Hamka lahir di
Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908. Hamka
merupakan salah seorang putra bangsa yang paling banyak menulis dan menerbitkan
buku. Beliau sering dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern. Belakangan ia
diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal
dari kata abi atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau seseorang
yang dihormati.
Hamka banyak
menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada
tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan
judul ‘Si Sabariah’. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang
berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan,
pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Sekitar 300 buku
besar dan kecil telah ia tulis. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir
Al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’,
‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’, dan ‘Merantau ke Deli’ juga menjadi perhatian umum
dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan
dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.
Pada tahun 1959, Hamka
mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Cairo
atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu.
Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari
Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor
dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Hamka adalah seorang
otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra,
sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran
bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar
di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa
al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya
sarjana Prancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James,
Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.
Ketika munculnya buku
‘Aku Mendakwa Hamka Plagiat’ yang ditulis Muhidin M. Dahlan saya sebagai
generasi muda marah besar. Saya bilang Hamka bukan plagiator. Sebetulnya
sah-sah saja seseorang mengungkap masa lalu. Tetapi di masa itu apakah
persoalannya sudah selesai? Masih sebatas polemik. Sementara orang yang
dipermasalahkan sudah meninggal dunia. Tidak beda dengan polemik Harian Merdeka
dengan Harian Rakyat yang pada waktu itu dianggap pro komunis, di mana saya
ikut mendengarkan langsung dari pemilik Harian Merdeka, B.M. Diah tentang
Harian Rakyat ketika saya menulis buku ‘Butir-Butir Padi B.M. Diah’, tahun
1992. Saat bersamaan Hamka dimunculkan dalam Harian Rakyat tersebut.
Bulan Juli ini kita
sama-sama berpuasa. Saat bersamaan Dakwah Buya Hamka di layar televisi yang
terakhir adalah malam Jum’at, 3 Juli 1981, malam pertama bulan Ramadhan. Harian
Pelita menggambarkan wajahnya yang putih berseri-seri dan selalu tersenyum
riang itu mengajak seluruh bangsa ini menyambut bulan suci Ramadhan dengan hati
ikhlas seraya menahan diri dan meningkatkan kesadaran berdasarkan contoh-contoh
yang diberikan oleh Nabi Muhammad.
Ceramah keagamaan baik
di layar televisi maupun corong RRI atau secara langsung di Mesjid Agung
Al-Azhar yang selalu mendapatkan sambutan dan rasa simpati yang sangat besar
itu tidak kita saksikan lagi. Harian Kompas menggambarkan, suasana duka
kepergian beliau cepat tersebar ke berbagai kota. Di Banda Aceh begitu
mendengar Buya Hamka meninggal dunia langsung menghentikan pengajian. Para
jemaahnya spontan memanjatkan doa melepas kepergian almarhum, lalu mereka
terlibat dalam berbagai kenangan mengenai Buya Hamka.
Di Padang, berita
wafatnya ulama terkemuka itu diterima dengan terkejut. Secara beranting, kabar
tersebut cepat tersebar, bahkan sampai ke berbagai kota lain di Sumatera Barat
seperti Bukittinggi, Payakumbuh, Solok, dan Padang Panjang di mana Hamka
bersekolah semasa kecil.
SASTRAWAN DAN ULAMA ITU
WAFAT DI HARI DAN BULAN BAIK
“Maha Suci Allah Yang
ditangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Al-Mulk:
1-2)
Hari ini, bulan Juli
2012, umat Islam Indonesia sedang menjalani ibadah puasa. Tanggal 24 Juli 1981,
saat Hamka meninggalkan alam fana ini, umat Islam Indonesia juga sedang
berpuasa. Bulan baik. Hamka meninggal dunia setelah dirawat sejak 18 Juli 1981
di RS Pertamina, Jakarta. Beliau menderita sakit jantung, radang paru-paru dan
gangguan pembuluh darah. Akhirnya sastrawan dan ulama besar itu meninggal dunia
pada hari Jumat, hari baik, pukul 10.40 WIB setelah mencapai usia 73 tahun
lebih.
Untuk menggambarkan
suasana waktu itu, saya mencoba mencuplik keseluruhan tulisan O’Galelano, yang
saya anggap sangat menarik di Harian Pelita. Hingga hari ini saya tidak tahu
siapakah O’Galelano, apakah itu nama samarannya atau nama sebenarnya. Yang
jelas tulisannya mampu menghanyutkan kita ke suasana tanggal 24 Juli 1981,
suasana duka, di mana bolamata-bolamata pengagumnya, anak muridnya, teman,
kerabat, memerah menahan kesedihan.
“Udara Jakarta, sudah
dua hari menjelang Jumat, memang sesekali dibasahi oleh siraman sekejap dari
renyai hujan. Awan gemawan sesekali menjulurkan tatapannya ke bawah dari
lazuardi ibukota. Sebelumnya, jarang Jakarta disentuh oleh hujan. Haji Abdul
Malik Karim Amrullah (Hamka), ulama terkemuka, pujangga, sastrawan yang membuat
pembacanya melinangkan airmata kala mereka menyimak novel religiusnya, Profesor
dan Dr., yang karyanya dibaca di dunia luas Islam, sudah masuk ICU RS Pertamina
Jumat pagi 18 Juli. Udara Jakarta yang panas mendenyit ubun, sejak Rabu dan
Kamis, sesekali disentuh basah hujan. Seolah komponen jagat raya ini melirik,
ulama besar itu dalam persiapannya untuk perjalanan yang abadi,
Ketika warga kota
terlebih muslimin-muslimah diberi berita pagi oleh koran bahwa Buya Hamka dalam
keadaan kritis, mereka mendekap radio, untuk mendengarkan lebih lanjut kabar
kesehatan beliau. Menjelang shalat Jumat kemarin, hujan tercurah di ibukota.
Seolah hanya Jakarta yang dibasahi, karena benderang langit sekitar Jakarta tak
berawan gelap. Jemaah Shalat Jumat di masjid mulai terisak tatkala panitia
mengumumkan bahwa Buya Hamka, telah pergi tadi siang jam 10.30. Seluruh
Jakarta, dalam jutaan doa umat Islam, agaknya telah menghunjam di belantara
alam. Jumat kemarin masjid-mesjid Jakarta mengadakan shalat ghaib.
Bukan shalat ghaib yang
ingin kita catat. Walaupun dalam duka yang merambat jutaan kalbu umat, hal itu
memang penting. Namun bolamata-bolamata mereka yang shalat ghaib, yang
meneteskan air mata dan isak ketika menyeru Allah. Mereka tergoyah tubuhnya
oleh isak dalam shalat. Doa mereka adalah doa yang diajukan dengan derai air
mata: Ya, Rabbi, terimalah pemimpin, guru, imam dan ayah kami ini di sisiMu. Di
rumahnya yang baru dibenah, dengan warna putih yang dominan suara dan tangis
yang emosional hadir di mana-mana. Rusydi, puteranya yang tertua, yang telah
lama dipersiapkan untuk melanjutkan penanya, berkata jelas, walaupun kesedihan
menamparnya dahsyat: “Lanjutkan silaturrahmi ayah kami, kepada kami
putera-puterinya di rumah ini. Kita yang berkumpul di sini adalah sahabat ayah,
murid ayah, para menteri dan ulama, anak-anak rohani ayah kami.” Begitu kata
Rusydi, yang sekarang agaknya meresa sepi meneruskan Panji Mayarakat, yang
dibina ayahnya itu.
Di tengah jenazah ulama
besar itu di rumahnya di Jalan Fatah III No. 1, banyak bergemaratak ucap dan
doa yang penuh emosi. Sampai-sampai suasana di rumah ini mirip bagaikan jenazah
para pejuang Palestina. Orang berhimpitan, berdesakan. Yang menteri, yang ulama,
yang pemuda, yang ibu, yang gadis. Seorang lelaki meronta berteriak karena
dilarang mendekat jenazah. Dia berteriak dengan tangis agar kiranya
diperkenankan melihat wajah Buya terakhir kali.
Di dalam Masjid Agung
Al-Azhar saat jenazah akan disembahyangkan, tidak urung takbir dengan suasana
hati syarat emosi masih mengumandang. Masing-masing orang agaknya ingin berarti
di dekat jenazah orang yang disayanginya. Hamka memang, bapak rohani yang
hilang dini. Dan orang terpana, syarat emosi.
Rasanya menyayat
sembilu hati kita, melihat seorang gadis kecil yang terjepit di antara desakan
orang melongokkan kepalanya dan mengarahkan matanya yang berlinang, dengan isak
yang tertahan. Ketika iringan jenazah lewat rumahnya. Pemandangan yang
membiaskan rupa lain dari gambar diri ulama terkemuka ini. Banyak orang yang
ingin menyentuh jenazah Buya, dan dalam kerumunan, himpitan dan dempetan, hal
seperti ini memang ikut membuat suasana duka meningkat kepada “semangat dan api
rohani.”
Ketika para pengantar
bergegas meninggalkan Pemakaman Tanah Kusir Jakarta Selatan, di arah barat
bayang Asar yang menepi. Udara dan langit di atas makam, kembali duka. Awan
gelap mulai menjulurkan nestapa. Sesudah itu hujan menyiram bumi merah. Telah
agak lama usia Buya Hamka tersita di ibukota ini. Di mimbar khotbah, di halaman
buku, koran, majalah. Buya barangkali adalah warga ibukota yang selalu dengan
putih hati berusaha menyapunya dengan nasihat yang mendinginkan.
Kalau saja gemawan
dapat jelas berbisik pada kita, barangkali siraman hujan adalah pertanda,
alangkah indahnya keberangkatan Buya. Di tahun, di bulan, di hari-hari yang
penuh indah. Maka pantaslah kita bergembira, walaupun nestapa menindih kita,
seperti kata pisah keluarga yang dibawakan Buya Malik Ahmad. Selama hayatnya Hamka
memang adalah ekspresi keindahan.”
HARI INI 31 TAHUN YANG
LALU
Tepat hari ini, 31
tahun yang lalu, 24 Juli 1981, hari dan bulan saat umat Islam menjalankan
ibadah puasa, Prof. Dr. Buya Hamka meninggal dunia di usia 73 tahun lebih dan
dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya tidak hanya diterima
sebagai seorang sastrawan dan tokoh ulama di negara kelahirannya, Indonesia,
juga di negara-negara berpenduduk muslim di Asia Tenggara seperti Malaysia,
Singapura, Thailand Selatan, Brunei, Filipina Selatan, dan beberapa negara
Arab. Banyak tokoh nasional pada waktu
itu, termasuk Presiden Soeharto bertakziah di rumah almarhum. Kecuali Presiden
Soeharto, di antara pejabat tinggi pemerintah antara lain Mendagri Amirmachmud
yang memakai kemeja teluk belanga dan sarung. Menteri Agama Alamsyah, Menteri
Nakertrans Harun Zein, Menteri PPLH Emil Salim dan banyak pejabat tinggi
lainnya.
Di samping itu tampak
hadir Gubernur DKI Jakarta H. Tjokropranolo dan Gubernur Sumatera Barat Azwar
Anas. Di kalangan tokoh masyarakat terdapat Mohamamad Natsir, Hasjim Ning, A.H.
Nasution, Ali Sadikin, Sjafruddin Prawiranegara. Setelah Presiden Soeharto
selesai bertakziah kemudian menyusul Wakil Presiden Adam Malik.
Kemudian jenazah
diusung ke Masjid Al Azhar. Para petugas terpaksa pula bersusah payah
menguakkan jalan, karena masyarakat terus membanjir dan masing-masing berusaha
mendekat. Wajah-wajah duka dibasahi air mata itu seakan-akan tak mampu
membendung kesedihan. Tiap sebentar terdengar teriakan “Selamat jalan Buya!” dan
di sana sini pekik “Allahu Akbar,” mengantar perjalanan jenazah ke Masjid Al
Azhar, di mana semasa hidupnya Buya Hamka menjadi Imam Besar. Orang berebut
untuk ikut mengusung keranda jenazah, malah banyak yang sekedar berhasil
menggapainya pun jadilah.
Menjelang pelataran
parkir, jalan terhalang oleh kendaraan-kendaraan yang terparkir melintang.
Namun dalam waktu satu menit saja puluhan umat berhasil mengangkat dan
memindahkan sedan itu, sehingga jalan pun terbuka.
Ribuan jemaah ikut
menyembahyangkan jenazah Buya Hamka di Masjid Al Azhar. Jemaah meluap sampai
pekarangan, sementara yang tidak sempat berwudhu pun khusyuk berdoa.
Ketika keranda diusung
kembali menuruni tangga masjid untuk diberangkatkan ke pemakaman, massa semakin
padat. Berkali-kali pembawa megaphone berteriak memperingatkan massa agar tidak
histeris dan menjaga suasana tetap khidmat dan khusyuk.
Sepanjang perjalanan
dari Masjid Al Azhar menuju pemakaman Tanah Kusir, iringan kendaraan sepanjang
tiga kilometer lebih itu berjalan tersendat-sendat karena umat berjejal di tepi
jalan. Mereka berdesakan ingin menyaksikan seorang ulama dan sastrawan besar
sedang menuju ke peristirahatan terakhir. Sementara itu di Tanah Kusir sendiri,
sudah ramai pula orang mendahului berangkat, untuk memperoleh tempat dekat
tempat upacara.
Di antara umat yang
berjejal, upacara pemakaman jenazah Buya Hamka berlangsung di pemakaman Tanah
Kusir. Dengan khidmat jenazah diturunkan ke liang lahat, disaksikan anggota
keluarga, handai tolan, kerabat, pejabat, pemuka masyarakat, para murid
almarhum dan kaum Muslimin.
Buya Malik Achmad,
sahabat almarhum semasa menjadi muballig Muhammadiyah di Padang Panjang tahun
tiga puluhan memberi sambutan mewakili pihak keluarga. Ia mengharapkan
masyarakat melepas kepergian almarhum dengan tulus ikhlas. Ia memuji Buya Hamka
sebagai ulama besar yang lidahnya tak pernah berhenti menyebut ayat Al Qur’an.
“Kebun surga, itulah tempat bagi arwah Buya Hamka,” ujarnya.,
Menteri Agama H.
