Oleh : Jaenudin dan Imam Yazid
A.
Pendahuluan
Secara
etimologis, kata taqnin (تقنين) merupakan
bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ), yang berarti membentuk undang-undang. Ada yang berpendapat kata
ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi, canon. Namun ada juga yang
berpendapat, kata ini berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah
kata qanun (قَانُوْن) yang berarti ukuran segala
sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).[1] Taqnin al-Ahkam berarti mengumpulkan hukum dan
kaidah penetapan hukum (tasyri`) yang berkaitan dengan masalah hubungan
sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan
kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan
atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai
undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib
para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[2]
Menurut
Sobhi Mahmasani kata Qanun berasal dari bahasa Yunani, masuk menjadi bahasa
Arab melalui bahasa Suryani yang berati alat pengukur atau kaidah.
Di Eropa, istilah kanun atau canon dipakai untuk menujuk hukum gereja yang
disebut pula canonik,[3] seperti corpus iuris cononici yang disahkan oleh Paus Gregorus XIII
tahun 1580, kemudian codex iuris coninci oleh Paus Benediktus XV tahun
1919. Hukum kanonik ini terdiri atas injil, fatwa-fatwa dari pemimpin gereja,
keputusan dari sidang-sidang gereja dan keputusan dan perintah dari paus.[4] Oleh intelektual muslim di masa
lalu, istilah kanun digunakan untuk menyebut himpunan pengetahuan yang bersifat
sains seperti buku yag ditulis oleh Ibn Sina dalam bidang kdokteran yang
berjudul Qanun fi al-Tibb, Qanun
al-Mas’udi yakni himpunan pengetahuan tentang astronomi yang dihimpun untuk
Sultan al-Mas’ud (sultan Ghaznawiyah) yang ditulis oleh al-Biruni.
Dalam
konteks sekarang, menurut Mahmasani istilah qanun memiliki tiga arti yaitu: pertama,
pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan aturan hukum (codex)
seperti qanun pidana Utsmani. Kedua, berarti syariat atau hukum, dan ketiga,
dipakai secara khusus untuk kaidah-kaidah atau aturan yang tergolong dalam
hukum muamalat umum yang mempunyai kekuatan hukum, yakni undang-undang, seperti
dewan legislatif membuat qanun larangan menimbun barang.[5]
Sebagai
perbandingan, dalam ilmu hukum dikenal istilah hukum dan undang-undang. Dalam ilmu
hukum, hukum yaitu himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah maupun larangan)
yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu
seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, dan pelanggaran
atas peraturan tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat
itu.[6]
Adapun yang disebut pengertian undang-undang secara umum diartikan peraturan
yang dibuat oleh negara. Undang-undang memiliki ciri yaitu keputusan tertulis,
dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi tentang aturan tingkah laku, dan
mengikat secara umum.[7]
Dalam
literatur hukum Islam pada saat sekarang, istilah dan bentuk dari hukum Islam
mengalami perkembangan, ada yang disebut fikih yakni ijtihad ulama yang
tertera dalam kitab-kitab fikih, fatwa yakni pendapat atau ketetapan
ulama atau dewan ulama tentang suatu hukum, keputusan-keputusan hakim (qadha),
dan qanun.[8]
Qanun
dalam kontes sekarang dipandang sebagai formalisasi hukum Islam, yakni aturan
syara’ yang dikodifikasi oleh pemerintah yang bersifat mengikat dan berlaku
secara umum. Lahirnya Qanun dalam era moderen ini sebagai konsekwensi dari
sistem hukum yang berkembang terutama oleh karena pengaruh sistem hukum Eropa. Atas
hal ini, sebagian ulama menganggap formalisasi hukum Islam adalah sesuatu yang
penting sebagai panduan putusan hukum para hakim dalam suatu masalah yang sama
pada lembaga peradilan yang berbeda-beda. Sementara sebagian yang
lain tidak sependapat dengan taqnin al-ahkam dengan argumentasi
tersendiri dari mereka. Perbedaan pandangan ini kadang menghasilkan
pertentangan yang sengit antara kedua kubu. Sebagai akademisi, patut untuk
melakukan analisa atas argumentasi dua kutub pemikiran yang berbeda ini. Maka,
dalam makalah ini akan dipaparkan tentang sekilas sejarah taqnin al-ahkam,
pandangan para ulama tentang taqnin al-ahkam dan analisa
pendapat-pendapat tersebut.
B.
Sekilas Perkembangan Taqnin
Apabila taqnin
dimaknai secara luas dan salah satu
maknanya diartikan sebagai tasyri’ (pembentukan hukum), maka taqnin dapat dilacak keberadaannya sejak masa
Nabi saw. Akan tetapi apabila taqnin diartikan sebagaimana konsep hukum sekarang, yakni hukum
tertulis yang bersifap mengikat, temporer dan memiliki sanksi, maka maka taqnin
dalam konsep tersebut tidaklah dapat diterapkan kepada masa Nabi saw. Memang
benar bahwa di masa Nabi pernah ada Piagam Madinah atau Shahifah
Madinah yang berisi tentang hak dan kewajiban warga Madinah, baik muslim maupun non muslim untuk menjaga kedaulatan Madinah.
Oleh ahli hokum, dikatakan bahwa
piagam Madinah merupakan konstitusi negara yang
tertulis.[9]
Begitu juga
di masa sahabat, ide tentang taqnin belum ditempuh. Ide yang baru muncul adalah pemushafan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu
Bakar atas usulan Umar ibn Khattab, dan kemudian dituntaskan pada masa Utsman
ibn Affan. Begitu pula pada masa Umayah, ide yang muncul adalah pentadwinan Hadis
baru dimulai pada masa Umar ibn Abdul Aziz (w. 720 M/102 H), khalifah kedelapan
Bani Umayah.
