Berita wafatnya Nabi saw. yang didahului sakit beberapa hari, cukup mengejutkan para sahabat. Bahkan Umar bin Khattab sempat mengalami shock mental, sehingga tidak mempercayai kebenaran berita tersebut dan mengancam akan membunuh orang yang mempercayainya. Meninggalnya Rasulullah menjadikan persatuan di kalangan kaum muslimin menjadi goyah.
Masalah yang dihadapi kaum muslimin saat itu berkaitan dengan pengganti Rasulullah saw. menjadi khalifah. Hal ini terjadi karena sebelum wafatnya, Rasul tidak memberi petunjuk/wasiat tentang siapa yang akan menggantikannya, sehingga masalah kepemimpinan menjadi perhatian di kalangan para sahabat. Tidak adanya kejelasan tentang pemilihan pemimpin setelah Rasulullah wafat menjadikan kaum muslimin saat itu merasa sama-sama berhak untuk menggantikan Rasulullah saw. untuk memimpin umat. Sejarah kemudian mencatat bahwa Abu Bakar-lah yang terpilih dan disetujui oleh masyarakat Islam di waktu itu untuk menjadi pengganti atau khalifah Rasul dalam mengepalai negara. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab, dan Umar digantikan oleh Usman bin Affan.
Menjelang berakhirnya dekade kedua masa Khulafa ar-Rasyidin di akhir pemerintahan khalifah Usman, perpecahan dan pertikaian kaum muslimin semakin kuat. Sebab utama goyangnya kesatuan umat muslimin tersebut berpangkal dari pertikaan politik yang bercorak keagamaan di antara kelompok-kelompok muslim yang sedang bersaing. Pertikaian tersebut menyebabkan terbunuhnya Usman bin Affan oleh kaum pemberontak.
Sepeninggal Usman bin Affan, maka kandidat terkuat yang akan menggantikannya adalah Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, ia mendapat tantangan dari berbagai pihak. Pihak pertama berasal dari Thalhah dan Zubair, keduanya mempunyai keinginan untuk menduduki kursi kekhalifahan yang mendapat dukungan dari ‘Aisyah. Tantangan kedua berasal dari pendukung Usman, mereka berpendapat bahwa terdapat konspirasi di balik terbunuhnya Usman. Selanjutnya mereka membangun kekuatan untuk menentang Ali bin Abi Thalib, bahkan mereka menuduh Ali bin Abi Thalib mempunyai andil dalam rencana pembunuhan tersebut. Syiria di bawah pimpinan Muawiyah yang merupakan kerabat dekat Usman menuntut Ali bin Abi Thalib untuk menghukum pembunuh Usman bin Affan.
Gerakan oposisi yang dipimpin oleh Aisyah-Thalhah-Zubair melahirkan perang Jamal pada tahun 36 H/ 656 M. Dalam peperangan tersebut Thalhah dan Zubair tewas, dan Aisyah dikembalikan ke Mekkah. Sementara reaksi keras dari Muawiyyah dan pengikutnya melahirkan perang Shiffin yang berbuntut pada masalah tahkim yang menguntungkan pihak Muawiyyah dan sebaliknya merugikan pihak Ali bin Abi Thalib.
Persoalan-persolan yang pada awalnya berkisar pada masalah politik bergeser menjadi masalah teologi. Peristiwa tahkim yang terjadi di Shiffin memunculkan berbagai kelompok-kelompok. Yang pertama muncul adalah kelompok Khawarij, Syi’ah dan Murjiah.
Pembahasan makalah ini meliputi pengertian Syi’ah, sejarah timbulnya, pokok-pokok ajaran Syi’ah Imamiyah, sekte-sekte Syi’ah yang lain (Zaidiyah, Ismailiyah dan Gulat) dan ajaran-ajaran mereka.