Alamsyah yang berbicara mewakili Pemerintah menyatakan, bukan umat Islam saja
yang kehilangan dengan kepergian Buya Hamka, melainkan juga bangsa dan negara.
“Kita kehilangan ulama besar, pahlawan besar dan pahlawan bangsa,” ujarnya.
H. Alamsyah selanjutnya
mengatakan, ia mendengar banyak orang mengira seolah-olah ada apa-apa antara
Buya Hamka dengan Pemerintah, antara Buya Hamka dengan Menteri Agama, antara
Buya Hamka dengan pribadi Alamsyah, sehubungan dengan pengunduran diri Buya
Hamka dari jabatan Ketua Umum Majelis Ulama Indonsesia (MUI). “Maka di sini
secara tegas saya nyatakan, tidak ada apa-apa antara beliau dengan Pemerintah,
Menteri Agama dan saya,” ujar H. Alamsyah.
Upacara pemakaman
diakhiri dengan pembacaan doa oleh K.H. EZ Muttaqien, salah seorang Ketua MUI
yang juga Ketua Majelis Ulama Jawa Barat. “Buya Hamka berangkatlah Buya dengan
tenang. Kami telah bertekad melanjutkan langkah Buya,” ujarnya mengakhiri
pembacaan doa.
Buya Hamka telah tiada.
Hari ini tepat 31 tahun hari wafatnya. Dalam perjalanan hidupnya sudah
merasakan pahit getirnya perjuangan ini. Nama Buya Hamka terangkat ke permukaan
dengan hasil karya roman pertamanya ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’ (1938). Roman
ini mengisahkan cinta tak sampai antara dua kekasih yang terhalang adat.
Romannya yang kedua, ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ (1939), juga
mengisahkan cinta yang tak sampai oleh adat Minangkabau. Selain itu, dari
penanya lahir pula novel-novel ‘Karena Fitnah’ (1939), ‘Tuan Direktur’ (1939)
dan Merantau ke Deli (1939). Sehabis perang, novelnya ialah ‘Menunggu Bedug
Berbunyi’ (1950), ‘Dijemput Mamaknya’ (1948). Riwayat hidupnya sendiri
dituangkannya dalam empat jilid buku dengan judul ‘Kenang-Kenangan Hidup’
(1951-1952).
Terakhir Hamka
menyelesaikan tafsir Al Qur’an ke dalam 30 jilid buku yang diberi nama Tafsir
Al-Azhar. “Menurut saya Hamka ingin agar Islam juga dihayati kaum intelektual,
orang-orang yang hanya berpikir dengan rasio saja,” ujar HB Jassin mengomentari
karya Hamka, Tafsir Al-Azhar.
HAMKA SEBAGAI WARTAWAN
Menulis tentang Hamka,
samalah artinya menulis di samudera luas. Kadang kala tangan ini berhenti bukan
karena tidak memiliki data, melainkan banyaknya sumber dari berbagai sudut
pandang, sehingga muncul pertanyaan, dari sudut mana lagi kita akan menulis
tentang tokoh terpandang ini?
Menulis tentang
orang-orang besar sudah tentu membutuhkan berbagai pengamatan dan penelitian
lebih mendalam. Butuh waktu lama. Tetapi bagaimana pun, di saat genap 31 tahun,
saat bangsa dan negara ini kehilangan tokoh panutan, seperti Hamka, 24 Juli
1981, perlu juga mengenalkan kembali sosok sastrawan dan ulama besar itu ke
permukaan agar lebih diketahui generasi berikutnya. Seraya mengingatkan “Jangan
sekali-kali melupakan sejarah.”
Bagi saya, Hamka
identik dengan kultur Minangkabau di daerah Padangpanjang, Sumatera Barat.
Hamka lebih banyak bersentuhan dengan adat istiadat di daerah itu. Meskipun
Hamka terlahir dengan nama Abdul Malik Karim Amrullah di Maninjau, pada tanggal
16 Februari 1908, tetapi setelah ayahnya mendirikan sekolah Sumatera Thawalib
di Padangpanjang, beliau banyak bersentuhan dengan daerah Padangpanjang.
Sementara ibu Hamka
adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku
Tanjung, sebagaimana suku ibunya. Rumah tempat Hamka dilahirkan, sekarang
diabadikan sebagai Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka. Hanya kadang kala museum
selalu diidentikan dengan benda mati. Sepi pengunjung. Hendaknya dengan
berbagai tulisan mengenai tokoh-tokoh daerah maupun nasional, generasi muda
lebih memahami arti museum, sebagai sebuah tempat di mana sejarah itu awal
mulanya ditulis.
Hamka merupakan cucu
dari Tuanku Kisai, memperoleh pendidikan rendah pertama kali di usia 7 tahun di
Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya mencapai 10 tahun,
karena ayahnya mendirikan sekolah Sumatera Thawalib di Parabek Padangpanjang,
Hamka bersekolah di sekolah itu dan malam hari belajar agama dengan ayahnya,
yang adalah seorang ulama besar tersebut. Sumatera Thawalib merupakan sekolah
agama Islam terkenal, kelanjutan sekolah agama Surau Djembatan Besi yang
didirikan Syekh Abdullah pada masa peralihan abad ke-20.
Guru-gurunya saat itu
merupakan tokoh-tokoh pembaharuan Islam di Minangkabau, seperti Syekh Ibrahim
Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zainuddin Labay. Saya ingin mengatakan
jika Yogyakarta sering disebut kota pelajar, maka Padangpanjang sejak awal sudah
menjadi kota pelajar. Banyak tokoh terkemuka bangsa Indonesia berasal dari
daerah Padangpanjang.
Hamka kemudian
mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab, salah satu pelajaran yang paling
disukainya. Melalui kefasihan bahasa Arab inilah kemudian ia belajar sendiri
(otodidak) dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra,
sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran
bahasa Arabnya yang tinggi ini pula, ia dapat menyelidiki karya ulama dan
pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas
al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga,
ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus,
William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan
Pierre Loti.
Padangpanjang sekarang
sudah tentu berbeda ketika Hamka masih kecil. Padangpanjang sekarang sudah
menjadi kota dengan luas wilayah terkecil di Provinsi Sumatera Barat. Kota ini
memiliki julukan sebagai Kota Serambi Mekkah, dan juga dikenal sebagai Mesir
van Andalas. Sementara wilayah administratif kota ini dikelilingi oleh wilayah
administratif kabupaten Tanah Datar.
Kawasan kota ini
sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Tuan Gadang di Batipuh. Pada masa
Perang Padri kawasan ini diminta Belanda sebagai salah satu pos pertahanan dan
sekaligus batu loncatan untuk menundukkan kaum Padri yang masih menguasai
kawasan Luhak Agam. Selanjutnya Belanda membuka jalur jalan baru dari kota ini
menuju Kota Padang karena lebih mudah dibandingkan melalui kawasan Kubung XIII
di Kabupaten Solok sekarang. Kota ini juga pernah menjadi pusat pemerintahan
sementara Kota Padang, setelah Kota Padang dikuasai Belanda pada masa agresi
militer Belanda sekitar tahun 1947.
Jika ditelusuri secara
kronologis, sejak tahun 1920an, Hamka sudah menjadi wartawan di Pelita Andalas,
Seruan Islam, Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah. Surat kabar terakhir, Suara
Muhammadiyah karena Hamka sendiri tahun 1925, adalah salah seorang pendiri
organisasi Muhammadiyah di Minangkabau dan kelak mengetuai Muhammadiyah Cabang
Padangpanjang di tahun 1928. Pada tahun 1925 itu juga, Hamka menjadi anggota
Partai Sarekat Islam.
Hamka baru mulai
bekerja pada tahun 1927 (ada juga yang mengatakan tahun 1929) sebagai guru
agama di Perkebunan Tebing Tinggi. Berdasarkan ilmu jurnalistik yang
diperolehnya ditambah kefasihannya berbahasa Arab, Hamka menulis karya
pertamanya dalam bahasa Arab di tahun 1928 dengan judul Khatibul Ummah jilid
1-3. Buku keduanya berjudul Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),
buku ketiga berjudul Adat Minangkabau dan Agama Islam, buku keempatnya berjudul
Ringkasan Tarikh Umat Islam dan buku kelimanya Kepentingan Melakukan Tabligh.
BERGURU KEPADA
H.O.S TJOKROAMINOTO
Hamka mulai
meninggalkan kampung halamannya pada usia 16 tahun di tahun 1924. Pada waktu
itu beliau sudah menjadi anggota organisasi Muhammadiyah di Padangpanjang dan
tertarik dengan Partai Politik Sarekat Islam (SI) pimpinan Haji Oemar Said
(HOS) Tjokroaminoto, kelak menjadi mertuanya Bung Karno dan sering disebut
sebagai “Guru Para Pendiri Bangsa.” SI sebuah organisasi politik pertama di
Indonesia yang bertujuan melawan dominasi pedagang Tionghoa (Cina).
Pada tahun 1905, SI ini
bernama Serikat Dagang Islam (SDI), tidak berpolitik, hanya sebuah perkumpulan
pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis Haji Samanhudi di Surakarta
(Solo) bertujuan menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang
batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Pada saat
itu, pedagang-pedagang keturunan Tionghoa lebih maju usahanya dan memiliki hak
dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Hindia Belanda lainnya.
Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda tersebut
kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran di antara kaum
pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.
Organisasi SDI
berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan berpengaruh. Terbukti ketika R.M.
Tirtoadisurjo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia.
Kemudian tahun 1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam itu di
Buitenzorg. Demikian pula, di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan
organisasi serupa tahun 1912.
Kelak ketika Haji Oemar
Said Tjokroaminoto dipilih menjadi pemimpin, mengubah nama SDI menjadi SI. Hal
ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi
juga dalam bidang lain seperti politik. Tujuan SI selain mengembangkan jiwa
dagang, juga membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang
usaha, memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat
rakyat, memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam dan
hidup menurut perintah agama.
Pada waktu bernama SDI
anggotanya terbatas untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tetapi setelah
Tjokroaminoto memimpin SDI kemudian mengganti nama menjadi SI, keanggotaannya
tidak hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Keanggotaan SI terbuka untuk
semua lapisan masyarakat muslim. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak
terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian
besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan
yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota
yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.
Seiring dengan
perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada
bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah Belanda memperbolehkan berdirinya
partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke
Volksraad tahun 1917, yaitu HOS Tjokroaminoto; sedangkan Abdoel Moeis (Abdul
Muis) yang juga tergabung dalam CSI menjadi anggota volksraad atas namanya
sendiri berdasarkan ketokohan, dan bukan mewakili Central SI sebagaimana halnya
Tjokroaminoto.
Hamka yang berdarah
Minangkabau, pun sebagaimana halnya Abdul Muis yang telah dulu bergabung dengan
SI, sangat tertarik dengan partai politik ini. Apalagi dengan kehadiran H. Agus
Salim, yang juga berasal dari Minangkabau, membuat Hamka semakin ingin belajar
langsung dengan HOS Tjokroaminoto. Memperdalam pengetahuan agama Islam memang
menjadi ciri khas budaya Minangkabau yang memiliki nilai-nilai falsafah tinggi
dan bersifat universal. “Alam takambang jadi guru”, ujar mereka.
Hamka di usia 16 tahun,
tahun 1924 mulai meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di Pulau
Jawa, sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang
tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Untuk itu, Hamka kemudian ditumpangkan
dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke Yogyakarta.
Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk sementara
waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Dja’far Amrullah di Kelurahan
Ngampilan, Yogyakarta. Barulah pada tahun 1925, ia berangkat ke Pekalongan, dan
tinggal selama enam bulan bersama iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Di Yogyakarta tahun
1924 agar bisa belajar dengan HOS. Tjokroaminoto, Hamka bercerita dia sengaja
memalsukan usianya dari 17 menjadi 18 tahun agar bisa masuk Sarekat Islam saat
itu. Soalnya, hanya anggota SI yang boleh mengikuti kursus agama dua kali
seminggu dalam kelas Tjokro. Cerita Hamka ini bersumber dari pengantar buku
Amelz berjudul ‘HOS Tjokroaminoto, Hidup dan Perdjuangannya’. Hanya yang
menjadi pertanyaan, apakah ketika masih di Padangpanjang, Hamka sudah masuk SI
atau belum. Atau baru di Yogyakarta? Perlu penelusuran lebih jauh.
Tak jelas di mana rumah
paman Hamka dan di mana tempat mereka biasa mengikuti kursus bersama Tjokro.
Yang dicatat Hamka hanyalah dia terkecil di antara sekitar 30 peserta kursus.
Pengajarnya tiga orang: RM Soerjopranoto, mengajar sosiologi; H. Fachruddin,
membawakan dasar-dasar hukum Islam, dan Tjipto, memberikan kurus Islam dan
sosialisme.
“Waktu itulah saya
mulai mengenal komunisme, socialisme, nihilisme. Waktu itulah mulai mendengar
nama Karl Marx, Engels, Proudhon, Bakunin, dan lain-lain,” tulis Hamka.
CATATAN SINGKAT TENTANG
GURU HAMKA
Haji Oemar Said (HOS)
Tjokroaminoto, siapakah sebenarnya guru Hamka ini? Tjokroaminoto lahir di
Bakur, Madiun, pada 16 Agustus 1882 dan berasal dari keluarga bangsawan. Tetapi
pada saat bersamaan, dia memprotes atribut-atribut feodalisme, seperti
menyimpan gelar raden, memprotes laku dodok—berjalan jongkok di depan
bangsawan.
Tjokroaminoto menuntut
kesetaraan bangsa Hindia Belanda, sehingga menyeru pengikutnya mengenakan
“pakaian Eropa”, sebagai lambang “pribumi sama-sama manusia seperti orang
Belanda”.
Pada tahun 1914,
Tjokroaminoto menulis sajak di ‘Doenia Bergerak’ menggambarkan bagaimana
keadaan bangsa Indonesia pada waktu itu:
Lelap terus, dan kau
pun dipuji sebagai bangsa terlembut di dunia.
Darahmu dihisap dan
dagingmu dilahap sehingga hanya kulit tersisa.