Di masa Abbasiyah
barulah ide tentang taqnin lahir. Salah seorang sekretaris negara, Ibn
Muqaffa (w. 756 H/ 140 H), keturunan
Persia, mengusulkan gagasan kepada khalifah al-Mansyur (khalifah kedua
Abbasiyah) untuk meninjau kembali doktrin yang beraneka ragam, kemudian
mengkodifikasikan dan mengundang-undangkan keputusannya sendiri dengan tujuan
menciptakan keseragaman yang mengikat para qadhi. Undang-undang ini juga harus
direvisi oleh para khalifah pengganti. Ibnu muqaffa mengungkapkan bahwa khalifah memiliki hak
untuk memutuskan kebijakannya. Khalifah dapat membuat aturan atau tatanan
yang mengikat kekuasaan militer dan sipil, dan secara umum pada semua masalah
yang tidak ada contoh sebelumnya, tetap berdasarkan kepada pada Al-Quran dan Sunnah.[10]
Dalam hal ini
Ibn Muqaffa berkata kepada al-Mansyur, “Yang amat penting diperhatikan oleh Amirul
Mukminin adalah munculnya hasil keputusan para hakim yang saling bertentangan
di berbagai wilayah dinasti Abbasiyah, sekalipun kasusnya yang mereka hadapi
adalah sama. Perbedaan hukum yang dijatuhkan tersebut amat membahayakan jiwa,
harta dan kehormatan manusia. Dalam menghadapi persoalan ini, seyogyanya
khalifah mengambil sikap dengan menghimpun berbagai pendapat fikih yang terkuat
dan relevan sebagai hukum materil yang akan diterapkan oleh seluruh pengadilan.
Himpunan hukum yang telah disatukan ini dijadikan pedoman dan berkekuatan
mengikat bagi seluruh hakim di pengadilan. Untuk itu khalifah perlu menunjuk
petugas khusus untuk setiap wilayah yang akan menghimpun hukum yang lebih
sesuai dengan kondisi dan daerah
tersebut serta menerapkan kaidah-kaidah penerapannya”. Akan tetapi
usulan taqnin Ibn Muqaffa ini belum terealisir, bahkan karena suatu
peritiwa ia dituduh berkhinat dan dihukum oleh khalifah.[11]
Dalam suatu
kesempatan ibadah haji, Khalifah al-Mansyur menemui dan meminta Imam Malik (w.
795 M/ 179 H) untuk menyusun sebuah buku yang meliputi persoalan fikih dengan
memilih hukum-hukum dari sumber aslinya, dan dengan mempertimbangkan prinsip
kemudahan dalam pelaksanaannya. Ketika al-Masyur bertemu dengan Imam Malik, ia
berkata “Susunlah sebuah buku fikih dengan menghindari berbagai kesulitan
seperti yang dijumpai dalam berbagai pendapat Abdullah ibn Umar dan juga tidak
seringan yang terdapat dalam hasil ijtihad Abdullah ibn Abbas. Tetapi pilihlah
pendapat yang sederhana, menengah, serta yang disepakati para sahabat, sehingga
buku ini dapat dijadikan pegangan diseluruh negeri; kita akan menetapkan bahwa
keputusan para hakim tidak boleh berbeda dengan materi hukum
yang ada dalam buku tersebut”. Akan tetapi Imam Malik tidak sependapat dengan
khalifah, karena menurutnya masing-masing wilayah telah mempunyai aliran
tersendiri, seperti penduduk irak yang tidak mungkin sependapat dengan pendapat
Malik. Meskipun beliau tidak sependapat, beliau akhirnya menyusun kitab yang
diberi nama Al-Muwaththa’.[12]
Perkembangan
taqnin berikutnya mulai lebih konkrit pada masa Utsmani, yakni pada masa Sultan Sulaiman (1520-1560 M) dimana ia secara serius memberlakukan qanun atau Qanun Name sebagai hukum
resmi. Atas usaha itulah Sultan Sulaiman diberi digelar Sulaiman
al-Qanuni. Dalam Qanun Name dikupas secara lengkap tentang gaji tentara, polisi
rakyat yang bukan muslim, urusan kepolisian dan hukum pidana, hukum pertanahan
dan hukum perang. Pada masa Utsmani juga disusun hukum yang mengatur hukum
kontrak yang dikenal dengan nama Majalah al-Adliyah.[13]
Pada
masa kekuasan Dinasti Moghul di India
juga dihimpun satu aturan hukum yang disebut Fatawa Alamghirriyah.
Alamghirriyah adalah nama yang dinisbatkan kepada sultan Aurangzeb (1658-1707
M) dari dinasti Moghul. Ketika Inggris menguasai India (tahun 1772 M), terjadi
fusi antara hukum Islam yang telah berjalan di India dengan sistem hukum Inggris
sehingga melahirkan istilah Anglo Muhammadan
Law (Hukum Inggris Islam). Dalam praktek, para hakim-hakim Inggris didampingi
oleh para mufti untuk menyatakan hukum Islam yang benar untuk membantu para
hakim Inggris tersebut.[14]
Indonesia
sejak abad ke-15 M telah banyak berdiri kesultanan Islam dan menjadikan hukum
Islam sebagai aturan negara, meskipun sulit untuk menelusuri bentuk konkrit
peraturan yang diterapkannya. Ketika Indonesia menjadi wilayah belanda, sistem
hukum Belanda banyak mewarnai sistem hukum yang diterapkan di Indonesia sampai
kini. Di Indonesia semangat taqnin telah ada sejak awal pendirian bangsa
Indonesia yang ditandai dari ide untuk memasukkan kewajiban melaksanakan
syariat bagi pemeluk agama Islam. Di era orde baru, sebagain dari hukum Islam
diakomodasi oleh pemerintah dengan lahirnya undang-undang perkawinan (1974),
Peraturan pemerintah tentang Wakaf (1977), Undang-undang peradilan agama
(1987), Kompilasi hukum Islam (1991). Di era reformasi, semangat Taqnin al-Ahkam semakain besar baik melaui
undang-undang maupun melalui peraturan daerah, dan hasilnya beberapa
undang-undang maupun peraturan daerah berkenaan dengan hukum Islam telah lahir.[15]
C.
