Oleh : Abdullah
Memang diakui oleh seluruh sejarawan bahwa Rasulullah
yang wafat tahun 11 Hijriah, tidak meninggalkan wasiat tentang orang yang akan
penggantikannya. Oleh karena itu, setelah r
Rasulullah SAW wafat para sahabat segera berkumpul untuk
bermusyawarah di suatu tempat yaitu Tsaqifah Bani Sa’idah guna memilih
pengganti Rasulullah (Khalifah) memimpin ummat Islam.
Musyawarah itu
secara spontanitas diprakarsai oleh kaum Anshor. Sikap mereka itu menunjukkan
bahwa mereka lebih memiliki kesadaran politik dari pada yang lain, dalam
memikirkan siapa pengganti Rasulullah dalam memimpin umat Islam. Dalam
pertemuan itu mereka mengalami kesulitan bahkan hampir terjadi perpecahan
diantara golongan, karena masing-masing kaum mengajukan calon pemimpin dari
golongannya sendiri-sendiri. Pihak Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubaidah, dengan
alasan mereka yang menolong Nabi ketika keadaan di Makkah genting. Kaum
Muhajirin menginginkan supaya pengganti Nabi SAW dipilih dari kelompok mereka,
sebab muhajirinlah yang telah merasakan pahit getirnya perjuangan dalam Islam
sejak awal mula Islam.
Sedang dipihak lain terdapat sekelompok orang
yang menghendaki Ali Bin Abi Thalib, karena jasa-jasa dan kedudukannya selaku
menantu Rasulullah SAW. Hingga peristiwa tersebut diketahui Umar. Ia kemudian
pergi ke kediaman nabi dan mengutus seseorang untuk menemui Abu Bakar. Kemudian
keduanya berangkat dan diperjalanan bertemu dengan Ubaidah bin Jarroh.
Setibanya di balai Bani Sa’idah, mereka mendapatkan dua golongan besar kaum
Anshor dan Muhajirin bersitegang. Dengan tenang Abu Bakar berdiri di
tengah-tengah mereka, kemudian berpidato yang isinya merinci kembali jasa kaum
Anshor bagi tujuan Islam.
Disisi lain ia menekankan pula anugrah dari
Allah yang memberi keistimewaan kepada kaum Muhajirin yang telah mengikuti
Muhammad sebagai Nabi dan menerima Islam lebih awal dan rela hidup menderita
bersama Nabi. Tetapi pidato Abu Bakar itu tidak dapat meredam situasi yang
sedang tegang. Kedua kelompok masih tetap pada pendiriannya. Kemudian Abu
Ubaidah mengajak kaum Anshor agar bersikap toleransi, begitu juga Basyir bin
Sa’ad dari Khazraj (Anshor) agar kita tidak memperpanjang perselisihan ini.
Akhirnya situasi dapat sedikit terkendali. Disela-sela
ketegangan itu kaum Anshor masih menyarankan bahwa harus ada dua kelompok. Hal
itu berarti kepecahan kesatuan Islam, akhirnya dengan resiko apapun Abu Bakar
tampil ke depan dan berkata “Saya akan menyetujui salah seorang yang kalian
pilih diantara kedua orang ini” yakni tidak bisa lebih mengutamakan kami
sendiri dari pada anda dalam hal ini”, situasi menjadi lebih kacau lagi,
kemudia Umar berbicara untuk mendukung Abu Bakar dan mengangkat setia
kepadanya. Dia tidak memerlukan waktu lama untuk menyakinkan kaum Anshor dan
yang lain, bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling patut di Madinah untuk
menjadi penerus pertama dari Nabi Muhammad SAW.
Sesudah
argumentasi demi argumentasi dilontarkan, musyawarah secara bulat menunjuk Abu
Bakar untuk menjabat Khalifah dengan gelar “Amirul Mu’minin”. Dengan semangat Islamiyyah
terpilihlah Abu Bakar. Dia adalah orang yang ideal, karena sejak mula pertama
Islam diturunkan menjadi pendamping Nabi, dialah sahabat yang paling memahami
risalah Rasul. Disamping itu beliau juga pernah menggantikan Rasulullah sebagai
imam pada saat Rasulullah sakit.
Setelah mereka
sepakat dengan gagasan Umar, sekelompok demi sekelompok maju kedepan dan
bersama-sama membai’at Abu Bakar sebagai Khalifah. Bai’at
tersebut dinamakan bai’at tsaqifah karena bertempat di balai Tsaqifah Bani Sa’idah. Pertemuan politik itu
berlangsung
hangat, terbuka dan demokratis,
demikianlah proses pengangkatan Abu Bakar Ash Shidiq
sebagai kahalifah. (jaribah bin ahmad Al-farisi,2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...