Tafsir Al-Azhar adalah
sebuah tafsir yang pada mulanya
merupakan materi yang di sampaikan dalam acara kuliah subuh yang diberikan oleh
Haji Amirullah Abdul Karim di masjid Agung al-Azhar Kebayoran, Jakarta sejak
tahun 1959. Ketika itu masjid tersebut belum dinamakan Masjid Al-Azhar.[1] Dalam
waktu yang sama bulan Juli 1959 Hamka bersama KH. Fakih Usman dan HM. Yusuf
Ahmad (Menteri Agama dalam kabinet Wilopo 1952, Wafat tahun 1968 ketika
menjabat ketua Muhamadiyyah) menerbitkan majalah “Panji Masyarakat” yang menitikberatkan soal-soal
kebudayaan dan pengetahuan Agama Islam.[2]
Penerbitan
ceramah-seramah Hamka terhenti dalam majalah tersebut disebabkan pada hari
senin 12 Romadhan 1383 atau 27 Januari 1964, ia ditangkap oleh penguasa Orde
lama pada saat setelah memberikan pengajian di masjid al-Azhar dan pada
akhirnya beliau dijebloskan dalam penjara. Dalam tahanan, Hamka tidak membuang
waktu dengan percuma, beliau isi dengan membuat karya lanjutan dari tafsit
al-Azhar.[3] Kondisi
kesehatan Hamka dalam tahanan kian lama kian menurun, sehingga membuat ia harus
dipindahkan ke Rumah sakit Persahabatan Rawamangun, Jakarta. Dalam suasana
perawatan, Hamka melanjutkan kembali penulisan dari tafsir al-Azhar. Tak lama
setelah itu Orde Lamapun tumbang digantikan dengan Orde Baru, dan pada akhirnya
di bawah pimpinan Suharto Hamka dibebaskan. Dalam suasana bebas, Hamka kembali
mengedit ulang tafsir al-Azhar.
Tafsir al-Azhar pertama
kali diterbitan oleh penerbit Pembimbing Masa pimpinan H. Mahmud. Dalam
penerbitan ini hanya merampungkan juz pertama sampai juz keempat. Setelah itu
diterbitkan juz 30 dan juz 15 sampai juz 29 dengan penerbit yang berbeda yakni
Pustaka Islam, Surabaya. Pada akhirnya juz 5 sampai dengan juz 14 diterbitkan
dengan penerbit yang berbeda pula yakni Yayasan Nurul Islam, Jakarta.[4]
Dilihat dari metode
penafsiran yang dipakai, tafsir ini menggunakan metode tahlili sebagai
pisau analisisnya, terbukti ketika menafsirkan surat al-Fatihah ia membutuhkan
sekitar 24 halaman untuk mengungkapkan maksud dan kandungan dari surat
tersebut. Berbagai macam kaidah-kaidah penafsiran dari mulai penjelasan kosa
kata, asbab an-nuzul ayat, munasabat ayat, berbagai macam riwayat
hadits, dan yang lainnya semua itu
disajikan oleh Hanka dengan cukup apik, lengkap dan mendetail. Dalam
menggunakan metode penafsiran, Hamka sebagaimana diungkapkannya dalam tafsirnya
ia merujuk atau “berkiblat” pada metode yang dipakai dalam tafsir al-Manar
yakni metode tahlili (analitis). Berkiblatnya Hamka dalam menggunakan
metode penafsiran terhadap tafsir al-Manar, membuat corak yang dikandung oleh
tafsir al-Azhar mempunyai kesamaan.
