang sangat jelas sekali adalah
keraguan, kegoncangan dan penyesalan yang terjadi pada para tokoh terkemuka
mutakallimin (ahlu kalam), tokoh filosof dan para tokoh sufi sebagai akibat
dari sikap mereka menjauhi ‘aqidah Salaf. Dan kembalinya sebagian mereka kepada
taslim dan pengakuan terhadap ‘aqidah Salaf, terutama ketika usia mereka sudah
lanjut atau mereka meng-hadapi kematian, sebagaimana yang terjadi pada Imam
Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H). Beliau telah merujuk kembali kepada
‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (‘aqidah Salaf) sebagaimana dinyatakan di
dalam kitabnya, al-Ibanah ‘an Ushuliddiyanah, setelah sebelumnya menganut
‘aqidah mu’tazilah, kemudian talfiq (paduan antara ‘aqidah mu’tazilah dan
‘aqidah Salaf) dan akhirnya kembali kepada ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Hal serupa juga dilakukan oleh Imam al-Baqillani (wafat th. 403 H) sebagaimana
dinyatakan dalam kitab at-Tamhid, dan masih banyak lagi tokoh terkemuka
lainnya. [7]
7. ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Merupakan Faktor Utama Bagi
Kemenangan Dan Kebahagian Abadi Di Dunia Dan Akhirat.
‘Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan faktor utama bagi terealisasinya kesuksesan,
kemenangan dan keteguhan bagi siapa saja yang menganutnya dan menyerukannya
kepada umat manusia dengan penuh ketulusan, kesungguhan dan kesabaran. Golongan
yang berpegang teguh kepada ‘aqidah ini yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah
golongan yang diberikan kemenangan dan pertolongan, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Artinya :
Akan tetap ada satu golongan dari umatku yang berdiri tegak di atas al-haq
(kebenaran), tidak akan membahayakan bagi mereka siapa yang tidak menghiraukannya
hingga datang perintah Allah (hari kiamat) tiba dan mereka tetap seperti itu.
[8]
8. ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Adalah ‘Aqidah Yang Dapat
Mempersatukan Umat.
‘Aqidah
Ahlus Sunnah merupakan jalan yang paling baik untuk menyatukan kekuatan kaum
Muslimin, kesatuan barisan mereka dan untuk memperbaiki apa-apa yang rusak dari
urusan agama dan dunia. Hal ini dikarenakan ‘aqidah Ahlus Sunnah mampu
mengembalikan mereka kepada al-Qur'an dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan jalannya kaum mu’minin yaitu jalannya para Shahabat. Keistimewaan
ini tidak mungkin terealisasi pada suatu golongan mana pun, atau lembaga da’wah
apapun atau organisasi apapun yang tidak menganut ‘aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Sejarah adalah saksi dari kenyataan ini! Hanya negara-negara yang
berpegang teguh kepada ‘aqidah Ahlus Sunnah sajalah yang dapat menyatukan
kekuatan kaum Muslimin yang berserakan, hanya dengan ‘aqidah Salaf maka jihad
serta amar ma’ruf dan nahi munkar itu tegak dan tercapailah kemuliaan Islam.[9]
9. Utuh, Kokoh Dan Tetap
Langgeng Sepanjang Masa.
‘Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah utuh dan sama dalam masalah prinsipil
(ushuludin) sepanjang masa dan akan tetap seperti itu hingga hari Kiamat kelak.
Artinya ‘aqidah Ahlus Sunnah selalu sama, utuh dan terpelihara baik secara
riwayat maupun keilmuannya, kata-kata, maupun maknanya. Ia diwariskan dari
generasi ke generasi berikutnya tanpa mengalami perubahan, pencampuradukan,
kerancuan dan tidak mengalami penambahan maupun pengurangan. Hal tersebut
karena ‘aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari al-Qur'an yang tidak datang
kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakang dan dari Sunnah Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak pernah berbicara dengan hawa nafsu.
[10]
10. Allah Menjamin
Kehidupan Yang Mulia Bagi Orang Yang Menetapi ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Berada
dalam naungan ‘aqidah Ahlus Sunnah akan menyebabkan rasa aman dan kehidupan
yang mulia. Hal ini karena ‘aqidah Ahlus Sunnah senantiasa menjaga keimanan
kepada Allah dan mengandung kewajiban untuk menjadikan Allah sebagai
satu-satunya yang berhak diibadahi dengan benar. Orang yang beriman dan
bertauhid akan mendapatkan rasa aman, kebaikan, kebahagiaan dunia dan akhirat.
Rasa aman senantiasa menyertai keimanan, apabila keimanan itu hilang maka
hilang pula rasa aman.
Firman Allah:
"Artinya :
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." [Al-An’aam: 82].
Orang yang
bertaqwa dan beriman akan mendapatkan rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang
sempurna di dunia dan akhirat. Adapun orang yang berbuat syirik, bid’ah dan
maksiyat mereka adalah orang yang selalu diliputi dengan rasa takut, was-was,
tidak tenang dan tidak ada rasa aman. Mereka selalu diancam dengan berbagai
hukuman dan siksaan pada setiap waktu. [11]
_________
Foote Note
[1]. Lihat
Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 33-34
[2]. Hal ini
tidak boleh difahami bahwa Islam mengekang akal, menonaktifkan fungsinya dan
menghapus bakat berfikir yang ada pada manusia, namun seba-liknya, Islam
menyediakan bagi akal banyak sarana untuk mengetahui, mengamati, berfikir dan
berkarya, sesuatu yang cukup merangsang keinginannya terhadap ciptaan Allah.
Wallaahu a’lam.
[3]. Buhuuts fii
‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 34.
[4]. Ibid.
[5]. Lihat
Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (I/9) dan Buhuuts fii ‘Aqiidah
Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 35).
[6]. Lihat
Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 35).
[7]. Lihat
Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah IV/72-73 dan Buhuuts fii ‘Aqiidah
Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 35-36.
[8].
Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1920) dan at-Tirmidzi (no. 2229), dari Shahabat
Tsauban Radhiyallahu'anhu.
[9]. Lihat
Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 37-38).
[10]. Ibid, hal.
38-39.
[11]. Lihat
‘Aqiidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah; Mafhumuha, Khashaa'isuha, Khasaa-isu Ahliha
(hal. 37) karya Muhammad bin Ibrahim al-Hamd. Cetakan I-1416 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...