Oleh : Saepudin
Dalam bahasa sehari-hari kata hukum
sering dikonotasikan dengan peraturan dan sejenisnya. Namun sesungguhnya kata
hukum yang digunakan oleh masyarakat itu sendiri berasal dari bahasa arab yang
diserap menjadi bahasa Indonesia yaitu “ﺤﮑﻢ“ (hukm) jamak dari ahkam yang berarti
“putusan” (judgement, verdict, decision), “ketetapan” (provision), “perintah”
(command), “pemerintahan” (government), “kekuasaan” (authority, power),
“hukuman” (sentences) dan lain-lain. Kata kerjanya hakama yahkumu yang bermakna
“memutuskan”, “mengadili”, “menetapkan”, “memerintahkan”, “menghukum”,
“mengendalikan” dan lain sebagainya.
Selain dalam bahasa arab, istilah
“hukum” juga dikenal dalam bahasa lain seperti law dalam bahasa inggris, recht
dalam bahasa Jerman dan Belanda atau kata latin Ius. Kata “hukum” kemudian
dipergunakan lebih jauh dalam perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia
seperti kata “hukuman”, “terhukum”, “penegak hukum”, “hakim”, “kehakiman”,
“mahkamah” dan banyak lagi.
Kata hukum dalam al-Qur’an dipahami
sebagai “putusan” atau “ketetapan” terhadap suatu masalah. Putusan atau
ketetapan yang tidak hanya mengatur hubungan antara khaliq (pencipta) dan
makhluq (yang diciptakan) tapi juga antar manusia yang didalamnya mengatur
tentang hukum amaliyah (fiqh), hukum tauhid (aqidah) maupun yang berhubungan
dengan hukum etika (akhlaq). Oleh karena itu sering kita mendengar bahwa Islam
paling tidak terdiri dari iman dan amal, yaitu keyakinan monotheis manusia yang
dilingkupi dengan kompetensi keilmuan yang luas untuk secara tepat dan benar di
amalkan baik untuk hubungannya dengan khaliq (sang pencipta) maupun dengan
makhluq (yang diciptakan).
Kata hukum yang dikenal dalam bahasa
Indonesia berasal dari bahasa Arab hukm yang berarti putusan (judgement) atau
ketetapan (Provision). Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti
menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Sementara dalam A
Dictionary of Law dijelaskan tentang pengertian hukum sebagai berikut:
Law is “the enforceable body of rules
that govern any society or one of the rules making up the body of law, such as
Act of Parliament.
(Hukum adalah suatu kumpulan aturan yang
dapat dilaksanakan untuk mengatur/memerintah masyarakat atau aturan apa pun
yang dibuat sebagai suatu aturan hukum seperti tindakan dari Parlemen).
2. Pengertian
Hukum Islam
Kata “hukum” dalam Islam (hukum Islam)
sering dikonotasikan pada dua hal yaitu fiqh dan syariat. Fiqh secara bahasa
berarti
الفقه في اللغة: العلم بالشيء
والفهم له
Pengetahuan dan pemahaman terhadap
sesuatu.
Hal ini sejalan dengan pengertian yang
disitir dalam hadits yang mengatakan, “Barangsiapa Allah menghendaki kebaikan
baginya, maka ia dibuat paham (fiqh) dalam agama.”
Juga dalam surat Q. S. Al-Tawbah/9:122
yang berbunyi:
…فَلَوْلاَ نَفَرَ
مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
” …Maka hendaknyalah pada setiap
golongan dari mereka (orang-orang yang beriman) itu ada sekelompok orang yang
tidak ikut (berperang) untuk mendalami agama (tafaqquh), dan untuk dapat
memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka itu telah kembali (dari perang)
agar mereka semuanya waspada.”
A. Fiqh
Banyak dari para ahli hukum
mendefinisikan fiqh sebagai:
الفقه: العلم بالأحكام الشرعية
العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang
bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci.