Ragam Pandangan Ulama
tentang Taqnin al-Ahkam
Meskipun ulama
klasik belum mengenal istilah taqnin karena ia merupakan suatu istilah
baru. Akan tetapi, gejala serupa telah ada sejak lama. Alasannya, para hakim
berkewajiban mengikuti sesuatu pendapat ketika memutuskan suatu perkara, yang
tidak boleh dilanggarnya, sekalipun memiliki ijtihad sendiri. Suatu hukum
yang diundang-undangkan akan mewajibkan para hakim untuk memegang ketetapan di
dalamnya karena telah menjadi hukum syar`i yang positif dan tidak boleh dilanggar
meski mereka memiliki ijtihad sendiri atas masalah yang diatur dalam
perundang-undangan itu. Hal ini mengakibatkan para ulama terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok yang membolehkan dan kelompok yang melarang.
a.
Kelompok yang
Membolehkan
Menurut Abu
Hanifah, penguasa boleh mewajibkan para hakim untuk memutuskan suatu masalah
menggunakan mazhab tertentu. Pendapat ini tidak disetujui oleh kedua muridnya,
Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan. Abu
Hanifah berargumentasi bahwa wewenang untuk mengadili dibatasi oleh tempat,
waktu, dan diberikan kepada orang tertentu pula. Jika penguasa mengangkat
seseorang sebagai hakim maka jabatan itu dibatasi pada waktu dan tempat
tertentu. Hal ini karena orang tersebut adalah bertugas sebagai wakil penguasa.
Jika penguasa melarang hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai
mazhab yang ada maka hakim pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh
memutuskan berdasarkan kitab undang-undang yang telah disahkan penguasa.[16]
Mayoritas
para ulama besar kontemporer memperbolehkan taqnin al-ahkam. Diantara
mereka adalah Shalih ibn Ghashun, Abdul Majid ibn Hasan, Abdullah ibn Mani`,
Abdullah Khayyath, Muhammad ibn Jabir, Rasyid ibn Hunain, dan Rasyid ibn
Khunain. Selain mereka adalah Musthafa al-Zarqa, Muhammad Abu Zahrah, Ali
al-Khafif, Yusuf al-Qardhawi, Wahbah al-Zuhaili, dan lain-lain.[17]
Diantara
dalil yang digunakan untuk memperkuat pandangan ini adalah:
1.
QS. Al-Nisa: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ.
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Berdasarkan
ayat ini, jika ulu al-amr tidak menyuruh perbuatan maksiat dan tidak
bertentangan dengan hukum-hukum syariat, maka wajib bagi rakyat untuk
menaatinya. Sikap patuh penegak hukum yang melaksanakan undang-undang-undang
dimana mereka diwajibkan untuk taat adalah suatu bentuk kepatuhan kepada
pemerintah sebagaimana yang diperintahkan oleh ayat tersebut.
2.
Usman ibn Affan pernah
memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain selain mushaf
resmi yang telah dikodifikasi pada masa pemerintahannya. Hal itu dilakukan demi
kemaslahatan umat dan menjaga agar Alquran mempunyai satu mushaf Alquran
yang resmi sehingga tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Kebijakannya
ini akhirnya diakui sebagai suatu kebijakan yang benar.
3.
Tidak semua para hakim
memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, sehingga mereka pun tidak mampu
melakukan ijtihad dan tidak bisa menetapkan mana pendapat yang paling valid di
antara banyak pendapat di berbagai mazhab. Bahkan terkadang dalam satu mazhab
pun, banyak pendapat yang saling berbeda satu sama lain. Di samping itu, jika
pemerintah tidak menetapkan mana pendapat paling valid yang dijadikan sebagai
undang-undang sehingga menjamin kepastian hukum, maka hal itu bisa menimbulkan
perbedaan putusan antara satu pengadilan dengan pengadilan lain, atau antara
satu hakim dengan hakim yang lain. Hal ini tentu saja akan menimbulkan
ketidakpastian hukum di tengah masyarakat.
Suatu
pendapat hukum yang ditetapkan sebagai undang-undang harus dihasilkan dengan
pemikiran yang mendalam dan pembahasan yang luas. Undang-undang itu juga
ditetapkan harus dengan memperhatikan maqashid syari`ah demi
kemaslahatan umat. Dengan demikian, jika undang-undang itu tidak ditaati, maka
berarti menyia-nyiakan usaha keras para ulama yang telah menghasilkannya.
b.
Kelompok yang Tidak
Membolehkan
Pandangan ini
merupakan pandangan mayoritas ulama klasik, baik dari kalangan Maliki, Syafi’i,
dan Hanbali, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan yang keduanya adalah murid Abu
Hanifah. Ibn Qudamah juga berpendapat bahwa pandangan itu sudah tidak
diperselisihkan lagi.[18]
Ibn Taimiyah juga berpendapat sama. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa para hakim
harus menghukumi sesuatu bersumber dari apa yang datang dari Allah Swt.
