Oleh : Imam Yazid
A.
Pendahuluan
Salah
satu rukun iman adalah beriman akan adanya Nabi dan Rasul yang menerima wahyu
dari Allah Swt. dan mereka menyampaikan wahyu itu kepada umatnya. Keimanan ini meliputi
mempercayai adanya risalah ajaran/syariat yang dibawa para Rasul itu
untuk selanjutnya dilaksanakan oleh masing-masing umatnya. Sebagai seorang
muslim, kita memandang para rasul itu dalam kedudukan yang sama, tanpa
membedakan antara seorang rasul dengan yang lainnya. Tuntutan untuk tidak
membedakan antara para rasul ini ditegaskan Allah dalam QS. Al-Baqarah: 285.
Islam tidak
membedakan antara seorang Rasul dengan Rasul lainnya karena mereka membawa
pesan-pesan Allah yang berkenaan dengan dua hal, yaitu pertama tentang apa yang
harus diimani, dan kedua apa yang harus diamalkan oleh manusia dalam
kehidupannya.
Iman
menyangkut hal paling dalam dari kehidupan manusia di dunia, tanpa terpengaruh
oleh kehidupan dunia, sedangkan amal berkenaan dengan kehidupan lahir yang
dengan sendirinya dapat dipengaruhi oleh kehidupan di dunia. Oleh karena hal
yang berkenaan dengan keimanan tidak terpengaruh oleh yang bersifat lahir
(duniawi), maka bentuk dan pola keimanan yang diajarkan oleh seluruh Rasul itu
pada dasarnya adalah sama; semuanya bertumpu pada tauhid. Hal ini secara
konsisten berlaku tetap dari semenjak ajaran yang dibawa Nabi Adam sampai
ajaran Nabi Muhammad Saw.
Sebaliknya,
karena amal menyangkut hal luar, maka ia dapat terpengaruh oleh kehidupan
manusia yang selalu mengalami perubahan. Karena itu, maka apa yang harus
dilakukan oleh umat dari seorang rasul pada suatu masa, tidak mesti sama dengan
apa yang harus dilakukan oleh umat dari Nabi dan Rasul yang datang sebelumnya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah: 48
9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷Å° %[`$yg÷YÏBur
Bagi
setiap umat diantaramu Kami jadikan syariat dan minhaj (jalan) atau petunjuk
yang harus diikuti.
Setiap
Rasul yang datang belakangan, di samping bertugas membawa syariat yang baru
untuk umatnya, juga melakukan semacam koreksi (penyempurnaan) dan pembatalan
syariat sebelumnya yang tidak diberlakukan lagi untuk umatnya. Hal ini berarti
bahwa apa yang harus dijalankan umatnya, diantaranya ada yang sama dengan
syariat umat sebelumnya dan ada ketentuan syariat yang baru sama sekali. Pembahasan
yang berkembang sebab demikian ini adalah apakah syariat sebelum Islam itu
masih berlaku sehingga tetap dituntut kewajiban melaksanakan aturan itu.
Oleh
karena syariat berhubungan dengan masalah hukum, maka kajian tentang Syar’u
Man Qablana ini sering ditemukan dalam kitab-kitab Ushul Fiqh sebagai alat
memproduksi hukum syariat. Pada makalah ini, pendekatan yang dilakukan adalah
pendekatan Tafsir, yakni dengan mengamati ayat-ayat yang berkenaan dengan
hubungan antara syariat Islam dengan syariat umat sebelumnya.
B.
