Oleh : Yunus Ghazali
Apabila
pembicaraan tentang norma-norma ekonomi dan muamalat Islam, maka akan ditemukan
empat sendi utama, yaitu ketuhanan, etika, kemanusiaan, dan sikap pertengahan.
Keempatnya merupakan ciri khas ekonomi Islam, bahkan dalam kenyataan merupakan
milik ummat Islam dan tampak dalam segala hal kegiatan yang berbentuk Islami.
“Setiap norma ini mempunyai cabang-cabang, buah dan pengaruh bagi aspek ekonomi
dan sistem keuangan Islam, baik dalam hal produksi, konsumsi, distribusi,
masalah ekspor, maupun impor yang semuanya diwarnai dengan norma ini. Jika
tidak demikian maka bisa dipastikan bahwa Islam hanya sekedar simbol atau
slogan dan pengakuan belaka8 .
1. Ekonomi Bercirikan Islam.
Ekonomi
Islam adalah ekonomi yang bercirikan ketuhanan, bertitik tolak dari Allah,
bertujuan akhir kepada Allah dan melaksanakan sarana yang tidak lepas dari
syari’at Islam. Kegiatan ekonomi produksi, distribusi, konsumsi maupun ekspor,
kesemuanya bertitik tolak demi Allah dan bertujuan akhir untuk Allah. Jika
seorang muslim bekerja dalam bidang produksi, maka niatnya tidak lain kecuali
hendak memenuhi perintah Allah SWT. Hal ini dijelaskan firman Allah dalam surat
al Mulk, ayat 15 :
هُوَ الَّذِى جَعَلَ لَكُمُ
اْلأَرْضَ ذَلُوْلاً فَامْشُوْا فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ
النُّشُوْرُ (الملك: 15).
“Dialah
yang menjadikan bumi ini mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya
dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali)
setelah dibangkitkan”
Seorang
muslim, ketika sedang bercocok tanam, membajak, menganyam dan berdagang, ia
merasa bahwa yang ia kerjakan itu adalah ibadah karena Allah. Makin tekun
bekerja, makin taqwa kepada Allah. Demikian juga apabila ia menggunakan atau
menikmati sesuatu yang ada di dunia ini, secara tidak langsung ia juga telah
beribadah dan memenuhi perintah Tuhan.
Seorang
muslim ketika ia memanfaatkan kenikmatan dunia ini secukupnya, tidak berlebihan
dan tidak pula kikir. Sikap pertengahan, dan ia mensyukuri atas nikmat yang
diberikan Allah kepadanya. Hal ini dijelaskan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an
surat al-A’raf, ayat 31 :
... وَكُلُوْا
وَاشْرَبُوْا وَلاَ تُسْرِفُوآ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ (الاعرف: 31).
“...
makan dan minumlah serta janganlah berlebihan, sesungguhnya Allah tidak suka
dengan orang yang berlebih-lebihan”
Banyak
ayat yang menunjukkan bahwa rizki yang diperoleh seorang muslim dari Allah
bertujuan agar ia bersyukur. Diantaranya ayat yang menyatakan : “…Dan
diberikan-Nya kamu rizki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur”. 9
Seorang
muslim seharusnya sangat memahami terhadap segala perintah dan larangan Allah.
Seperti halnya jual beli dan haramnya riba10 , serta haramnya memakan harta
manusia secara bathil11 .
Ketika
seorang muslim hendak membeli dan menjual, menyimpan dan meminjam, atau
menginvestasikan uang, ia selalu melaksanakan pada batas-batas yang telah
ditetapkan Allah. Ia tidak memakan uang haram, memonopoli milik rakyat,
korupsi, mencuri, berjudi, ataupun melakukan suap-menyuap. Seorang muslim
secara tegas menjauhi daerah yang diharamkan Allah, disamping berusaha
semaksimal mungkin meninggalkan daerah syubhat. Ketika seorang muslim memiliki
harta, ia tidak memakannya sendiri, tidak pelit terhadap orang lain, dan tidak
menggunakannya untuk kemaksiatan. Atau dengan kata lain, ia tidak kikir
terhadap kebenaran dan tidak boros terhadap kebathilan. Yusuf Qardhawi
mengungkapkan bahwa: “Pemilikan harta kekayaan bagi seorang muslim, bukanlah
secara mutlak, sehingga ia tidak berhak untuk membelanjakan harta itu sesuka
hatinya 12 .