Menurutnya, para hakim tidak boleh menghukumi sesuatu bila tidak bersumber
langsung pada Allah dan RasulNya.[19]
Belakangan,
para ulama yang menolak taqnin dan menolak kewajiban untuk menaatinya
terdiri dari sebagian para ulama besar kontemporer dari Arab Saudi. Di antara
mereka adalah Syaikh Bakr ibn Abdullah Abu Zaid, Syaikh Shalih ibn Fauzan
al-Fauzan, Syaikh Abdullah ibn Abdurrahman al-Bassam, Syaikh Abdullah ibn Abdurrahman
al-Jabirin, Abdurrahman ibn Abdullah al-Ajlan, Syaikh Abdullah ibn Muhammad
al-Ghunaiman, Syaikh Abdul Aziz ibn Abdullah ar-Rajihi, dan lain-lain.[20]
Mereka mendasarkan pandangan mereka tersebut pada dalil-dalil Alquran, Sunnah, ijma`
dan logika.
Dasar
pandangan mereka adalah:
1.
Dalam QS. Shad: 26
يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ.
“Hai Daud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Ayat ini menyatakan
bahwa kebenaran tidak terbatas pada mazhab tertentu dan besar kemungkinan
justru terdapat di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim.[21]
Dengan demikian, pemerintah tidak berhak melarang masyarakat untuk melaksanakan
hasil ijtihadnya agar bisa meringankan dan memberikan keleluasaan kepada
mereka.
Umar ibn Abd
al-Aziz pernah berkata, “Aku kurang senang jika para Sahabat Rasululullah Saw.
tidak berbeda pendapat. Hal itu jika mereka bersepakat atas suatu pendapat dan jika
ada seseorang yang berbeda dengan pendapat itu maka ia bisa dianggap sesat. Namun jika mereka berbeda pendapat maka orang pun bisa mengambil salah satu
pendapat dan orang lain mengambil pendapat yang lain pula. Dengan
demikian terdapat keleluasaan untuk memilih”.[22]
2.
QS. Al-Maidah: 42
وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.
“Dan jika engkau memutuskan perkara di antara mereka maka
putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat
adil”
Kata Al-Qisth
(القسط) berarti adil. Bagi seorang hakim, keputusan yang adil adalah
yang sesuai dengan apa yang ia yakini setelah meneliti dalil-dalil syara`,
bukan sesuai dengan undang-undang yang diwajibkan untuk ia ikuti.
3.
Dalam menetapkan hukum,
seorang hakim harus tetap memegang teguh prinsip tauhid. Dalam hal ini,
kewajiban untuk mengikuti undang-undang menunjukkan adanya unsur meremehkan
prinsip tauhid, yaitu meninggalkan ketaatan kepada hukum Allah. Hal ini karena
sang hakim dianggap menaati undang-undang yang menunjukkan bahwa ia lebih
mengutamakan pendapat yang dihasilkan oleh manusia biasa yang tidak ma`shum.
Padahal Allah berfirman dalam QS.Al-Hujurat: 1
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”.
4. Sabda Rasulullah Saw.: “Hakim itu ada tiga
macam, dua masuk neraka dan hanya satu masuk surga. Pertama, hakim yang masuk
surga adalah ia yang mengetahui kebenaran dan memutuskan berdasarkan kebenaran
tersebut. Kedua, hakim yang mengetahui kebenaran namun ia tidak memutuskan
berdasarkan kebenaran tersebut. Hakim ini masuk neraka. Ketiga, hakim yang
memutuskan perkara di antara manusia padahal ia tidak tahu
kebenarannya. Hakim ini juga masuk neraka.”[23]
Hadis
di atas merupakan ancaman bagi para hakim yang memutuskan perkara bukan
berdasarkan kebenaran yang ia yakini.
5. Mengharuskan para hakim untuk memutuskan
berdasarkan pendapat yang rajah yang telah ditetapkan untuk mereka
adalah sesuatu yang tidak sejalan dengan apa yang terjadi pada masa Rasul,
Khulafa al-Rasyidin, dan orang-orang salaf, sebagaimana Imam Malik menolak
usulan khalifah Abu Ja’far al-Manshur meminta kepada Imam Malik.
6.
Hukum
fiqh positif yang diterapkan oleh pengadilan di berbagai negara sering
mengandung kontradiksi dan kekeliruan. Dengan demikian,
penetapan undang-undang dan kewajiban mengikutinya tidak menjamin mencegah
terjadi kesalahan dan kontradiksi.
7.
Keharusan untuk
mengadakan taqnin justru akan membuat masyarakat tidak leluasa dalam
menetapkan perbuatan hukum yang berada dalam wilayah berperaturan fiqh
tertentu.
8.
Perselisihan dalam masalah
hukum merupakan sesuatu yang juga terjadi pada zaman Khalifah al-Rasyidin
dan para salaf saleh. Terkadang seorang hakim bisa menghasilkan dua
keputusan yang mirip. Keputusan yang kedua tidak berarti menggugurkan keputusan
sebelumnya. Hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan taqnin
dan mengharuskan hakim untuk hanya mengikuti satu pandangan tertentu saja.
Bagaimanapun, orang-orang dulu justru lebih hati-hati daripada kita sekarang
dalam menjaga kepentingan agama dan dalam memelihara kebebasan masyarakat untuk
berbeda pendapat. Perbedaan tersebut tidak bisa dijadikan untuk meragukan
kemampuan para hakim dan menuduh mereka tidak kompeten. Pada prinsipnya, seorang
yang diangkat sebagai hakim adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan
memadai, bisa dipercaya, dan bertanggung jawab.
9.