Pengertian
Syar`u Man Qablana
Syar`u secara
etimologi berarti mengalir. Syariat adalah bentuk isim fa`ilnya secara
bahasa adalah tempat yang didatangi orang yang ingin minum yang dilintasi
manusia untuk menghilangkan rasa haus mereka.[1]
Syariat juga diartikan sebagai jalan yang lurus atau thariqatun mustaqimatun
sebagaimana diisyarakan dalam Alquran Surat Al-Jatsiyah: 18.[2]
Dalam
kaitannya dengan syariat Islam, maka dapat dikatakan bahwa syariat adalah hukum
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. yang didalamnya terdapat berbagai aturan
yang diperuntukkan bagi manusia. Beni menukil tulisan Al-Maududi bahwa syariat
merupakan ketetapan Allah dan RasulNya yang berisi ketentuan-ketentuan hukum
dasar yang bersifat global, kekal, dan universal yang diberlakukan bagi semua
hambaNya berkaitan dengan masalah akidah, ibadah, dan muamalah.[3]
Pada
prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas
yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu adalah
yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan
ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda
sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.[4]
Dengan
demikian, Syar`u Man Qablana adalah hukum-hukum Allah yang dibawa oleh
para Nabi/Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw. dan berlaku untuk umat mereka pada
zaman itu.
1.
QS. Al-Syuura:
13
* tíu° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Ó»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZø¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤Ïãur ( ÷br& (#qãKÏ%r& tûïÏe$!$# wur (#qè%§xÿtGs? ÏmÏù 4 uã9x. n?tã tûüÏ.Îô³ßJø9$# $tB öNèdqããôs? Ïmøs9Î) 4 ª!$# ûÓÉ<tFøgs Ïmøs9Î) `tB âä!$t±o üÏökuur Ïmøs9Î) `tB Ü=Ï^ã ÇÊÌÈ
a.
Terjemah
Artinya: Dia telah
mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru
mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
b.
Analisa
شرع adalah فعل ماضى,
pelakunya dhamir mustatir yang ditaqdirkan yaitu هو. Dhamir
هو itu
adalah Allah Swt.
من الدين menjadi حال dalam kalimat ini.
Dengan demikian, terjemahan ayat di atas menurut penulis
adalah: Allah telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama sesuatu yang telah Ia
wasiatkan kepada Nuh dan yang Kami wahyukan kepadamu dan yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa ...
Pada lafazالدين diberikan
huruf jarr (من) , yang
salah satu fungsinya untuk menyatakan sebahagian (للتبعيض). Dengan
memaknai من ini sebagai تبعيض maka
pembahasan Syar’u Man Qablana ini semakin tepat, karena yang dapat kita
pahami adalah bahwa tidak keseluruhan ajaran agama Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan
Isa عليهم السلام berlaku sama penerapannya dengan syariat yang diturunkan oleh
Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini juga dikuatkan dengan pendapat Quraish
Shihab dalam kitab tafsirnya.[6]
Kesamaan
الدين dalam
ayat tersebut menurut Ibn Katsir adalah dalam hal pengabdian pada Allah Yang
Maha Esa dan tidak ada sekutu bagiNya sebagaimana firmanNya dalam QS.
Al-Anbiya: 25:
!$tBur $uZù=yör& `ÏB Î=ö6s%
`ÏB
@Aqߧ
wÎ) ûÓÇrqçR Ïmøs9Î)
¼çm¯Rr&
Iw tm»s9Î) HwÎ)
O$tRr& Èbrßç7ôã$$sù ÇËÎÈ
Dan Kami tidak mengutus seorang
rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada
Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".
Pada
QS. Al-Syuura: 13 di atas, Allah Swt menyebut Nabi Nuh dalam urutan pertama.
Urutan seperti itu pasti ada makna yang perlu diperhatikan. Isyarat Nash pada
ayat itu adalah bahwa Nabi Nuh adalah Rasul pertama yang diturunkan syariat
kepadanya. Ibn Katsir mengatakan bahwa Rasul pertama sesudah Adam as. adalah
Nuh dan yang terakhir adalah Muhammad Saw. Sementara itu Ibn al-Arabi dalam
Kitab Tafsirnya mengutip sabda Rasul Saw:
ولكن ائتوا نوحا, فانه أول رسول بعثه الله الى الأرض. فيأتون نوحا فيقولون: انت أول رسول بعثه الله الى الأرض.
