Oleh: Abu Aisyah
Jika ada yang mengatakan bahwa
manusia itu adalah tempatnya salah dan lupa maka itu adalah keadaan sebenarnya
dari manusia. Lupa atau lalai dari berbuat ketaatan tentu saja dalam beberapa
kesempatan bisa dimaafkan. Misalnya saja seseorang tanpa sengaja melakukan
kesalahan atau dosa, atau seseorang terpaksa melakukan hal yang dilarang agama.
Namun bagaimana jika ternyata seseorang itu melakukan sebuah kesalahan akan
tetapi ia sadar bahwa itu adalah salah. Apakah
ini bisa dimaafkan? Atau ia juga harus mendapatkan hukuman?
Berbicaramengenai memaafkan atau
menghukum seseorang, itu adalah hak prerogratif Allah ta’ala. Manusia hanya
bisa melaksanakan apa yang sudah ditetapkanNya dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
yang mulia. Jika kesalahan itu dilakukan dengan penuh kesadaran maka sudah
selayaknya ia akan mendapatkan hukuman, seorang pencuri yang mengambil harta
orang lain dan dia sadar bahwa perbuatannya itu adalah dilarang maka pencuri
itu harus mendapatkan hukuman dari perbuatannya. Demikian juga ketika ada
seseorang yang berbuat dosa padahal dia sadar bahwa perbuatan tersebut akan
membawa murka Allah ta’ala maka baginya sesuai dengan hukum yang
disyariatkanNya.
Jika itu terjadi pada orang lain
tentu kita akan dengan segera menyatakan bahwa orang yang melakukan kesalahan
itu harus dihukum, pencuri itu harus dipotong tangannya, atau bentuk-bentuk
kutukan lainnya yang intinya kita ingin menegakan hukum-hukumNya.
Bagaimana kalau ternyata kesalahan
atau dosa itu kita sendiri yang melakukannya? Apakah kita dengan ikhlas akan
mengatakan “Hukumlah saya, karena saya telah melakukan perbuatan dosa!” Jangan-jangan
kita akan segera menyembunyikan kesalahan itu, pura-pura tida tahu atau lebih
dari itu merasa tidak melakukan kesalahan. Dalam kondisi yang sangat
mengkahwatirkan justru seseorang itu merasa tidak melakukan kesalahan padahal
jelas-jelas perbuatan yang dilakukannya bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
“Ya Rasulallah, Handzalah telah
menjadi orang munafik” begitulah ucapan seorang shahabat nabi yang mulia ketika
merasa bahwa dirinya jauh dari ketaatan ketika berjauhan dengan rasul yang
mulia. Naik turunnya iman telah mengakibatkan Handzalah merasa dirinya begitu
hina dan mengaggap ia telah berbuat munafik. Bagaimana dengan anda? Bagaimana dengan
kita? Bagaimana dengan saya?
“Ya Allah… saya munafiq… “ itulah
jeritan batin yang saat ini saya rasakan. Saya merasa bahwa terlalu hina untuk
disebut ahli agama, karena mudah sekali saya berbuat dosa. Apalagi jika yang
jelas-jelas dosa itu kita anggap sesuatu yang biasa. Astagfirullah… Ya Allah
ampuni hamba… ternyata bukan hanya bibit-bibit kemunafikan yang mulai tumbuh di
hati hamba. Ia telah tumbuh mengakar dan seolah-olah sebuah kebaikan adanya.
“Ya Allah… saya munafiq…” terlalu
banyak kesalahan yang seringkali terulang, kesalahan yang membawa catatan hitam
dalam lembaran-lembaran kehidupan. Kesalahan yang menjadikan ridha Ar-Rahman
tertahan, kesalahan yang membuat rizqi tak lagi ditebarkan… kemunafikan yang
saya rasakan adalah merasa diri sudah benar, merasa diri sudah mendapatkan
hidayah hingga jeratan syetan perlahan dipasang untuk menjerat setiap tingkah
dan amalan.
“Ya Allah… saya munafiq…” ucapan ini
sangat pantas untuk hamba haturkan padaMu, karena hanya padamu diri ini bisa
mengadu. Manusia bisa mulia melihatku, padahal diri ini tak lebih dari sekadar
debu, debu yang terombang-ambing sang bayu mengangkasa hingga ke laut biru…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...