Dari
uraian di atas, menjadi jelas bahwa walaupun terkumpulnya, harta kekayaan itu
secara lahiriyah dapat usaha manusia, tetapi manusia tidak dibenarkan
mendistribusikan kekayaannya menurut kehendaknya. Pengeluarannya itu hendaknya
harus dikondisikan sesuai dengan aturan agamanya. Manusia tidak dibahas
mengembangkan diri, bahwa harta kekayaannya itu diperoleh dari hasil usahanya
sendiri. Hendaknya ia ingat bahwa kekayaannya sebenarnya pemberian dari Allah
SWT kepada melalui usahanya. Jelasnya bagi muslim, di samping usaha, maka
ibadah kepada Allah jangan ditinggalkan.
2. Ekonomi Penunjang Aqidah dan Aqidah
Merupakan Asas
a. Ekonomi Penunjang Aqidah
Menurut
tinjauan Islam ekonomi bukanlah tujuan akhir dari kehidupan manusia, tetapi
merupakan suatu kelengkapan dalam kehidupannya, sarana untuk mencapai tujuan
yang lebih tinggi, penunjang dan pelayanan bagi aqidah dan bagi misi yang
diembannya.
Islam
adalah agama yang mengatur tatanan hidup dengan sempurna, kehidupan individu
dan masyarakat, baik aspek ratio, materi, maupun spiritual, yang didampingi
oleh ekonomi, sosial dan politik13 .
b. Aqidah Merupakan Asas
Percaya
kepada Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Yang
menguasai hari pembalasan14 . Dialah yang memiliki penciptaan dan segala
masalah kembali kepada-Nya. Kepada-Nya tempat memuji dan kepada-Nya diserahkan
segala urusan. Tidak ada yang patut disembah kecuali Dia. Tidak ada tempat
bergantung kecuali kepada-Nya. Dan tidak ada tempat minta hidayah selain dari
pada-Nya.
“Hanya
Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”15
Tidak
boleh satu makhluk pun menjadikan selain Allah sebagai pelindung16 . Tak patut
selain-Nya dijadikan tempat pengambilan hukum17 dan tidak memohon hidayah
selain kepada Allah18
c. Allah mengutus untuk manusia,
Rasul-rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan penjelasan.
Hal
itu dijelaskan Al-Qur’an dalam surat An-Nisaa, ayat, 165.
رُسُلاً مُبَثِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ
لِئَلاَّيَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ.
“Mereka
Kami utus selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira, pemberi peringatan agar
tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul
itu”.
Manusia
dalam kehidupannya di dunia di samping untuk makan dan menikmati kehidupannya
sebagaimana makhluk lainnya, juga ada tugas menyembah Allah yang satu, berbuat
kebajikan untuk mendapatkan ridha-Nya, melarang kemunkaran dan berpegang teguh
dengan tali yang kuat, yaitu Islam, serta sabar dalam menghadapi segala cobaan.
Aqidah, merupakan dasar keseluruhan tatanan kehidupan dalam Islam, termasuk
ekonomi. Tatanan dalam Islam merupakan gabian dari aqidah. Tugas tatanan adalah
melindungi aqidah, memperdalam akar-akarnya, menyebar luaskan cahayanya, dan
membentenginya dari segala rintangan, serta merealisasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Tatanan kehidupan dalam Islam bersifat sempurna dan spesifik,
mencakup ibadah yang menjadikan manusia meningkat derajat rohaninya dan dapat
menjalin hubungan dengan Tuhannya. Etika yang meletakkan insting pada tempatnya
dan membersihkan jiwa, sopan santun yang meniggikan karakter dan menghiasi
kehidupan; serta syari’at yang mengatur masalah-masalah halal dan haram dan
nilai-nilai keadilan. Dengan demikian manusia menjauhi maksiat atau kedzaliman,
dan mengatur hubungan antar sesama, individu dengan keluarga dan masyarakat
dengan masyarakat atas dasar persahabatan, persamaan dan keadilan. Syari’at
juga menerangkan hak dan kewajiban, termasuk di dalamnya sanksi-sanksi atas
penyelewengan.
