SALAH satu pasal
dalam RUU KUHP yang mendapat banyak sorotan adalah menyangkut urusan
kesusilaan. Kesusilaan, menurut Saleh Djindang dalam buku Pengantar dalam Hukum
Indonesia, diartikan sebagai keseluruhan kaidah yang ada dalam pergaulan di
masyarakat dan tidak merupakan hukum kebiasaan atau adat-istiadat dan agama.
Tentu saja pasal
mengenai kesusilaan menjadi begitu sensitif untuk dibahas, apalagi diatur,
karena sudah menyangkut urusan pribadi. Setiap orang harus melalui satu pintu
perkawinan agar wilayah pribadinya (baca: urusan seks) tidak dianggap bersalah.
Padahal wilayah
ini oleh sebagian kalangan dipandang sebagai kekuasaan agama yang mengatur ini
dosa atau tidak. jadilah Kekuasaan hukum ini mencengkeram sampai ke wilayah
tempat tidur. Wilayah pribadi yang sangat sensitif karena juga menyangkut hak
asasi manusia.
Pasal-pasal
dalam RUU KUHP yang berkenaan dengan kesusilaan itu cukup banyak -mengatur
perilaku atas perbuatan yang menyangkut susila. Di antaranya, pasal -yang
mengatur hukum atas perzinaan, kumpul kebo, sodomi, oral seks, homoseks,
pornografi, dan sebangsanya.
Dulu, makna
perzinaan menyangkut hubungan seksual yang melibatkan orang-orang yang terikat
perkawinan. Namun pada Pasal 419 RUU KUHP (mengenai perzinaan), makna perzinaan
kini telah mengalami perluasan. Ia tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang
terikat perkawinan, tetapi juga mereka yang tak terikat oleh lembaga
perkawinan. Artinya siapa pun yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan
suami atau istrinya, maka dimasukkan dalam kategori perzinaan.
Menurut
perumusnya, munculnya pasal perzinaan tersebut semata-mata menyaring aspirasi
masyarakat. Mereka menghendaki adanya hukuman terhadap para pelaku perzinaan,
namun seringtidak berdaya untuk membawanya ke pihak berwajib karena -memang
tidak ada pasal yang mengaturnya.
Akibatnya,
masyarakat memberlakukan ''hukum sosial''. Misalnya, pasangan bukan suami-istri
yang kepergok sekingkuh di ranjang akan diarak keliling kampung, bahkan terkadang
dalam kondisi bugil. Ini merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat tidak
menghendaki perzinaan mengotori lingkungannya. Selain itu, moral relijius
menyatakan bahwa perzinaan merupakan tindakan tercela.
Tetapi, masalah
perzinahan ini cukup sensitif, apalagi ketika dibuatkan pasal-pasal di dalam
KUHP. -Sebab, kesusilaan memiliki konteks pemahaman yang tidak selalu sama
untuk kelompok masyarakat yang berlainan.
Pakar hukum Andi
Hamzah dan JE Sahetapy menyatakan, sebuah peraturan mengenai kesusilaan memang
tidak bisa diterapkan untuk semua daerah. Hamzah berpendapat bahwa delik
kesusilaan memiliki pengertian berbeda antara suku bangsa yang satu dan suku
bangsa lainnya di Indonesia.
''Untuk itu,
kendati secara aturan sama, pelaksanaannya tidak mungkin sama. Kumpul kebo yang
di Jawa dianggap melanggar susila, tapi oleh masyarakat Bali, Minahasa, dan
Mentawai dianggap sebagai hal biasa,'' jelasnya.
Sebagai jalan
tengah, para penyusun RUU KUHP sepakat memasukkan perkara kumpul -kebo sebagai
tindak pidana, sepanjang masuk dalam delik aduan. Pihak pengadu selain suami
atau istri, antara lain tetangga dekat, kepala adat, serta kepala desa.