Siapa pula tak memuji
sapi dan kerbau?
Orang dapat menyuruhnya
kerja, dan memakan dagingnya.
Tapi kalau mereka tahu
hak-haknya, orang pun akan menamakannya pongah, karena tidak mau ditindas.
Bahasamu terpuji halus
di seluruh dunia, dan sopan pula.
Sebabnya kau menegur
bangsa lain dalam bahasa kromo dan orang lain menegurmu dalam bahasa ngoko.
Kalau kau balikkan, kau
pun dianggap kurang ajar.
Adalah Soekarno,
Proklamator dan Presiden RI Pertama—waktu itu masih bernama Kusno
Sosrodihardjo—menjadi anak kos istimewa di rumah Tjokro di Gang Peneleh VII,
Surabaya. Selanjutnya kelak menjadi menantu Tjokro. Ada sepuluh anak kos lain
di rumah itu. Di meja makan rumah Gang Peneleh itulah, ilmu pergerakan modern
ditularkan Tjokroaminoto kepada Alimin, Musso, Soekarno, dan belakangan
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, pemimpin Darul Islam di masa tua.
Hamka menggambarkan
gurunya, HOS Tjokroaminoto: “Badannya sedikit kurus, tapi matanya bersinar.
Kumisnya melentik ke atas. Badannya tegak dan sikapnya penuh keagungan,
sehingga, walaupun beliau tidak memedulikan lagi titel raden mas yang
tersunting di hadapan namanya, namun masuknya ke dalam madjelis tetap membawa
kebesaran dan kehormatan.”
Bagi kalangan
intelektual Minangkabau, Tjokroaminoto bukan nama yang asing. Selama mengajar
Hamka dan kawan-kawan, Tjokro selalu meminta ruangan luas. Tjokro tak mau
terikat mimbar sempit. Ia menerangkan pelbagai hal sosialisme dalam Islam dan
keadaan politik dalam negeri. Hamka menilai Tjokro sebagai orator dan agitator
yang layak di tempat lebih besar, bukan hanya di ruangan kelas. “Suaranya
lantang besar, memancar dari sinar jiwa dan sanubarinya,” kata Hamka.
Tetapi sifat gagahnya
hilang ketika Soekarno mengembalikan anaknya Oetari ke pangkuannya.
Tjokroaminoto hanya diam, entah apa yang ada dalam benaknya. Hanya Allah SWT yang
tahu. “Pak Tjokro hanya mengangguk diam tanpa menanyakan persoalan-persoalan
pribadi,” ujar Soekarno di dalam bukunya yang dikarang Cindy Adams.
Sakit ginjal dan maag
kronis akhirnya merenggut hidup Tjokro pada 17 Desember 1934. Tjokro
mengembuskan napas terakhir di pangkuan Resoramli, yang menungguinya bersama
Jumarin—kader PSII yang asli Padang—dan Rostinah, istri kedua Tjokro setelah
istri pertamanya meninggal. Dalam obituari pada 18 Desember 1934, Pewarta
Soerabaya menulis istri kedua Tjokro adalah artis sebuah kelompok wayang orang.
Tjokro bertemu dengan istri keduanya di Pakualaman. Dia pesinden asli
Yogyakarta. Tetapi mereka tidak dikaruniai anak.
Sebelum meninggal,
Tjokro merasa prihatin bahwa Partai Sarekat Islam (SI) pecah menjadi dua pada
saat-saat berkembang pesat. SI disusupi paham sosialisme revolusioner. Paham
ini disebarkan H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV (Indische
Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV sudah
mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang mereka anut tidak
berakar di dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh orang
Belanda, sehingga usahanya kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan taktik
infiltrasi yang dikenal sebagai “Blok di dalam”, mereka berhasil menyusup ke
dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil
dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.
Dengan usaha yang baik,
mereka berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen, Darsono, Tan
Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi “SI
Putih” yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan “SI Merah” yang dipimpin Semaoen.
SI merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme. Kembali nama-nama Minangkabau
tersebar contohnya Tan Malaka, menunjukkan bahwa orang Minangkabau tersebar di
mana-mana dalam berbagai aliran politik. Di dalam pemerintahan Soekarno malah
ada yang menyebutnya: “Kabinet Minangkabau,” karena banyaknya suku tersebut
melingkari pemerintahan.
MEMBEDAH ROMAN DI BAWAH
LINDUNGAN KA’BAH
Pada tahun 1927, Hamka
berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Mekkah,
dalam suatu rapat adat niniak mamak Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Engku
Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka dengan gelar Datuk Indomo, yang
merupakan gelar pusaka turun temurun dalam Suku Tanjung. Pada tahun 1950, Hamka
kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Semasa
hayatnya Hamka telah tujuh kali naik haji.
Setelah melakukan
perjalanan ke Jawa dan Mekkah sejak berusia 16 tahun (ada juga data yang
mengatakan usia 19 tahun) untuk menimba ilmu, ia menjadi guru agama di Deli,
Sumatera Utara, kemudian di Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam perjalanan ini,
terutama saat di Timur Tengah, Hamka banyak membaca karya dari ahli dan penulis
Islam, mulai dari karya penulis asal Mesir bernama Mustafa Lutfi al-Manfaluti,
Mohammad Abduh hingga karya berbahasa Arab lainnya yang umumnya merupakan
terjemahan dari Eropa. Juga mempelajari kesusasteraan Melayu.
Pada tahun 1935, Hamka
meninggalkan Makassar untuk kembali ke Medan. Di Medan, Hamka mulai menulis
Roman “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, ketika menjadi editor untuk majalah Islam
mingguan “Pedoman Masjarakat”. Roman pertamanya “Si Sabariah”, yang pertama
kali diterbitkan sebagai buku.
Roman ialah bentuk
prosa baru yang berupa cerita fiksi yang masuk golongan cerita panjang, yang
isinya menceritakan kehidupan seseorang atau beberapa orang yang dihubungkan
dengan sifat/jiwa mereka dalam menghadapi lingkungan hidupnya.”
“Di Bawah Lindungan
Ka’bah,” ditulis dalam bentuk singkat dengan gaya bahasa yang sederhana. H.B.
Jassin mencatat bahwa “Di Bawah Lindungan Ka’bah,” ditulis dengan menarik dan
indah. Juga mencatat bahwa Hamka memiliki gaya bahasa yang “sederhana, tetapi
berjiwa.”
“Di Bawah Lindungan
Ka’bah”, memiliki gaya penceritaan yang bersifat didaktis, yang bertujuan untuk
mendidik pembaca berdasarkan sudut pandang penulis. Hamka lebih mengedepankan
ajaran tentang dasar-dasar Islam dibanding menyinggung tema kemodernan, seperti
kebanyakan penulis saat itu, dan mengkritik beberapa tradisi yang menentang
Islam,” ujar Jassin.
Bakri Siregar
menganggap novel ini menjadi cerita yang dikarang dengan baik dan gaya
penulisannya yang kuat. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw
menyebut bahwa karya Hamka terlalu mementingkan nilai moral dan plotnya
bersifat sentimental, ‘he wrote that a Western reader would at least provide a
window into Indonesian culture in the 1930an’.
“Di Bawah Lindungan
Ka’bah,” diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1938. Pada waktu itu milik
Penerbitan Hindia Belanda. Balai Pustaka umumnya menolak karya bertema agama
karena melakukan resistensi terhadap praktik penindasan kolonial Belanda di
Indonesia; meski begitu, roman ini dapat diterima ‘as they considered its
romance with a religious background’.
Selama di Medan, Hamka
kemudian menerbitkan empat novel, termasuk “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”
yang dianggap sebagai karya terbaiknya. Setelah cetakan ke tujuh, novel ini
diterbitkan oleh Bulan Bintang.
Dalam Roman/ Novelnya
“Di bawah Lindungan Ka’bah,” ini Hamka juga menceritakan dirinya naik haji:
“Harga getah di Jambi,
dan di seluruh tanah ini sedang naik, negeri Mekkah baru saja pindah dari
tangan Syarief Husin ke tangan Ibnu Saud, Raja Hejaz dan Nejd dan daerah
takluknya, yang kemudian ditukar namanya menjadi Kerajaan “Arabiyah Saudiyah”.
Setahun sebelum itu telah naik haji pula dua orang yang kenamaan dari negeri
kita (Guru Hamka HOS. Cokroaminoto dan KH. Mas Mansur yang menunaikan ibadah
haji tahun 1926). Karena itu banyak orang yang berniat mencukupkan Rukun Islam
yang kelima itu. Tiap-tiap kapal haji yang berangkat menuju Jeddah penuh sesak
membawa Jemaah haji.”
Kalimat ini ingin
menegaskan bahwa Hamka dan para calon jemaah haji lainnya dari Indonesia,
menaiki kapal pada tahun 1927 itu. “Konon kabarnya, belumlah pernah orang naik
haji seramai tahun 1927 itu, baik sebelum itu ataupun sesudahnya,” lanjut Hamka
lagi.
“Waktu itulah saya naik
haji. Dari Pelabuhan Belawan saya telah berlayar ke Jedah, menumpang kapal
Karimata. Empat belas hari lamanya saya terkatung-katung di dalam lautan besar.
Pada hari kelima belas sampailah saya ke Pelabuhan Jedah, di pantai Laut Merah
itu. Dua hari kemudian saya pun sampai di Mekkah, Tanah Suci kaum muslimin
sedunia,” jelas Hamka lagi.
Tulisan Hamka kemudian
mengarah ke seorang sahabatnya yang bernama Hamid. Inilah awal cerita yang akan
dipaparkan Hamka selanjutnya. “Hamid merupakan Muslim kelahiran Minangkabau,
Sumatera. Ketika berusia enam tahun, Hamid diangkat sebagai anak oleh Haji
Ja’far; ayah Hamid telah meninggal dua tahun sebelumnya. Haji Ja’far merupakan
suami dari Asiah, yang memiliki anak perempuan bernama Zainab. Di rumah Haji
Ja’far, Hamid menjadi teman bermain Zainab yang lama-kelamaan kian akrab
seperti kakak dan adik. Setelah menamatkan pendidikan masing-masing di sekolah
Hindia-Belanda, Hamid dan Zainab mulai jatuh cinta tetapi sama-sama tidak
mengutarakannya. Mereka kemudian terpisah, karena Hamid memutuskan pindah ke
Padangpanjang untuk melanjutkan pendidikannya.
Pada suatu waktu, ayah
Zainab meninggal. Tak lama kemudian, ibu Hamid juga meninggal. Pada saat yang
sama, ibu Zainab, Asiah meminta Hamid untuk membujuk anaknya agar menikahi
sepupunya, sebagaimana tradisi yang umum berlaku pada saat itu. Permintaan
tersebut dijalankan oleh Hamid mengingat ibunya juga tidak mengizinkannya
menikahi Zainab karena perbedaan kelas sosial, padahal dalam hati kecilnya
Hamid sangat mencintai Zainab. Hamid kemudian mengalami patah hati akibat
keputusan yang diambilnya, lalu memutuskan pergi ke Mekkah.
Setelah setahun berada
di Mekkah, Hamid yang mulai menderita penyakit bertemu dengan Saleh. Istri
Saleh, Rosna adalah teman dekat Zainab sehingga Hamid dapat mendengar kabar
tentang Zainab. Dari penuturan Saleh, Hamid mengetahui bahwa ternyata Zainab
mencintai dirinya, dan Zainab tidak jadi menikah dengan laki-laki pilihan
ibunya. Setelah mengetahui kenyataan yang menggembirakan itu, Hamid memutuskan
untuk kembali ke kampung halamannya usai menunaikan ibadah haji. Sementara itu,
Saleh melalui istrinya mengirimkan surat untuk diberikan kepada Zainab yang
isinya menggambarkan pertemuannya dengan Hamid. Namun Saleh mendapat balasan
dari istrinya bahwa Zainab telah meninggal dunia; Saleh tidak memberikan kabar
tersebut kepada Hamid sebelum akhirnya Hamid mendesaknya. Kenyataan itu disusul
dengan meninggalnya Hamid di hadapan Ka’bah.”
DI BAWAH LINDUNGAN
KA’BAH DIFILMKAN
Perlu sedikit menguraikan
perbedaan roman dan novel dalam Kesusasteraan Indonesia. Pada awalnya
pengertian roman dan novel selalu dibedakan:
1. Roman sering
dikatakan sebagai karangan mengenai kehidupan manusia dengan pengalaman, sifat,
adat istiadat, pengaruh ekonomi, politik, kehancuran dam keberhasilan serta
pandangan hidup suatu masyarakat seluas-luasnya. Tokoh utamanya disimpulkan
sebagai tokoh yang dimunculkan sejak kecil sampai dewasa bahkan sampai
meninggal. Tokoh bawahannya banyak, sehingga memungkinkan terjadinya plot
ganda. Kesemua itu diceritakan secara mendalam dan terperinci serta penuh
dengan nasehat-nasehat yang langsung dilontarkan oleh para tokoh positifnya.
2. Novel sering
dikatakan sebagai karangan yang menceritakan suatu peristiwa yang luar biasa
sebab hanya memuat cerita berdasarkan konflik hidup yang sangat menonjol,
sehingga menceritakan tokoh sejak kecil sampai dewasa dianggap tidak perlu.
Konflik batin yang mendalam dari para tokoh menjadi sasaran utama cerita, hal
itu menyebabkan plot menjadi erat, tunggal, dan menarik.
Tetapi dewasa ini
pengertian roman dan novel dianggap sama. Hal ini berdasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a) Istilah roman
bersumber pada sebutan yang dipergunakan di Belanda dan Prancis. Istilah
tersebut masuk ke Indonesia karena sastra Indonesia pada waktu sebelum Perang
Dunia II banyak dipengaruhi sastra Belanda. Pengaruh tentunya sangat kuat
sekali sebab pada waktu Indonesia dalam posisi dikuasai Belanda.
b) Istilah novel masuk
ke Indonesia setelah merdeka. Istilah ini adalah pengaruh dari sastra Inggris
yang tidak mengenal istilah roman. Belakang ini sastra yang masuk ke Indonesia
banyak sastra berbahasa Inggris, maka secara berangsur-angsur istilah roman
mulai bergeser.