Untuk lebih jelas
tentang komentar Hamka terhadap tafsir al-Manar adalah sebagai berikut: Tafsir
yang amat menarik hati penafsir buat dijadikan contoh ialah tafsir al-Manar
karangan Sayyid Rasyid Ridho, berdasarkan kepada ajaran tafsir gurunya Syaikh
Muhammad Abduh. Tafsir beliau ini, selain dari menguraikan ilmu berkenaan
dengan agama, mengenai hadits, fikih dan sejarah dan lain-lain, juga
menyesuaikan ayat-ayat itu dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan yang
sesuai dengan zaman di waktu tafsir tersebut dikarang.[5]
Adapun dilihat dari
corak penafsiran, tafsir al-Azhar mempunyai corak Adab al-Ijtima’iy. Corak ini menitikberatkan
penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dengan ungkapan-ungkapan yang teliti,
menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan
menarik, tafsir ini berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah
dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.[6] Hal
tersebut bisa dilihat ketika Hamka menafsirkan
QS: al-Syura: 51-52. Hamka dalam menafsirkan ayat tersebut
mengkontekstualisasikan dengan berkomentar tentang KB, menurutnya boleh atau
tidaknya KB tergantung dengan alasan yang dipakai atau kuantitas dari mudharatnya.[7]
Pada ayat 28 surat yang
sama, ia menafsirkan “turunnya hujan setelah masa kekeringan” bukan hanya hujan
secara fisik tetapi menurutnya adalah datangnya kelonggaran setelah masa
kesusahan atau kesempitan, seperti yang terjadi pada bangsa Indonesia yang
sebelumnya dijajah kini telah merdeka dan terbebas dari penjajah. Demikian pula
ketika ia menafsirkan QS: Al-Dukhan: 16, ia menafsirkan dengan mengaitkan
peristiwa yang terjadi pada waktu itu yaitu tragedi pengeboman yang terjadi di Hirosima
dan Nagasaki Jepang.[8]
Dan masih banyak penafsiran ayat-ayat lainnya yang beliau kaitkan dengan
kondisi yang terjadi ketika tafsir ini disusun oleh penulisnya yakni Hamka.
Unsur kelebihan yang
terdapat dalam tafsir al-Azhar karya Hamka diantaranya adalah: Dalam penyajiannya
Hamka terkadang membicarakan permasalan, antropologi, sejarah; seperti ketika
menafsirkan lafad “Allah” ia mengaitkan dengan sejarah Melayu dengan mengutip
sebuah tulisan klasik yang terdapat pada batu kira-kira ditulis pada tahun 1303,
atau peristiwa-peristiwa kontemporer. Sebagai contoh ketika ia menafsirkan
tentang pengaruh orientalisme terhadap gerakan-gerakan kelompok nasionalis di
Asia pada abad ke-20.[9]
Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Howard M. Federspiel, tafsir yang ditulis oleh Hamka mempunyai
kelebihan yaitu diantaranya, tafsir ini menyajikan pengungkapan kembali teks
dan maknanya serta penjelasan dalam
istilah-istilah agama mengenai maksud bagian-bagian tertentu dari teks. Di samping
itu semua, tafsir ini dilengkapi materi pendukung lainnya seperti ringkasan
surat, yang membantu pembaca dalam memahami materi apa yang dibicarakan dalam
surat-surat tertentu dari al-Qur’an.[10]
Dalam tafsir ini juga Hamka berusaha mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya
pada hampir semua disiplin bidang-bidang ilmu agama Islam, ditambah juga dengan
pengetahuan-pengetahuan non-keagamaannya yang begitu kaya dengan informatif.[11]
Karakteristik tersebut
sebagaiman diungkapkan oleh Karel Steenbrink bahwa secara umum, Hamka dalam
melakukukan tekhnik penafsirannya “mencontoh” tafsir al-Manar karya
rasyid Ridho dan tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari.[12] Dan
yang terakhir Hamka lebih banyak menekankan pada pemahaman ayat secara
menyeluruh. Oleh karena itu dalam tafsirnya Hamka lebih banyak mengutip pendapat
para ulama terdahulu.[13]
Sikap tersebut diambil oleh Hamka karena menurutnya menafsirkan al-Qur’an tanpa
melihat terlebih dahulu pada pendapat para mufassir dikatakan tahajjum atau
ceroboh dan bekerja dengan serampangan.