Dalam berbagai kitab fiqh,
kita melihat terdapat banyak perbedaan pendapat. Para
ulama yang memiliki kompetensi memang dituntut untuk melakukan ijtihad
masing-masing. Salah ataupun benar hasil ijtihad mereka tetap memperoleh pahala
sebagaimana disabdakan oleh Nabi. Jika memang ada pendapat yang salah, maka
kewajiban ulama yang adalah meluruskannya dan mengembalikannya kepada pendapat
yang benar. Para ulama juga berpendapat bahwa
suatu keputusan hakim tidak bisa digugurkan kecuali jika memang bertentangan
dengan dalil syara`. Dengan demikian, upaya taqnin justru akan
menghilangkan kesempatan ijtihad bagi para ulama.
D.
Analisa
Pendapat Ulama tentang Taqnin al-Ahkam
Kedua
pendapat para ulama tentang hukum taqnin, yaitu pendapat yang
membolehkan dan pendapat yang tidak membolehkan, memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Seperti alasan yang dikemukakan para ulama Arab Saudi
yang menolak taqnin al-ahkam kelihatan bahwa mereka memang cenderung
dipengaruhi oleh prinsip Wahabi yang sangat menekankan untuk ittiba`
pada tuntunan Rasulullah Saw. Upaya taqnin al-ahkam dianggap sebagai
sesuatu yang baru dan tidak tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan oleh salaf
al-shalih.
Di sisi lain,
pelanggaran prinsip tauhid yang diyakini sebagian ulama Arab Saudi dalam
melihat taqnin al-ahkam dan kewajiban orang untuk mengikutinya
sepertinya terlalu berlebihan. Kewajiban seseorang untuk menaati undang-undang
yang telah disahkan penguasa dianggap sesuatu sikap yang lebih mengutamakan
hasil pemikiran manusia biasa yang tidak ma`shum. Padahal hukum yang
dikodifikasikan dan kemudian diundang-undangkan itu tidak bermaksud untuk
menggeser kedudukan syari`at yang berbasiskan Alquran dan Hadis. Sehingga
kepatuhan terhadap undang-undang yang disarikan dari ijtihad ulama tidak
bisa dikategorikan sebagai penggeser ke-tauhid-an seorang hakim. Selama
penguasa memerintahkan sesuatu (yang dimanifestasikan dalam hukum tertulis/undang-undang)
yang tidak menyalahi Alquran dan Hadis, maka rakyat wajib mengikutinya. Oleh
karena itu, suatu hukum fiqh yang diundang-undangkan harus benar-benar
dikaji secara komprehensif dan melibatkan banyak ulama sehingga “kebenaran dan
keadilan” dapat ditemukan melalui konsensus.
Teori otoritas
hukum menurut Khallaf adalah bahwa khalifah itu memegang tiga kekuasaan.
Khalifah berhak membuat undang-undang, melaksanakan undang-undang dan dapat
bertindak sebagai hakim (qadhi). Dalam pelaksanaannya, wewenang-wewenang
tersebut dapat dilimpahkan. Kewenangan legislatif ditangani oleh para mujtahid
dan mufti. Kewenangan yudikatif dilaksanakan oleh para hakim, dan
kewenangan eksekutif ditangani oleh para sultan dan perangkat pemerintah di
bawahnya. Konstitusi Kerajaan Saudi Arabia
menyatakan bahwa kerajaan berdasarkan Islam dan berpedoman kepada syari`ah
Islam dan mazhab yang dipilih menjadi mazhab Negara adalah Hanbali.[24]
Pada satu
sisi, ada kebenaran alasan ulama yang tidak setuju dengan taqnin al-ahkam yaitu
agar tidak mempersempit pilihan masyarakat dalam berijtihad atau memilih
diantara banyak pendapat atas hukum dan syarat suatu perbuatan. Namun hemat
penulis, upaya menyatukan pandangan masyarakat dalam sebuah undang-undang tidak
dapat dianggap sebagai sesuatu yang mempersulit masyarakat dan merusak prinsip
pluralisme. Adanya kepastian hukum merupakan sesuatu yang dituntut di era
modern ini. Pemerintah berkewajiban menetapkan aturan, sedangkan di sisi lain
rakyat wajib menaatinya.
Di Indonesia
sendiri, wacana taqnin telah ada sejak awal pendirian bangsa Indonesia yang
ditandai dari ide untuk memasukkan kewajiban melaksanakan syariat bagi pemeluk
agama Islam. Ide ini tidak mendapat respon positif dan kemudian berubah pola
pasca runtuhnya Orde Baru seiring dengan ditetapkannya kebijakan otonomi di
berbagai daerah. Banyak Perda Syariat bermunculan di berbagai daerah, seperti
Aceh, Padang ,
dan lainnya. Bahkan Aceh langsung menggunakan kata Qanun untuk
Perda-nya.
Kitab-kitab fiqh
yang datang bersamaan dengan datangnya Islam ke Indonesia, pasti akan mengalami
perkembangan dan dinamika tersendiri. Secara umum, kitab fiqh yang
datang ke Indonesia
banyak mengadopsi atau bahkan hasil dari kreasi yang dibuat Imam Syafi’i. Oleh
karena itu, produk hukum Islam Indonesia
kebanyakan menggunakan mazhab ini. Namun demikian, bukan berarti pendapat Imam mazhab
lain dalam persoalan fiqh tidak ada atau tidak hidup, bahkan cukup
signifikan pada beberapa persoalan melahirkan persoalan yang cukup unik di
dalam menetapkan hukum Islam menjadi hukum positif di Indonesia .
Sementara
itu, adanya taqnin al-ahkam juga memiliki kekurangan. Ketika
hukum Islam dirumuskan ke dalam bentuk undang-undang atau peraturan, maka ia
bisa ditentang, dicabut, dianggap keliru oleh masyarakat dan penguasa,
sebagaimana layaknya hukum undang-undang sipil yang lain. Hal ini dapat
dikonotasikan pengurangan kewibaan hukum
Islam. Sebagai contoh kasus di Indonesia bisa kita lihat bagaimana sejarah
ditetapkannya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang ditentang oleh banyak
pihak, baik dari kalangan orang Islam sendiri maupun non-muslim, yang terjadi
baik sebelum maupun sesudah Undang-Undang itu ditetapkan dan disahkan.