Melihat
pertimbangan-pertimbangan tersebut agaknya tidak perlu lagi ada batasan-batasan
yang ketat antara istilah roman dan novel.
Novel berasal dari
bahasa latin nonelis yang diturunkan dari kata noveis yang berarti baru.
Dikatakan baru sebab novel muncul belakangan dibanding dengan bentuk puisi dan
drama.
Jika kita melihat
berbagai macam roman pada waktu itu, Roman “Di Bawah Lindungan Kabah”
dikategorikan sebagai Roman Adat. Hal ini tercermin dari penggunaan bahasa
Hamka yang lebih difokuskan kepada nilai kesantunan dan religius. Jadi Hamka
bukan hanya sekadar memilih dan menjalin kata demi kata, akan tetapi, mencoba
mengemukakan nilai-nilai budaya Minangkabau melalui penggambaran dilematik
tradisi yang kadangkala mesti mengorbankan perasaan dan naluri kemanusiaan.
Karya sastra merupakan
hasil karya yang dibangun melalui kemampuan pengarang memilih dan menyusun
kata, di samping kemampuan merangkai peristiwa sebagai cermin realitas
sosiobudaya tempo karya itu dihasilkan. Oleh sebab itu, karya dapat menunjukkan
ketinggian dan kepiawaian pengarangnya. Di sinilah kejeniusan Hamka dalam
menguraikan kalimat-kalimat sehingga pembacanya ikut larut dalam kesedihan.
Bacalah bagaimana Hamka
menguraikan kalimat-kalimat. “Dengan berurai air mata, Zainab menitipkan
sepucuk surat kepada Soleh untuk disampaikan kepada Hamid. Zainab tidak tahu di
mana kini Hamid berada. Rosna kekasih Soleh tersuguk terharu menyaksikan betapa
besar dan dalamnya cinta murni sahabat karibnya itu kepada Hamid. Biarlah surat
ini mengikuti takdirnya… demikian suara lemah Zainab ketika menyerahkan amplop
surat bertulis Kepada Hamid. Soleh akan segera menunaikan ibadah haji. Zainab
yakin Hamid berada di tanah suci seperti yang selalu dicita-citakannya. Hamid
terusir dari kampung halamannya, membawa derita cinta yang terpenggal karena
adat istiadat Minangkabau.”
Simak lagi kalimat
Hamka di buku yang saya baca, terbitan Bulan Bintang, yang pada bulan Mei 2010
sudah memasuki cetakan ke-31, belum lagi cetakan di Balai Pustaka sebelumnya,
pada halaman 48 dan 49:
“Engkau kan tahu Ros,
bahwa Hamid tidak begitu gagah, tidak sepantas dan selagak pemuda lain, tetapi
hati kecilku amat kasihan padanya, agaknya hidupnya yang sederhana itulah yang
telah memaut hati sanubariku. Saya amat iba kepadanya, karena saya merasa bahwa
tak ada orang lain yang akan mengibai dirinya…”
“…Sebenarnya Ros… saya
cinta kepada Hamid! Biar engkau tertawakan daku, Sahabat, biar mulutmu
tersenyum simpul, saya akan tetap berkata, bahwa saya cinta kepada Hamid. Ia
tidak berpembela, tidak ada orang yang akan sudi menyerahkan diri menjadi
istrinya karena dia miskin. Tidak ada gadis yang akan sudi memperdulikan dia,
karena rupanya tak gagah. Itulah sebabnya dia saya cintai…”
“…Akhirnya saya
mendengar kabar, bahwa dia telah pergi, telah berjalan jauh dengan tiba-tiba,
tidak diberitahu sahabat-sahabatnya yang paling akrab, dia telah meninggalkan
saya dengan gelombang angan-angan, akan menempuh suatu tujuan yang masih gelap…
Semenjak itu, entah dia di lautan entah di daratan, berita tak sampai-sampai lagi,
kian lama dia hilang, kian berdiri dia dalam ingatanku. Kadang-kadang saya
menjadi seorang yang putus pengharapan, hatiku kerap berkata, bahwa saya takkan
bertemu lagi dengan dia…”
Hamka mampu menyusun
kalimat-kalimat sehingga orang menitikkan air mata, terbawa suasana haru
melihat kepedihan penderitaan Zaenab yang merindukan kekasihnya Hamid. Di mana
dikau berada kakanda tiada kabar berita. Kemampuan berlebih Hamka menggetar
jiwa pembaca ketika itu dan mengharu birukan penonton ketika roman ini difilmkan
dengan judul yang sama, “Di bawah Lindungan Ka’bah,” pada tahun 1978 dan
dirilis tahun 2011.
Kalau membaca buku
roman Hamka ini tidaklah begitu tebal. Buku yang saya baca hanya 66 halaman,
tetapi Hamka mampu memadatkan ceritanya dan memang beliau adalah di atas rata
rata bahkan bisa dikategorikan sastrawan jenius masa itu. Sastrawan ini dengan
segala keterbatasan alat komunikasi dan alat tulis tahun 1930 an, mampu
menorehkan kisah yang sangat fenomenal dalam sejarah percintaan anak negeri.
“Di Bawah Lindungan
Ka’bah” difilmkan, diproduksi pada tahun 1978 dan disutradarai oleh Asrul Sani
dengan pemain utama Camelia Malik dan Cok Simbara. Pada tahun 2011 dirilis yang
berjudul sama dan disutradarai oleh Hanny R. Saputra yang dibintangi Laudya
Cynthia Bella sebagai Zainab, Herjunot Ali sebagai Hamid, Didi Petet sebagai
Haji Ja’far, Widyawati sebagai nyonya Ja’far, Jenny Rachman sebagai ibu kandung
Hamid.
ROMAN TENGGELAMNYA
KAPAL VAN DER WIJK
Seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya, untuk memajukan organisasi Muhammadiyah yang
digelutinya, Hamka bersedia menjadi guru Muhammadiyah di Makasar sekitar tahun
1931 sampai 1934. Pada tahun 1932, Hamka menjadi editor dan menerbitkan majalah
Al-Mahdi di Makassar. Selanjutnya Hamka menjadi Pemimpin Redaksi di Pedoman
Masyarakat tahun 1936-1943 di Medan.
Di Medan ini, pada era
30an , karya-karya Hamka mulai terkenal dan ditunggu para penggemarnya.
Beberapa roman/novel yang terkenal pada masa itu, Laila Majnun (1932), Di Bawah
Lindungan Ka’bah (1936), dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937). Novelnya
lain yang terkenal adalah Merantau ke Deli (1940). Novel-novelnya menjadi buku
sastra wajib di Malaysia dan Singapura. Pengaruh Hamka masih terjaga di kedua
negara itu. Karya-karya besar Hamka lain Keadilan Illahi (1939), Tuan Direktur
(1939), dijemput Mamaknya (1939), Tashawwuf Modern (1939), Falsafah Hidup
(1939), Lembaga Hidup (1940) dan Lembaga Budi (1940).
Pada waktu menulis
roman/novelnya ini, kehidupan Hamka tidak lagi sendirian, karena pada tanggal 5
April 1929, beliau dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang
merupakan anak dari salah satu saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya
dengan Siti Raham, ia dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam,
Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib.
Setelah istrinya meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada
tahun 1973, ia menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah.
Menjelang akhir hayatnya ia mengangkat Jusuf Hamka, seorang muallaf, peranakan
Tionghoa-Indonesia sebagai anak.
Di antara roman/novel
Hamka yang terkenal adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Pertama kali
diterbitkan sebagai cerita bersambung dalam Majalah Islam Mingguan Hamka di
Medan, Pedoman Masjarakat. Menurut Yunan Nasution, salah satu karyawan majalah
tersebut, ketika majalah itu dikirimkan ke Kutaraja, Aceh (kini Banda Aceh),
banyak pembaca yang telah menunggu di stasiun kereta api agar bisa membaca bab
berikutnya secepat mungkin. Hamka juga menerima surat dari beberapa pembaca,
yang beranggapan bahwa novel itu mencerminkan kehidupan mereka.
Setelah mendapat
sambutan yang hangat itu, Hamka memutuskan untuk menerbitkan Van Der Wijck
sebagai novel dengan usaha penerbitan milik temannya, M. Syarkawi; dengan menggunakan
penerbit swasta, Hamka tidak dikenakan sensor seperti yang berlaku di Balai
Pustaka. Cetakan kedua juga dengan penerbit Syarkawi. Lima cetakan berikutnya,
mulai pada tahun 1951, dengan Balai Pustaka. Cetakan ke delapan pada tahun
1961, diterbitkan oleh Penerbit Nusantara di Jakarta; hingga tahun 1962, novel
ini telah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Cetakan setelah itu kemudian
diterbitkan oleh Bulan Bintang. Novel Hamka ini juga pernah diterbitkan di
Malaysia beberapa kali.
Kritikus sastra
Indonesia beraliran sosialis, Bakri Siregar menyebut Van Der Wijck sebagai
karya terbaik Hamka. Kritikus lain, Maman S. Mahayana, berpendapat bahwa novel
ini mempunyai karakterisasi yang baik dan penuh ketegangan; Maman beranggapan
bahwa ini mungkin karena novel ini awalnya diterbitkan sebagai cerita
bersambung.
Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck berkisah tentang percintaan antara Zainuddin, laki-laki berayah
Minang beribu Bugis, dan Hayati, perempuan yang murni keturunan Minang.
Dalam novel ini, Hamka
menyatakan ketidaksetujuan terhadap beberapa tradisi dalam adat Minang,
terutama mengenai diskriminasi terhadap orang keturunan campuran yang dilakukan
oleh masyarakat pada saat itu. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lebih dikenal
dengan singkatan Hamka ini memang Muslim asal Minangkabau yang dibesarkan dalam
kalangan keluarga yang taat beragama. Ia memandang tradisi yang ada dalam
masyarakat di sekitarnya sebagai penghambat kemajuan agama, sebagaimana
pandangan ayahnya, Abdul Karim Amrullah.
Zainuddin adalah anak
yatim piatu. Ayahnya yang berasal dari kalangan Minang, meninggal dalam
pengasingan setelah membunuh kerabatnya karena masalah warisan; sedangkan
ibunya yang bukan Minang meninggal sebelumnya. Zainuddin tinggal bersama teman
ayahnya, Mak Base di Batipuh, Sumatera Barat. Sebagai orang blasteran, banyak
diskriminasi yang ditujukan kepadanya mengingat konservatifnya masyarakat
Minang pada saat itu. Biarpun Zainuddin mencintai Hayati, putri dari bangsawan
Minang, Zainuddin tidak diperbolehkan untuk bersamanya. Karena itu, Zainuddin
kemudian memutuskan pindah ke Padangpanjang, tetapi tetap melakukan
surat-menyurat dengan Hayati.
Suatu hari, Hayati
berkunjung ke Padangpanjang untuk menjumpai Zainuddin. Hayati menginap dengan
sahabatnya, Khadijah. Namun, kakak Khadijah, Aziz mulai jatuh cinta dengan
Hayati, sehingga Aziz dan Zainuddin harus bersaing untuk memenangkan cinta
Hayati. Aziz, yang murni keturunan Minang dan berasal dari keluarga terpandang,
lebih disukai keluarga Hayati; mereka meremehkan Zainuddin, yang blasteran dan
miskin. Biarpun Zainuddin mendapatkan warisan yang cukup besar dari Mak Base,
Zainuddin hanya bisa menyampaikan hal itu setelah Hayati menikah dengan Aziz.
Karena putus asa,
Zainuddin dan temannya Muluk pergi ke Jawa, tinggal pertama kali di Batavia
sebelum akhirnya pindah ke Surabaya. Di perantauan, Zainuddin menjadi penulis
yang terkenal. Pada saat yang sama, Aziz juga pindah ke Surabaya bersama Hayati
karena alasan pekerjaan. Namun, hubungan mereka tidak lagi berjalan dengan
baik. Setelah Aziz dipecat, mereka terpaksa menginap di rumah Zainuddin. Ketika
Aziz menyadari bahwa Zainuddin lebih pantas untuk Hayati, Aziz memutuskan untuk
pergi ke Banyuwangi; dalam sepucuk surat, Aziz menyatakan telah mengikhlaskan
Hayati untuk Zainuddin.
Zainuddin, yang merasa
tersiksa karena kerinduannya akan Hayati, menolak perempuan itu untuk tetap di
rumahnya dan menyuruhnya agar pulang ke Batipuh. Hari berikutnya, Hayati pergi
dengan menaiki kapal Van Der Wijck, yang kemudian tenggelam di pesisir utara
pulau Jawa. Setelah mendengar berita itu, Zainuddin dan Muluk pergi ke Tuban
untuk mencari Hayati, yang ternyata telah berada di rumah sakit. Di rumah sakit
itu, Hayati meninggal setelah berbaikan dengan Zainuddin. Zainuddin pun jatuh
sakit dan akhirnya meninggal. Mereka kemudian dikebumikan secara bersebelahan.
SAYA MARAH HAMKA
DIBILANG PLAGIATOR
Ketika saya melihat
buku “Aku Mendakwa Hamka Plagiat – Skandal Sastra Indonesia 1962-1964, yang
terbit bulan September 2011 setebal 238 halaman, penerbit Seripa Manent &
Merakesumba, saya langsung membacanya.
Saya tidak mengerti
mengapa buku ini diterbitkan. Apa maksud penulis Muhidin M. Dahlan
mengungkapkannya lagi di hadapan khalayak. Saking memendam amarah, saya
mengatakan tidak seorang pun mengenal siapa sebenarnya di penulis tersebut,
karena identitasnya tidak ada bahkan banyak di antaranya meraba-raba siapa
Muhidin M. Dahlan. Menurut saya ini sudah merupakan kelemahan dari sebuah buku.
Tidak ada tanggung jawab di dalamnya.
Ternyata tulisan saya
di facebook itu hanyalah sebuah pancingan atau sebuah trik, karena saya
menganggap apa manfaatnya buat generasi muda mengungkit kembali hal-hal yang
masih abu-abu di masa itu. Belum jelas dan masih dalam polemik. Ternyata dugaan
saya benar, dan kemudian barulah saya menulis untuk kedua kalinya berjudul:
“Inilah Inti Tulisan Tentang Hamka.”