Ekonomi
Islam yang berlandaskan ketuhanan, bekerja sekuat tenaga untuk mewujudkan
kehidupan yang baik dan sejahtera bagi manusia, walaupun demikian Islam tidak
setuju kalau kehidupan ini dijadikan tujuan akhir. Islam hanya setuju apabila
kehidupan ini merupakan tangga untuk mencapai kehidupan yang lebih tinggi dan
lebih kekal.
Ekonomi
Islam bertitik tolak dari Allah dan memiliki tujuan akhir kepada Allah. Tujuan
ekonomi Islam membantu manusia untuk menyembah Allah yang “telah memberi makan
kepada mereka untuk menghilangkan lapar serta mengamankan mereka dari
ketakutan”19 .
Juga
untuk menyelamatkan manusia dari kemiskinan yang bisa mengkafirkan akibat
kelaparan yang bisa mendatangkan dosa, dan juga merendahkan suara orang-orang
yang berbuat aniaya di atas suara orang-orang yang beriman. 20
d. Beriman Sebelum Berkuasa
Dalam
ekonomi Islam yang berlandaskan ketuhanan, penting adanya “perasaan selalu ada
yang mengawasi”. Sikap itu timbul dari seorang muslim karena imannya kepada
Allah. Dengan adanya perasaan demikian itu, seorang muslim tidak akan mengambil
barang yang bukan miliknya. Karena imannya seorang muslim tidak akan mengambil
kesempatan dalam kesempitan orang lain, contoh-contohnya, dikala dunia sedang
dilanda krisis sandang, pangan dan papan, seorang pengusaha muslim yang beriman
tidak akan mencekik konsumen dengan mengambil laba sebanyak-banyaknya. Hadirnya
Allah dalam imajinasinya sudah cukup baginya sebagai pengawas. Ia juga tidak
akan suka, apabila di dalam hartanya terdapat sekalipun satu dirham yang
didapat dengan jalan haram, walaupun pengadilan menyatakan ia berhak atas harta
itu sebab, pengadilan biasanya hanya melihat yang tampak dalam kenyataan,
sedangkan Allah Maha Tahu segala sesuatu yang tersembunyi. Di sinilah perasaan
dan keimanan seorang muslim berperan sebagai jaksa dan hakim, walaupun manusia
menuliskan lain.
Dalam
hal ini Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 188 :
وَلاَ تَأْكُلُوْآ اَمْوَلِكُمْ
بِالْبَطِلِ وَتُدْلَوْابِهَا اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِنْ أَمْوَلِ
النَّاسِ بِاْلإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ (البقرة: 188).
“Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan
jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain dengan
jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui”.
Seorang
muslim yang takut kepada Allah, ia akan meninggalkan segala perbuatan yang
hukumnya masih diragukan, menjauhi segala yang syubhat, dan ia takut terjerumus
pada perbuatan haram. Sabda Rasulullah SAW riwayat dari an-Nu’man ibnu Basyir
R.A. :
فمن اتقى الشبهات استبرألدينه
وعرضه، ومن وقع فى الشبهات وقع فى الحرام كالراعى يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه
... (رواه البخارى ومسلم والترمذى)
“…Barangsiapa
yang takut dari syubhat, maka ia telah menyelamatkan diri dan agamanya; dan
barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia telah terjerumus dalam
haram, sebagaimana penggembala kambing yang menggembala kambing-kambingnya di
sekitar serigala” (Hadits telah diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan
at-Turmudzi). 21
Pemikiran
halal dan haram adalah pemikiran yang selalu menyertai akal dan hati kecil
setiap muslim. Ia yakin bahwa pada hari kemudian (kiamat) kelak ia akan ditanya
oleh Allah tentang hartanya. Dari mana ia memperolehnya dan kemana ia
belanjakan. Dalam hal ini Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa: “Islam tidak
mengizinkan seseorang bekerja dengan cara haram, walaupun tujuan akhirnya baik
dan terpuji, seperti mengadakan pertunjukan tari perut atau malam hura-hura
untuk mengeruk dana yang akan disumbangkan kepada panti asuhan. Atau mengambil
riba untuk mendirikan masjid, sekolah yatim piatu, madrasah tahfidz Qur’an,
atau mendirikan rumah sakit bagi orang-orang tak mampu”. 22
e. Pemikiran Istikhlaf dalam Kehidupan Ekonomi
Pemikiran
istikhlaf, baik langsung maupun tidak telah membawa dampak positif terhadap
kehidupan perekonomian dan sosial ummat Islam. Diantaranya, pertama mengurangi
sikap sombong dan membanggakan diri. Harta itu tidak membuat pemiliknya lupa
daratan dan tidak bertindak semena-mena, karena mereka yakin bahwa harta itu
adalah milik Allah, sedangkan kepemilikan oleh manusia hanya bersifat
sementara.
