LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
DALAM PRESPEKTIF POLITIK
HUKUM
Pendahuluan
Hukum adalah
produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung
mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik
terhadap pembangunan hukum. Bellfroid mendefinisikanrechtpolitiek yaitu
proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius
contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi
kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang
juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut
Thomas Dye yaitu: “whatever the government choose to do or not to do”.
Politik hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum.[2]
Berlakunya hukum Islam
di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang
diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik semua itu, berakar pada
kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan
politik. Namun demikian, hukum Islam telah menga1ami perkembangan secara
berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur
politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu. [3]
Cara pandang dan
interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang Islam
terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya.[4] M. Atho Mudzhar[5] misalnya, menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang
pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab
fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundang-undangan di
negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.
Keempat faktor tersebut
diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses transformasi hukum Islam di
Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah berlaku sejak
kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana stigma hukum yang beriaku
dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Sedangkan hukum
Islam dilihat dari dua segi. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis
formal, artinya telah dikodifikasikan dalam struktur hukum nasionaI. Kedua,
hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni hukum Islam yang diyakini
memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim untuk
melaksanakannya.
Untuk mengembangkan
proses transformasi hukum Islam ke dalam supremasi hukum nasional, diperlukan
partisipasi semua pihak dan lembaga terkait, seperti halnya hubungan hukum
Islam dengan badan kekuasaan negara yang mengacu kepada kebijakan politik hukum
yang ditetapkan (adatrechts politiek). Politik hukum tersebut merupakan
produk interaksi kalangan elite politik yang berbasis kepada berbagai kelompok
sosial budaya. Ketika elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam
interaksi politik itu, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk
ditransformasikan semakin besar.
Politik hukum masa Orde
Baru seperti termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
yaitu Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak 1973, 1978, 1983, 1988 dan
1993. Kurun waktu 1973-1988 pengembangan hukum nasional diarahkan bagi kodifikasi
dan unifikasi hukum sesuai kepentingan masyarakat. Bentuk hukum tertulis
tertentu dikodifikasikan dan diunifikasikan, terutama hukum yang bersifat
‚netral? yang berfungsi bagi rekayasa sosial. Demikian halnya bagi orang Islam,
unifikasi hukum Islam memperoleh pengakuan dalam sistem hukum nasional.[6]
Transformasi hukum Islam
dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun)
merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas,
pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling
elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya
UU No.1/1974 tentang Perkawinan, peranan elite Islam cukup dominan dalam
melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga RUU
Perkawinan No.1/1974 dapat dikodifikasikan.[7] Adapun
prosedur pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif
dalam hal legislasi hukum Islam (legal drafting) hendaknva mengacu
kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Suatu
undang-undang dapat ditetapkan sebagai peraturan tertulis yang dikodifikasikan
apabila telah melalui proses politik pada badan kekuasaan negara yaitu
legislatif dan eksekutif, serta memenuhi persyaratan dan rancangan
perundang-undangan yang layak.
Pendekatan konsepsional
prosedur legislasi hukum Islam sebagaimana dikemukakan oleh A. Hamid S.
Attamimi adalah bahwa pemerintah dan DPR memegang kekuasaan di dalam
pembentukan undang-undang. Disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 bahwa‚
Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.? Sedangkan dalam penjelasan mengenai pasal 5 ayat (1) UUD
1945 dinyatakan bahwa ‚kecuali executive power, Presiden bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislatif power dalam negara.[8]
Berdasarkan pandangan
tersebut, maka DPR hendaknya memberi persetujuan kepada tiap-tiap Rancangan
Undang-undang yang diajukan oleh Pemerintah. Hal ini senada dengan penjelasan
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, kendati DPR tidak harus selalu meyatakan setuju
terhadap semua rancangan Undang-undang dari pemerintah. Keberadaan DPR
sesungguhnya harus memberikan suatu consent atau kesepakatan
dalam arti menerima atau menolak rancangan undang-undang.