Trik-trik seperti ini
saya pelajari dari Burahanudin Mohamad Diah (B.M. Diah) ketika saya menulis
buku beliau “Butir-butir Padi B.M. Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman
(Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992), mengatakan: “Bung Dasman, jika ingin
mengetahui siapa lawan kita sebenarnya, biarkan dia ke luar dulu dari
sarangnya.” B.M. Diah adalah tokoh pers, diplomat dan pada malam 17 Agustus
1945 ikut hadir bersama Bung Karno-Hatta menyaksikan penyusunan naskah
proklamasi di Rumah Laksamana Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang. Beliau juga
berpengalaman berpolemik antara surat kabarnya Harian Merdeka dengan Harian
Rakjat, Juni-Juli 1964.
Harian Merdeka
merupakan Koran Perjuangan lahir 1 Oktober 1945 dan sangat anti Partai Komunis
Indonesia (PKI). Hamka pernah menjadi koresponden Harian Merdeka. Sementara
Harian Rakjat lahir pada 1951, media resmi Partai Komunis Indonesia itu
berkantor di Jalan Pintu Besar Nomor 93, Jakarta, dengan direksi/penanggung
jawab/redaksi Mula Naibaho. Wakil Ketua II CC PKI, Njoto, menjadi pemimpin
redaksi media ini dan Supeno, menjadi anggota dewan redaksinya. Njoto sering
menulis editorial, pojok atau kolom.
Buku tulisan Muhidin M.
Dahlan ini hanya mengulang peristiwa bulan September 1962 yang menuduh Hamka
sebagai plagiat dalam novelnya “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” (1938) dan
sudah dicetak sebanyak 80 ribu eksemplar. Hamka dituduh melakukan plagiat dari
novel “Magdalena” yang merupakan saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi
(1876-1942) dari roman yang ditulis pengarang Perancis Alphonse Karr, “Sous les
Tilleuls”.
Saya menulis lagi:
“Perlu kita pahami polemik di sekitar tahun itu (1962-1964) tidak murni lagi
polemik sebagaimana seorang ilmuwan. Polemik sudah mengarah ke fitnah, adu
domba, sebagaimana sifat warga komunis di Indonesia yang benci dengan Islam.
Perlu diketahui bahwa Hamka seorang Muslim sejati. Tidak hanya itu, PKI juga
waktu itu menginginkan agar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan. Jadi
persoalannya bukan sebatas dunia sastra, tetapi sudah mengarah ke perbedaan
yang amat jelas antara PKI dan Islam. Jadi tidak ada yang baru dengan buku ini,
polemik ini sudah dihentikan di saat-saat pecahnya Pemberontakan PKI tahun
1965. Saya sependapat dengan pernyataan H.B. Jassin: “Pada Hamka ada pengaruh
Al-Manfaluthi. Ada garis-garis persamaan tema, plot dan buah pikiran, tapi
jelas Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri… maka
adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang
copet di Senen.”
Jassin juga menegaskan
bahwa novel Tenggelamnya Van Der Wijck membahas masalah adat Minang, yang tidak
mungkin ditemukan dalam suatu karya sastra luar. Kritikus sastra asal Belanda,
A. Teeuw menyatakan bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sesungguhnya
mempunyai tema yang murni dari Indonesia.
Awal tahun 1963, dunia
sastra kita memang digemparkan oleh dua surat kabar Harian Ibukota: Harian
Rakjat dan Harian Bintang Timur. Kedua koran milik Komunis ini menyiarkan di
halaman pertama dengan berita “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck hasil jiplakan
oleh pengarang Hamka”. Ulasan berita itu dilansir oleh seorang penulis bernama
Ki Panji Kusmin. Sedangkan di harian Bintang Timur dalam lembaran Lentera, juga
memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang
Alfonso Carr, pujangga Prancis. Lembaran Lentera ini diasuh oleh Pramudya
Ananta Toer.
Dalam buku “Kisah Abadi
Bersama Ayahku Hamka,” yang ditulis oleh puteranya Hamka, dinyatakan:
“Berbulan-bulan lamanva
kedua koran komunis ini menyerang ayah dengan tulisan-tulisan berbau fitnah,
juga menyerang secara pribadi. Aku lihat ayah tenang-tenang saja menghadapi
segala hujatan dari Ki Panji Kusmin dan Pramudya Ananta Tur itu. Penulis waktu
itu sekolah di SMAN IX merasakan tekanan batin juga. Guru Sastra lndonesiaku
seorang guru PGRI Vak Sentral begitu pula dengan guru civicku dengan gaya
mengejek selalu menanyakan kesehatan ayah dan tidak lupa berkirim salam.
Kupingku terasa panas bila kedua guruku itu bertanya kepadaku. Begitu pula
halnya dengan saudara-saudaraku yang lain. Apalagi membaca kedua koran yang sengaja
dikirim ke rumah secara gratis.”
Selanjutnya Irfan Hamka
menulis: “PKI melakukan usaha kudeta tanggal 30 September 1965 namun gagal.
Dalam usaha kup itu 6 jenderal dan 1 perwira gugur dibunuh PKI. Akibat
kegagalan kup PKI itu, kedua guru SMA-ku itu diberhentikan sebagai guru dan
pegawai negeri, dan Pramudya Ananta Tur ditahan di Pulau Buru. Bertahun-tahun
kemudian Pramudya Ananta Tur dibebaskan, kemudian melakukan kegiatan lagi. Ayah
tidak pernah berhubungan dengan tokoh Lekra yang tidak pernah bosan menyerang
ayah di kedua koran Komunis itu. Suatu hari, ayah kedatangan sepasang tamu. Si
perempuan orang pribumi, sedang laki-lakinya seorang keturunan Cina. Kepada
ayah si perempuan memperkenalkan diri. Namanya Astuti, sedangkan si laki-laki
bernama Daniel Setiawan. Ayah agak terkejut ketika Astuti menyatakan bahwa dia
anak sulung Pramudya Ananta Tur. Astuti menemani Daniel menemui ayah untuk
masuk Islam sekaligus mempelajari agama Islam. Selama ini Daniel non muslim.
Pramudya tidak setuju anak perempuannya yang muslimah nikah dengan laki-laki
yang berbeda kultur dan beragama lain.”
“Hanya sebentar ayah
berpikir. Tanpa ada sedikitpun keraguan permohonan kedua tamu itu dikabulkan
oleh ayah. Daniel Setiawan calon menantu Pramudya Ananta Tur langsung diislamkan
oleh ayah dengan menuntunnya membaca dua kalimat syahadat. Ayah menganjurkan
Daniel berkhitan dan menjadwalkan untuk memulai belajar agama Islam kepada
ayah. Dalam pertemuan dengan putri sulung Pramudya dan calon menantunya itu
ayah tidak ada sama sekali berbicara masalah Pramudya dengan ayah yang pernah
terjadi berselang lama waktu itu. Ayah betul-betul telah dihancurkan nama
baiknya oleh Pramudya Ananta Tur melalui corong Komunis di Harian Bintang Timur
dan Harian Rakyat.”
Kembali Irfan Hamka
menulis: “Salah seorang teman Pramudya bernama Dr. Hudaifah Kuddah menanyakan
kepada Pramudya alasan tokoh Lekra ini mengutus calon menantunya menemui Hamka.
Dengan serius Pram menjawab: “Masalah paham kami tetap berbeda. Saya ingin
putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih
mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada
Hamka. Dialah seorang ulama yang terbaik.”
Menurut Dr. Hudaifah
yang tertuang dalam majalah Horison, Agustus 2006, secara tidak langsung
tampaknya Pramudya Ananta Tur dengan mengirim calon menantu ditemani anak
perempuan seakan minta maaf atas perilakunya memperlakukan ayah di Harian
Bintang Timur dan Harian Rakyat. Dan secara tidak langsung pula ayah memaafkan
Pramudya Ananta Tur dengan bersedia mengislamkan dan memberi pelajaran agama
Islam kepada sang calon menantu.
HAMKA DAN NATSIR
Perjuangan Hamka
terhadap bangsa dan negaranya, tidak ada bedanya dengan perjuangan Soekarno,
Hatta, Sjahrir dan para pejuang kemerdekaan lainnya. Hanya karena lahir di
lingkungan yang taat pada Agama Islam, sehingga apa yang diperjuangkannya
sesuai dengan syariat-syariat Islam.
Selama pendudukan
Jepang, Hamka sudah mempertahankan bangsa ini melalui Majalah ‘Semangat Islam’
yang terbit di tahun 1943. Juga melalui pidato-pidato dan ikut bergerilya di
hutan-hutan Sumatera Timur. Setelah kemerdekaan, Hamka pun gigih membantu
menentang agar Belanda tidak kembali menjajah Indonesia. Tahun 1947 diangkat
menjadi Ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia.
Di dalam Islam memang
telah dulu diajarkan mengenai cinta kepada tanah air. Di dalam bahasa arab
sering kita jumpai kalimat-kalimat yang mengarahkan ke sana, salah satunya
kalimat yang artinya, “Apabila engkau ingin mengenal pribadi seseorang, maka
perhatikan bagaimana kecintaan dan kepeduliannya kepada tanah air tumpah
darahnya.” Juga di dalam Alquran, Surat Al-Baqarah Ayat 126, Allah berfirman:
“Dan ingatlah ketika Nabi Ibrahim a.s., berdoa, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri
ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman di antara mereka, kepada Allah dan hari kemudian.”
Dalam ayat ini jelas
menunjukkan bagaimana wujud cinta Nabi Ibrahim kepada tanah airnya dengan
mendoakannya dalam tiga hal: menjadi negeri yang aman sentosa, penduduknya
dilimpahi rezeki, dan penduduknya beriman kepada Allah dan hari akhir. Tidaklah
Nabi Ibrahim a.s., mendoakan seperti itu kecuali di hatinya telah tumbuh
kecintaan terhadap negerinya.
Di dalam perjuangan,
Hamka telah memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Itu sebabnya beliau menjadi
anggota Sarekat Islam, Muhammadiyah dan terakhir memasuki Partai Masyumi atau
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), salah satu partai politik yang
bernapaskan Islam. Hamka menganut paham Nasionalis-Agamis. Hal ini bisa dilihat
dari novel-novelnya yang ditulisnya seperti “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,”
terlihat jelas suatu tema bahwa bangsa-bangsa di Indonesia adalah sederajat,
Bugis dan Minangkabau, bagaimana konflik itu diselesaikan secara religius.
Kehadiran tokoh Zainuddin, agaknya sebuah simbol kehadiran Indonesia. Jadi
kalaulah harus berbicara nasionalisme, nasionalisme Hamka tidak fanatik atau
chauvinistic.
Memang dalam masa-masa
perjuangan, waktu Hamka banyak tersita, sehingga beliau kembali aktif menulis
buku setelah kemerdekaan Indonesia. Dia berhasil menulis beberapa buku dan juga
mendirikan majalah baru ‘Menara’. Buku-buku yang tulisnya ‘Negara Islam’ (1946),
‘Islam dan Demokrasi’ (1946), ‘Revolusi Pikiran’ (1946), ‘Revolusi Agama’
(1946), ‘Muhammadiyah Melalui 3 Zaman’ (1946), ‘Adat Minangkabau Menghadapi
Ombak’ (1946), ‘Didalam Lembah Cita-Cita’ (1946), ‘Sesudah Naskah Renville’
(1947), ‘Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret’ (1947), dan ‘Menunggu Beduk
Berbunyi’ (1949). Tahun 1947 Hamka dipercaya sebagai anggota Konstituante unsur
Masyumi.
Suatu ketika Hamka
menghadapi dilema ketika harus memilih jalan hidup sebagai Pegawai Tinggi Agama
yang telah diangkat oleh Menteri Agama Indonesia atau tetap sebagai politikus
Masyumi. Akhirnya Hamka memilih meninggalkan jabatan sebagai Pegawai Tinggi
Agama dan lebih memilih sebagai politikus Masyumi.
Di awal-awal
kemerdekaan merupakan awal mencari jati diri bangsa. Hendak kemana bangsa ini
diarahkan, karena Indonesia baru saja merdeka. Kemudian apakah Indonesia
didirikan atas kerajaan, republik dan menganut ajaran-ajaran Islam, kebangsaan
dan lain-lain. Oleh karena itu tidak mengherankan perdebatan-perdebatan ideologis
terjadi ketika berlangsung sidang Konstituante untuk merumuskan Undang-Undang
Dasar Baru sejak 10 November 1956. Anggota sidang diwarnai oleh anggota-anggota
partai yang menang dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Pertama di Indonesia tanggal
29 September 1955. Hasil Pemilu yang baru diumumkan tanggal 1 Maret 1956
menempatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang semula tidak diperhitungkan,
berhasil menduduki posisi ke empat dalam jumlah pengumpulan suara untuk
Parlemen (DPR). Posisi pertama diraih Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan
jumlah suara 22,1 persen, Masyumi, 20,9 persen, NU, 18,4 persen dan PKI, 16,3
persen.
Sudah tentu berbicara
mengenai Masyumi, berbicara kedekatan Hamka sebagai anggota dengan Ketua Umum
Masyumi, Mohammad Natsir, yang sama-sama anggota Konstituante dan sama-sama
berasal dari Sumatera Barat. Keakraban ini bisa kita saksikan setelah Hamka
pada 13 November 1957 mendengar uraikan pidato Natsir yang menawarkan dengan
tegas kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai Dasar Negara RI,
Hamka langsung menulis puisi khusus untuk Natsir:
KEPADA SAUDARAKU M.
NATSIR
Meskipun bersilang
keris di leher
Berkilat pedang di
hadapan matamu
Namun yang benar kau
sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah
lahir
Bongkar apinya sampai
bertemu
Hidangkan di atas
persada nusa
Jibril berdiri sebelah
kananmu
Mikail berdiri sebelah
kiri
Lindungan Ilahi
memberimu tenaga
Suka dan duka kita
hadapi
Suaramu wahai Natsir,
suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir
kemana kita lagi
Ini berjuta kawan
sepaham
Hidup dan mati
bersama-sama
Untuk menuntut Ridha
Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu…!