Fiqh yang juga berarti hukum hanya
dimengerti fungsinya bila dikaitkan dengan perbuatan manusia baik berupa
menyandarkan atau tidak menyandarkan.
الحكم: إسناد أمر إلى آخر
إيجابا أو سلبا
Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada
yang lain atau penafian sesuatu dari yang lain.
Sehingga yang dimaksud dengan hukum
dalam definisi fiqh adalah status perbuatan manusia mukallaf (orang yang telah
baligh dan berakal sehat), pada perbuatan-perbuatan yang bersifat wajib
(prescribed), mandub (sunnah-recommended), haram (unlawful), makruh (disliked),
atau mubah (permissible).
Fard bisa dibagi dalam tiga dimensi
yaitu sebagai kewajiban (obligatory-wajib), pendelegasian (mandatory -muhattam)
dan permintaan (required-lazim). Yang kesemuanya tersebar dalam personally
obligatory (fard al-’ayn), sebagai kewajiban setiap individual Muslim seperti
salat dan zakat dan communally obligatory (fard al- kifaya), yang cukup
dilakukan oleh salah satu dari komunitas muslim seperti memandikan jenazah.
The recommended, (mandub) atau sunnah,
merujuk pada lebih disukai (preferable-mustahabb), bermanfaat
(meritorious-fadila), dan diperlukan (desirable-marghub fih). Misalnya solat
malam (tahajjud) dan mengingat Allah (zikr). the permissible/allowed (mubah)
sesuatu perbuatan boleh yang tidak diberi reward atau hukuman. Sedangkan
perbuatan yang tidak boleh/tidak disukai (disliked-makruh) tapi tidak memiliki
dampak penghukuman. Berbeda dengan the unlawful/ prohibited (haram ) yang
memiliki hukuman.
B. Syariah
Istilah syariat yang sumber otentiknya
berasal dari sumber-sumber hukum Islam yang tersebar pada Al-Qur’an, hadits,
ijma dan lain sebagainya. Prof. Teungku M. Hasbi Ash-Shiddiqie dalam salah satu
karyanya mendefinisikan hukum Islam sebagai:
“Segala yang diterbitkan (ditetapkan)
syara’ untuk manusia, baik berupa perintah maupun merupakan tata aturan
amaliyah yang menusun kehidupan bermasyarakat dan hubungan mereka satu sama
lain serta membatasi tindakan mereka.”
Walaupun dilihat dari struktur bahasanya
(etimologi), Syari’at merupakan kalimat yang berbahasa arab Syari’a yang
bermakna “jalan menuju sumber air: track yang jelas untuk di ikuti”. Atau
sebagai sumber air yang di ambil orang untuk keperluan hidup sehari-hari. Kata
Syariah paling tidak disebut lima kali, tiga di antaranya terdapat dalam
Alqur’an yaitu pada surat Al-Maidah ayat 48, Asy-Syura: ayat 13 dan Al-Jatsiyah
ayat 18.
Dalam bentuk aktif, syariat disebut
sebagai syara’a, sebuah kata kerja yang bermakna “mengurai atau menelusuri
suatu jalan yang telah jelas menuju air”. Dengan makna tersebut, secara doktrin
hukum, syari’at dapat difenisikan sebagai “jalan utama menuju kehidupan yang
lebih baik yang terdiri dari nilai-nilai agama sebagai acuan untuk membimbing
kehidupan manusia”.
Abdullah Yusuf Ali menerjemahkan syariat
sebagai jalan agama yang lebih luas dari sekedar ibadah-ibadah formal dan
ayat-ayat hukum yang diwahyukan kepada Muhammad SAW. Sedangkan sebuah komunitas
akademis di Universitas Southern California dalam kompendiumnya menjelaskan
bahwa makna syariah tidak hanya merujuk pada hukum dan jalan hidup yang
digariskan Allah SWT untuk hambanya namun juga berhubungan dengan ideologi;
keyakinan; prilaku; tindakan; serta praktek keseharian seperti firmannya dalam
surat Al-Ma’idah: 48.