Dinamika Politik Hukum
Islam di Indonesia
Peralihan kekuasaan dan
pemerintahan Orde Lama kepada Orde Baru ditandai dengan turunnya Soekarno
dan kursi kepresidenan pasca kudeta G30/S/PKI pada tahun 1965.[9] Peristiwa politik tersebut telah berimplikasi kepada munculnya
krisis politik yang cukup menegangkan berupa gerakan massa yang menuntut
pembubaran PKI serta tuntutan pembenahan sistem politik dan pemulihan keamanan
negara.[10]
Puncaknya terjadi pada
tahun 1966, di mana pada saat itu situasi dan stabilitas dalam negeri Indonesia
semakin carut marut. Pada gilirannya Soekarno mengeluarkan Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto yang pada intinya berisi
perintah untuk pemulihan kamanan dan ketertihan nasional, konsolidasi semua
aparat militer dan sipil, serta pelaporan atas segala tugas dan tanggung jawab
surat perintah tersebut.[11] Proses politik dalam negeri saat itu berjalan sangat cepat.
Jenderal Soeharto secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemegang
kendali atas setiap proses politik. Ia mengambil langkah-langkah yang
diperlukan bagi percepatan dan pemulihan kondisi sosial, politik dan ekonomi
saat itu, hingga digelarnya Sidang Umum MPRS pada bulan Juni - Juli 1966.
Ketetapan MPRS No,
TX/MPRS/1966 menjadi landasan konstitusinal bagi Supersemar dan sekaligus
digelarnya Sidang Umum MPRS tahun 1967 berhasil melengserkan Soekarno dan kursi
kepresidenan berupa pencabutan mandat presiden oleh MPRS dalam Tap MPRS No.
XXXIII/MPRS/1967. Hal ini telah memuluskan jalan bagi Soeharto untuk naik ke
puncak kekuasaan yakni diangkat menjadi presiden kedua yang ditetapkan dalam
ketetapan MPRS No.XLITI/MPRS/1968.[12]
Lahirnya Orde Baru yang
didukung oleh kalangan pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia
(KAPPI) yang para anggotanya mayoritas beragama Islam. Dapat dikatakan, mereka
menjadi ujung tombak runtuhnya pemerintahan Orde Lama. Pada awal Orde Baru
banyak dilakukan perubahan terhadap kecenderungan birokrasi yang tidak
bertanggungjawab yang warisan Orde Lama. Dengan memakai format politik yang berporos
pada eratnya hubungan militer dan teknokrat untuk tujuan melaksanakan
pembangunan dan mewujudkan pemerintah yang stabil dan kuat. Kekuatan militer
dan birokrasi merupakan mesin politik untuk menata kehidupan sosial dan politik
masyarakat, sehingga Orde Baru melalui dua komponen tersebut menjadi kekuatan
politik tunggal di Indonesia.[13]
Adapun format politik
yang tercipta antara lain[14]: Pertama, peranan birokrasi sangat kuat karena dijalankan oleh militer
setelah ambruknya demokrasi terpimpin, sehingga ia menjadi satu-satunya pemain
utama di pentas politik nasional. Kedua, upaya membangun sebuah kekuatan
organisasi sosial politik sebagai perpanjangan tangan ABRI dan pemerintah dalam
wujud lahirnya Golkar sebagai mayoritas tunggal organisasi politik di masa Orde
Baru. Ketiga, penjinakan radikalisme dalam politik melalui proses depolitisasi
massa, seperti menerapkan konsep floating mass dan NKK/BKK di
lingkungan pendidikan tinggi. Keempat, lebih menekankan pendekatan keamanan (Security
Approach) dan pendekatan kesejahteraan (Welfare Approuch) dalam
pembagunan sosial politik; Kelima, menggalang dukungan masyarakat melalui
organisasi-organisasi sosial dan kemasyarakatan yang berbasis korporatis.
Persentuhan Islam dan
politik pada masa Orde Baru sesungguhnya telah diawali sejak Orde Baru
menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma perkembangan pola pikir dan
cara pandang bangsa Indonesia serta proses transformasi kultural dan perubahan
sosial lebih banyak mengadopsi apa yang pernah terjadi di negara-negara Barat.
Kiblat pembangunan di Indonesia yang sebelumnya mengarah ke Eropa Timur
berbalik arah ke Eropa Barat dan Amenka. Banyak didapatkan kalangan cendekiawan
dan kalangan intelektual mulai akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat.
Sementara itu, bagi
kalangan Islam modernisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua pilihan,
yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru berarti sama saja mendukung
Barat, sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam akan
kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam program pembangunan nasional.[15] Sikap pro-kontra di kalangan mayoritas umat Islam dalam menanggapi
modernisasi melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu
bentuk sikap penolakan kalangan Islam terhadap segala nilai-nilai yang berakar
pada wacana modernisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi bahwa modernisasi
identik dengan westernisasi dan sekularisasi; Kedua, pola adaptif, yakni suatu
bentuk sikap menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam; Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis
yang lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi.