MASYUMI RAPATKAN
BARISAN HADAPI PKI
Setelah Hamka membuat
puisi kepada Natsir, dua tahun kemudian Natsir pun membalas puisi Hamka. Begini
bunyinya:
Saudaraku Hamka,
Lama, suaramu tak
kudengar lagi
Lama…
Kadang-kadang,
Di tengah-tengah si
pongah mortir dan mitralyur,
Dentuman bom dan meriam
sahut-menyahut,
Kudengar, tingkatan
irama sajakmu itu,
Yang pernah kau
hadiahkan kepadaku,
Entahlah, tak kunjung
namamu bertemu di dalam “Daftar”.
Tiba-tiba,
Di tengah-tengah
gemuruh ancaman dan gertakan,
Rayuan umbuk dan umbai
silih berganti,
Melantang menyambar api
kalimah hak dari mulutmu,
Yang biasa bersenandung
itu,
Seakan tak terhiraukan
olehmu bahaya mengancam.
Aku tersentak,
Darahku berdebar,
Air mataku menyenak,
Girang, diliputi syukur
Pancangkan!
Pancangkan olehmu,
wahai Bilal!
Pancangkan
Pandji-pandji Kalimah Tauhid,
Walau karihal kafirun…
Berjuta kawan sefaham
bersiap masuk
Kedalam “daftarmu”…
Dua pantun atau sajak
Hamka dan Natsir ini menggambarkan situasi dan kondisi pada waktu itu, untuk
tetap memperjuangkan Islam sebagai jalan hidup bangsa dan negara RI. Di samping
sudah tentu menghadang pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang secara mengejutkan
masuk menjadi empat besar dalam Pemilihan Umum 1955. Meski pada saat bersamaan
hasil Pemilu juga menunjukkan kepercayaan besar bangsa Indonesia kepada
partai-partai Islam, khususnya Masyumi yang memperoleh suara kedua terbesar
setelah PNI.
Setelah Pemilu 1955,
Pemerintah RI menganggap sudah sepatutnya dibuat UUD Baru karena UUD 1945
bersifat sementara, sebagaimana dinyatakan Soekarno dalam rapat pertama tanggal
18 Agustus 1945, yang menyatakan. “…tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa
Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar
Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan ‘ini adalah undang-undang daar
kilat’, nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana yang lebih tenteram,
kita tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang dapat membuat undang-undang dasar
yang lebih lengkap dan sempurna…”. Dari ungkapan Soekarno tersebut dapat
disimpulkan bahwa UUD 1945 dibuat dengan tergesa-gesa karena untuk melengkapi
kebutuhan berdirinya negara baru yaitu Indonesia.
Pada tanggal 10
November 1956 berdasarkan hasil Pemilu 1955 diselenggarakanlah Sidang
Konstituante untuk merumuskan UUD Baru. Ada tiga ideologi yang ditawarkan untuk
menjadi UUD Baru, yaitu Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi. Tawaran ini
diajukan karena desakan-desakan dari anggota parlemen yang menang setelah
Pemilu 1955. Jadi pemilihan Islam sebagai Dasar Negara RI tidak dicari-cari
tetapi ditawarkan oleh Pemerintah RI, karena berdasarkan hasil kepercayaan
rakyat terhadap partai-partai Islam, terutama Masyumi dalam pemilu yang bersih,
jujur dan terbuka itu.
Partai-partai Islam ini
sudah tentu tidak lupa pula mengenai sejarah lahirnya Piagam Jakarta sebelum
kemerdekaan, yaitu pada 22 Juni 1945 (…membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia… dengan berdasar kepada: “keTuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan
sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja”). Meski pun kalimat-kalimat ini sudah
dihilangkan dalam UUD 1945, tetapi terdapat nama-nama penting yang
menandatanganinya seperti Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno
Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim
dan Muhammad Yamin. Karena sembilan orang disebutlah dengan Panitia Sembilan.
Oleh karena itu
terjadilah perdebatan panjang dalam sidang Konstituante. Pada akhirnya Masyumi
dan partai-partai Islam lainnya gagal menggolkan konsep Islam sebagai landasan
Undang-Undang Dasar Baru karena Pancasila lebih unggul setelah PKI ikut sebagai
salah satu pendukung. Dukungan ini menjadi salah satu penentu utama mengapa
Pancasila memperoleh suara terbesar. Tanpa itu, perolehan pendukung ideologi
Pancasila sulit melebihi suara yang diperoleh pendukung ideologi Islam. Ini
menambah kecemasan partai-partai Islam terhadap PKI yang sejak awal sudah
berseberangan ideologi. Sehingga Sidang Konstituante tetap saja mengalami jalan
buntu. Partai-partai Islam, lebih lebih Masyumi, di mana Hamka dan Natsir duduk
di dalamnya terus memperjuangkan ideologi Islam.
Bayangkan sudah dua
setengah tahun berjalan, sidang Konstituante tidak mampu mewujudkan rumusan
Undang-Undang Dasar Baru. Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno
mengajukan usul dalam Sidang Konstituante untuk kembali ke UUD 1945. Usul itu
sudah tentu tidak langsung dapat diterima, sehingga Soekarno terpaksa melakukan
cara lain, yaitu begitu kembali dari perjalanan ke Jepang, pada tanggal 5 Juli
1959, dia mengambil tindakan penuh resiko, yaitu dengan mengeluarkan sebuah
Dekrit untuk kembali ke UUD 1945.
Sejak Dekrit tersebut,
bangsa Indonesia mengalami Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) hingga
berakhirnya kekuasaan Soekarno yang berlangsung enam tahun. Ketidakpuasan suara
ummat Islam, terutama Masyumi yang memperoleh kepercayaan besar dari rakyat
dalam Pemilu 1955 terabaikan, sehingga para pimpinan Masyumi, termasuk Hamka
mulai berseberangan dengan Presiden Soekarno.
DIFITNAH MELAKUKAN
MAKAR, HAMKA DITAHAN
Di era 1950-an walau
Hamka terlibat langsung dalam kegiatan Partai Masyumi, tetapi jiwa sastranya
tidak bisa dipadamkan. Bahkan produktivitasnya dalam menulis menghasilkan
banyak buku.
Di antara buku-buku
Hamka, yaitu Ayahku (1950), Mandi Cahaya di Tanah Suci (1950), Mengembara di
Lembah Nil (1950), Ditepi Sungai Dajlah (1950), Kenang-Kenangan Hidup 1, 2, 3,
4, autobiografi sejak lahir 1908 sampai tahun 1950 (1950), Sejarah Umat Islam 1,
2, 3, 4 (1950), 1001 Soal Hidup (1950), Keadilan Sosial dalam Islam (1950)
Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad (1952), Empat Bulan di Amerika 1,2
(1953), Lembaga Hikmat (1953), Pelajaran Agama Islam (1956).
Pada era 1950an ini
juga, Hamka dipercaya memegang beberapa jabatan di berbagai intansi baik swasta
maupun pemerintahan. Saat itu dipercaya sebagai pengajar di Universitas Islam
Jakarta, Universitas Muhammadiyah Padangpanjang dan diangkat sebagai Rektor
Profesor Dr. Mustopo Jakarta. Karena karya-karya dan jasa-jasanya terhadap
Islam. Pada tahun 1958, Hamka mendapat gelar Doktor Honouris Causa dari
Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Dalam pidatonya yang mengangkat tentang
pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia.
Dekrit yang dikeluarkan
Presiden Soekarno, 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945 merubah sistem
pemerintahan dari Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin. Masa ini
merupakan masa tersulit bagi perjuangan bangsa dan negara. Sulitnya karena pada
waktu itu Soekarno tidak lagi berdampingan dengan Hatta sehingga memberi
peluang kepada Soekarno untuk melaksanakan gagasan Demokrasi Terpimpin tanpa
kritikan dari pihak mana pun.
Di pihak lain, PKI
semakin leluasa mempengaruhi Soekarno. Apalagi sebelumnya ketika pada 21
Februari 1957, Soekarno berpidato, secara terus terang mengatakan bahwa dirinya
menginginkan agar kaum komunis ikut serta di dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Pada waktu itulah di Sumatera Barat muncul apa yang dinamakan
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang mengingatkan Soekarno
tidak terlalu dekat dengan PKI dan meminta Bung Hatta kembali menjadi Wakil
Presiden RI (baca kembali tulisan bersambung tentang Ahmad Husein di
Koran-Cyber.com—red).
Banyak para pimpinan
Masyumi ditahan karena dikaitkan dengan PRRI ini. Akhirnya berdasarkan
Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960, maka pada tanggal 17 Agustus 1960,
Pemerintah membubarkan Partai Politik Masyumi. Berakhirlah sudah era kejayaan
Partai Masyumi yang memperoleh dukungan rakyat kedua terbesar setelah PNI dalam
Pemilu 1955.
Pada tahun 1964, sudah
beredar kabar bahwa para ulama dan pemuka umat Islam, terutama tokoh-tokoh
Masyumi, akan segera ditangkap. Hamka sendiri merasa dirinya bukan tokoh politik,
karena memang kurang tertarik pada politik. Dalam urusan politik, beliau
memercayakan pandangannya pada sahabatnya, Natsir. Meskipun tidak punya jabatan
tinggi di Masyumi, namun beliau dikenal luas sebagai juru kampanye dan orator
andalan partai itu.
Ketika beredar kabar
bahwa tokoh-tokoh eks Masyumi dan para ‘penentang pemerintah’ akan ditangkap,
sikap Hamka relatif tenang, karena tidak merasa sebagai tokoh penting di
Masyumi, dan juga tidak merasa sebagai penentang pemerintah.
Yang diisukan itu akhirnya
terjadi juga. Pagi itu, Hamka baru saja pulang sehabis mengisi pengajian
ibu-ibu. Sesampainya di rumah, beliau beristirahat sejenak, sementara Siti
Raham, istrinya, tidur di kamar karena sedang tidak sehat. Sekonyong-konyong
datanglah beberapa orang polisi berpakaian preman yang menunjukkan surat
perintah penangkapan terhadap dirinya. “Jadi saya ditangkap?” ujar Hamka yang
masih diliputi keheranan, berkata pelan-pelan agar tidak mengejutkan istrinya.
Rusydi, anak beliau, membereskan pakaian secukupnya untuk beliau bawa.
Suara gaduh akhirnya
membangunkan sang istri yang juga tidak tahu mesti berkomentar apa menanggapi
penangkapan itu. Hamka hanya merangkul bahunya, menghiburnya agar tetap tegar.
Kepada istri dan anak-anaknya, Hamka berpesan bahwa insya Allah penangkapannya
takkan lama, karena ia sendiri merasa tak pernah berbuat salah. Tidak ada
informasi ke mana beliau dibawa, hanya ada pesan bahwa keluarganya boleh
menghubungi Mabes Polri untuk informasi lebih lanjut. Maka dibawalah Hamka ke
dalam sebuah mobil yang segera melesat, entah ke mana. Setelah mobil menghilang
dari pandangan, pingsanlah Siti Raham.
Selama beberapa waktu
lamanya, tidak ada kabar sama sekali tentang Hamka. Tidak ada yang tahu di mana
beliau ditahan, apa tuduhannya, bahkan masih hidup atau tidaknya pun entah.
Sampai akhirnya ada berita bahwa keluarga boleh mengunjunginya di Sukabumi,
barulah istri dan ke sepuluh anaknya dapat bertemu. Di bawah pengawasan para
penjaga yang berwajah sangar, Hamka sempat menyelundupkan pesan ke salah satu
anak laki-lakinya, “Para penjaga ini sama dengan Gestapo Nazi!” Secarik surat
juga sempat disisipkan untuk dibaca oleh keluarganya di rumah.
Terkejutlah keluarganya
membaca pesan Buya, sebagaimana Buya juga terkejut ketika pertama kali
interogatornya memberi tahu tuduhan-tuduhan yang ditimpakan kepada dirinya.
Terlibat dalam rapat rahasia menggulingkan Presiden, menerima uang empat juta
(tidak jelas mata uangnya) dari Perdana Menteri Malaysia, memberikan kuliah
yang bersifat subversif, dan berbagai kejahatan lainnya.
Dalam penahanan, sudah
tak ada lagi gelar ulama, bahkan para interogator tidak ada yang memanggilnya
Buya, meskipun seluruh warga Indonesia sudah biasa dengan sebutan itu. Dari
hari ke hari, beliau diinterogasi dengan kata-kata kasar dan penuh hinaan,
hingga suatu hari pernah beliau tergoda untuk melakukan perlawanan, namun
dibatalkannya setelah menyadari bahwa hal itu hanya akan membuat keadaan
menjadi lebih buruk.
Tuduhan-tuduhan yang
ditimpakan padanya murni dibuat-buat, karena pada tanggal terjadinya rapat
gelap tersebut (jika memang rapat itu ada) beliau tengah menghadiri sebuah
acara besar yang dihadiri banyak orang, dan beliau pun berbicara pada acara
itu, disaksikan semua orang. Dalam kuliah yang diberikannya itu, sama sekali tak
ada unsur subversif.
Bahkan dalam kuliah itu
Hamka mengatakan bahwa cara-cara yang telah ditempuh Daud Beureueh telah gagal,
karena itu jangan gunakan lagi cara yang sama. Tempuhlah cara-cara damai untuk
menyebarkan ajaran Islam di negeri ini. Satu dari mahasiswa yang menghadiri
kuliah tersebut ternyata menjadi mata-mata dan melaporkan ucapan Hamka dengan
tidak utuh.
MAHKOTA BAGI SEORANG
SASTRAWAN
Ketika tahun 1992 B.M.
Diah mengatakan kepada saya, “Bung Dasman, bertemunya saya dengan Mikhail
Gorbachev, pemimpin Uni Soviet di Moskwa merupakan puncak karier saya sebagai
wartawan, Mahkota bagi Seorang Wartawan. Saya juga menyebut ketika Hamka
ditahan, beliau menemukan puncak kariernya sebagai sastrawan, Mahkota bagi
Seorang Sastrawan, sekaligus Mahkota bagi Seorang Ulama.
Mengapa demikian?