Bagaimana dengan
pelacuran? Ini pun tergolong dalam pasal perzinaan. Konteks pelacuran dalam
KUHP revisi juga mengalami perluasan dibandingkan dengan KUHP yang ada
sekarang. Kelak, Pasal perzinaan tidak hanya menjerat para mucikari / germo
saja, tetapi juga para pelaku seks yanga tanpa ikatan perkawinan. Mereka semua
dianggap melakukan kejahatan. Ini berarti kalau ada orang ''jajan'' bisa
ditangkap polisi.
Ada juga pasal
yang mengatur hukuman pada kejahatan seks jenis baru, misalnya sodomi dan oral
seks. Tidak tanggung-tanggung, ancaman hukumannya tiga tahun sampai 12 tahun.
Sebab, perbuatan kotor ini dikategorikan sebagai perkosaan. Perkara homosex
juga diatur dalam RUU KUHP ini, yang disebut sebagai perbuatan cabul sesama
jenis (PCSJ). pelakunya diancam hukuman satu sampai tujuh tahun penjara.
Pro-kontra
Adanya landasan
hukum baru untuk mengganjar pelaku zina jelas disambut gembira oleh kaum
moralis atau sebagian masyarakat yang peduli terhadap kesucian norma
kesulilaan. Apalagi di tengah masyarakat yang kini makin longgar sanksi moral,
serta kontrol sosial yang kendur.
Upaya ini
diharapkan dapat menghentikan atau setidaknya menghambat deret ukur kebobrokan
moral. Diharapkan, dengan adanya pasal-pasal ini, mereka yang gemar melakukan
tindak asusila bisa berpikir lebih jernih sebelum melakukan tindakan maksiat,
kalau tidak ingin diganjar kurungan penjara atau denda."
Sementara pihak
yang menolak juga berargumen tidak kalah sengit. Kata kelompok ini, masalah
perzinaan dan PCSJ adalah urusan masing-masing orang dengan Sang Pencipta.
Berdosa atau tidak adalah tugas nurani masing-masing untuk menilai, dan menjadi
wewenang Tuhan untuk menghukumnya.
Kelompok ini
juga menilai pemerintah sudah terlampau jauh mencampuri urusan yang teramat
pribadi para warganya. Pemerintah kini mulai usil dengan urusan tempat tidur
atau ranjang orang.
Mengenai
fenomena PCSJ, semua agama memang sudah jelas menolak tanpa kompromi. Bagaimana
pun, fenomena PCSJ sesungguhnya cukup rumit, mulai dari penyimpangan bioseksual
bawaan, trauma psikis di masa kecil, hingga akumulasi kekecewaan ketika membina
hubungan dengan lawan jenisnya. Hal ini memang menjadi rumit, terutama kalau
dikaitkan dengan hak asasi seseorang.
Namun kesan
bahwa RUU KUHP sebagai upaya intervensi negara terhadap kehidupan pribadi warga
negaranya disangkal tegas oleh Menkeh HAM, Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya,
sampai sekarang RUU KUHP baru ini masih bersifat akademis, bahkan belum sampai
ke pembahasan di tingkat politik.
Aroma Islam
Aroma hukum
Islam yang amat mewarnai pasal-pasal kesusilaan ini memang diakui Yusril, meski
penyerapannya tidak dilakukan secara total. ''Selain menyerap -hukum Islam, RUU
ini juga menyerap hukum adat maupun konvensi internasional. Bahkan, hukum
Belanda yang melandasi KUHP ini tidak sepenuhnya ditinggalkan,'' kata Yusril,
yang juga ketua umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) itu.
Menanggapi
dominasi hukum Islam dalam RUU ini, pakar hukum Prof Dr Achmad Ali mengatakan,
KUHP menganjurkan agar ada satu aturan saja yang dapat diterima oleh semua
agama. Untuk itu, tambahnya, menyangkut masalah susila ini, pembuat
undang-undang harus pandai-pandai merumuskan perundang-undangan yang tidak
merugikan kepentingan umat beragama lain. Diharapkan, aturannya berlaku secara
nasional dan cocok dengan nilai-nilai pada semua agama.
Memang, hukum
mestinya dapat memberi rasa keadilan yang sesuai dengan kondisi masyarakat,
agar kehidupan ranjang tidak terancam, tetapi perzinaan juga tidak bebas
melenggang. (Mohamad Syaefudin-48)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...