Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan hukum Islam adalam memberikan pedoman hidup kepada manusia agar dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Maka muncul pertanyaan “Dari mana kita mengetahui tujuan tersebut?”.
Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah ta’ala dengan bekal untuk hidup
yaitu fitrah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam :
كل
مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak
mempersekutukan Allah) tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang Yahudi
atau Nasrani atau Majusi. HR Bukhari
Fitrah dalam hal ini
adalah Islam, yaitu fitrah yang telah Allah tetapkan kepada setiap manusia.
Agar fitrah ini selalu terjaga maka manusia diberikan daya dan potensi yaitu
berupa : Aql, Syahwah dan Ghadlab. Daya ‘Aql berfungsi mengetahui (ma’rifat)
Allah dan mengesakannya. Daya syahwat berfungsi untuk menginduksi obyek-obyek
yang menyenangkan dan member manfaat bagi manusia. Daya ghadlab berfungsi untuk
mempertahankan diri dan memelihara kelanggengan hidup yang menyenangkan.
Tujuan hukum Islam
dilihat dari segi Pembuat Hukum dapat diketahui melalui penalaran induktif atas
sumber-sumber naqli yaitu wahyu baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah. Dalam hal
ini ada tiga tujuan hukum Islam yaitu primer, sekunder dan tertier. Berikut penjelasannya
:
1.
Tujuan Primer
Tujuan primer
hukum Islam adalah tujuan hukum yang mesti ada demi adanya kehidupan manusia. Apabila
tujuan itu tidak tercapai maka akan menimbulkan ketidak ajegan kemaslahatan
hidup manusia di dunia dan di akhirat, bahkan merusak kehidupan itu sendiri. Kebutuhan
hidup yang primer ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum
Islam yang disebut al-dlaruriyyat al-khams atau al-kulliyaat al-khams atau
sering juga disebut maqasid al-syariah yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang
disepakati bukan saja oleh ulama Islam melainkan oleh keseluruhan agamawan. Kelima
tujuan utama ialah : memelihara agama, jiwa, akal, keturunan/kehormatan dan
harta. Tujuan hukum ibadah merujuk kepada pemeliharaan agama, seperti iman,
mengucapkan dua kalimat syahadat, mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah puasa
di bulan ramadhan dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Tujuan hukum muamalat
merujuk kepada pemeliharaan jiwa dan akal serta keturunan hata. Tjan hukum
pidana (jinayah) yang meliputi amar ma’ruf nahi mungkar merujuk kembali kepada
pemeliharaan keseluruhan tujuan hukum yang bersifat primer.
2.
Sekunder
Tujuan hukum Islam sekunder adalah terpeliharanya
tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder hidup
manusia itu. Kebutuhan hidup sekunder itu bila tidak terpenuhi atau terpelihara
akan menimbulkan kesempitan yang mengakibatkan kesulitan hidup manusia. Namun demikian
kesempitan hidup tersebut tidak akan mengakibatkan kerusakan hidup manusia
secara umum. Kebutuhan hidup yang bersifat sekunder itu terdapat dalam ibadat,
adat, muamalat dan jinnayat. Terpeliharanya tujuan sekunder hukum Islam dalam
ibadat umpamanya dapat tercapai dengan adanya hukum rukhsah yang berbentuk
dispensasi untuk menjamak dan mangqashar shalat bagi mereka yang sedang dalam
perjalanan / safar atau mereka yang tengah mengalami kesulitan baik karena sakit
atau karena sebab lainnya.
Contoh tujuan hukum sekunder dalam adat, seperti
adanya kebolehan berburu dan menikmati segala hal yang baik-baik selama hal itu
dihalalkanm baik berupa makanan, minuman, sandang, papan dan lain sebagainya.
Tujuan hukum sekunder dalam bidang muamalat dapat
tercapai antara lain, dengan adanya hukum musaqah dan salam. Musaqah merupakan system
kerja sama dalam pertanian, yakni system bagi hasil yang dikenal dengan sebutan
paroan sawah. Jual beli salam yaitu system jual beli melalui pesanan dan
pembayaran di muka atau di kemudian hari setelah penyerahan barang yang
diperjualbelikan.
Contoh hukum sekunder dalam bidang hukum pidana
atau jinayat seperti adanya system sumpah (al-yamin) dan denda (diyat) dalam
proses pembuktian dan pemberian sanksi hukum atas pelaku tindak pidana.