Sedangkan pakar hukum Islam Indonesia,
Prof. Teungku Hasbi Ash-Shiddiqie menyebutkan bahwa para ahli fiqh menggunakan
kata syariat sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya
melalui Rasulullah SAW yang berkaitan dengan amaliyah lahir (ahlak) dan bathin
(Aqidah) untuk dilaksanakannya dengan dasar iman.
C. Fiqh
dan Syariah
Bagi orang awam, adakalanya syariat
disebut juga sebagai fiqh Islam. Walaupun amat mirip namun keduanya memiliki
arti yang berbeda. Jika syariat adalah hukum wahyu yang bersumber Al-qur’an dan
hadits, maka fiqh yang secara bahasa bermakna paham atau pemahaman adalah
pengetahuan tentang syariat mengenai perbuatan manusia yang diambil dari
ijtihad para mujtahid terhadap dalil-dalil yang rinci. Secara definitif,
setidaknya ada lima perbedaan antara syariah dengan fiqh yaitu antara lain:
1. Syariat
merupakan wahyu Allah yang terdapat dalam Al-qur’an dan hadits sedangkan fiqh
merupakan hasil ijtihad manusia yang sah dalam memahami dan menafsirkan kedua
sumber hukum tersebut.
2. Syariat
bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas sedangkan fiqh
bersifat instrumental dan terbatas ruang lingkupnya pada hukum-hukum yang
mengatur perbuatan hukum manusia.
3. Syariat
adalah ketetapan Allah dan ketentuan rasul karena itu keduanya berlaku abadi
sedangkan fiqh adalah hasil ijtihad yang sah manusia yang bersifat sementara
karena itu dapat berubah sesuai kondisinya.
4. Syariat
hanya satu sedangkan fiqh lebih dari satu karena terdapat banyak madzhab fiqh
dan aliran hukum lainnya.
5. Syariat
menunjukan kesatuan dalam Islam sedangkan fiqh menunjukan keragamannya.
Dengan pembedaan tersebut jelaslah bagi
kita bahwa syariat merupakan hukum yang akan terus hidup sekalipun tak lagi
diterapkan oleh manusia dalam kehidupannya. Di dalam syariat tersebut ada norma
dan prinsip yang kemudian di tafsirkan oleh berbagai macam ahli fiqh untuk
dapat diaplikasikan kedalam setiap kehidupan manusia yang berbeda waktu dan
kondisinya. Adalah sangat naïf bila syariat yang telah ditafsirkan menjadi fiqh
pada masa terdahulu akan dapat menyelesaikan persoalan masa kini. Oleh karena
itu syariat selalu memerlukan penafsiran atau ijtihad.
3. Keistimewaan
Fiqh
Sebagaimana penjelasan di atas bahwa
setiap manusia menuntut dan mencari kebahagiaan dan kesempurnaan, sedangkan
keduanya tidak akan dicapai kalau manusia hidup semaunya sendiri tanpa adanya
peraturan dan kode etik hidup yang mengaturnya.
Di sinilah letak perbedaan antara Manhaj
Islam yang disebut Fiqhul Islam dengan manhaj-manhaj yang lain. Keistimewaan
Fiqh Islam atas manhaj-manhaj yang lain dapat disimpulkan sebagai berikut:
A. Fiqh
berdasarkan wahyu Ilahi dan Petunjuk Nabawy. Setiap mujtahid di dalam
pengambilan hukum (Istinbatul Ahkam) harus bersumber dari al-Quran dan
al-Hadits, baik yang diambil secara langsung atau isyarat yang menunjukkan dari
keduanya, seperti Ijma dan Qiyas. Sehingga menjadi sempurna semua tuntutan
hidup manusia. Allah berfirman: “Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian
agama kalian. Dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku rela
untuk kalian Islam sebagai Agama.” (Q.S. Al-Maidah 3-5).