Dan ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih dominan karena
pendekatan intelektual yang dikembangkan oleh kalangan modernis dipandang lebih
representatif untuk membangun tatanan Islam modern di Indonesia. Hal ini
terjadi sebagai antitesa dari kalangan Islam konservatif yang lebih mengarah
kepada upaya ideologisasi dan depolitisasi Islam secara formal yang
mengakibatkan lahirnnya ketegangan dengan rezim Orde Baru.
Pola pertautan politik
yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik bagi islamisasi di
Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya umat Islam yang dapat
disatukan dalam bingkai sistem politik keormasan. Pada gilirannya, lahirlah
gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi umat Islam untuk tetap
memainkan perannya daam pentas politik nasional Paling tidak, kebenaran akan
pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya jalan bagi umat Islam
menuju islamisasi politik Orde Baru di penghujung tahun 1970-an.[16]
Kebijakan-kebijakan
politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam posisi marjinal di pentas
politik nasional pada gilirannya telah melahirkan berbagai ketegangan antara
Islam dan negara. Sejarah telah mencatat hahwa dinamika hubungan Islam dan
negara pada masa Orde Baru mengalami pergeseran yang bersifat antagonistik,
resiprokal kritis sampai akomodatif. Hubungan antagonistik (1966-1981) mencerminkan
pola hubungan yang hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru. Keadaan
negara yang kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat
masyarakat bawah telah berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islam sehingga
melahirkan konflik ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi.[17]Kemudian
pada tahap hubungan resiprokal kritis (1982- 1985) kaum santri berupaya
merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya untuk menampilkan
sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada tahap ini
pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian akan
kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam kurun waktu 1982-1985
sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam landasan ideologi
negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan akomodatif (1985-2000)
hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk
sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi, Pola hubungan akomodatif
ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk membangun
tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur
agama (Islam) serta budaya bangsa yang dibingkai dalam falsafah integralistik
Pancasila dan UUD 1945.[18]
Tersendat-sendatnya
aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak perundang-undangan dan hukum
tampak ketika dilegislasikannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan yang kemudian
disusul dengan PP No.9/1975. Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf
dalam PP No.28/1977. Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat
legislatif kembali mempersoalkan faham/aliran kepercayaan dalam UUD 1945
sebagai agama resmi yang diakui negara. Dan yang paling krusial adalah kehendak
umat Islam untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama
(RUUPA) bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.[19]
Pada pola hubungan
resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya strategi untuk menempuh jalur
struktural-birokrat pada sistem kenegaraan. Pada tahapan ini, kalangan
cendekiawan dan politisi Islam harus berani bersentuhan langsung dengan
pemerintahan Orde Baru.[20] Melalui
pendekatan strukturai-fungsional, umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat
berupa masuknya kalangan Islam dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai
dari pusat hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam
bingkai akumulasi sipil Islam dan militer.
Pada pola akomodatif,
sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya Islam hampir menguasai seluruh
sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat realitas sosial politik umat
Islam demikian penting memainkan peranannya di pentas nasional. Kehadiran ICMI,
8 Desember 1990, diyakini sebagai tonggak baru menguatnya islamisasi politik di
Indonesia, dan semakin tampak ketika diakomodirnya kepentingan syari’at Islam
melalui UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama, sekaligus menempatkan Peradilan
Agama sebagai lembaga peradilan negara yang diatur dalam UU No.14/1970 tentang
Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman, disusul dengan UU No.10/1998 tentang Perbankan
(pengganti UU No.7/1992), UU No.38/ 1999, tentang Zakat, Inpres
No.1/1991.tentang Penyebarluasan KHI [21] Artikulasi
dan partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai dari
pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis sampai pendekatan akomodatif.
Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan politik
hanya dapat ditempuh dengan dua cara yakni secara represif (konflik) dan
akomodatif (struktural-fungsional). Paling tidak ini merupakan sebuah gambaran
terhadap model paradigma hubungan antara Islam dan negara di Indonesia. Gagasan
Transformasi Hukum Islam di Indonesia
Gagasan transformasi
hukum Islam dapat dilihat dan segi ilmu negara. Dijelaskan bahwa bagi negara
yang menganut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang menjadi kebijakan
politik tertinggi. Demikian pula negara yang berdasar atas kedaulatan Tuhan,
maka kedaulatan negara/kekuasaan (rechtstaat) dan negara yang berdasar
atas hukum (machtstaat), sangat tergantung kepada gaya politik hukum
kekuasaan negara itu sendiri.[22]
Rousseau misa1nya dalam
teori kedaulatan rakyatnya mengatakan bahwa tujuan negara adalah untuk
menegakkan hukum dan menjamin kebebasan dan para warga negaranya. Pendapat
Rousseau tersebut mempunyai pengertian bahwa kebebasan dalam batas-batas
perundang-undangan. Sedangkan undang-undang di sini yang berhak membuatnya
adalah rakyat itu sendiri. Atas dasar itu, Rousseau berpendapat bahwa suatu
undang-undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum (volunte generale),
di mana seluruh rakyat secara langsung megambil bagian dalam proses pembentukan
undang-undang itu.[23] Dalam
konteks kenegaraan di Indonesia kehendak rakyat secara umum diimplementasikan
menjadi sebuah lembaga tinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jadi,
munculnya pemahaman tertulis bahwa eksekutif membuat sebuah rancangan
undang-undang sebelum ditetapkan bagi pemberlakuannya, terlebih dahulu harus
disetujui DPR.
Ketika Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelumnya telah
terjadi silang pendapat perihal ideologi yang hendak dianut oleh Negara
Indonesia. Gagasan Prof. Dr. Soepomo tentang falsafah negara integralistik
dalam sidang BPUPKI tanggal 13 Mei 1945 telah membuka wacana pluralisme
masyarakat Indonesia untuk memilih salah satu di antara tiga faham yang ia
ajukan, yaitu; (1) Faham Individualisme: 2) Faham Kolektifisme; dan (3) Faham
Integralistik.[24] Dalam
sejarah Indonesia, para politisi menghendaki faham integralistik sebagai
ideologi negara dan Pancasila dan UUD 1945 kemudian disepakati sebagai landasan
idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasiya
secara hukum setiap bentuk perundang-undangan diharuskan lebih inklusif dan
harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada
gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan negara
Undang-undang dinyatakan
sebagai peraturan perundang-undangan yang tertinggi, di dalamnya telah dapat
dicantumkan adanya sanksi dan sekaligus dapat langsung berlaku dan mengikat
masyarakat secara umum. Istilah undang-undang dalam anti formil dan
materil merupakan terjemahan dan wet in formelezin dan wet
in materielezin yang dikenal Belanda. Di Belanda undang-undang dalam
anti formil (wet in formelezin) merupakan keputusan yang dibuat olehRegering
dan Staten Generaal bersama-sama (gejamenlijk) terlepas apakah
isinya peraturan (regeling) atau penetapan (beschikking). Ini dilihat
dari segi pembentukannya atau siapa yang membentuknya.
Sedangkan undang-undang
dalam arti materil (wet in materielezin) adalah setiap keputusan yang
mengikat umum (algemeen verbidende voorschnften), baik yang dibuat oleh
lembaga tinggi Regering dan Staten Generaal bersama-sama,
maupun oleh lembaga-lembaga lain yang lebih rendah seperti Regering
Kroon,Minister, Provinde dan Garneente yang
masing-masing membentukAlgemene Maatre gel van Bestuur, Ministeriele
Verordening, Pro vinciale Wetten, Gemeeteljkewetten, serta
peraturan-peraturan lainnya yang mengikat umum (Aloemeeri Verbiridende
Voorschnfteri).[25] Jika
pengertian wet diidentikan dengan Presiden dan DPR, baik
secara formil maupun materil kurang tepat. Di Indonesia hanya dikenal istilah
undang-undang saja yang diidentikan denganwet. Dengan kata lain,
undang-undang di Indonesia yang ditetapkan oleh presiden dan atas persetujuan
DPR disebut setara muatan hukumnva baik secara formil maupun materil dan
berlaku umum.