3.
Tertier
Tujuan tertier
hukum islam ialah tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup
manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik yang paling layak menurut
kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat. Pencapaia tujuan
tertier hukum islam ini biasanya terdapat dalam bentuk budi pekerti yang mulia
atau al-akhlaq al-karimah. Budi pekerti atau akhlak mulia ini mencakup etika
hukum, baik etika hukum ibadah, muamalah, adat, pidana atau jinayah dan
muamalat keperdataan.
Etika hukum
ibadah umpamanya dicerminkan dengan adanya ketetapan hukum bersuci atau
thaharah, menutup aurat, mensucikan dan membersihkan najis dari tempat ibdah
berhias, melaksanakan kebaikan dalam bentuk shadaqah dan lain sebagainya. Etika
hukum dalam hukum adat umpamanya tercermin dengan adanya hukum dan etika
tentang bagaimana seharusnya makan-minum, isyraf atau berlebihan dan
sebagainya. Etika hukum dalam pidana atau fiqh jinayah umpamanya tercermin
dengan adanya ketentuan yang melarang membunuh wanita dalam keadaan perang. Etika
hukum tersebut di atas merujuk kepada kebaikan dan keutamaan demi tercapainya
tujuan-tujuan hukum yang bersifat primer dan sekunder. Apabila tidak tercapai
tujuan hukum tertier tersebut tidak akan mengakibatkan hilangnya esensi tujuan
hukum primer dan sekunder.
Tujuan hukum
diliat dari segi Pembuat Hukum yakni hukum yan ditujukan agar pembuatan hukum
dapat dipahami oleh mukallaf. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab itu untuk
dipahami. Oleh akrena itu untuk mendalami hukum islam diperlukan kecakapan dan
kemampuan nmemahami bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya. Para filolog
telah berhasil merumuskan kaidah-kaidah kebahasaan yang digunakan untk memahami
hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Terkenallah dalam ushul fiqh ada
yang disebut al-qawaid al-lughawiyyah yaitu kaidah-kaidah hukum yang didasarkan
aras produk para filolog bahasa Arab yang kemudian menjadi bagian penting dari epistemology
hukum Islam. Berdasarkan atas kaidah-kaidah kebahassaan inilah hukum-hukum yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan sunah dapat dipahami dan digali.
Kiadah-kaidah
utama atau kaidah-kaidah pokok yang disebut kaidah al-kulliyah dalam kajian
hukum Islam tidaklah sedikit. Salah satu kaidah pokok tersebut berbunyi :
الأ صل في الأمر يد ل على الوجوب
Hukum asal daripada perintah adalah wajib.
Hal ini berarti Pokok hukum jika dinyatakan
dalam bentuk perintah (amr) adalah untuk menunjukan hukum wajib.
Tujuan hukum
Islam ketiga jika dilihat dari sisi Pembuat Hukum ialah untuk menjadikan hukum
Islam itu sebagai beban dan tanggung jawab hukum si mukallaf. Oleh karena itu,
tujuan hukum adalah mengarahkan mukallaf supaya tidak terjerumus ke dalam
jurang hawa nafsu yang menyesatkan. Akal tidak mampu menjelaskan dan merumuskan
tata cara berterima kasih kepada Allah yaitu dalam bentuk cara-cara beribadah
murni (ibadah mahdlah, seperti jumlah rakaat shalat dan sebagainya). Untuk membantu
akal tersebut Allah menurunkan hukum-hukumnya melalui wahyuNya. Namun demikian,
sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri, yakni demi kemasalahatan dan
menghindarkan kerusakan manusia, makad igariskanlah suatu kaidah. Kaidah itu
menyatakan bahwa taklif atau tanggung jawab huium itu tidak dibebankan kepada
si mukallaf apabila taklif itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin dapat
dilaksanalan oleh si mukallaf.
Tujuan hukum
yang digariskan oleh Pembuat Hukum berikutnya adalah pelaksanaan hukum oleh si
mukallaf mesti dilandasi niatnya. Tujuan dengan niat mukallaf dalam
melaksanakan hukum itu mesti sesuai pula dengan tujuan pembuat hukum. Dinukil dari buku Filsafat Hukum Islam karya Prof. DR Juhaya S. Praja
Ass. Terima kasih telah berbagi ilmu,.
BalasHapus