Pengertian Syi’ah
Kata Syi’ah secara bahasa berarti pengikut, pendukung, pembela, pecinta, sebagai contoh misalnya; Syi’ah Muhammad artinya pengikut Muhammad, pendukung Muhammad, pembela Muhammad, pencinta Muhammad. Jadi dalam arti bahasa, kaum muslimin bisa disebut sebagai Syi’ahnya Muhammad. Sebutan Syi’ah itu sendiri berasal dari masyiah yang artinya kesetian. Dalam Mu’jam al-Wasit, Syi’ah didefinisikan sebagai sebuah mazhab, sebuah kelompok, para pendukung atau pengikut seseorang.
Ibnu Mandzur mendefinisikan Syi’ah sebagai kelompok orang yang menyepakati sesuatu dan sama-sama meyakini keyakinan-keyakinan tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya sebutan Syi’ah dialamatkan kepada kelompok atau para pengikut yang sangat mengkultuskan Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Bait Rasulullah yang lainnya. Muhammad Jawād Maghniyah, seorang ulama beraliran Syi’ah memberikan definisi Syi’ah sebagai kelompok yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. telah menetapkan dengan nas (pernyataan) yang pasti tentang khalifah (pengganti) Rasul saw. dengan menunjuk Ali bin Abi Thalib. Dan seorang ulama Sunni, yaitu ‘Ali Muhammad al-Jurjāni memberi pengertian bahwa Syi’ah adalah mereka yang mengikuti Ali bin Abi Thalib dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari keturunan Rasul/ Ahlul Bait. Karena adanya anggapan bahwa Ali bin Abi Thalib-lah yang paling berhak menggantikan Rasulullah setelah wafatnya, maka mereka berpendapat bahwa Abu Bakar, Umar, dan Usman telah merebut dan mengambil hak kekhilafahan dari Ali bin Abi Thalib. Al-Syahrastani dalam kitabnya al-Milal wa an-Nihal mengatakan bahwa Syi’ah adalah mereka yang mendukung Ali bin Abi Thalib dan mengatakan bahwa kedudukan imamah dan khilafah ada pada Ali bin Abi Thalib baik secara nas maupun pewasiyatan, secara terang-terangan maupun secara tersembunyi. Mereka juga meyakini bahwa imamah tidak terlepas dari anak-anak Ali bin Abi Thalib. Dan sekiranya terlepas, maka hal itu akibat kezaliman yang datang dari selain dirinya atau menjaga keselamatan dirinya.
Sejarah Timbulnya Syi’ah
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahra, Syi’ah muncul pada masa akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sebagian percaya bahwa Syi’ah lahir setelah meninggalnya Nabi Muhammad saw., dan menampakkan jati dirinya ketika para sahabat merencanakan pemilihan bagi pengganti Nabi saw. Kelompok yang lain menempatkan kelahiran Syi’ah pada masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib, sementara kelompok yang lain mengatakan bahwa ia mulai menampakkan akarnya pada menjelang akhir kekhalifaan Usman. Pendapat yang lain mengatakan bahwa kemunculan Syi’ah terjadi ketika terjadi perang Shiffin antara Muawiyyah dan Ali bin Abi Thalib. Perang tersebut berakhir dengan tahkim yang merugikan pihak Ali bin Abi Thalib dan menguntungkan pihak Muawiyyah. Akibat dari tahkim tersebut, kubu Ali bin Abi Thalib pecah menjadi dua kelompok yang menolak sikap Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa tahkim tersebut disebut dengan Khawarij dan kelompok yang menyetujui dan mendukung sikap Ali bin Abi Thalib disebut dengan Syi’ah. Di antara para ulama ada yang berpendapat, bahwa Syi’ah bersumber dari Persia. Dengan dalih bahwa keyakinan tentang adanya peranan Tuhan dalam menetapkan kepemimpinan serta turun-temurunnya kekuasaan tidak dikenal dalam masyarakat Arab, tetapi sangat diakui oleh masyarakat Persia.