Adapun di antara
kekurangan dari tafsir al-Azhar adalah pada usaha penterjemahan ayat. Nampaknya
Hamka dalam melakukan penterjemahan menggunakan penterjemahan harfiah. Terjemhan
seperti itu terkadang membuat terjemahan kurang jelas dan sulit ditangkap
maksudnya secara langsung. Misalnya ketika Hamka menterjemahkan QS: Al Syura:
42. Artinya: “Ada jalan hanyalah terhadap orang-orang yang menganiaya manusia
dan berlaku sewenang-wenang di bumi dengan tidak menurut hak. Bagi mereka itu
adzab yang pedih.”
Jika membaca karya
tafsir Al-Azhar milik Hamka ini terasa kita sebagai orang Indonesia bangga
sebagai umat Islam Indonesia. Meskipun Indonesia dilihat dari sisi geografisnya
jauh dari pusat Islam—dengan tidak mengatakan Islam Indonesia sebagai Islam
pinggiran, akan tetapi ulama-ulama dan karya-karya yang muncul ternyata tidak
kalah kualitasnya dengan karya-karya yang muncul di belahan bumi Timur Tengah.
Akan tetapi harus diakui bahwa sampai saat ini mainstream Timur Tengah masih
melekat dalam karya-karya tafsir yang muncul di Indonesia, termasuk di dalamnya
tafsir Al-Azhar sendiri. Penerapan metodologi penafsiran, corak tafsir, model
atau pola penafsiran, ternyata masih mengikuti gaya yang berkembang di Timur
Tengah khususnya di Mesir. Meskipun begitu keunikan tafsir Al-Azhar adalah
mencoba mendialogkan antara teks al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat
tafsir ini ditulis. Dengan pola ini, nampaknya Hamka berkeinginan agar tafsir
ini dapat mampu memberikan solusi atau respon terhadap permasalahan yang
dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Dari kelebihan ini-lah maka tafsir
Al-Azhar bisa dimasukkan sebagai katagori tafsir modern di Indonesia.
Corak Tafsir Buya
Hamka. Agama bersifat netral, tidak memihak, dia hanya menjelaskan pengertian
raj’i. Sementara Hamka dalam menjelaskan ayat itu, beliau menggunakan
contoh-contoh yang hidup di tengah masyarakat, baik masyarakat kelas atas
seperti raja, rakyat biasa, maupun secara individu. Berdasarkan fakta yang
demikian, tafsir Hamka dalam menjelaskan ayat itu bercorak sosial kemasyarakatan
(adabi ijtima’i).
Karakteristik Tafsir Al-Azhar. Tafsir
al-Azhar merupakan karya Hamka yang memperlihatkan keluasan pengetahuan beliau,
yang hampir mencakup semua disiplin ilmu penuh berinformasi. Sumber penafsiran
yang dipakai oleh Hamka antara lain, al Qur’an, hadits Nabi, pendapat tabi’in,
riwayat dari kitab tafsir mu’tabar seperti al-Manar, serta juga dari
syair-syair seperti syair Moh. Iqbal. Tafsir ini ditulis dalam bentuk pemikiran
dengan metode analitis atau tahlili. Karakteristik yang tampak dari tafsir
al-Azhar ini adalah gaya penulisannya yang bercorak adabi ijtima’i
(social kemasyarakatan) yang dapat disaksikan dengan begitu kentalnya warna
setting sosial budaya Minangnya yang ditampilkan oleh Hamka dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an.
Tafsir al-Azhar
sangatlah berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya. Mulai dari sudut pemikiran
sampai sudut bahasa yang digunakan dalam menafsirkan pun sangatlah berbeda.
Oleh karena itu, kami akan membandingkan tafsir al-Azhar ini dengan tafsir al-Misbah.