Sebagai
muslim tidak akan mengatakan dengan sombong bahwa “ini hartaku”. Ia tidak akan
berkata dengan congkak bahwa harta kekayaan yang banyak itu adalah hasil
usahanya sendiri.
Kedua,
seorang muslim tidak pernah menahan hartanya untuk dikeluarkan demi menegakkan
agama Allah. Harta dianggap masalah yang ringan baginya, apabila diminta ia
dengan mudah mengeluarkan harta itu sebagai infaq. Ia segera mengeluarkan
hartanya untuk membantu fakir miskin, karena yang ia nafkahkan itu adalah harta
Allah, dikeluarkan untuk kepentingan keluarga Allah dan di jalan Allah.
Yusuf
Qardhawi mengutip dari Al-Khatib, dalam kitab sejarahnya menceritakan bahwa
setiap tahun Abu Hanifah pergi ke Baghdad. Di kota itu ia membeli barang dan
membawanya ke Kufah. Maka terkumpullah laba tahun demi tahun. Dari laba itu ia
membeli berbagai kebutuhan, baik sandang maupun pangan, untuk para syekh
muhadditsin. Ketika memberikan barang itu kepada syekh, Abu Hanifah berkata:
“Jangan memuji kecuali kepada Allah, sebab aku tak memberikan sedikitpun hartaku
kepada kalian. Tapi yang aku berikan adalah apa yang dilebihkan Allah kepadaku
atas kalian”.23
Ketiga,
muslim kaya mudah untuk menerima perintah dan patuh terhadap undang-undang,
karena perintah itu datangnya (turun) dari pemilik harta yang sebenarnya. Contoh
pada zaman Rasulullah SAW, bukan sesuatu yang aneh, apabila kaum mu’min
(saudagar mu’min) yang kaya datang kepada Rasulullah SAW lalu bertanya “Apa
yang dapat kami perbuat dengan harta kami?” Berapa yang kami nafkahkan? Dan
kepada siapa saja harta ini kami bagikan?”.
Dalam
sebuah hadits dari Anas Ibn Malik r.a diceritakan bahwa seorang dari Bani Tamim
datang kepada Rasulullah SAW dan berkata :”Ya Rasulullah, saya seorang kaya
raya, juga memiliki keluarga besar. Beritahu saya apa yang harus saya perbuat
dan bagaimana cara menafkahkannya?”, Rasulullah bersabda :
تخرج الزكاة من مالك فإنها
طهرة تطهرك، وتصل أقرباءك، وتعرف حق المسكين والجار والسائل. (رواه احمد).
“Keluarkan
zakat dari hartamu, karena ia membersihkan hartamu, santunilah kerabatmu dan
berikan hak orang miskin, tetangga, dan peminta-minta" (Hadits telah
diriwayatkan oleh Ahmad).24
Keempat,
pemikiran teori ekonomi yang demikian ini (istikhlaf), dapat dijadikan dasar
bagi negara Islam untuk penetapan undang-undang cukai serta pajak terhadap
orang yang mampu, untuk disalurkan kepada golongan yang tidak mampu, atau untuk
mewujudkan kemaslahatan umum.