Hubungannya dengan
undang-undang pokok tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Berdasarkan
kepada UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia. Pasal 5 ayat (1) telah
menggariskan bahwa semua undang-undang di Indonesia adalah undang-undang pokok
yang kedudukannya setara, dan berada di bawah hierarki norma hukum dan
konstitusi UUD 1945. Atas dasar itu, maka dapat dipahami bahwa Undang-undang
Dasar (UUD) jelas berbeda dengan undang-undang. Hal ini dapat dilihat dalam
sistem hukum Indonesia yang diatur dalam ketetapan MPR No.XX/MPRS/ 1966 sebagai
berikut: UUD 1945, Tap MPR, UU, Perpu, PP, Kepres, Kepmen, Perda Tk. I, Perda
Tk. II, dan seterusnya.[26]
Di samping itu, berbagai
jenis peraturan perundang-undanan di negara Indonesia dalam suatu tata susunan
hierarki mengakibatkan pula adanya perbedaan fungsi maupun materi muatan
berbagai jenis peraturan perundang-undangan tersebut. Secara umum fungsi dan
undang-undang adalah: Pertama, menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut tentang
ketentuan dalam UUD 1945 secara tegas; Kedua, pengaturan lebih lanjut secara
umum mengenai penjelasan dalam batang tubuh UUD 1945; Ketiga, pengaturan lebih
lanjut mengenai Tap MPR; dan Keempat, pengaturan di bidang materi konstitusi.27
Sedangkan materi muatan undang-undang telah diperkenalkan oleh A. Hamid Attamimi
dengan istilah het eigenaarding orderwerp der wetyang
juga digunakan oleh Thorbecke dalam Aantekening op de Grondwet yang
terjemaahannya sebagai berikut:
Grondwet meminjam pemahaman tentang wet hanyalah dan orang/badan
hukum yang membentuknya. Grondwet membiarkan pertanyaan terbuka mengenai apa
yang di negara kita harus ditetapkan dengan wet dan apa yang
boleh ditetapkan dengan cara lain. Sebagaimana halnya dengan grondwet-grondwet lainnya,Grondwet (inipun)
berdiam diri (untuk) merumuskan materi muatan yang khas bagi wet (het
eigenaarding orderwerp der wet).
Apabila pendapat
Thorbecke ini dipersamakan dengan UUD 1945, pandangan ini ada benarnya, karena
UUD 1945 ditentukan mengenai siapa yang berhak membentuk undang-undang. Dalam
pasal 5 ayat (1), yang menentukan adalah presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan DPR, dan materi muatan undang-undang sama
sekali tidak disebutkan. Kendati demikian, para ahli hukum menyebutkan bahwa
materi muatan undang-undang tidak dapat ditentukan ruang lingkup materinya
mengingat semua undang-undang adalah perwujudan aspirasi rakyat (kedaulatan
rakyat). Atas dasar itu, sesungguhnya semua materi muatan dapat menjadi
undang-undang, kecuali jika undang-undang tidak berkenan mangatur atau menetapkannva.[27]
Bila diteliti lebih
seksama kekhasan undang-undang dan peraturan lainnya adalah undang-undang
dibentuk dan ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Jadi. muatan
materi hukum undang-undang akan menjadi pedoman bagi peraturan-peraturan lain
di bawahnya. Adapun pedoman untuk mengetahui materi muatan undang-undang dapat
ditentukan melalui tiga pedoman, yaitu: Pertama, dari ketentuan dalam Batang
Tuhuh UUD 1945 terdapat sekitar 18 masalah (18 pasal) tentang hak-hak asasi
manusia, pembagian kekuasaan negara, dan penetapan organisasi dan alat
kelengkapan negara; Kedua, Berdasar wawasan negara berdasar atas hukum/rechtstaat) yang
dimulai dan kekuasaan absolut negara (polizeistacit), terus pembentukan
negara berdasar atas hukum yang sempit/liberal (rechtstaat sempit/liberal),
berdasar atas hukum formal (rechtstaat formal), dan negara berdasar
atas hukum material/sosial yang modern (rechtstaat material
sosial); dan Ketiga, berdasar pada wawasan pemerintahan sistem konsitusional,
di mana penyelenggaraan kekuasaan negara dan hukum serta yang lainnya harus
mengacu pada norma dasar (ground norm) dan Undang-undang Dasar. Dengan
kata lain, yang dimaksud adalah Pancasila dan UUD 1945.[28] Dari
rumusan-rumusan tersebut, dapat diambil gambaran konseptual bahwa
kodifikasi hukum Islam menjadi sebuah undang-undang (takhrij al-ahkam fi
al-nash al-taqnin) diharuskan mengikuti prosedur konstitusional dan sejalan
dengan norma hukum serta cita hukum di Indonesia. Kodifikasi dan unifikasi
hukum Islam serta penyusunan rancangan perundang-undangan yang baru diarahkan
untuk terjaminnya kepastian hukum (law enforcement) di masyarakat.