Tafsir al-Misbah memiliki karakteristik sudut pemikirannya mendalam dan
dilengkapi oleh data-data kontemporer (modern) sedangkan Tafsir al-Azhar memiliki
karakteristik sudut pemikirannya selalu menggiring seseorang kepada tasawuf
(karena berangkat dari setting sosial politik pada saat tafsir ini ditulis dan
untuk selamat dari kondisi seperti itu, maka seseorang harus terjun ke dalam
tasawuf).
Contoh Penafsiran Hamka:
Penafsiran Buya Hamka terhadap ayat-ayat Amar Ma’rûf nahî Munkar dalam Tafsir
al-Azhar. Menurut Hamka dalam tafsir al-Azhar, kata ma’rûf (معروف) berasal dari
kata urf (عــرف) artinya “yang dikenal,”atau“yang dapat dimengerti dan dapat
dipahami serta diterima oleh masyarakat.” Dalam pengertian lain, ma’rûf (معروف)
berarti perbuatan yang patut, pantas dan sopan yang berlaku secara umum. Lebih
lanjut Hamka menjelaskan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan baik (معروف) jika
perbuatan itu dapat diterima dan dipahami oleh manusia, dan dipuji. Perbuatan
itu patut diterima dan dipahami ma-nusia karena memang perbuatan baik (معروف) itulah
yang patut dikerjakan oleh manusia yang berakal. Kebalikan dari kata ma’rûf (معروف)
adalah kata mun¬kar (مـنـكـر), berarti yang dibenci, yang tidak disenangi atau ditolak oleh
masyarakat, karena tidak patut, tidak pantas. Tidak selayaknya yang demikian
itu dikerjakan oleh manusia berakal; segala gejala-gejala buruk yang tidak
diterima oleh masyarakat secara akal sehat. Demikian sekilas penjelasan
mengenai pengertian ma’rûf (معروف) dan munkar (مـنـكـر) menurut Hamka.
Seperti diketahui bahwa
ayat amar ma’rûf nahî munkar dituliskan secara bersambung disebutkan dalam
al-Qur’ân pada lima surat, yaitu al-‘Araf ayat 157, Luqman ayat 17, Ali Imran
ayat104, 110, dan 114, al-Hajj ayat 103, dan 103, serta al-Taubah ayat 67, 71,
dan 112. Masing-masing ayat mempunyai konteks dan situasi yang berbeda.
Meskipun begitu, semua ayat ini menyerukan agar mengerjakan perbuatan yang
ma’rûf dan menjauhi perbuatan keji yang dilarang oleh Allâh SWT. Pada surat
al-A’râf ayat 157, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini, konteks amar
ma’rûf dan nahî munkar menjelaskan tentang keberadaan Nabi Muhamad saw sebagai
seorang rasul Tuhan. Nabi Muhamad saw adalah seorang yang ummî (yang tidak
pandai menulis dan membaca) yang telah disebutkan bahwa beliau akan datang
sebagai Nabi akhir zaman di dalam Taurat dan Injil. Risalah yang akan dibawa
oleh Nabi akhir zaman itu ialah yang menyuruh akan mereka “berbuat yang ma’rûf
dan mencegah akan mereka yang munkar”.
Kalimat يامرهـم
با لمعـرو ف و يـنـهــهـم عـن المـنكـر yang terdapat dalam surat al-‘Arâf ayat 157
seperti tersebut di atas, menjelaskan tentang peran yang telah dimainkan oleh
para nabi dan rasul, seperti nabi Musa, nabi Isa dan nabi Muhamad saw yang
ummi, dalam menjalankan risalah atau nubuwah kepada umat manusia. Sebagai nabi
yang ummi, beliau juga mendapat tugas untuk menyebarkan risalah ketuhanan
kepada umat manusia, termasuk ke-pada para ahl al-kitab. Dalam konteks ini,
Hamka menjelaskan bahwa sebagai nabi yang ummi, tugas berat yang diemban nabi
Muhamad saw, akan selalu menghadapi risiko. Tetapi, seberat apapun risiko itu,
nabi siap menanggungnya, karena beliau telah mendapatkan amanah untuk
melaksanakan yang ma’rûf (معروف) dan mencegah yang munkar (مـنـكـر).