Menurutnya,
hadis ini sahih dan tidak diragukan. Sebagaimana tak ada keraguan bahwa Adam
adalah Nabi yang pertama. Adam as. tidak memiliki banyak umat melainkan
anak-anaknya saja. Maka ia tidak dibebankan kewajiban-kewajiban. Beliau hanya
diberi aturan pada sebagian urusan yang berkaitan perkara yang primer, yang
menjaga ketertiban hidup. Adapun kewajiban-kewajiban dari Allah Swt datang pada
masa Nuh as., seperti mengharamkan pernikahan dengan ibu, anak, dan
saudari-saudari. Pada masa Nuh as. juga dijelaskan tentang adab di dunia dan
kemudian dilanjutkan oleh para Nabi/Rasul sesudahnya sampai kepada Muhammad
Saw. sebagai rasul yang terakhir yang diutus Allah untuk menyampaikan syariat.[7]
Ayat di
atas seperti mengatakan “Ya Muhammad, Kami telah mewasiatkan agama yang satu
kepadamu dan Nuh”. Maksudnya adalah pada prinsip-prinsip yang tidak menyalahi
syariat, yaitu tauhid, shalat, zakat, puasa, haji, taqarrub kepada Allah
dengan amalan-amalan saleh, jujur, memenuhi janji, menunaikan amanah,
silaturrahmi, keharaman kufur, pembunuhan, zina, menjaga kehormatan.
Kesemuanya itu disyariatkan oleh agama yang satu dan tidak ada yang disalahi
oleh lisan para Nabi.[8]
Oleh
karena itu Allah melanjutkan ان اقيموا الدين ولا تتفرقوا
فيه . Maka Nabi
Muhammad Saw. diperintahkan oleh Allah untuk menegakkan agama itu selamanya dan
terpelihara dari kekeliruan-kekeliruan.[9]
2.
QS. Ali Imran:
84
ö@è% $¨YtB#uä «!$$Î/ !$tBur tAÌRé& $uZøn=tã !$tBur tAÌRé& #n?tã zNÏdºtö/Î) @Ïè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur Uqà)÷ètur ÅÞ$t7óF{$#ur !$tBur uÎAré& 4ÓyqãB 4Ó|¤Ïãur cqÎ;¨Y9$#ur `ÏB öNÎgÎn/§ w ä-ÌhxÿçR tû÷üt/ 7ymr& óOßg÷YÏiB ß`óstRur ¼çms9 tbqßJÎ=ó¡ãB ÇÑÍÈ
a.
Terjemah
Katakanlah (wahai Muhammad): "Kami beriman
kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan
kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan
kepada Musa, 'Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan
seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan
diri."
b.
Analisa
قل : فعل امر مسوق للطلب الى النبى صلى الله عليه وسلم ان يقول هو
اصحابه
امنا : فعل ماضى و فاعل
بالله : جار م مجرور
الواو : حرف عطف
ما : اسم موصول معطوف على الله
انزل علينا : صلة موصول
Eksistensi
syariat Allah yang dibawa oleh para utusanNya juga dilihat dari QS. Ali Imran:
84 ini. Ahl al-Kitab dituntut untuk mengikrarkan keimanan mereka (قل امنا بالله)
akan keesaan Allah yang diajarkan oleh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw
dan ajaran agama-agama yang diturunkan oleh Allah Swt melalui para Rasul
sebelum Nabi Muhammad Saw. dalam kitab-kitabNya.
Ayat
ini memperkuat firman Allah Swt. pada QS. Al-Baqarah: 136
#þqä9qè% $¨YtB#uä «!$$Î/ !$tBur tAÌRé& $uZøs9Î) !$tBur tAÌRé& #n<Î) zO¿Ïdºtö/Î) @Ïè»oÿôÎ)ur t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètur ÅÞ$t6óF{$#ur !$tBur uÎAré& 4ÓyqãB 4Ó|¤Ïãur !$tBur uÎAré& cqÎ;¨Y9$# `ÏB óOÎgÎn/§ w ä-ÌhxÿçR tû÷üt/ 7tnr& óOßg÷YÏiB ß`øtwUur ¼çms9 tbqãKÎ=ó¡ãB ÇÊÌÏÈ
Penggunaan
kata الى pada QS. Al-Baqarah: 136 dan على pada
QS. Ali Imran: 84 sedikit berbeda makna antara keduanya, namun tetap sah.