Produk Hukum Islam di
Indonesia
Terhitung sejak tahun
1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses transformasi hukum
Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga
fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde Baru yakni fase
antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa
strukturalisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan
negara, telah membuka kemungkinan pembentukan peraturan perundangan yang
bernuansa hukum Islam.
Konsepsi negara
berdasarkan atas hukum (rechtstaat) memiliki muatan ciri-ciri berikut;
1). Prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia; 2). Prinsip pemisahan/pembagian
kekuasaan; 3). Pemenntah berdasar undang-undang; 4). Prinsip Keadilan; 5).
Prinsip kesejahteraan rakyat. Untuk menemukan ini dapat dilihat dalam naskah
Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. pintu lebar bagi islamisasi pranata sosial,
budaya, politik dan hukum Islam di Indonesia
Berkenaan dengan itu,
maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara kuantitatif begitu
mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam masyarakat.
Kemudian diubah arahnya yakni secar kualifatif diakomodasikan dalam berbagai
perangkat aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga
pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut
sebagai usaha transformasi (taqnin) hukum Islam ke dalam bentuk
perundang-undangan.
Di antara produk
undang-undang dan peraturan yang bernuansa hukum Islam, umumnya memiliki tiga
bentuk: Pertama, hukum Islam yang secara formil maupun material menggunakan
corak dan pendekatan keislaman; Kedua, hukum Islam dalam proses taqnin
diwujudkan sebagai sumber-sumber materi muatan hukum, di mana asas-asas dan
pninsipnya menjiwai setiap produk peraturan dan perundang-undangan; Ketiga,
hukum Islam yang secara formil dan material ditransformasikan secara persuasive
source dan authority source.
Sampai saat ini,
kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh
pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan dan
perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya pranata-pranata sosial,
budaya, politik dan hukum. Salah satunya adalah diundangkannya Undang Undang
No. 1/1974 tentang Perkawinan.
Abdul Ghani Abdullah
mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat
konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan
filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum
mayoritas muslim di Indonesia, dan mi mempunyai peran penting bagi terciptanya
norma fundamental negara Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah
masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum
bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan
Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam Pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi
tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.
Implementasi dan tiga
alasan di atas, sebagai contoh adalah ditetapkannya UUPA No.7/1989 yang secara
yuridis terkait dengan peraturan dan perundang-undangan lainnya, seperti UU
No.2/1946 Jo, UU No.32/1954, UU Darurat No.1/1951, UU Pokok Agraria No.5/1960,
UU No.14/1970, UU No.1/1974, UU No.14/1985, Perpu Nol/SD 1946 dan No.5/SD 1946,
PP. No.10/1947 Jo. PP. No.19/1947, PP. No.9/1975, PP. No.28/1977, PP.
No.10/1983 Jo, PP. No.45/1990 dan PP. No. 33/1994. Penataan Peradilan Agama
terkait pula dengan UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum, UU No.5/1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, dan UU No.7/1989 tantang Dradi1an Agama.[29]
Dalam kenyataan lebih
konkret, terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan yang secara
formil maupun material tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain:
a. UU RI
No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan
b. UU RI
No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agama (Kini
UU No. 3,72006
c. UU RI
No. 7/1992 tentang Perbankan yang membolehkan
menggunakan prinsip bagi hasil
d. UU RI
No.10/1998 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG
PERBANKAN yang membolehkan menggunakan Prinsip Syariah.
e. UU RI
No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Ají
f. UU RI
No. 38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
g. UU RI
No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Khusus Nangroe Aceh Darussalam
h. UU Politik Tahun 1999
yang mengatur ketentuan partai Islam
i. UU RI No. 16
TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N
j. UU RI No 41 TAHUN
2004 TENTANG WAKAF
k. UU RI No 3
TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG
PERADILAN AGAMA
l. UU
RI No 19 TAHUN 2008 TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
m. UU RI No 21
TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH
Di samping tingkatannya
yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada
di bawah Undang-undang, antara lain:
a. PP No.9/1975 tentang
Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan
b. PP No.28/1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik
c. PP No.72/1992 tentang
Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
d. Inpres No.1/ 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam
e. Inpres No.4/2000 tentang
Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD
Dari sekian banyak
produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam, peristiwa paling
fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama. Betapa
tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan
(Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde
Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat disahkan sehagai
undang-undang. Padahal UU No.14/1970 dalam Pasal 10-12 dengan tegas mengakui
kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.