B. Fiqh
Islam mencakup semua tuntutan Hidup. Di dalam Fiqh Islam telah diatur semua
urusan yang berkaitan dengan hidup manusia, sampai salah seorang sahabat
Rasulullah Saw. berkata: “Semoga Allah membalas kebaikan Baginda Rasulullah
Saw. yang telah mengajarkan kepada kita semua urusan hingga urusan di kamar
kecil”.
C. Fiqh
Islam berhubungan erat dengan etika. Berbeda dengan manhaj lain yang tujuan
utamanya hanya sebatas memelihara kelestarian hidup, meski harus mengorbankan
akhlak dan ajaran-ajaran agama. Oleh karena inilah maka disyariatkanlah ibadah.
seperti; shalat dan puasa yang semua itu bertujuan untuk mensucikan jiwa
sehingga tercegah dari perbuatan keji dan munkar. Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar“. Begitu pula
diharamkannya Riba misalnya; bertujuan untuk membangkitkan jiwa tolong-menolong
di antara sesama manusia dan mencegah terjadinya penipuan di dalam transaksi.
Apabila hak-hak pribadi terjaga dan rasa saling mempercayai terpelihara maka
akan tampaklah kehidupan harmonis serta bahagia pada masyarakat.
D. Fiqh
Islam memelihara kemaslahatan pribadi dan umum secara bersamaan tanpa harus ada
yang dikorbankan. Namun demikian di saat terjadi pertentangan antara
kepentingan pribadi dan umum maka yang didahulukan adalah kemaslahatan umum.
Dalam hal ini dikenal kaidah Fiqh yang diambil dari Hadits Nabi: “ Laa dharara
wa laa dhirara “
4. Ruang
Lingkup hukum Islam
Selain berbagai makna syariat yang
berkonotasi hukum, syariat dalam arti luas juga berarti segala hal yang
ditetapkan oleh Allah. kepada mahluknya tentang berbagai kaidah dan tata aturan
yang disampaikan kepada umatnya melalui nabi-nabinya termasuk Muhammad SAW baik
yang berkaitan dengan hukum amaliyah (fiqh), hukum tauhid (aqidah) maupun yang
berhubungan dengan hukum etika (akhlaq).
Ungkapan hukum-hukum syar’i menunjukkan
bahwa hukum tersebut dinisbatkan kepada syara’ atau diambil darinya sehingga
hukum akal (logika), seperti: satu adalah separuh dari dua, atau semua lebih
besar dari sebagian, tidak termasuk dalam definisi, karena ia bukan hukum yang
bersumber dari syariat. Begitu pula dengan hukum-hukum indrawi, seperti api itu
panas membakar, dan hukum-hukum lain yang tidak berdasarkan syara’.
Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus
bersifat amaliyyah (praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, seperti
ibadahnya, atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syar’i yang
bersifat i’tiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib seperti dzat
Allah, sifat-sifat-Nya, dan hari akhir, bukan termasuk ilmu fiqh, karena ia
tidak berkaitan dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu tauhid
(aqidah).
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang
bersifat amaliah ini juga harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses
penelitian mendalam terhadap dalil-dalil tersebut. Berarti ilmu Allah atau ilmu
Rasul-Nya tentang hukum-hukum ini tidak termasuk dalam definisi, karena ilmu
Allah berdiri sendiri tanpa penelitian, bahkan Dialah Pembuat hukum-hukum
tersebut, sedangkan ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan dari kajian
dalil. Demikian pula pengetahuan seseorang tentang hukum syar’i dengan
mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke dalam definisi ini, karena
pengetahuannya tidak didapat dari kajian dan penelitian yang ia lakukan
terhadap dalil-dalil.