Banyak analis
dan pengamat politik Indonesia yang yakin bahwa saat pelembagaan hukum Islam
Nomor 1 Tahun 1974 sedang digodok, hubungan antara Islam dan Negara sebenarnya
sedang berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Pelembagaan terhadap
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 ini dapat dipandang sebagai sikap
diametral dari tokoh politik Muslim terhadap pemerintah.[25]
Adanya resiko
seperti ini, maka taqnin al-ahkam harus melibatkan banyak pihak terkait.
Tata cara pembentukan Undang-Undang (legal drafting) juga harus
betul-betul diperhatikan. Dengan demikian, ketika hukum-hukum Islam itu sudah
menjadi Undang-Undang (Qanun), maka resistensi terhadapnya bisa
ditekan seminimal mungkin karena untuk menafikan sama sekali resistensi
tampaknya sesuatu yang mustahil.
Sebagai bahan
contoh, Ketentuan Umum tentang syarat dan rukun nikah itu tampaknya masuk dalam
wilayah produk ijtihadi dimana terjadi beberapa pendapat para ulama. Misalnya
tentang persoalan akad nikah. Imam Syafi’i memahami akad nikah sebagai telah
mengandung kebolehan melakukan hubungan suami-isteri dengan melafalkan “nikah”.
Sementara Imam Hanafi berpandangan bahwa kebolehan akad dimaksud apabila tidak
ada halangan syara`. Belum lagi kedua ulama ini berselisih tentang
apakah wanita mesti disyaratkan memakai wali atau tidak. Perkawinannya
mengharuskan persetujuan wali atau tidak. Syafi’i memandang tidak sah
suatu perkawinan apabila calon pengantin isteri tidak memperoleh perwalian dari
walinya. Pandangannya didasarkan atas pendapatnya bahwa perempuan tidak dapat
menjadi wali. Sementara itu, Imam Hanafi berpandangan bahwa wanita dapat
menjadi wali. Karena ia berhak menjadi wali, maka ia berhak juga tidak
memperoleh wali sama seperti kaum laki-laki.
Namun
demikian, karena mayoritas Muslim Indonesia bermazhab Syafi’i, tampaknya
mengharuskan adanya wali dalam pernikahan menjadi ketentuan dalam aturan
positif. Sehingga dalam Instruksi Presiden RI Nomor 01 Tahun 1974 tentang
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, khususnya Bab IV tentang Rukun dan Syarat
Perkawinan, pada pasal 14 disebutkan bahwa masalah wali ditempatkan sebagai
salah satu rukun nikah.[26]
Kondisi ini akan menyulitkan penegakan hukum tentang sah atau tidaknya
perkawinan tanpa wali yang diselenggarakan oleh mereka yang berada di luar
ketentuan peraturan di atas. Masalah lain lagi, misalnya, tentang persyaratan
boleh tidaknya dijalankan perkawinan pada ketentuan umur baik calon suami
maupun calon isteri. Pada Bab IV pasal 15 disebutkan bahwa umur calon mempelai
pria minimal berusia 19 tahun sedangkan mempelai wanita berumur minimal 16
tahun. Jika terdapat perkawinan di luar ketentuan umur dimaksud, maka
pelaksanaannya di luar pengawasan lembaga yang telah ditentukan Negara, yakni
Kantor Pencatat Pernikahan.[27]
Oleh Karena
itu boleh dikatakan bahwa pelembagaan hukum Islam, bahkan sejak kemerdekaan Indonesia , selalu melahirkan
polemik yang cukup kuat di tengah kehidupan masyarakatnya. Di era otonomi
daerah, beberapa daerah ingin menunjukkan ciri khas karakter masing-masing melalui
Perda dan itu diakomodir dalam aturan ketatanegaraan selama tidak melanggar
konstitusi. Namun tidak menjamin akan Perda-perda syariat itu dari banyak
tanggapan baik yang pro maupun kontra. Kalangan non-muslim tentu saja banyak
yang memprotes dan menganggap bahwa hal itu adalah upaya untuk menjadikan Indonesia
sebagai negara Islam. Sebagian lagi berpendapat bahwa dengan formalisasi
syariat dalam bentuk perda-perda, terutama perda maksiat, dituding mereka
sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap domain privat masyarakat.
Berikutnya, alasan
ulama yang tidak setuju dengan taqnin al-ahkam karena para hakim mesti dituntut
untuk berijtihad menemukan kebenaran dan keadilan bersumber langsung dari Alquran
dan Hadis dapat dibenarkan. Sementara argumentasi bahwa tidak semua hakim
memiliki kemampuan yang sama dalam menetapkan hukum, menurut ulama yang pro taqnin,
juga dapat dibenarkan. Tetapi diketahui secara
dharuri bahwa tidak etis mendudukkan orang yang tidak mampu berijtihad pada
posisi yang sangat menentukan benar dan salah seseorang serta hukuman yang
tepat atasnya. Oleh karena itu, seleksi posisi hakim dengan cara yang jujur dan
adil menjadi keniscayaan institusi Negara.