Keberadaan UU No.7/1989
tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan
masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat Islam dalam waktu 45 tahun
sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde Baru, adalah perjuangan
panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya UU No.7/1989
pada tanggal 29 Desember 1989.
Sejalan dengan perubahan
iklim politik dan demokratisasi di awal :ahun 1980-an sampai sekarang, tampak
isyarat positif bagi kemajuan pengernbangan hukum Islam dalam seluruh dimensi
kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural dan harmoni dalam proses islamisasi
pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu
lebar-lebar bagi upaya transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional.
Tinggal bagaimana posisi politik umat Islam tidak redup dan kehilangan arah,
agar ia :etap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam membesarkan dan
kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera.
Kehadiran ICMI pada awal
tahun 1990-an sesungguhnya merupakan rea1itas sosial dan politik yang tidak
dapat dihindari. Di mana peran besar yang ditampilkan oleh elite politik Islam
di lingkungan birokrasi, serta peran tokoh-tokoh Islam yang aktif dalani
berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, dipandang sangat penting terutama
dalam merespon kehendak umat Islam secara kolektif. Dengan kata lain, adanya
berbagai produk perundang-undangan dan peraturan berdasarkan hukum Islam, bukan
perkara yang mudah, seperti membalikkan kedua telapak tangan, tetapi semua itu
telah dilakukan melalui proses politik dalam rentang sejarah yang cukup lama.
Penutup
Hukum Islam di Indonesia
telah mengalami perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan, baik melalui
saluran infrastruktur politik maupun suprastruktur seiring dengan realitas,
tuntutan dan dukungan, serta kehendak bagi upaya transformasi hukum Islam ke
dalam sistem hukum Nasional. Bukti sejarah produk hukum Islam sejak masa
penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang
tidak pernah dapat digugat kebenarannya. Semoga hukum Islam tetap eksis
beriringan dengan tegaknya Islam itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. Abdul Ghani,
‚Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 danPerkembangan Studi Hukum Islam di
Indonesia? dalam Mimbar Hukum No, 17 Tahun V, Jakarta: Al-Hikmah &
Ditbinpera Islam Depag Tahun, 1994.
Amak F.Z., Proses
Undang-Undang Perkawinan, Bandung: aI-Ma’arif, 1976.
Anwar. M. Syafi’i,
Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi
dan Refleksi, Bandung: Mizan, 1995.
-------------, Pemikiran
dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde
Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.
Atamimi. A. Hamid S.,
Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Pen yelenggaraan Pemerintah
Negara: Suatu Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfiingsi Pengaturan
dalam Kurun Watu Pelita 1-Pelita IV, Disertasi Doktor Universitas Indonesia
Jakarta: UI, 1990.
-------------, Materi
Muatan Peraturan Pemerintah Perundang-undangan, dalam Majalah Hukum dan
Pembangunan Jakarta, 1979.
Basri. Cik Hasan,
Peradilan Agama dan Peradilan Islam, dalam Bunga Rampai Peradilan Islam I,
Bandung: Ulul albab Press, 1997.
Castle. Lance, Birokrasi
dan Masyarakat Indonesia, Surakarta: Hapsara, 1983.
Cruch. Harold, The
Army and Politics in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1978.
Gaffar. Affan, Politik
Indonesia: Tradisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Harahap. M. Yahya,
Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Memposisikan Abetraksi Hukum Islam?
dalam Mimbar Hukum No.5 Tahun II Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinhapera Islam, 1992.
Hassan. Fuad, Meramu
Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak Harto, Jakarta: PT.
Citra Lamtorogung Persada, 1991.
Joeniarto, Sejarah
Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990).
Huijbers. Theo, Filsafat
Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982.
Mahendra, Yusril Ihza,
Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan
Perwakilan dan Sistem Kepartaian Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Masoed. Mochtar, Ekonomi
dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, 1989.
Muzhor. M. Atho,
Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam, dalam
Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II (Jakarta: A1-Hikmah dan Ditbinbapera Islam,
1991.
Saleh, Hasanudin, HMI
dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Prodjodikoro, Wiryono,
Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1989.
Fadhie, Teuku Mohammad,
Politik dan Pembaharuan Hukum, dalam Prisma No. 6 tahun II Jakarta: LP3ES,
1973.
Rahardjo. M. Dawam
Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Bandung: Mizan, 1993.
Sunny, Isma’il, Tradisi
dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum Islam, dikutip dalam
Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesa, Jilid I Bandung: Ulul Albab Press,
1997.