Hukum Islam yang tertuang dalam syari`at
dapat dibagi atas tiga kelompok besar yaitu Hukum tentang `Aqidah yang mengatur
keyakinan manusia terhadap Allah dan lebih bersifat privat yaitu antara manusia
dengan tuhan, Hukum tentang Akhlaq yang mengatur etika berhubungan dengan
manusia dan Hukum yang berkaitan dengan prilaku manusia (`Amaliyah atau Fiqh)
yaitu hukum yang menata kehidupan manusia dengan manusia sehari-hari baik dalam
fungsi vertikal (ibadah), pengaturan (muamalah) maupun penindakan (jinayah).
Karena ketiga fungsi tersebut, hukum
Amaliyah dibagi dalam dua kategori yaitu `Ibadat (dimensi vertikal) dan
Mu`amalat (dimensi Horizontal) yang terdiri atas Hukum Keluarga (Family Law),
Hukum ekonomi, finansial dan transaksi, Peradilan, Hukum tentang warganegara
asing (Musta’min) dalam Negara Islam, Hukum Antar Bangsa (International Law),
Hukum Tata Negara dan Politik (siyasah), Hukum tentang Sumber-sumber Pendapatan
Negara dan Hukum Pidana.
Hukum yang diatur dalam fiqh Islam itu
terdiri dari hukum wajib, sunat, mubah, makruh dan haram; disamping itu ada
pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah, berpahala,
berdosa dan sebagainya.
Secara garis besar kandungan dalam Ilmu
Fiqh ada tiga macam; Hubungan seorang hamba dengan Tuhan, dengan dirinya, dan
dengan masyarakat luas. Sehingga semua masalah manusia diatur oleh Fiqh Islam,
karena Fiqh bukan hanya mengurus urusan dunia saja namun juga urusan akhirat.
Fiqh juga merupakan agama dan negara. Fiqh Islam selalu relevan hingga hari
kiamat. Sehingga konsep yang ditawarkan oleh Fiqh Islam menjanjikan kebahagiaan
abadi dunia dan akhirat. Dari alasan itulah pembahasan di dalam Fiqh Islam
mencakup semua aspek kehidupan manusia dan kalau diperhatikan pembahasan Fiqh
Islam dibagi menjadi tujuh kategori:
A. Hukum-hukum
yang berhubungan dengan muamalah seorang hamba terhadap Tuhannya, seperti;
shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Hukum-hukum ini disebut
al-Ibadat.
B. Hukum-hukum
yang berkaitan dengan rumah tangga, seperti; pernikahan, perceraian, nafkah,
dan lain-lain. Hukum-hukum ini disebut Ahwal al- Syakhsiyah.
C. Hukum
yang berhubungan dengan pekerjaan, perekonomian, dan interaksi antara satu dan
lainnya, seperti; jual beli, perdagangan, pegadaian, dan pengadilan.
Hukum-hukum ini disebut Muamalah (perdata)
D. Hukum-hukum
yang berhubungan dengan pemerintahan beserta pelaksanaannya dan politik.
Hukum-hukum ini disebut Ahkamu Sulthaniah atau Siasah Syar’iah.
E. Hukum-hukum
yang berhubungan dengan hukuman orang yang berbuat kesalahan, menjatuhkan
kehormatan orang, dan mengganggu keamanan umum. Hukum-hukum ini disebut Jinayat
(Pidana)
F. Hukum-hukum
yang berkaitan dengan hubungan antara Negara Islam dan Negara lain. Hukum-hukum
ini disebut Syi’ar (Diplomatik)
G. Hukum-hukum
yang berhubungan dengan tingkah laku lahiriah seorang Muslim dengan sesama
manusia. Hukum-hukum ini disebut Fiqhul Adab.