Penggunaan الى menunjukkan tujuan, sementara على
bermaksud untuk memuliakan kedudukan para Nabi dan Rasul.[10]
Dalam Al-Kasysyaf, penggunaan kata itu ( الى و على ) terjadi karena perbedaan orang
yang diperintahkan oleh Allah. Pada QS. Ali Imran: 84, yang diperintahkan
adalah Nabi Muhammad, sementara pada QS. Al-Baqarah: 136, yang diperintahkan
adalah seluruh manusia.
!$tBur tAÌRé& #n?tã zNÏdºtö/Î) @Ïè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur Uqà)÷ètur ÅÞ$t7óF{$#ur
Maksudnya
kami beriman kepada mereka semua karena Allah Swt. telah menurunkan wahyu untuk
memberi petunjuk kaum-kaum para Nabi tersebut. Sesuai dengan ayat-ayat yang
lain seperti ام لم ينبأ بما فى صحف موسى و ابراهيم (QS. Al-Thur: 36), dan انا اوحينا اليك كما اوحينا الى نوح والنبيين من بعده (QS. Al-Nisa: 136). Menurut Rasyid
Ridho, sesuatu yang diwahyukan kepada para Nabi tersebut yang berada di tangan
umat berikutnya itu tidak ada yang bisa dipercaya lagi.
Kitab
suci yang diberikan kepada Nabi Musa dan Isa pada ayat وما اوتى موسى و عيسى
(QS. Ali Imran: 84) adalah Taurat dan Injil. Sementara para Nabi berikutnya (ومااوتى النبيون من
ربهم) seperti Daud, Sulaiman, dan Ayyub,
ada yang diceritakan kitab suci mereka dalam Alquran dan adapula yang tidak
diceritakan.
Ada
perbedaan pilihan kata pada ayat di atas, satu menggunakan kalimat الانزال dan
satu lagi الايتاء, yaitu وما انزل على ابراهيم dan وما اوتى موسى
وعيسى. Mengenai hal ini bisa didiskusikan
bersama dalam kelas.
w ä-ÌhxÿçR tû÷üt/ 7ymr& óOßg÷YÏiB
Berdasarkan
ayat ini, seorang mukmin dituntut untuk mempercayai bahwa Allah Swt. tidak ada
membedakan antara Nabi yang diutusNya, yaitu asas dan tujuan mereka (الاصول و المقاصد).
Berbanding terbalik dengan keyakinan para Ahl al-Kitab yang membedakan
kedudukan masing-masing dengan mempercayai sebagiannya dan mengingkari sebagian
yang lain.[11]
Menurut
Abu Ja’far, QS. Ali Imran: 84 ini berhubungan dengan ayat sebelumnya dimana
Allah mempertanyakan para orang Yahudi tentang pencarian mereka terhadap agama
selain agama Allah, sementara seluruh yang ada di langit dan bumi tunduk dengan
patuh dan terpaksa. Jika mereka mencari selain agama Allah, wahai Muhammad
katakanlah kepada mereka: “Kami beriman kepada Allah”.[12]
[4] Alaiddin Koto, Ilmu
Fiqh dan Ushul Fiqh, revisi 3 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009) hal. 112.
[5] Muhyiddin
Darwisy, I`rab al-Qur’an al-Karim Wa Bayanuh, jilid 9, cet. iii (Suriah:
Dar al-Irsyad, 1412 H), h. 20.
[10] Muhammad Rasyid
Ridho, Tafsir Al-Manar, juz 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1420 H),
h. 293
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...