Penganut aliran Syi’ah dan juga beberapa pakar Ahli Sunnah berpendapat bahwa benih Syi’ah muncul sejak masa Nabi saw. atau paling tidak secara politis benihnya muncul, saat wafatnya Nabi saw (pembaitan Abu Bakar di Saqifah). Ketika itu keluarga Nabi saw. dan sejumlah sahabat memandang bahwa Ali bin Abi Thalib lebih wajar dan lebih berhak menjadi khalifah ketimbang Abu Bakar. Hal ini dikemukakan dengan beberapa alasan. Seperti yang dikemukakan oleh Abd. Halim Mahmūd bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki hubungan yang erat dan dekat dengan Nabi. Ali bin Abi Thalibtermasuk barisan pertama yang masuk Islam.
Kemudian dia dinikahkan dengan putri kesayangan Rasulullah. Rasul mempersaudarakan dirinya sendiri dengan Ali. Akhlak dan kepribadiannya menonjol begitupula dengan pembelaannya terhadap Nabi saw. dan Islam adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi.Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti Rasulullah. Mereka menolak kekhalifaan Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib-lah yang berhak menggantikan Nabi saw. Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi saw. pada masa hidupnya. Pada masa awal kenabian, ketika Muhammad saw. diperintahkan menyampaikan dakwahnya kepada kerabatnya yang pertama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya menjadi penerus dan pewarisnya. Bukti lain tentang sahnya Ali bin Abi Thalib sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm. Disebutkan bahwa ketika kembali dari Haji Wada’, dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm, Nabi memilih Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya di hadapan kaum muslimin yang menyertainya. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin umat, tetapi menjadikannya sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung kaum muslimin. Realitas berbicara lain, ketika Nabi wafat, dan jenazahnya belum dikuburkan, Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama di Saqifah yang diselenggarakan di gedung pertemuan Darl an-Nadwa. Pemilihan tersebut dilaksanakan secara tergesa-gesa sebagai wujud persaingan antara kelompok Anshar dan Muhajir. Dalam pertemuan itu, Ali bin Abi Thalib tidak hadir karena sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah saw. Berdasarkan kenyataan teersebut, muncul sikap di kalangan sebagian kaum muslimin yang menentang kekhalifahan, mereka tetap berpendapat bahwa pengganti Nabi saw. yang sah adalah Ali bin Abi Thalib. Inilah yang kemudian disebut Syi’ah. Sekelompok ulama berpendapat bahwa Syi’ah adalah suatu golongan aliran paham yang berpegang pada Ali bin Abi Thalib, baik dalam masa Nabi maupun sesudah wafatnya, dikenal dengan ketaatannya dalam keputusan dan keimanannya, seperti yang diperbuat Miqdad bin Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, Ammar bin Yassir dan orang-orang yang bersimpati kepada kepribadian Ali bin Abi Thalib. Orang inilah yang mula-mula menggunakan nama Syi’ah, sebagaimana orang-orang sebelumnya menggunakan kata-kata Syi’ah untuk pengikut Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan sebagainya.
Perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai awal kemunculan Syi’ah adalah hal yang wajar. Para ahli melihat fakta sejarah perpecahan umat Islam mulai muncul pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memanas pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah perang Shiffin. Adapun kaum Syi’ah berpendapat bahwa perpecahan itu sudah ada sejak wafatnya Nabi saw. dan kekhalifahan berada di bawah pimpinan Abu Bakar. Tampaknya Syi’ah sebagai gerakan politik muncul secara terang-terangan di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, tetapi secara doktrin sudah ada segera setelah Nabi wafat.
Meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, Syi’ah tidak dapat mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah, kelompok ini terpecah menjadi beberapa sekte. Hal ini dipicu oleh perbedaan tentang imamah. Sekte-sekte tersebut di antaranya Syi’ah Imamiyah, Zaidiyah, Isma’iliyah, dan Gulat. Wallahu a'lam. Sumber http://www.surgamakalah.com/2011/10/sepenggal-sejarah-syiah-sampai-syiah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...