Menurut Hamka, kata
ma’rûf (معروف) yang terdapat dalam surat ini, berarti yang dikenal atau patut
untuk dilakukan. Dalam konteks amar ma’rûf nahî munkar, ditafsirkan oleh Hamka
dengan kalimat sehaja. Apabila suatu perintah datang kepada manusia yang
berakal budi, langsung disetujui oleh hatinya, karena hati nurani mengenalnya
sebagai suatu yang baik, yang memang patut dikerjakan. Oleh karena itu, segala
perintah yang dikerjakan oleh nabi yang ummi, pastilah sesuai dengan jiwa,
sebab jiwa mengenalnya sebagai suatu yang baik. Di antara contoh yang diberikan
Hamka adalah perintah shalat dan membayar zakat. Nabi Muhamad dan umatnya
diperintahkan untuk melaksanakan shalat, karena shalat adalah pekerjaan yang
patut dilakukan. Begitu juga pemberian zakat, karena memang masyarakat miskin
perlu mendapat bantuan. Dengan kalimat pendek Hamka menyimpulkan bahwa tidak
ada suatu perintahpun yang tidak ma’rûf (معروف) kepada jiwa, kecuali jiwa yang sakit.
Selanjutnya ayat–ayat
yang menjelaskan amar ma’rûf nahî munkar (الامـربـالـمـعـروف
وا لنهى عن الـمـنكر secara
berurutan ialah surat Âli ‘Imrân ayat 104, 110, dan 114. Ayat-ayat tersebut
adalah sebagai berikut:
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةٌۭ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung” QS. Ali-Imran: 104.
كُنتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًۭا
لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik. QS Ali-Imran:110.
يُؤْمِنُونَ
بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
ٱلْمُنكَرِ وَيُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَأُو۟لَٰٓئِكَ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
Mereka beriman kepada Allah dan hari
penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang Munkar
dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu Termasuk
orang-orang yang saleh. QS. Ali-Imran: 114.
Pada surat Âl-Imrân
ayat 104, menurut Hamka, terdapat hal penting yang menjadi tugas dan kewajiban
umat manusia, yaitu melakukan dakwah. Suatu golongan yang terdapat dalam ayat
tersebut, yaitu ummat, memiliki tugas dan kewajiban untuk mengajak dan membawa
manusia kepada kebaikan, menyuruh berbuat ma’rûf (معروف), yaitu perbuatan yang patut, pan-tas dan
sopan, dan mencegah, melarang perbuatan munkar (مـنـكـر), yang dibenci dan yang tidak diterima
oleh akal dan jiwa yang sehat. Menurut Hamka, dalam konteks ayat tersebut, terdapat
dua kata penting, yaitu menyuruh berbuat ma’rûf (معروف), dan mencegah perbuatan munkar (مـنـكـر).
Kata ma’rûf (معروف), diambil dari kata ‘urf (عـرف (yang berarti dikenal atau yang dapat
dimengerti, dapat dipahami serta dapat diterima oleh manusia, dan dipuji.
Karena begitulah yang patut dikerjakan oleh manusia yang berakal. Sedang yang
munkar, (مـنـكـر), artinya yang dibenci, yang tidak dise-nangi, yang ditolak
oleh masyarakat, karena tidak patut dan tidak pantas untuk dikerjakan. Oleh
karena itu, menurut Hamka lebih lanjut, kalau ada orang berbuat ma’ruf, seluruh
masyarakat, umumnya menyetujui, membenarkan dan memuji. Sebaliknya, kalau ada
perbuatan munkar, seluruh masyarakat menolak, membenci dan tidak menyukainya.