Karena Hamka di dalam tahanan berhasil menulis sebuah buku yang menurut beliau
tulisan terbaiknya yang diberi judul “Tafsir Al-Azhar”. Buku ini sampai
sekarang menjadi acuan tidak hanya di Indonesia, juga di Malaysia, Singapura,
Thailand Selatan, Brunei dan Thailand Selatan. Pengakuan itu diperkuat dengan
pidato Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak yang mengatakan bahwa Hamka
bukan hanya milik bangsa Indonesia saja tetapi kebanggaan bangsa-bangsa Asia
Tenggara.
Waktu menulis Tafsir
Al-Azhar, Hamka memasukkan beberapa pengalamannya saat berada di tahanan. Salah
satunya berhubungan dengan ayat 36 Surah az-Zumar, “Bukankah Allah cukup
sebagai Pelindung hamba-Nya…”. Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba
Allah yang beriman dan Allah lah jadi pelindung sejati.
Sehubungan dengan
maksud ayat di atas, Hamka menceritakan pengalaman beliau dalam tahanan di
Sukabumi, akhir Maret 1964. Berikut kutipan lengkapnya: “Inspektur polisi yang
memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke
atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke
dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas
lalu saya menyangka bahwa itu adalah sebuah tape recorder buat menyadap
pengakuan saya.”
“Dia masuk dengan muka
garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya menunggu dengan penuh tawakal
kepada Tuhan dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang
garang itu melihat saya dan saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba kegarangan
itu mulai menurun.”
“Setelah menanyakan
apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan
lain tentang penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya
dan dia berkata, biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah
dahulu malam ini, ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.
Setelah dia agak jauh,
masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya
baru kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah jelas
tidak ada orang yang melihat, dia bersalaman dengan saya sambil menangis,
diciumnya tangan saya, lalu dia berkata, Alhamdulillah bapak selamat!
Alhamdulillah! Mengapa, tanya saya. Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M itu
adalah setrum. Kalau dikontakkan ke badan bapak, bapak bisa pingsan dan kalau
sampai maksimum bisa mati.
Demikian jawaban polisi
muda yang ditugaskan menjaga saya itu dengan berlinang air mata. Bapak sangka
tape recorder, jawabku sedikit tersirap, tetapi saya bertambah ingat kepada
Tuhan. Moga-moga Allah memelihara diri Bapak. Ah! Bapak orang baik, kata anak
itu.
Dalam menghadapi
paksaan, hinaan, dan hardikan di dalam tahanan, Hamka selalu berserah diri
kepada Allah SWT. Termasuk ketika Inspektur M datang membawa bungkusan malam
itu, Hamka tetap dengan pendirian. Bukankah Allah cukup sebagai pelindung
hamba-Nya!
Tentang orang yang
memfitnah Hamka, akhirnya terungkaplah namanya, dan orang itu pun telah berada
di tahanan polisi (dan disiksa juga). Tidak banyak informasi yang bisa
didapatkan perihal sebab-musabab dihembuskannya fitnah itu. Yang jelas, sejak
itu, sikap para penyidik menjadi lunak. Beberapa yang tadinya kejam dan sangar
bahkan mulai memanggilnya Buya, membawakan makanan. Seorang diantaranya, yang
pernah membawa bungkusan, meminta diajari doa-doa yang biasa dibaca Buya. Buya
pun mengajarinya beberapa doa, sambil berpesan bahwa doa-doa tersebut hanyalah
tambahan saja, sedangkan yang paling utama dan tak boleh ditinggalkan adalah
shalat lima waktu.
Hamka pada awalnya
diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat
di Rumah Sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Walau pernah
dipenjarakan oleh Presiden Soekarno, Hamka tidak menaruh dendam terhadap
sahabatnya itu. Dia tetap berbuat baik dan memaafkan. Dengan pembuktian, Hamka
ikut datang melawat ke rumah duka Soekarno yang meninggal dunia pada tahun 1970
dan juga menjadi imam shalat.
Akibat Hamka mengimami
jenazah Soekarno, teman-teman beliau banyak yang menyesalkan tindakan itu. Ada
pula yang bertanya: “Apa Buya tidak dendam kepada orang yang telah membenamkan
Buya dalam penjara?”
Dengan lemah lembut
Hamka menjawab semua kritik itu. “Hanya Allah yang lebih tahu orang-orang yang
munafiq. Dan saya harus berterima kasih, karena dalam penjara, saya dapat
kesempatan menulis tafsir Al-Quran 30 juz. Satu hal lagi jangan dilupakan bahwa
almarhum Soekarno memprakarsai pembangunan 2 buah masjid yang monumental, satu
masjid Baiturrahim di Istana Merdeka. Satu lagi masjid terbesar di Asia
Tenggara, Masjid Istiqlal. Semoga ini menjadi amal yang tak terhingga untuk
Soekarno.
Selain Tafsir Al-azhar,
pada era 1960-an Hamka juga menulis beberapa buku lagi yakni Pandangan Hidup
(1960), Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri) (1963), dari Perbendaharaan Lama
(1963), Sayid Jamaluddin Al-Afhany (1965), Hak Asasi Manusia di pandang dari
Segi Islam (1968). Oleh karena itu sangat tepat bangsa ini dan dunia mengatakan
Hamka adalah Sastrawan dan Ulama Besar. Sekitar 131 buku telah ditulisnya.
Subhanallah.
HAMKA MEMAAFKAN
MOHAMMAD YAMIN
Pada tahun 1966,
bersamaan dengan hancurnya kekuasaan PKI dan pemerintahan Soekarno, Buya Hamka
dibebaskan. Semua tuduhan pada dirinya dihapuskan. Setelah peristiwa itu, tak
pernah terdengar Buya menuntut balas atas kezaliman yang telah dialaminya.
Dalam pendahuluannya
untuk Tafsir Al-Azhar, Buya mengatakan bahwa kejadian itu sangat besar
hikmahnya, karena tafsir yang hanya selesai sedikit setelah dikerjakan
bertahun-tahun ternyata bisa tuntas dalam masa dua tahun di penjara. Di penjara
itu pula Buya mendapat banyak waktu untuk melahap buku-buku yang ingin
dibacanya, dan larut dalam ibadah shalat malam dan tilawah. Buya hidup seperti
biasa, tanpa memendam dendam, bahkan sampai membuat anaknya, Rusydi, merasa
gemas bukan kepalang ketika beliau menitikkan air mata ketika mendengar
Soekarno telah wafat. Banyak orang memintanya agar tidak menshalatkan Soekarno,
akan tetapi beliau pergi juga, bahkan menjadi imam shalat jenazahnya. Begitulah
Buya Hamka.
Hamka yang bernama asli
Prof. KH. Abdul Malik Karim Amrullah itu sebelumnya juga memaafkan Mohammad
Yamin sebagaimana dikisahkan oleh putra kelima beliau, yakni KH. Irfan Hamka di
dalam bukunya “Kisah-Kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka”.
Tahun 1955 sampai 1957,
ayah adalah seorang anggota Konstituante dari Fraksi Partai Masyumi. Mr.
Mohammad Yamin dari Fraksi PNI sudah tentu berseberangan dengan ayah. Tokoh PNI
itu tidak saja marah, berlanjut menjadi benci. Walaupun kedua tokoh yang berseberangan
sama-sama dari Sumatera Barat, Mohammad Yamin tidak dapat menahan kebenciannya
kepada ayah. Baik bertemu dalam acara resmi, seminar kebudayaan dan sama-sama
menghadiri sidang Konstituante, kebencian itu tetap tak dapat dihilangkannya.
Penulis masih ingat
ketika rumah kami kedatangan tamu Buya KH. Isa Anshari. Ulama sekampung dengan
kampung kami Maninjau, beliau sudah lama bermukim di Kota Bandung. Dalam acara
makan siang, Buya KH. Isa Anshari bertanya kepada ayah, “Apa masih tetap Yamin
bersitegang dengan Hamka?”
Ayah menjawab, “Rupanya
bukan saja wajahnya yang diperlihatkan kebenciannya kepada saya, hati nuraninya
pun ikut membenci saya.”
Bertahun-tahun setelah
Dekrit ketika Soekarno kemudian membubarkan Konstituante, parlemen dan
menetapkan UUD ’45 dan Pancasila sebagai dasar negara, terjadi peristiwa yang
luar biasa. Tahun 1962, Mr. Mohammad. Yamin jatuh sakit parah dirawat di Rumah
Sakit Pusat Angkatan Darat, RSPAD. Ayah mengetahuinya dari berita koran dan
radio. Ayah menerima telepon dari Bapak Chairul Saleh, salah seorang menteri
pada waktu itu. Menteri ini ingin datang bersilaturahim kepada ayah dan
menyampaikan perihal sakit Mr. Mohammad Yamin.
Chaerul Saleh datang
menemui ayah di rumah. Kepada ayah, menteri di era Soekarno ini menceritakan
perihal sakitnya Mr. Mohammad Yamin.
“Buya, saya membawa
pesan dari Bapak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat.
Saya sengaja datang menemui Buya. Ada pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan
pesan terakhir.”
“Apa pesannya?” tanya ayah.
“Pak Yamin berpesan
agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya
dapat mendampinginya, sekarang Pak Yamin dalam sekarat.”
Ayah agak tercengang
mendengar pesan Pak Yamin itu. Teringat kembali sikap bermusuhan dan membencinya.
“Apalagi pesan Pak
Yamin?” Kembali ayah bertanya kepada menteri yang ditugaskan Pak Yamin itu.
“Begini Buya, yang
sangat merisaukan Pak Yamin, beliau ingin bila wafat dapat dimakamkan di
kampung halamannya yang telah lama tidak dikunjungi. Beliau sangat khawatir
masyarakat Talawi tidak berkenan menerima jenazahnya. Ketika terjadi pergolakan
di Sumatera Barat, Pak Yamin turut mengutuk aksi pemisahan wilayah dari NKRI.
Beliau mengharapkan sekali Hamka bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya.”
Hanya sebentar ayah
termenung. Banyak pengalaman pahit yang dirasa oleh ayah selama beberapa tahun
ini dengan tokoh yang mengaku wajahnya mirip dengan Patih Majapahit Gajah Mada
itu. “Kalau begitu mari bawa saya ke RSPAD menemui beliau.”
Sore itu juga ayah dan
Pak Chaerul Saleh tiba di rumah sakit. Dalam ruangan VIP, banyak pengunjung.
Ada Pendeta, Biksu Budha dan pengunjung yang lain. Pak Yamin terbaring di
tempat tidur dengan slang infus dan oksigen tampak terpasang. Melihat
kedatangan ayah tampak wajahnya agak berseri. Dengan lemah Pak Yamin menggapai
ayah untuk mendekat. Salah seorang pengunjung meletakkan sebuah kursi untuk
ayah duduk di dekat tempat tidur. Ayah menjabat tangan Pak Yamin dan mencium
kening tokoh yang bertahun-tahun membenci ayah.
Dengan suara yang
hampir tidak terdengar dia berkata: “Terima kasih Buya sudi datang.” Dari kedua
kelopak matanya tampak air mata menggenangi matanya.
“Dampingi saya,”
bisiknya lagi. Tangan ayah masih terus digenggamnya.
Mula-mula ayah
membisikkan surat Al Fatihah. Kemudian kalimat La ilaha illallah Muhammadan
Rasalullah. Dengan lemah Pak Yamin mengikuti bacaan ayah. Kemudian ayah
mengulang kembali membaca dua kali. Pada bacaan kedua ini tidak terdengar Pak
Yamin mengikuti, hanya dia memberi isyarat dengan mengencangkan genggaman
tangannya ke tangan ayah. Kembali ayah membisikkan kalimat “tiada Tuhan selain
Allah” ke telinga Pak Yamin. Tidak ada respon. Ayah merasa genggaman Pak Yamin
mengendur dan terasa dingin dan terlepas dari genggaman ayah.
Seorang dokter datang
memeriksa. Dokter itu memberitahu Pak Yamin sudah tidak ada lagi. “Innalillahi
wa inna lillaihi rajiun…”
Tokoh yang
bertahun-tahun sangat membenci ayah, di akhir hayatnya meninggal dunia sambil
bergenggaman tangan dengan ayah.
Dari rumah sakit ayah
diajak Bapak Chairul Saleh ke Istana Negara. Waperdam III (Wakil Perdana
Menteri III) ini ingin melapor atas wafatnya Pak Yamin kepada Presiden
Soekarno. Pemerintah telah mempersiapkan acara pemakaman kenegaraan di TMP
Kalibata, Jakarta.
Karena wasiat terakhir
Pak Yamin ingin dimakamkan di kampung halaman Talawi, Sawahlunto. Presiden
memerintahkan Gubernur Sumatera Barat Drs. Harun Zein untuk mempersiapkan
upacara kenegaraan.
Sebelum meninggalkan
istana, Presiden Soekarno menyalami ayah sambil berucap: “Terima kasih atas
kebesaran jiwa Bung turut mendampingi Yamin menjelang wafatnya dan bersedia
mengantarnya ke Talawi. Atas nama pribadi dan pemerintah saya ucapkan terima
kasih.”
SOEKARNO, DARI SEORANG
SAHABAT, DITAHAN HINGGA MEMAAFKAN
Hubungan akrab antara
Hamka-Soekarno sudah dimulai sejak tahun 1941, sebelum merdeka dan sebelum
Soekarno menjadi Presiden RI Pertama. Perkenalan dimulai setelah selesai
menghadiri Muktamar Muhammadiyah ke-30 di Yogyakarta, Januari 1941.
Menurut Irfan Hamka,
putera beliau, adalah H. Abdul Karim (Oei Tjing Hin) Konsul Muhammadiyah
Bengkulu seorang Tokoh Cina Muslim, yang mengajak Hamka untuk menemui Soekarno
di tempat pengasingannya di Bengkulu. Dalam pertemuan selama 2 jam itu hubungan
keduanya jadi akrab.
Tahun 1946 setelah
kemerdekaan, Soekarno telah diangkat menjadi Presiden RI pertama, Presiden
mengajak Hamka untuk pindah dari Medan ke Jakarta. Namun karena terjadi Agresi
Pertama tahun 1947, permintaan Presiden tertunda. Pada tahun 1948 Presiden
Soekarno berkunjung ke Sumatera Barat. Kembali Hamka bertemu Soekarno di
Bukittinggi. Pada kesempatan itu Hamka menghadiahkan sebuah puisi kepada
Presiden Pertama itu dengan judul “Sansai juga aku kesudahannya.”