Sedangkan Prof. T.M. Hasbi Ashiddiqqie,
merinci lebih lanjut pembagian tersebut dengan mengembangkan menjadi delapan
topik bahasan, yaitu:
A. Ibadah
Pada bagian ini dibicarakan beberapa
masalah masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan berikut
seperti Thaharah (bersuci); Ibadah (sembahyang); Shiyam (puasa); Zakat; Zakat
Fithrah; Haji; Janazah (penyelenggaraan jenazah); Jihad (perjuangan); Nadzar;
Udhiyah (kurban);
B. Ahwalusy Syakhshiyyah
Satu bahasan yang terhimpun dalam bab
ini membicarakan masalah-masalah yang terkonsentrasi seputar aturan hukum
pribadi (privat) manusia, kekeluargaan, harta warisan, yang antara lain
meliputi persoalan: Nikah; Khithbah (melamar); Mu’asyarah (bergaul); Nafaqah;
Talak; Khulu’; Fasakh; Li’an; Zhihar; Ila’; ‘Iddah; Rujuk; Radla’ah; Hadlanah;
Wasiat; Warisan; Hajru; dan Perwalian.
C. Muamalah Madaniyah
Biasanya disebut muamalah saja yang
didalamnya terdapat pembicaraan masalah-masalah harta kekayaan, harta milik,
harta kebutuhan, cara mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi masalah: Buyu’
(jual-beli); Khiyar; Riba (renten); Sewa-menyewa; Hutang-piutang; Gadai;
Syuf’ah; Tasharruf; Salam (pesanan); Wadi’ah (Jaminan); Mudlarabah dan
Muzara’ah (perkongsian); Hiwalah; Pinjam-meminjam; Syarikah; Luqathah; Ghasab;
Qismah; Hibah dan Hadiyah; Kafalah; Waqaf ; Perwalian; Kitabah; dan Tadbir.
D. Muamalah Maliyah
Kadang-kadang disebut Baitul mal saja.
Inilah bagian dalam hukum Islam yang mengulas tentang harta kekayaan yang
dikelola secara bersama, baik masyarakat kecil atau besar seperti negara
(perbendaharaan negara=baitul mal). Pembahasan di sini meliputi: Status milik
bersama baitul mal; Sumber baitul mal; Cara pengelolaan baitul mal; Macam-macam
kekayaan atau materi baitul mal; Obyek dan cara penggunaan kekayaan baitul mal;
Kepengurusan baitul maal; dan lain-lain.
E. Jinayah dan ‘Uqubah (pelanggaran dan
hukuman)
Biasanya dalam kitab-kitab fiqh ada yang
menyebut jinayah saja. Dalam bab ini di bicarakan dan dibahas masalah-masalah
yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pelanggaran, kejahatan,
pembalasan, denda, hukuman dan sebagainya. Pembahasan ini meliputi:
Pelanggaran; Kejahatan; Qishash
(pembalasan); Diyat (denda); Hukuman pelanggaran dan kejahatan; Hukum
melukai/mencederai; Hukum pembunuhan; Hukum murtad; Hukum zina; Hukuman Qazaf;
Hukuman pencuri; Hukuman perampok; Hukuman peminum arak; Ta’zir; Membela diri;
Peperangan; Pemberontakan; Harta rampasan perang; Jizyah.
F. Murafa’ah atau Mukhashamah
Pokok bahasan dalam bagian ini
menjelaskan berbagai masalah yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok
persoalan peradilan dan pengadilan. Pembahasan pada bab ini meliputi: Peradilan
dan pendidikan; Hakim dan Qadi; Gugatan; Pembuktian dakwaan; Saksi; Sumpah dan
lain-lain.
G. Ahkamud Dusturiyyah
Bagian ini adalah bidang hukum tata
Negara dalam Islam yang umumnya membicarakan berbagai masalah-masalah yang
menyangkut seputar ketatanegaraan. Pembahasannya antara lain meliputi: Kepala
negara dan Waliyul amri; Syarat menjadi kepala negara dan Waliyul amri; Hak dan
kewajiban Waliyul amri; Hak dan kewajiban rakyat; Musyawarah dan demokrasi;
Batas-batas toleransi dan persamaan; dan lain-lain
H. Ahkamud Dualiyah (Hukum
Internasional)
Bagian ini lebih tepat bila disebut
sebagai kelompok masalah hubungan internasional. Pembicaraan pada bab ini
meliputi: Hubungan antar negara, sama-sama Islam, atau Islam dan non-Islam,
baik ketika damai atau dalam situasi perang; Ketentuan untuk orang dan damai;
Penyerbuan; Masalah tawanan; Upeti, Pajak, rampasan; Perjanjian dan pernyataan
bersama; Perlindungan; Ahlul ‘ahdi, ahluz zimmi, ahlul harb; dan Darul Islam,
darul harb, darul mustakman.