Sukarja, Ahmad,
Keberlakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, dalam Cik Hasan Basri [ed],
Bunga Rampai Peradilan Islam I, Bandung: Ulul Albab Press, 1997.
Soeprapto. Maria Farida
Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta:
Kanisius, l998.
Sehino, Ilmu Negara,
Yogyakarta: Liberty, 1980.
Wahyuni, Sri. Politik Hukum
Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal
Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah, 2003
Yami, Mohammad, Naskah
Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Reproduksi Setneg, t.t.
-------------, Naskah
Persiapan UUD 1945, Jilid I, cet ke-2, Jakarta: Prapanca, 1971.
[2] Sri
Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi
Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah,
2003, hal. 74.
[4] 2 Keanekaragaman
yang dimaksud adalah perbedaan pemahaman orang Islam di dalam memahami hukum
Islam yang memiliki dua kecenderungan, yakni hukum Islam identik dengan
syari’ah dan identik dengan fiqh. Ini banyak terjadi bukan hanya di kalangan
ulama Fiqh, tetapi juga di kalangan akademisi dan praktisi hukum Islam
[5] 3 M. Atho
Mudzhar, Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam,
dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II (Jakarta: AI-Hikmah dan Ditbinbapera
Islam, 1991), him. 2 1-30
[6] Teuku Mohammad
Radhie, ‚Politik dan Pembaharuan Hukum?, dalam Prisma No. 6 tahun II (Jakarta:
LP3ES, 1973), hlm. 4.
[8] A. Hamid S.
Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemenntah Negara: Suatu Anaiisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
Pengaturan dalam Kurun Waku Pelita 1-Pelita IV”, Disertasi Doktor Universitas
donesia (Jakarta: UI, 1990), him. 120-135
[10] Joeniarto,
Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), Ke-3,
hlm. 140
[11] Harold Crouch,
The Army and Politics in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press, 1978
Bab. VII.
[12] Fuad Hasan,
Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak Harto, (Jakarta:
PT. Citra Lamtorogung Persada, 1991), him. 26 1-262
[14] Affan Gaffar,
Politik Indonesia: Tradisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), hlm. 37
[15] M. Dawam
Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung:
Mizan, 1993), hlm. 38 1-382.
[16] M. Syafi’i Anwar,
Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi
dan Refleksi, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 32-235; Lihat juga Fachry Ali dan
Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam
Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1985), hIm. 108-110.
[17] 16 M.
Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik
tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 9
[19] Ahmad Sukarja,
‚Keberiakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia? dalam Cik Hasan Bisri
(ed.) Bunga Rampai Peradilan Islam I, (Bandung: Ulul Albab Press, 1997),
hlm. 24-25
[21] Cik Hasan
Bisri, ?Peradilan Agama dan Peradilan Islam? dalam Cik Hasan Bisri. op. cit.
him. 116-117
[22] 22 Maria Farida
Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya,
(Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 64-65
[23] 23 Soehino, llmu
Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm. 156-160; Bandingkan dengan Theo
Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982),
hlm
[24] 24 Moh. Yamin,
Naskah Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Reproduksi Setneg. tt.). Jilid I, hlm.
26-28; Lihat pula dalam tulisan sejenis tentang Naskah Persiapan UUD 1945 jilid
I, cet ke2 (Jakarta: Prapanca, 1971), him. 113 dan A. Hamid S. Attamimi, op.
cit., hlm. 82-83.
[25] Maria Farida
Indrati Soeprapto, op. tt., hlm. 93-95; A. Hamid S. Attamimi, op. ct., hlm.
211. 26 Ibid., him. 92-103.
[26] Ibid. hlm.
113-115. 28 Hamid S. Attamimi, op. cit., hlm. 205 dan tulisannya tentang Materi
Muatan Peraturan Pemerintah Perundang-undangan dalam Majalah Hukum dan
Pembangunan Jakarta, 1979).
[27] Ibid., hlm. 1-2.
Perihal perbedaan cara pandang tentang teori kekuasaa, Yusril Iliza Mahendra
telah menjelaskan dalam bukunya Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi
Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Gema
Insani Pess, 1996), him. 15-18. Bandingkan dengan Wiryono Prodjodikoro,
Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hIm. 5-7.
[29] Abdul Ghani
Abdullah, ‚Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum
Islam di Indonesia? dalam Mimbar Hukum No. 1 tahun V (Jakarta: al-Hikmah &
Ditbinpera Islam Depag RI, 4 , hIm. 94 106.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...