Secara
bahasa “wakaf” berasal dari bahasa Arab yaitu kata الوقف (al-waqfu) yang merupakan bentuk masdar
dari kata kerja وقف (waqafa). Kata kerja ini dalam bahasa Indonesia berarti
lawan dari duduk yaitu berdiri. Jika dikatakan “waqfu al-syai’” maka
artinya adalah “menahan sesuatu”. Kata الوقف (al-waqfu) bermakna juga الحبس من التصرف yaitu
menahan dari menggunakannya. Kata الحبس (al-Habs) adalah bentuk masdar (infinitive
noun) yang bermakna menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut
dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti
pembekuan hak milik untuk faedah tertentu.
Dalam Kamus Al-Munawwir disebutkan bahwa kata وقف berarti berhenti, berdiri dan mencegah.
Sedangkan kata yang semakna adalah الحبس (al-Habs)
juga berarti pemenjaraan dan penahanan. Dengan demikian, pengertian
wakaf secara bahasa memiliki dua kata yaitu الوقف (al-waqfu) dan الحبس (al-Habsu)
di mana kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu berdiri, mencegah
dan menahan sesuatu.
Secara
istilah wakaf bermakna penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain)
untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya. Inilah pendapat yang
dipegang oleh jumhur ulama. Madzhab Hanafiyah mengartikan wakaf dengan :
حبس العين على حكم ملك الواقف، والتصدق بالمنفعة
على جهة الخير
Menahan materi
benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya
kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan.
Definisi
wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan
atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi
pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas
manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Ulama
madzhab Malikiyah berpendapat, wakaf adalah :
إعطاء منفعة شيء مدة وجوده لازماً بقاؤه في ملك
معطيها ولو تقديراً
Menjadikan manfaat
suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk
diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka
waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif.
Definisi
wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang
berhak saja. Sementara ulama Madzhab Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan:
حبس مال يمكن الإنتفاع به، مع بقاء عينه، بقطع
التصرف في رقبته على مصرف مباح موجود
Menahan harta
yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara
memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada
Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan harta yang
diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta
yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara
terus-menerus.
Pengertian
berikutnya disebutkan oleh ulama dari madzhab Hanabilah, mereka mendefinisikan bahwa wakaf adalah:
تحبيس الأصل وتسبيل المنفعة
Menahan asal
harta dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan.[1]
Kamus
Besar bahasa Indonesia mendefinisikan wakaf dengan “Tanah negara yg tidak dapat
diserahkan kpd siapa pun dan digunakan untuk tujuan amal”, “Benda bergerak atau
tidak bergerak yg disediakan untuk kepentingan umum (Islam) sbg pemberian yg
ikhlas: tanah -- ini disediakan untuk madrasah atau masjid” dan “Hadiah atau
pemberian yg bersifat suci”.[2]
Dalam
Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan “Perbuatan hukum
Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah”.[3]
Dari
beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah akad tabaru’
yaitu menahan pokok harta dan memberikan manfaat dari harta tersebut untuk
kepentingan umat Islam. Wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah
harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan kemaslahatan umat Islam dan dipergunakan
sesuai dengan ajaran syariah Islam.
1. Dasar Hukum
Wakaf
dalam Islam didasarkan pada sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an,
Al-Hadits dan Ijma’ umat Islam. Di dalam Al-Qur’an wakaf masuk ke dalam infaq fi
sabilillah, di antara ayat-ayat yang memeirntahkan hal ini adalah firman
Allah ta’ala :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ أَخْرَجْنَا
لَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا۟ ٱلْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ
وَلَسْتُم بِـَٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغْمِضُوا۟ فِيهِ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ
ٱللَّهَ غَنِىٌّ حَمِيدٌ
Hai orang-orang
yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang
baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”
Q.S. al-Baqarah : 267
لَن تَنَالُوا۟
ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍۢ
فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌۭ
Kamu sekali-kali
tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian
dari apa yang kamu cintai. Q.S. Ali Imran: 92.
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ
يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتْ سَبْعَ
سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍۢ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍۢ ۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن
يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa
yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Q.S. al-Baqarah: 261.
Ayat-ayat
tersebut menunjukan tentang perintah untuk menginfakkan harta yang kita miliki
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala agar mendapatkan pahala dan
kebaikan. Infaq sendiri dalam Islam berupa zakat, shadaqah, hibah dan wakaf.
Sumber
hukum selanjutnya yaitu dari hadits Nabi, di antara hadis yang menjadi dasar
dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin
al-Khaththab ketika memperoleh tanah di
Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan
hasilnya. Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah;
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ , فَأَتَى
اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا, فَقَالَ : يَا رَسُولَ
اَللَّهِ ! إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ
أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْه ُ قَالَ : إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا, وَتَصَدَّقْتَ
بِهَا قَالَ : فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ, ]غَيْرَ] أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا,
وَلَا يُورَثُ , وَلَا يُوهَبُ , فَتَصَدَّقَ بِهَا فِي اَلْفُقَرَاءِ, وَفِي
اَلْقُرْبَى, وَفِي اَلرِّقَابِ, وَفِي سَبِيلِ اَللَّهِ, وَابْنِ اَلسَّبِيلِ,
وَالضَّيْفِ, لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا
بِالْمَعْرُوفِ , وَيُطْعِمَ صَدِيقاً ) غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالًا مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : ( تَصَدَّقْ
بِأَصْلِهِ, لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ, وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ )
Dari Ibnu umar Radhiyallahu
‘anhu ia berkata “Umar bin Khattab memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia
bertanya kepada Nabi dengan berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh
tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih
tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk
melakukannya?” maka Rasulullah bersabda “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan
sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh
dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir
miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di
jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan
cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi
makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.
Hadis
lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي
الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِذَا مَاتَ
اَلْإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالَحٍ يَدْعُو لَهُ ) رَوَاهُ مُسْلِم
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda “Apabila
seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali
dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa
diambil manfaatnya, dan anak soleh yang
mendoakannya.”
Selain
dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima
wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang
yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah
menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi
dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.
Dalam
konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat
Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah
menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia,
yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi
Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah
nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004
[1]
Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Al-Mughni,
[2]
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Kementerian Pendidikan Nasional
[3]
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...