Kelima,
memberikan penjelasan kepada masyarakat muslim untuk mengawasi hartawan yang
melampaui batas dalam melakukan harta yang dimilikinya.
Masyarakat
mempunyai wewenang untuk memberi peringatan, apabila orang kaya itu tidak
melaksanakan batasan-batasan yang ditetapkan oleh pemilik harta yang
sebenarnya, yakni Allah SWT. Firman Allah dalam Al-Qur’an surat An Nisaa, ayat
5 sebagai berikut :
وَلاَتُؤْتُوا السُّفَهَآءَ
أَمْوَلَكُمُ الَّتِى جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَمًا وَارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ
فِيْهَا وَقُوْلُوْالَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوْفًا (النساء: 5).
“Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka
yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada
mereka kata-kata yang baik”.
Keenam,
supaya hati fakir miskin menjadi kuat dan membenarkan tindakan mereka dalam
meminta hak dari orang kaya atau dari negara. Jika golongan ini tidak
memberikan bagian mereka, orang-orang miskin dapat berjalan dengan tegak dan
penuh percaya diri dalam meminta bagiannya dari harta Allah, karena mereka
bukan pengemis, tetapi meminta hak yang secara nyata ditulis Allah dalam harta
orang kaya. Firman Allah dalam surat al-Ma’arij, ayat 24-25, sebagai berikut :
وَالَّذِيْنَ فِى أَمْوَلِهِمْ
حَقٌّ مَعْلُوْمٌ لِلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُوْمِ (المعارج: 35-34).
“Dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin)
yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”.
“Sesungguhnya
orang kaya pada pandangan si miskin tidak jauh berbeda dengan bendahara ummat.
Oleh karena itu, ketika berhadapan dengan orang kaya, si miskin tidak harus
merasa rendah diri ataupun kecil hati”. 25
f. Sanksi Hartawan yang Tidak Mengindahkan
Istikhlaf
Hartawan
yang tidak mengindahkan istikhlaf akan mendapat hukuman (sanksi) dari pemilik
harta yang sebenarnya, yakni Allah SWT. Pertama hukuman itu dapat berbentuk
musibah alam, seperti ditariknya kekayaan itu, Allah memusnahkan hartanya atau
memindahkannya kepada orang lain yang lebih berhak. Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullan SAW bersabda :
إن لله تعالى أقواما اختصهم
بالنعم لمنافع العباد، يقرهم فيها مابذلوها، فإذا منعوها نزع منهم فحولها إلى غيرهم
(رواه الطبرانى).
“Allah
memiliki kaum yang dikhususkan dengan nikmat agar bermanfaat bagi seluruh ummat
manusia. Lalu ditetapkan bagi mereka apa yang diwajibkan untuk dikeluarkan.
Jika mereka menahan harta tersebut dengan jalan tidak mengeluarkannya, Allah
menarik harta itu dari mereka dan digantikannya kepada orang lain”. (Hadits
telah diriwayatkan oleh Thabrani).26
Al-Qur’an
juga menceritakan contoh-contoh hartawan yang tidak mengindahkan prinsip
istikhlaf dalam harta Allah, karena itu Allah memutuskan nikmat-Nya, yang
selama ini diberikan kepada mereka. Contoh pertama adalah kisah hidup Qarun,
dan kemudian dibinasakannya. Firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-Qashash,
ayat 76-81, yang artinya sebagai berikut :
“Sesungguhnya
Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan
Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya
sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika
kaumnya berkata kepadanya, janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Dan carilah pada apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Qarun
berkata, ’Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmunya yang ada
padaku. ‘Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah
membinasakan ummat-ummat sebelumnya yang lebih kuat daroipadanya, dan lebih
banyak mengumpulkan harta ? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang
berdosa itu tentang dosa-dosa mereka.
Maka
keluarlah Qarun kepada kaumnya dala kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia. ‘Semoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang
telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai
keberuntungan yang besar’. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu,
‘kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bgi
orang-orang yang beriman dan beramal shaleh; dan tidak diperoleh pahala itu,
kecuali oleh orang-orang yang shabar’.