Untuk mengatasi masalah
ini, Hamka memberikan sebuah tips, yaitu pengetahuan keagamaan dan sikap
keberagamaan. Menurutnya, semakin tinggi kecerdasan beragama, bertambah kenal
orang akan yang ma’ruf, dan bertambah benci kepada yang munkar. Untuk itu,
hendaknya dalam suatu masyarakat, ada sekelompok umat yang bertugas dan bekerja
keras untuk menggerakkan masyarakat agar mereka berbuat yang ma’ruf, dan
menjauhi yang munkar, supaya masyarakat itu bertambah tinggi nilainya.
Kesimpulan yang
disampaikan oleh Hamka dalam penafsirannya pada surat Âli Imrân ayat 104 dalam
tafsir al-Azhar adalah bahwa الامـربـالـمـعـروف وا
لنهى عن الـمـنكر itu adalah
menyeru untuk melakukan ke-bajikan dan mencegah kemunkaran. Menyeru atau
mengajak merupakan aktivitas dakwah. Dengan dakwah, ada dinamika kehidupan umat
Islam, menjadi lebih dinamis dan agama menjadi hidup. Sebaliknya, apabila tidak
ada dakwah, maka tidak ada dinamika kehidupan beragama. Karena itu, haruslah
ada sekelompok orang yang mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan. Dalam
konteks dakwah, Hamka tampaknya membagi bidang garapan dakwah menjadi dua,
yaitu; umum, adalah untuk kalangan masyarakat umum, dan khusus, untuk keluarga
sendiri. Dakwah yang bersifat umum adalah memberikan penjelasan kepada
masyarakat serta mengajak mereka untuk memahami hikmah ajaran Islam yang benar,
serta menangkis tuduhan yang tidak benar yang diarahkan kepada agama Islam.
Sedang dakwah yang bersifat khusus, ditujukan kepada keluarga sendiri, agar
patuh kepada Tuhan.
Di dalam ayat 104 surat
Âl-Imrân ini terdapat 3 (tiga) kewajiban, yaitu menyuruh berbuat ma’ruf (معروف), melarang
berbuat munkar(مـنـكـر), dan ketiga mengajak kepada kebaikan (الخـيـر) Menurut
Hamka, ketiga kewajiban itu, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkarالامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر, semua berpusat pada yang satu, yaitu يـدعـون
الى الـخـيـرmengajak pada ke-baikan. Menurut Hamka, yang dimaksud dengan
kata (الخـيـر) yang berarti kebaikan, yang dimaksud di dalam ayat ini adalah
Islam, yaitu me¬mupuk kepercayaan dan iman kepada Tuhan, termasuk tauhid dan
ma’rifat. Hal itulah, menurut Hamka sebagai hakikat kesadaran beragama yang
menimbulkan pengetahuan sehingga dapat membedakan mana yang baik, yang ma’ruf (معروف), dan
mana yang tidak baik, yaitu munkar (مـنـكـر). Di sinilah, menurut Hamka pentingnya
juru dakwah atau da’i memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai ajaran
agama Islam yang sebenarnya, sehingga masyarakat memiliki pengetahuan dan
kesadaran beragama yang tinggi. Dengan kesadaran beragama yang tinggi, maka
akan berdampak pada sikap dan perilaku seseorang dalam bermasyarakat, sehingga
ia memiliki keberanian untuk melakukan kebaikan dan mencegah keburukan.
Sebaliknya, apabila sikap keberagamaan masyarakat belum tumbuh dan masih
rendah, maka percuma saja menyebut yang ma’rûf (معروف), dan menentang yang munkar. Sebab,
menurut Hamka untuk membedakan yang ma’rûf (معروف), dengan yang munkar (مـنـكـر) tidak ada
lain kecuali ajaran Islam.