Setelah penyerahan
Kedaulatan 1949, di awal 1950 Hamka mengajak keluarganya pindah ke Jakarta.
Pada peringatan Isra’ Miraj Nabi Muhammad SAW tahun 1950, Hamka diminta
Presiden Soekarno memberikan wejangan tentang rahasia Isra’ Miraj di Istana.
Hubungan baik terus berlanjut. Begitu pula sewaktu pelaksanaan shalat Idul
Fitri tahun 1951 diadakan di Lapangan Banteng yang diselenggarakan oleh PHBI
(Panitia Hari Besar Islam) Jakarta.
Tahun 1955 Hamka
terpilih menjadi anggota Konstituante. Sejak itu hubungan akrab dengan Soekarno
mulai renggang, karena perbedaan ideologi yang harus diperjuangkan. Hamka
dengan segenap fraksi Partai Islam memperjuangkan negara berdasarkan Islam.
Sedangkan Presiden Soekarno ingin mempertahankan negara berdasarkan Pancasila.
Hubungan dua orang seperti bersaudara itu terputus.
Baru tahun 1962 bertemu
kembali ketika Hamka turut menyelenggarakan jenazah Mr. Mohammad Yamin. Dua
tahun kemudian Hamka ditangkap atas perintah Presiden Soekarno. Dua tahun 4
bulan lamanya Hamka ditahan atas perintah Presiden Soekarno, waktu itu dari
tahun 1964-1966, dengan tuduhan melanggar undang-undang Anti Subversif Pempres
No. 11, yaitu tuduhan merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno.
“Betapa beratnya
penderitaan kami sepeninggal ayah yang ditahan,” ujar Irfan. “Buku-buku
karangan ayah dilarang. Ayah tidak bisa lagi memenuhi undangan untuk berdakwah.
Pemasukan uang terhenti. Untuk menyambung hidup ummi mulai menjual barang dan
perhiasan. Ayah baru bebas setelah Pemerintahan Soekarno jatuh, digantikan oleh
Soeharto. Ayah kembali melakukan kegiatan seperti sebelum ditahan Soekarno.”
Tanggal 16 Juni 1970,
Hamka dihubungi oleh Bapak Kafrawi, Sekjen Dep. Agama. Pagi-pagi Sekjen ini
datang ke rumah, Pak Kafrawi membawa pesan dari keluarga mantan Presiden
Soekarno untuk ayah. Pesan itu pesan terakhir dari Soekarno, begini pesannya;
“Bila aku mati kelak. minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat
jenazahku.”
“Jadi beliau sudah
wafat?” Hamka bertanya kepada Pak Kafrawi.
“Iya Buya. Bapak telah
wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah dibawa ke Wisma Yaso.” (Ini versi
pertama).
Ada satu versi lagi
menyatakan bahwa dalam keadaan kritis mantan Presiden RI ini menyampaikan
pesannya kepada keluarga beliau, bahwa bila datang ajalnya, beliau ingin yang
menjadi imam sembahyang jenazahnya dilakukan oleh Hamka. Pesan itu disampaikan
oleh keluarganya kepada Presiden Soeharto yang telah menggantikan beliau
sebagai Presiden RI ke-2.
Presiden Soeharto
mengutus salah seorang Aspri (Asisten Pribadi)nya Mayjen Suryo menemui Buya
Hamka di rumah JI. Rd. Fatah, didampingi seorang Sekjen Dep. Agama RI. Kepada
Hamka utusan Presiden Soeharto itu menyampaikan permintaan terakhir Soekarno.
Tanpa ragu pesan yang dibawa utusan Presiden Soeharto dilaksanakan oleh Hamka.
Hamka tiba di Wisma
Yaso bersama penjemputnya. Di wisma itu telah banyak pelayat berdatangan, penjagaan
pun sangat ketat. Shalat jenazah baru akan dimulai menunggu kehadiran Hamka dan
dengan mantap menjadi imam jenazah Soekarno. Pesan terakhir mantan Presiden
Pertama itu dengan ikhlas dijalankan oleh Hamka.
Inilah kebesaran jiwa
dan sifat pemaaf Buya Hamka kepada lawan-lawan politiknya secara ideologis:
antara Islam, Nasionalis dan Komunis yang diwakili para tokohnya yakni pencetus
penggali Pancasila Mr. Mohammad Yamin dan Soekarno serta tokoh Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat) Pramudya Ananta Toer; padahal tak jarang demi mempertahankan
dan membela keyakinannya itu Buya Hamka harus masuk penjara, difitnah,
disingkirkan, dimiskinkan namun kesabaran beliau dalam menghadapi ujian itu
berbuah menjadi hikmah yang luar biasa.
Tahun1978, Hamka
berbeda pandangan dengan pemerintah tentang keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Daoed Joesoef yang meniadakan libur sekolah selama puasa Ramadhan.
Tahun 1975 Hamka diberi kepercayaan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Tahun 1980 terjadi perbedaan sikap dengan Menteri Agama Alamsyah
Ratuprawiranegara karena Hamka tidak mau mencabut fatwa yang melarang perayaan
Natal bersama. Sikap keras Hamka ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran
dirinya. Mendengar niat itu, Hamka meminta Alamsyah mengurungkan niatnya dan
Hamka sendiri yang justru mundur sebagai Ketua MUI.
Sikap MUI yang
independen ini tidak terlepas dari sikap Hamka yang sebelumnya memindahkan
Kantor Pusat MUI dari Masjid Istiqlal ke Masjid Al-Azhar. Hamka tetap
berpendirian teguh tidak akan mencabut fatwa Natal tersebut. Ia mundur dari MUI
pada 21 Mei 1981. Tak lama kemudian, beliau meninggal dunia, tepatnya pada
tanggal 24 Juli 1981, di hari baik, Jumat dan bulan baik, bulan Ramadhan.
Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa beliau dan semoga generasi penerus mampu
mencontoh sikap tegas Buya Hamka dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan
bernegara ini disesuaikan dengan syariah agama.
Sebagai orang yang
memiliki ilmu dan kebesaran pribadi, Hamka digelari “Tuanku Syaikh”.
Sebagai pejuang, Hamka
memperoleh gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI. Sebagai
intelektual Islam, Hamka memperoleh penghargaan gelar “Ustadzyyah Fakhriyyah”
(Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir, pada Maret 1959.
Pada 1974 gelar serupa
diperolehnya dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Hamka tak pernah hilang dari
sejarah umat Islam dunia. Pemikirannya menjadi referensi yang tidak pernah
berhenti dalam berbagai masalah kemasyarakatan.
RIDWAN SAIDI: “HAMKA
ORANG JUJUR”
Dalam tulisan terakhir
ini saya ingin melengkapi sosok Hamka dengan mengutip komentar Ridwan Saidi,
tokoh Betawi yang sudah malang melintang dalam perpolitikan di Indonesia.
Perbincangan berlangsung, April 2010 di rumah kediamannya di Bintaro, Jakarta
Selatan. Dia menegaskan, “Hamka dan tokoh Masyumi lainnya orang jujur.”
Ridwan Saidi adalah
putra almarhum Abdul Rahim bin Saidi, salah seorang aktifis Partai Masyumi
ranting Sawah Besar. Kejayaan Partai Masyumi dalam Pemilihan Umum 1955 yang
menjadikan partai di mana Hamka, Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Kasman
Singodimodjo, Burhanuddin Harahap, duduk di dalamnya menjadikan partai nomor
dua terbesar setelah PNI dalam dukungan suara, membuat Ridwan Saidi ingin
mengulang sejarah kejayaan partai tersebut pada 24 November 1995 dengan
mendirikan Partai Masyumi Baru (Masyarakat Umat Muslimin Indonesia Baru)
meskipun akhirnya tidak sebagaimana Partai Masyumi yang sudah dibekukan
Pemerintahan Soekarno tahun 1960 itu.
“Saya ingin
merehabilitasi secara sosiologis, psikologis dan politis Partai Masyumi era
1950-an. Di masa Soekarno dan Soeharto, Masyumi tetap sebagai organisasi
terlarang dan itu dicantumkan dalam PSPB (Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa).
Itu beban psikologis yang sangat besar bagi anak cucu warga Masyumi,” ujar
Ridwan Saidi.
“Partai Masyumi hingga
kini masih tetap lagendaris. Tokoh-tokohnya seperti Hamka dan lain-lain
mengutamakan intelektual muslim, memiliki integritas, jujur dan berpegang
tegung pada prinsip. Ini konsep lama dalam berpolitik yang sekarang dianggap
sudah ketinggalan zaman,” tegas Ridwan Saidi menggarisbawahi.
Dahulu itu, tambah
Ridwan Saidi menjelaskan, tokoh-tokoh Masyumi orangnya sederhana, tetapi rapi.
Enak dipandang, tetapi terpelajar.Jika berbicara, retorikanya bagus. Vokal itu
mencerminkan jiwa. Terkesan intelek dari suaranya. Itu pula sebabnya banyak
partai Islam merindukan kembali sistem nilai itu. Dia ingin
menegaskan,intelektual itu sangat dibutuhkan oleh bangsa dan negara saat ini.
Ridwan Saidi juga
mencatat, kalau konsep baru sekarang dalam berpolitik, tidak perlu terlalu
pintar, karena bukan syarat utama. Hal ini dikarenakan sistem nilainya sudah
berubah. Bahkan penyanyi yang jelas-jelas tidak Islami bisa dicalonkan sebagai
Bupati. Lebih dari itu, tokoh-tokoh Islam sekarang ini sudah meninggalkan
sistem nilai.
“Sekarang banyak di
antara mereka mondar mandir ke pengadilan hanya untuk mempertanggung jawabkan
hasil korupsinya.Kalau dulu ketika tokoh Masyumi, Sjafruddin Prawiranegara
menjadi Menteri Muda Keuangan dan kemudian Menteri Keungan (1946-1947), pernah
seorang kader Masyumi minta kredit, langsung ditolak,” kembali Ridwan Saidi
menegaskan.
Integritas dan
kejujuran memang sudah hilang dari beberapa tokoh Islam Indonesia. Satunya kata
dan perbuatan, sudah tidak terdengar lagi. Inilah salah satu faktor mengapa
Partai Islam sekarang ini menurun dalam dukungan suara. Partai Islam dinilai
kekurangan tokoh atau figur yang kuat sebagaimana di masa-masa lalu. Partai
Islam boleh saja melihat kejayaan masa lalu, seperti kemenangan Masyumi dan
NU.Tetapi pertanyaan yang menggelitik, apa yang bisa mereka lakukan demi
mensejahterakan rakyat?
Partai Islam mengalami
goncangan berat akhir-akhir ini. Lebih-lebih setelah partai-partai nasionalis
sudah banyak melakukan hal yang menarik agamis. Hal ini membuat masyarakat
merasa tidak ada perbedaan antara Partai Nasionalis dan Partai Islam. Apalagi
di masa Pemerintahan Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun, Partai Islam
betul-betul tidak bersuara.
Di masa Pemerintahan
Soeharto, sistematika kepartaian terlihat jelas di mana seorang Presiden adalah
Panglima Tertinggi ABRI (sekarang TNI), Kepala Eksekutif dan yang sangat
kontroversial, adalah Ketua Dewan Pembina Golkar, yang anehnya saat itu tidak
mau disebut partai, tetapi tetap golongan.Sedangkan Partai Islam di mana sudah
tergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berada di struktur paling
bawah. Partai Nasionalis pun mengalami hal sama, dikelompokan ke dalam Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Bahkan sering terjadi, apabila kedua partai ini
mengadakan sebuah acara, Presiden Soeharto jarang hadir dan hanya mengutus
wakilnya, tetapi apabila Golkar, beliau menyempatkan diri untuk hadir.
Melihat perbedaan
antara Partai Islam dan partai lain dalam Pemilihan Umum, saya ingin mengutip
Harian Kompas, edisi Senin, 3 Februari 2003, hal.8 :
1. Pemilu 1955, diikuti
172 partai, organisasi dan perorangan peserta pemilu. Di sini terlihat Partai
Islam mengalami kejayaan. Pemenang Pemilu, PNI (22 persen suara), Masyumi (21
persen), NU (18 persen), PKI (16 persen) dan partai-partai lain di bawah lima
persen. Partai di Parlemen, 28 partai berhasil memperoleh kursi.
2. Pemilu 1971, diikuti
10 partai. Meskipun Golkar unggul, tetapi NU yang mewakili suara Islam masih
dominan, tetapi tetap jauh di bawah Golkar. Golkar, 63 persen suara, NU, 19
persen, PNI, 7 persen. Partai di Parlemen, 8 partai berhasil memperoleh kursi.
Selanjutnya Pemilu 1977
– 1997, Golkar terus keluar sebagai pemenang dan mencapai puncaknya pada Pemilu
1997 hingga memperoleh dukungan suara 75 persen.
Dalam Pemilu, Juni
1999, setelah lengsernya Soeharto sebagai Presiden, 21 Mei 1998, PDI
Perjuangan, 33,7 persen suara, Golkar, 22,4 persen, PKB, 12,6 persen, PPP 10,7
persen, PAN, 7,1 persen. Terlihat Partai Islam sedikit lebih baik, karena
partai-partai Islam di masa ini banyak tumbuh dikarenakan Habibie sebagai
Presiden RI memberi peluang membuka penerimaan partai-partai, sehingga ada
sekitar 141 partai dalam Lembaran Negara di Departemen Kehakiman, tetapi
partai-partai yang dianggap memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu hanya 48
partai. Hanya sekarang ini berdirinya Partai Islam yang patut dipertanyakan,
apakah cita-citanya sama dengan tumbuh dan berkembangnya partai-partai Islam di
era kemerdekaan yang betul-betul menghayati Islam sesuai kata dan perbuatan?
Sumber : http://buyahamka.org/bagian-sebelum-tafsir/mengenang-sastrawan-besar-hamka/
Link artikel asli di
Koran-Cyber.com : Mengenang Sastrawan Besar Hamka oleh Dasman Djamaluddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...