“Maka
Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Tidak ada baginya suatu
golongan pun yang menolongnya terhadap Allah dan tiadalah ia termasuk
orang-orang yang dapat membela (dirinya)”.
Contoh
kedua adalah kisah pemilik dua kebun buah, sebagaimana digambarkan Al-Qur’an
dalam surat Al Kahfi, ayat 32-43, yang artinya sebagai berikut :
“Dan
berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki. Kami jadikan
seorang diantara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi
kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan diantara kedua kebun itu Kami
buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buanya, dan kebun itu tiada
kurang buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai dicelah-celah kedua kebun
itu, dan ia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang
mu’min) ketika ia bercakap-cakap dengan dia, ‘Hartaku lebih banyak dari hartamu
dan pengikut-pengikutku lebih kuat’. Dan dia memasuki kebunnya sedangkan ia
zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata, ‘Aku kira kebun ini tidak akan
binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan
sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat
kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu’.
Kawannya
(yang mu’min) berkata kepadanya, sedang dia bercakap-cakap dengannya, ‘Apakah
kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes air mani, lalu dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna ?
tetapi aku (percaya bahwa) Dia lah Allah, Tuhanku, dan aku tidak
mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mangatakan
waktu kamu memasuki kebunmu, ‘Masya Allah, tidak ada kekuatan kecuali dengan
(pertolongan) Allah ? Jika kamu anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal
harta dan anak, maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberi kepadaku (kebun) yang
lebih baik dari pada kebunmu (ini), dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan
(petir) dari langit kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang
licin, atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak
dapat menemukannya lagi’.
Dan
harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda
menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur
itu roboh bersama para-paranya dan ia berkata, ‘Aduhai kiranya dulu aku tidak
mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku’. Dan tidak ada bagi dia segolongan
pun yang akan menolongnya selain Allah, dan sekali-kali ia tidak dapat membela
dirinya”.
Kedua,
hukuman bagi orang kaya yang tidak menegakka istikhlaf yang dijatuhkan oleh
penguasa Islam sedangkan jama’ah Muslim sebagai pengawas untuk menegakkan hukum
Allah. Hukuman itu bisa berupa sanksi yuridis yang ditetapkan lembaga
pemerintah seperti hukuman cambuk bagi orang yang mengeluarkan harta untuk
membeli dan meminum khamer atau menghisap narkotik. Atau tindakan tegas bagi
lelaki yang meggunakan emas dan sutra, alat-alat dapur dari emas dan perak dan
membeli patung-patung yang diharamkan, setidaknya ada undang-undang sebagai
landasan sanksi untuk pelanggaran tersebut.27
Ketiga,
yang lebih parah dan berat dari pada hukuman itu adalah hukuman akhirat. Pada
hari itu Allah akan menanyakan setiap orang yang memiliki harta tentang
hartanya : dari mana ia peroleh dan kemana ia salurkan? Hal ini dijelaskan oleh
firman Allah dalam Al-Qur’an surat at Takatsur, ayat 8 :
ثُمَّ لَتُسْئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ
عَنِ النَّعِيْمِ (التكاثر: 8).
“Kemudian
kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan yang kamu
megah-megahkan di dunia ini”.
Bagi
yang menyeleweng, Allah akan memberi balasan yang sangat berat. Hal ini
dijelaskan Firman Allah dalam Al-Qur’an surat At Taubah, ayat 34-35, sebagai
berikut :
وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَيُنْفِقُوْنَهَا فِى سَبِيْلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ
اَلِيْمٍ. يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىبِهَا جِبَاهُهُمْ
وَجُنُوْبُهُمْ وَظُهُوْرُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ ِلأَنْفُسِكُمْ فَذُوْقُوْا مَا
كُنْتُمْ تَكْنِزُوْنَ (التوبة: 35-34).