Kalimat يـدعـون الى الـخـيـر امـة , artinya umat mengajak pada kebaikan yang terdapat pada surat
Âl-Imrân ayat 104, menurut Hamka memiliki dua kata penting, yaitu ummatun (امـة ) dan
kedua kata yad’ûna يـدعـون . Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dikalangan umat Islam yang
besar jumlahnya, hendaklah ada segolongan umat yang menjadi inti, yang kerjanya
khusus mengadakan dakwah, atau seluruh umat ini sendiri sadar akan kewajibannya
yaitu melaksanakan dakwah. Sebab kehidupan agama, kemajuan dan kemundurannya
sangat tergantung pada dakwah. Pelaksanaan dakwah yang dimaksudkan Hamka tidak
hanya kegiatan dakwah ke dalam, yaitu dakwah di kalangan umat Islam sendiri,
juga dakwah ke masyarakat luar Islam. Tujuannya, bila dakwah ke dalam,
diharapkan umat Islam semakin kuat kesadaran beragamanya, sehingga mampu
melakukan yang ma’ruf (معروف) dan mencegah yang munkar (مـنـكـر). Sedang dakwah ke luar Islam tujuannya
agar masyarakat non-muslim memahami posisi Islam sebagai sebuah agama damai dan
memberikan pengertian tentang hakikat kebenaran Islam kepada orang-orang yang
belum memeluknya.
Seperti ditegaskan
sebelumnya bahwa Hamka mengartikan kata ma’ruf (معروف) dengan suatu perbuatan baik yang diterima
oleh masyarakat dan akal sehat. Oleh karena itu, menurutnya, seorang da’i
apabila berdakwah hendaklah ia mengeluarkan pendapat umum yang sehat atau
public opini yang sehat dan dapat diterima masyarakat umum. Diharapkan dengan
adanya kegiatan dakwah, akan terbentuk masyarakat yang sehat. Bila amar ma’ruf
nahi munkar الامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر, terhenti, sebagai bagian dari aktivitas
dakwah, maka hal itu dapat dijadikan sebagai indikator masyarakat yang sedang
sakit. Oleh sebab itu, lanjut Hamka, mereka yang melakukan kebaikan (الـخـيـر)
dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, adalah mereka yang akan memperoleh
kemenangan. Karena mereka telah melakukan amar ma’ruf nahi munkar الامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر , dan mengajak pada kebaikan, sehingga keburukan dapat
dihindari atau dikalahkan, sehingga umat menjadi pelopor kebajikan di dalam
dunia.
Dalam konteks ini ayat
tersebut di atas, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh kaum muslimin.
Pertama, mengajak orang kepada al-khair (يـدعـون الى
الـخـيـر). Kedua, mengajak
orang kepada yang al-ma’rûf (الامـربـالـمـعـروف). Ketiga, mencegah orang dari al-munkar (وا لنهى عن الـمـنكر). Dari terjemahan ayat tersebut, lafal atau kata al-khair (الـخـيـر)
dan lafal al-ma’rûf الـمـعـروف menurut harfiahnya sama, yaitu kebaikan. Terdapat dua ka-ta
yang berbeda akan tetapi memiliki pengertian sama. Oleh karena itu, ke-simpulan
umum yang hendak dijelaskan pada ayat ini adalah suatu kewajiban bagi umat
Islam untuk menyampaikan yang ma’ruf (معروف) dan melarang perbuatan yang munkar(مـنكر).
Karena perbuatan demikian merupakan ujung tombak dari dakwah Islam, yakni
menyampaikan yang baik dan melarang kepada yang munkar.
Terdapat beberapa
faktor yang mendorong Haji Abdul Malik Karim Amrullah untuk menghasilkan karya
tafsir tersebut. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Haji Abdul Malik Karim
Amrullah dalam mukadimah kitab tafsirnya. Di antaranya ialah keinginan beliau
untuk menanam semangat dan kepercayaan Islam dalam jiwa generasi muda Indonesia
yang amat berminat untuk memahami al-Qur’an tetapi terhalang akibat
ketidakmampuan mereka menguasai ilmu Bahasa Arab. Kecenderungan beliau terhadap
penulisan tafsir ini juga bertujuan untuk memudahkan pemahaman para muballigh
dan para pendakwah serta meningkatkan keberkesanan dalam penyampaian
khutbah-khutbah yang diambil daripada sumber-sumber Bahasa Arab.