Dalam
berbagai kitab fiqh, kita melihat terdapat banyak perbedaan pendapat. Para ulama yang memiliki kompetensi memang dituntut untuk
melakukan ijtihad masing-masing. Salah ataupun benar hasil ijtihad mereka tetap
memperoleh pahala sebagaimana disabdakan oleh Nabi. Jika memang ada pendapat
yang salah, maka kewajiban ulama yang adalah meluruskannya dan mengembalikannya
kepada pendapat yang benar. Para ulama juga
berpendapat bahwa suatu keputusan hakim tidak bisa digugurkan kecuali jika
memang bertentangan dengan dalil syara`. Dengan demikian, upaya taqnin
justru akan menghilangkan kesempatan ijtihad bagi para ulama.
Perkembangan
problematika masyarakat yang berbarengan dengan meluasnya wilayah Islam semakin
mengukuhkan betapa pentingnya berijtihad untuk menyelesaikan
permasalahan itu. Legalisasi ijtihad itu dapat dilihat dari Hadis Muaz
ibn Jabal dan para Sahabat lain yang merupakan sinyalemen untuk melakukan ijtihad
apabila terjadi kekosongan hukum atas ketidakjelasan nash, terlebih lagi
Nabi telah memberikan instruksi kepada Sahabatnya itu ketika akan diutus ke
negeri Yaman sebagai qadhi:
Dari Muaz ibn
Jabal, bahwasanya Rasulullah Saw. ketika mengutusnya ke Yaman bersabda:
“Bagaimana engkau menghukum jika engkau berkewajiban memberi hukum?” Muaz
menjawab: “Saya menghukum dengan kitabullah.” Tanya Rasulullah lagi: “Jika
tidak engkau dapati dalam kitabullah?” Muaz menjawab: “Maka dengan sunnah
Rasulullah.” Tanya Rasulullah lagi: “Jika tidak engkau dapati dalam sunnah
Rasulullah?” Muaz menjawab: “Saya berijtihad menurut pendapatku dengan tiada
mengurangi daya ikhtiarku.” Lalu Muaz meneruskan: Rasulullah menepuk-nepuk
dadaku sambil bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik
kepada utusan Rasulullah (Muaz) bagi apa yang diridhoi Rasulullah.”
Dari Hadis
tersebut ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi yakni kata dengan tiada
mengurangi daya ikhtiarku. Pernyataan itu menunjukkan bahwa dalam
prakteknya ijtihad qadhi yang dilakukan oleh Sahabat Muaz, tidak semudah
membalikkan telapak tangan, akan tetapi Muaz dibekali pengetahuan-pengetahuan
untuk menggunakan pendapatnya dalam menetapkan putusan.
Hakim dapat
dipahami dalam dua bentuk, yaitu pengertian hakim secara umum dan khusus. Dalam
pengertian umum, hakim adalah setiap orang pejabat yang melakukan penyelesaian atau memutuskan
suatu sengketa. Menurut Juhaya, hakim (ahli hikmah) adalah orang yang bijaksana,
yang memiliki pengetahuan yang berkembang pada masanya, dan mengetahui
hakikatnya.[28]
Pengetahuan tersebut mendorongnya untuk berbuat dan bertindak sesuai dengan
pengetahuan itu. Sedangkan dalam pengertian khusus hakim dapat dipahami sebagai
pejabat di lingkungan badan peradilan yang diangkat dan diberikan wewenang
memutuskan sengketa hukum dan membuat ketetapan hukum di bidang-bidang
tertentu.
Kebebasan dan
kewenangan hakim itu dapat dipahami dari dua segi, pertama hakim itu merdeka
dan bebas dari pengaruh siapapun. Artinya, hakim bukan hanya harus bebas dari
pengaruh kekuasaan eksekutif atau legislatif. Merdeka
dan bebas mencakup merdeka dan bebas dari pengaruh unsur-unsur yudisial itu
sendiri. Demikian pula merdeka dan bebas dari pengaruh kekuatan-kekuatan di
luar jaring-jaring pemerintah, seperti pendapat umum, pers, dan sebagainya. Kedua,
kemerdekaan dan kebebasan hakim hanya terbatas pada fungsi hakim sebagai
pelaksana kekuasaan yudisial. Dengan perkataan lain, kemerdekaan dan kebebasan
hakim ada pada fungsi yudisalnya yaitu menetapkan hukum dalam keadaan konkrit.
Di
sisi lain, salah satu asas hukum adalah adanya kepastian. Kepastian hukum
merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun
organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan
hukum. Negara hukum bertujuan untuk menjamin bahwa kepastian hukum
terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian dalam
hubungan antar manusia, yaitu menjamin prediktabilitas, dan juga
bertujuan untuk mencegah bahwa hak yang terkuat yang berlaku.
Asas
kepastian hukum ini menuntut suatu Negara memiliki aturan perundang-undangan
yang bisa mengikat seluruh perilaku manusia dalam aturan hukum yang positif
dimana akan menjamin setiap individu untuk berjalan di atasnya. Maka hakim yang
memiliki kemampuan ijtihad itu pun harus mengikuti undang-undang yang
telah ditetapkan demi menjamin kepastian hukum dalam Negara tersebut. Dengan
demikian, taqnin al-ahkam merupakan suatu cara agar keberlangsungan fiqh
yang merupakan hasil ijtihad pemahaman para ulama atas syariat dapat
terjaga dalam masyarakat.
E.
Penutup
Perbedaan
pendapat ulama tentang taqnin al-ahkam disebabkan karena taqnin
al-ahkam adalah sesuatu yang baru, yang tidak dikenal istilah itu pada masa
Rasul Saw., Sahabat, dan ulama salaf. Pendapat
ulama dalam hal ini ada dua, yakni membolehkan dan melarang.