…”Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukan kepada mereka (bahwa mereka) akan mendapat siksa yang
pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahanam, lalu
dibakar dengan dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada
mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu, maka rasakanlah
sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
3. Ekonomi Berlandaskan Etika
Yang
membedakan Islam dan materialisme adalah bahwa Islam tidak pernah memisahkan
antara ekonomi dengan etika, seperti halnya Islam tidak pernah memisahkan
antara ilmu dan akhlak, politik dengan etika, perang dengan etika dan kerabat
sedarah sedaging dengan kehidupan Islam. Islam adalah risalah yang diturunkan
Allah melalui Rasulnya untuk memperbaiki akhlak manusia. Nabi SAW bersabda
dalam hadits yang telah diriwayatkan oleh Abi Hurairah RA., sebagai berikut:
إنّما بعثت لأتـمّم مكارم
الأخلاق (رواه البخارى).
“Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” (Hadits telah diriwayatkan oleh
Bukhari).28
Islam
juga tidak memisahkan agama dengan negara dan materi dengan spiritual, seperti
halnya yang dilakukan Eropa dengan konsep sekulerismenya. Islam juga berbeda
dengan konsep kapitalisme yang memisahkan akhlak dengan ekonomi.29
Kegiatan
ekonomi sebenarnya adalah kegiatan manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Dalam rangka melaksanakan kegiatan inilah diperlukan aturan-aturan main yang
mestinya sarat dengan muatan moral agar tidak timbul kekacauan dan kesulitan.
Sejalan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi, berkembang pula ilmu ekonomi
yang melahirkan sistem-sistem ekonomi. Sampai dengan Thomas Aquinos, kegiatan
ekonomi masih diingatkan akan adanya bahaya bunga atau riba yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai moral.30
Islam
menempuh cara praktis dalam mendidik dan melatih ummatnya agar memelihara keseimbangan
dalam sistemnya itu, dan berusaha mengendalikan naluri mementingkan diri
sendiri serta menyelaraskan kebutuhan spiritual dan ekonomi melalui pendidikan
moral. Penekanan tersebut dititik beratkan pada perbaikan moral dan pembinaan
sikap moral yang benar dalam kehidupan bersama antar sesama ummat, sehingga
kejahatan dan keserakahan dalam pikiran mereka bukan hanya dapat ditekan
melainkan dapat disalurkan untuk mencapai tingkat keluhuran ruhani serta sukses
dibidang materi. Disamping itu Islam juga mengendalikan hawa nafsu yang
berlebihan dan ambisi-ambisi syaithoni yang terdapat dalam masyarakat. Dari
kesemuanya itu Islam mengandalkan kepada pendidikan (Allah bagi) ummat-Nya dan
pengendalian (sistem) eksternal yang dilakukan secara hati-hati sepanjang benar-benar diperlukan untuk
memelihara sistem sosial Islam.31
Dalam
ekonomi Islam, kegiatan ekonomi itu, meskipun sifatnya material, akan tetapi
juga ia bercorak spiritual. Asasnya dari corak ini ialah kesadaran dan taqwa
kepada Allah SWT dan mengharapkan akan ridho-Nya. Sendinya, menurut Islam bahwa
manusia itu tidak hanya sekedar berhubungan antara satu sama lainnya, tetapi
juga ia berhubungan dengan Allah SWT. Apabila dalam sistem ekonomi yang positif
hanya terfokus pada asas material, dan asas itu yang membentuk hubungan antara
individu-individu, maka dalam ekonomi Islam tidak demikian, asasnya adalah
ketaqwaan kepada Allah SWT, harapan akan mendapat ridho-Nya, dan menjalankan
ajaran-ajaran-Nya. Hal yang demikian itulah yang membentuk hubungan diantara
individu-individu.
Sebagai
akibat dari keistimewaan sistem ekonomi Islam, yang bertumpu pada asas
kesadaran akan Allah SWT dan pengawasan-Nya dalam kegiatan ekonomi, maka
terdapat tiga hal utama yang hanya dimiliki oleh Islam.
Kesalahan
dari sistem ekonomi, baik yang kapitalis maupun yang sosialis adalah karena
memandang manusia hanya sebagai materi semata, hakekat alam terbatas karena
materi, dan penghasilan material atau kecukupan materi itu merupakan seluruh
kehidupan manusia. Karena itu, maka kekosongan jiwa dan keambrukanlah yang
dialami oleh masyarakat-masyarakat yang menganut sistem-sistem ini.