5. Sumber
Hukum Islam
Ilmu hukum Islam juga sangat memfokuskan
diri pada kemaslahatan sesuai tujuan pokok penerapan hukum Islam. Atas dasar
tersebut para mujtahid (orang yang diberi wewenang untuk berijtihad) melengkapi
dirinya dengan metode dan pisau analisis yang disebut dengan ushul fiqh (dasar
ilmu fiqh) sebagai metodologi yang harus dikuasai para pembentuk dan perumus
hukum dalam menafsirkan tekstual syariat. ushul fiqh tersebut nantinya akan
menentukan arah seorang mujtahid untuk menggunakan berbagai sumber hukum Islam
lainnya seperti qiyas (yurisprudensi aktif) istishan (mengambil yang paling
baik), Istishab, Istislah, Sadz dzariah dan Urf (Custommary law) dalam
mengeksplorasi dalil-dalil hukum dari Alqur’an dan hadits.
Bahan Bacaan
Abdurraoef. Al-Qur’an dan Ilmu Hukum.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1970).
Ali, Abdullah Yusuf. The Holly Qur’an:
Text Translation and Commentary. (Maryland:
Amana Corporation, 1989).
Ash-Shiddiqie, T.M. Hasbi. Pengantar
Ilmu Fikih. cetakan ke 2. (Jakarta, Bulan Bintang,
1974).
______________________. Pengantar Fiqh
Mu’amalah. (Jakarta: Bulan Bintang,
1974).
Ball, Jhon. Indonesian Legal History
1602-1848. (Sidney: Oughtershaw Press, 1982).
el-Bana, Jamal. Nahwa Fiqh Jadid .
(Kairo: Dar el Fikr el-Islamy, 1999).
Bisri, Hasan. Pilar-Pilar Penelitian
Hukum Islam dan Pranata Sosial. (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004).
Dasuki, HA. Hafizh. Ensiklopedi Hukum
Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,
FIKIMA, 1997).
Hambali, Ahmad. Hamdan Zoelva. Perda
Syariah di Indonesia: Studi tentang Asas dan
Prinsip Pembentukan Perundang-Undangan.
(Jakarta: TRAC, 2009). Dalam Proses penerbitan
Idris. Fiqh Tajdid dan Shahwah Islamiah.
(Jakarta, Islamuna Press, 1997).
Ka’bah, Rifyal. Hukum Islam di
Indonesia.( Jakarta:Universitas Yarsi, 1999).
Martin, Elizabeth A. (editor) A
Dictionary of Law. Fourth Edition. (New York: Oxford
University Press 1997).
Ramulyo, M. Idris. Asas-Asas Hukum
Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya
Kedudukan Hukum Islam. (Jakarta: Sinar
Grafika, 1995).
Saleh, E. Hassan. Studi Islam di
Perguruan Tinggi: Pembinaan Imtaq dan Pengembangan
Wawasan. (Jakarta, ISTN, 2000).
Shihab, M Quraish. Ihsan Ali-Fauzi.
Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. (Jakarta:
Mizan Pustaka, 2002).
USC-MSA, “Compendium of Muslim Text,
Shari`ah and Fiqh.”
http://www.usc.edu/dept/MSA/law/shariahi….
USC online. “Alalwani Usul al Fiqh.”
diakses 23 Februari 2008.
Wikipedia. “Qiyas,” . diakses 23
Februari 2008.
Yafie, Ali. “Konsep-Konsep Istihsan,
Istishlah dan Maslahat al Ammah,”
, diakses 23 Februari 2008