Ulama
yang membolehkan taqnin al-ahkam berpendapat bahwa membuat hukum dalam
suatu undang-undang yang akan diberlakukan untuk seluruh individu dalam satu
wilayah kekuasaan Negara adalah sesuatu yang membawa maslahat. Misalnya keputusan
yang dianggap maslahat oleh Usman ibn Affan ketika mengkodifikasi Alquran dalam
satu bahasa dan kemudian memusnahkan seluruh mushaf selain mushaf yang telah
dikodifikasinya itu. Taqnin al-ahkam membawa kepastian hukum, meski dalam
prakteknya tidak menutup usaha ijtihad para hakim dalam memutuskan
perkara.
Sementara
ulama yang tidak membenarkan taqnin al-ahkam menganggap bahwa ini adalah
penyimpangan yang tidak dapat dibenarkan. Argumentasi mereka adalah keharusan
para hakim dalam mencari kebenaran dan keadilan melalui ijtihad pada
sumber hukum, yakni Alquran dan Hadis. Suatu kebenaran dan keadilan tidak bisa
merujuk pada suatu undang-undang saja yang notabenenya merupakan hasil ijtithadi
dan membuka peluang perbedaan ukuran kebenaran itu dalam perspektif dan ijtihad
ulama atau hakim. Dengan menetapkan suatu hukum fiqh dalam format
undang-undang maka akan memaksa hakim untuk mematuhi aturan tersebut dan
menutup kesempatan rakyat untuk mengamalkan sesuatu yang benar atau adil
menurut ijtihad mereka. Dengan demikian, taqnin al-ahkam tidak
dapat dibenarkan menurut pendapat ini.
Kedua
pendapat ini bisa disatukan dengan cara melihat kelebihan dan kekurangan
masing-masing dan kemudian merumuskan konsep utuh tentang taqnin al-ahkam,
dengan catatan konsep itu bisa mengalami perubahan dan perkembangan sesuai
dengan dinamika ruang dan waktu. Mengundang-undangkan suatu hukum harus melalui
ijtihad yang komprehensif, duduk bersama para ulama untuk menemukan
kesepahaman dan kesepakatan merumuskan kemaslahatan yang memiliki kepastian
hukum, dan fleksibelitas interpretasi/ijtihadi perumus undang-undang
atau para hakim menjadi suatu keniscayaan untuk menjamin kebenaran dan keadilan
yang harus ditemukan melalui hukum sebagaimana tujuan hukum itu sendiri.
Wallahu a’lam bis shawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru vanH Hoeve, 1996.
Abu Abdullah al-Hathtab, Mawahib al-Jalil
li Syarh Mukhtashar Khalil, juz 8, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1416
H.
Ahmad Hasan, The early Development of
Islamic Jurisprudence, Pakistan, 1970
Al-Mahamid, Masirah al-Fiqh al-Islami
al-Mu’ashir, Jam`iyyah Umm al-Mathabi`, 1422 H.
Bakar ibn Abdullah Abu Zaid, Fiqh
an-Nawazil, Muassasah al-Risalah, 1412 H.
Deddy
Ismatullah, Gagasan Peerintahan Modern dalam Konstitusi Madinah, Bandung : Sahifa, 2006.
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI, 1991.
Hartono Mardjono, Menegakkan Syari`at
Islam dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1997.
Ibn Qudamah, Al-Mughni, juz 14.
Ibn Taimiyah, Majmu`at al-Fatawa, juz 35, Pakistan : Dar
al-Wafa’, 2001.
Ibrahim Anis, Al-Mu`jam al-Wasith, juz 2.
J.
van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Sarjana, t.t.
Jaih
Mubarok, Hukum Islam, Bandung :
Benang Merah Press, 2006.
Joseph
Schacht, Pengantar Hukum Islam, Bandung :
Nuansa, 2010.
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung:
PT. Latifah Press, 2009.
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam
Indonesia, Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru,
Jakarta: Paramadina, 1995.
Muhammad Amin Ibn Umar, Hasyiah Ibnu Abidin. juz 1.
Mushtafa aL-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqh
al-`Am, juz 1 Beirut: Dar al-Qalam, 1418 H.
Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, Edinburg,
1964.
Rosjidi
Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Bandung : Mandar
Maju,1998.
Sobhi
Mahmasani, Filsafat Hukum Islam, Bandung :
al-Maarif, 1976.
[1] Ibrahim
Anis, Al-Mu`jam al-Wasith, juz 2, h. 763.
[5] Sobhi Mahmasani, op.cit.,
h. 28.
[6] E.
Utrecht , Pengantar dalam Hukum Indonesia , (Jakarta: Ichtiar,1957),
h. 9.
[7] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar
Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (bandung :
Mandar Maju,1998), h. 10.
[8] Jaih Mubarok, Hukum
Islam, (Bandung :
Benang Merah Press, 2006), h. 1.
[9] Salah satu uraian
tentang piagam madinah dapat dilihat dalam Deddy ismatullah, Gagasan
Peerintahan Modern dalam Konstitusi Madinah, (Bandung : Sahifa, 2006).
[10] Joseph Schacht, Pengantar
Hukum Islam, (Bandung :
Nuansa, 2010), h. 95.
[11] Ibid., h. 616.
[12] Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru vanH Hoeve, 1996), vol. 4, h. 1094.
[13] Joseph Schacht, op.cit.,
hl. 18-143.
[14] Ibid., h.
145-148.
[15] Hartono
Mardjono, Menegakkan Syari`at Islam dalam Konteks Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1997), h. 125.
[18] Abu
Abdullah al-Hathtab, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, juz 8
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1416 H), h. 78.
[24] Zakaria
Syafe’i, Ijtihad Mazhab Hukum Islam tentang Riddah dan Sanksi Hukumnya serta
Prospek Impelementasinya di Indonesia. Disertasi 2010, h. 297.
[25] M.
Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik
tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 17.
[26] Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
(Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI,
1991), h. 18-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...