Adapun
ekonomi Islam, disamping adanya kecenderungan kepada materi, karena aktivitas
ekonomi itu harus tertuju kepada materi, tetapi tidak terlepas kaitannya dengan
spiritual dalam eksistensi manusia. Yang dilakukan Islam dalam hal ini ialah
mengarahkan manusia dengan kegiatan ekonominya kepada Allah SWT untuk
memperoleh ridho-Nya. Yang demikian itu menambah corak imani dan rohani,
perasaan ridho dan bahagia kepada kegiatan tersebut.
Dari
uraian di atas penulis berpendapat bahwa ekonomi Islam adalah tidak mengenal
pemisahan antara yang material dan spiritual, juga tidak memisahkan antara yang
duniawi dan ukhrawi. Segala aktivitas material (duniawi) yang dilakukan manusia
itu dalam pandangan Islam adalah ibadah, selama aktivitas itu syah
(diasyari’atkan) dan ditujukan kepada Allah SWT. Islam tidak membenarkan adanya
pemisahan antara kebutuhan-kebutuhan tersebut, baik yang material maupun
spiritual.
Yusuf
Qardhawi mengemukakan bahwa para pakar ekonomi non muslim mengakui keunggulan
sistem ekonomi Islam. Menurut mereka, Islam telah sukses menggabungkan etika
dan ekonomi, sedangkan sistem kapitalis dan sosialis memisahkan keduanya. Yusuf
Qardhawi juga mengutip pendapat Jack Austri, seorang Perancis, dalam bukunya
Islam dan Pengembangan Ekonomi, mengatakan: “Islam adalah pertalian antara
tatanan kehidupan praktis dan sumber etika yang mulia. Antara keduanya terdapat
ikatan yang kuat yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa orang-orang muslim tidak akan menerima ekonomi kapitalis dan sosialis.
Karena ekonomi yang kekuatannya berdasarkan wahyu itu tidak dapat diragukan
lagi, adalah ekonomi yang berdasarkan etika.
Seperti
dikutip Yusuf Qardhawi, Brooks juga mengkritik kebudayaan barat, karena
memberikan hasil yang menyengsarakan masyarakat. Ia juga merasa cemas terhadap
ekonomi dewasa ini yang dikuasai oleh kapitalisme di atas norma-norma yang
hakiki. Islam tidak mengabaikan kenyataan ini dan siap mengantisipasi
kebudayaan barat, khususnya di bidang ekonominya. Caranya yaitu dengan memasukkan
nilai etika ke dalam ekonomi. 32 Selanjutnya Qardhawi juga mengutip pendapat J.
Perth, gabungan antara ekonomi dan etika itu bukanlah masalah di dalam Islam.
Sejak permulaan Islam tidak mengenal antara keduanya. Prinsip sekularisme di
Eropa tidak dikenal dalam sejarah Islam. Karena, keuniversalan syari’at Islam
melarang berkembangnya ekonomi tanpa etika. Di dalam sejarah Islam, ditemukan
perilaku bisnis yang bergandengan antara etika dan ekonomi, terutama sekali
dikala Islam betul-betul dijadikan pedoman utama dalam kehidupan sehari-hari.
33
Dari
uraian di atas penulis berpendapat bahwa sistem ekonomi Islam adalah
menggabungkan antara etika dan ekonomi, sehingga akan menghasilkan dampak yang
baik dalam kehidupan masyarakat dan mensejahterakannya. Sedangkan sistem
ekonomi kapitalis dan sosialis tidak demikian. Keduanya memisahkan antara etika
dan ekonomi sehingga menghasilkan dampak yang negatif dan menjadikan kehidupan
masyarakat menjadi fakir dan miskin, serba kekurangan. Itulah di antara sistem
ekonomi Islam dan sistem kapitalis dan sosialis, di mana di antara orang-orang
barat pun mengakui akan keunggulan sistem ekonomi Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...