Haji Abdul Malik Karim
Amrullah memulai Tafsir al-Azharnya dari surah al-Mukminun karena beranggapan
kemungkinan beliau tidak sempat menyempurnakan ulasan lengkap terhadap tafsir
tersebut semasa hidupnya. Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang disampaikan di
Masjid al-Azhar ini, dimuat di majalah Panji Masyarakat. Kuliah tafsir ini
terus berlanjut sampai terjadi kekacauan politik di mana Masjid tersebut telah
dituduh menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Haji Abdul Malik Karim Amrullahisme”.
Pada tanggal 12 Rabi’ al-Awwal 1383H/27 Januari 1964, Haji Abdul Malik Karim
Amrullah ditangkap oleh penguasa orde lama dengan tuduhan berkhianat pada
negara. Penahanan selama dua tahun ini ternyata membawa berkah bagi Haji Abdul
Malik Karim Amrullah karena ia dapat menyelesaikan penulisan tafsirnya.
Tafsir al-Azhar
merupakan karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang memperlihatkan keluasan
pengetahuan beliau, yang hampir mencakup semua disiplin ilmu penuh
berinformasi. Sumber penafsiran yang dipakai oleh Haji Abdul Malik Karim
Amrullah antara lain, al-Qur’an, Hadits Nabi, pendapat Tabi’in, riwayat dari
kitab tafsir mu’tabar seperti al-Manar dan Mafatih al- Ghayb, serta juga dari
syair-syair seperti syair Moh. Ikbal. Tafsir ini ditulis dalam bentuk pemikiran
dengan metode analitis atau tahlili. Karakteristik yang tampak dari tafsir al-Azhar
ini adalah gaya penulisannya yang bercorak adabi ijtima’i (sosial
kemasyarakatan tafsir yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh) yang dapat dengan
begitu kentalnya warna setting sosial budaya Indonesia yang ditampilkan oleh
Haji Abdul Malik Karim Amrullah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
[1] Hamka, Tafsir Al-Azhar………,
hlm. 48
[2] Ensiklopedi Islam ……….., hlm.
77.
[3] Hamka, Tafsir Al-Azhar………, hlm.
50.
[4] Lihat Hamka, “Mensyukuri
Tafsir Al-Azhar”, (Majalah Panji Masyarakat, No.
317), hlm. 39. Untuk lebih
lengkap dalam mengetahu sejarah penulisan tafsir Al-Azhar dapat dilihat dalam
karya tafsirnya juz I, hlm. 50-58.
[5] Hamka,Tafsir Al-Azhar……… , Juz
I, hlm. 41.
[6] Muhammad Husen al-Zahabi, Al-Tafsir
wa al-Mufassirun, (juz. III, t.t), hlm. 213.
[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar……...,
Juz. XXV, hlm. 44.
[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar……...,
Juz. XXV, hlm. 99
[9] Ibid, juz, VI, hlm. 346.
[10] Howard M. Federspiel, Kajian
Al-Qur’an di Indonesia, Terj. Tajul Arifin, Jakarta: Mizan, 1996, hlm. 143.
[11] Fakhruddin
Faiz, Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi,
(melacak Hermeneutika Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Manar, (Yogyakarta:
Qolam, 2002), hlm. 73.
[12] Karel Steenbrink, Qur’an Interpretations of
Hamzah Fansuri (CA. 1600) and Hamka (1908-1982): A Comparison, (Jurnal Studi Islamika, Vol. 2, No. 2, 1995),
hlm. 83.
[13] Muhammad Yunan Yusuf, Karakteristik
Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad Ke-20, (Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul
Qur’an, Volume III, No.4, 1992), hlm. 57.
tafsir al azhar salah satu buku referensi di bidang tafsir alquran..
BalasHapus