Faedah yang bisa diambil dari
dalil-dalil bahwasanya berbicara adalah perkara yang dilarang ketika ada
khutbah dengan larangan yang bersifat umum. Hal ini dikhususkan oleh
pembicaraan yang terjadi ketika shalat tahiyyatul masjid yang berupa bacaan Al
Qur’an, tasbih, tasyahud dan do’a. Hadits-hadits yang mengkhususkan hal itu
adalah hadits-hadits yang shahih. Sehingga tidak ada jalan untuk menghindar
dari shalat tahiyyatul masjid dua raka’at bagi orang yang masuk masjid ketika
khutbah bila ia hendak mengerjakan sunnah yang muakkadah ini dan menunaikan
yang ditunjukkan dalil-dalil. (Hal ini) dikarenakan Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan Salik Al Ghathafani ketika telah
sampai di masjid ketika beliau sedang berkhutbah, lalu Salik duduk dan belum
shalat tahiyyatul masjid. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkannya
untuk berdiri dan melakukan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa hal itu perkara
yang disyariatkan dan ditekankan, bahkan diwajibkan.
Termasuk dalil yang mengkhususkan shalat
tahiyyatul masjid adalah hadits,
“Bila salah seorang dari kalian datang
(pada hari jum’at) sedangkan imam sedang berkhutbah maka hendaklah shalat dua
raka’at.” [1]
Hadits ini adalah hadits shahih, ia
mengandung nash (dalil) tentang permasalahan yang diperselisihkan. Adapun
selain shalat tahiyyatul masjid baik yang berupa dzikir, doa, dan mengikuti
shalawat untuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang diucapkan khatib meskipun
telah ada dalil yang menunjukkan disyariatkannya maka dalil-dalil itu bersifat lebih
umum daripada hadits-hadits yang melarang berbicara ketika khutbah dari satu
sisi, dan lebih khusus dari hadits-hadits yang melarang berbicara dari sisi
yang lain. Sehingga terjadi pertentangan dua dalil yang umum. Maka perlu
dilihat mana yang lebih kuat di antara keduanya. Hal ini bila merupakan
kesia-siaan (laghwun) yang disebutkan dalam hadits,
“Barangsiapa yang berbuat laghwun
(kesia-siaan) maka tidak ada jum’at baginya.” [2]
Hadits ini mencakup seluruh jenis
pembicaraan. Adapun bila dikhususkan darinya salah satu bentuk pembicaraan
yaitu yang tidak ada faedahnya, maka tidak menunjukkan larangan berdzikir,
berdoa, dan mengikuti shalawat kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Berkata penulis ringkasan ini (Asy
Syaikh Al Albani):
Dan yang lebih kuat dari dua kemungkinan
di atas adalah yang pertama. Yaitu berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam,
“Bila engkau mengatakan kepada temanmu
dalam keadaan imam sedang berkhutbah ‘Diamlah’, maka engkau telah berbuat
laghwun.” (HR. Asy Syaikhan [Al Bukhari dan Muslim] dan selain keduanya)
Hal ini dikarenakan perkataan seseorang,
“Diamlah!” secara bahasa tidak dimasukkan dalam laghwun, karena ia termasuk
dalam rangka memerintahkan kepada yang baik dan melarang dari yang mungkar.
Meskipun demikian maka ia telah dinamakan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam dengan laghwun yang dilarang.
Hal ini termasuk dalam rangka
mendahulukan yang paling penting, yaitu diam untuk mendengar mau’izhah khatib,
di atas perkara yang penting yaitu memerintahkan perkara yang baik ketika
sedang disampaikan khutbah. Bila demikian halnya maka setiap perkara yang dalam
tingkatan memerintahkan yang baik maka hukumnya adalah hukum memerintahkan yang
baik (ketika sedang disampaikan khutbah-pen). Lantas bagaimana bila tingkatannya
dibawahnya, tidak diragukan lagi ketika itu larangan adalah lebih utama dan
lebih layak, dan termasuk dari laghwun secara syar’i.
Adapun perkataan penulis (Shidiq Hasan
Khan) pada halaman 27 dan Raudhatun Nadiyyah (140),
“Dan mungkin bisa dikatakan bahwasanya
orang yang mengatakan, ‘diamlah’, ia tidaklah diperintah untuk mengatakannya
pada saat itu. Sehingga ucapannya itu menjadi sebuah laghwun (kesia-siaan) dari
sudut pandang ini.”
Aku (Al Albani) katakan, “Begitu pula
halnya dengan dzikir-dzikir yang penulis (Shiddiq Hasan Khan) masih bimbang
dalam hukumnya. Dzikir-dzikir itu termasuk sejumlah perkara yang tidak
diperintahkan untuk mengucapkannya ketika itu sehingga menjadi laghwun juga.”
Wallahu a’lam.
Dengan demikian selesailah ringkasan dari
masalah-masalah yang disarikan dari Al Mau’izhah Al Hasanah disertai dengan
catatan-catatan kaki yang dimudahkan untuk ringkasan tersebut. Pekerjaan ini
selesai pada sore hari Sabtu, tanggal 12 Shafar 1382 H.
Walhamdu lillah Rabbil ‘alamin.
Washallallah ‘ala Muhammad wa aalihi wa shahbihi ajma’in.
Muhammad Nashiruddin Al Albani
__________
[1] Muttafaq ‘alaih, dari hadits Jabir
Radhiallahu'anhu dengan lafal “hendaklah ia ruku”, dan Muslim menambahkan dalam
sebuah riwayat “hendaklah ia mempercepat kedua raka’at itu.”
[2] HR. Ahmad, Abu Dawud dan hadits ini
memiliki banyak penguat yang membuatnya kuat. Tafsiran laghwun telah ada dalam
hadits yang lain dengan lafal, “Barangsiapa yang berbuat laghwun dan melangkahi
pundak orang-orang maka hal itu akan menjadi keterbalikan baginya.” Hadits
hasan.
--------------------------------------------------------------------------------
kapuKOrner
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...