Umat Islam, lebih-lebih
peminat kajian tafsir di Indonesia, tentu sangat mengenal dengan tokoh yang
satu ini, Hamka. Nama Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim
Amrullah. Ia lahir di Sungai Batang, Sumatera Barat tahun 1908 dan wafat di
Jakarta, 24 Juli 1981. Ulama Indonesia yang satu ini pemikirannya sangat
dikenal dan memiliki tempat tersendiri dalam dunia Islam, dalam dan luar
negeri. Di Universitas Al-Azhar Mesir, Hamka pernah memberi ceramah tentang
Islam di Indonesia dengan menarik. Karenanya ia diberi gelar doktor kehormatan
oleh Rektor Syaikh Mahmud Syaltut pada tahun 1959. Ia juga Ketua MUI periode
pertama selama enam tahun sejak didirikan tahun 1975.
Di samping, penceramah
ulung yang suaranya selalu disiarkan oleh RRI pusat tiap habis Subuh itu juga
dikenal sebagai ahli tasawuf modern dan juga memiliki jiwa seni bernafas
religi. Karya-karyanya banyak sekali. Tentu karya yang sangat monumental adalah
Tafsir al-Azhar yang ditulis semasa beliau hidup dalam penjara di Masa Presiden
Soekarno. Tafsir tersebut berulang kali mengalami cetak ulang, hingga dicetak
di negeri tetangga, Singapura. Selain itu, Hamka juga pernah menulis buku
tentang Kedudukan Perempuan dalam Islam (Jakarta, 1996). Karya tulis lainnya
dalam bidang seni, yaitu Tenggelamnya Kapal Van der Vick.
Tafsir Hamka memiliki
corak tersendiri dibanding tafsir-tafsir karya ulama Indonesia lainnya. Salah
satu coraknya yang menonjol adalah perlawanannya terhadap ketidakadilan.
Mungkin faktor situasi menyebabkan karya Hamka banyak mengungkap fenomena
sosial yang timpang. Al-Azhar yang kental dengan budaya nusantara itu sungguh
merupakan karya unggul dan menjadi bacaan yang kritis terhadap situasi di
zamannya. Tidak mudah mencari karya tafsir yang kaya dengan pemikiran keislaman
alternatif dengan tidak melupakan setting socio-culture Indonesia. Walaupun,
menjelang tahun 2000 an, telah bermunculan ahli tafsir ala Indonesia yang tak
kalah hebatnya, salah satunya, Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab.
Terkait tema poligami,
menarik sekali jika dibuka lembar demi lembar Tafsir al-Azhar juz IV dan V
(Surat al-Nisa, ayat 3 dan 129). Dari tafsirnya di surat al-Nisa tersebut,
dapat diikuti dinamika pemikiran beliau terkait dengan pandangannya terhadap
perempuan dan poligami dalam Islam. Luar biasa, Hamka adalah orang yang sangat
menghormati perempuan, dalam arti sebenarnya. Tulisan demi tulisannya menjadi
bukti kuat atas pembelaan yang tinggi terhadap martabat perempuan. Hamka sangat
memahami bahwa QS. 4: 3 ini konteksnya adalah pembelaan kelompok lemah
(dilemahkan) dan mencegah terjadinya kedzaliman terhadap anak-anak perempuan
yatim. Menegakkan keadilan dan mencegah kedzaliman adalah prinsip utama dalam
Islam. Karenanya, memahami ayat ini pun, Hamka selalu mengedepankan prinsip
adil. Diam-diam dan jarang diungkap, ternyata Hamka adalah penganjur monogami
yang istiqamah. Hamka menulis, “…yang lebih aman dan terlepas dari ketakutan
tidak akan adil hanyalah beristri satu. Kalau kita beristri satu saja, lebih
mendekati (baca: mendekatkan) kita kepada ketenteraman.”
Dalam tafsirnya pula,
Hamka tidak lupa mengutip nasehat seorang gurunya ketika masih muda, “Cukuplah
istrimu satu saja, wahai Abdulmalik! Aku telah beristri dua. Kesukarannya baru
aku rasakan setelah terjadi. Aku tidak bisa mundur lagi. Resiko ini akan aku
pikul terus sampai salah seorang dari kami bertiga meninggal dunia. Anakku
dengan mereka berdua banyak. Aku siang malam menderita bathin, karena ada satu
hal yang tidak dapat aku pelihara, yaitu keadilan hati.” Hamka masih
melanjutkan nasehat gurunya, “Janganlah beristri lebih dari satu hanya
dijadikan semacam percobaan, sebab kita berhadapan dengan seorang manusia,
jenis perempuan. Aku lemah dalam hal ini, wahai Abdulmalik.” Selanjutnya, sang
guru meminta Hamka untuk memegang ayat “zâlika adnâ allâ ta‘ûlû” (yang demikian
itu lebih dekat supaya kamu tidak berlaku aniaya). (al-Azhar, Juz IV, h.
294-295). Nasihat tersebut dipegang erat oleh Hamka hingga ajal menjemputnya.
Dengan demikian, Hamka adalah penganut paham monogami.
Hamka juga menyatakan
bahwa bila seseorang hendak beristri lebih dari satu, hendaklah berpikir lebih
dahulu sebelum melangsungkannya. Mungkin saja, setelah berpikir, niat itu akan
dibatalkan. Berpikir tentang keadilan terhadap istri dan anak-anaknya serta
tanggung jawab terhadap anak istri. Memang, Hamka tidak menyangkal bahwa ayat
tersebut dapat diartikan Tuhan membolehkan (tidak menganjurkan) pernikahan
dengan lebih dari seorang istri, tetapi, lagi-lagi Hamka menekankan, pemenuhan
beberapa syarat penting demi kepentingan semua pihak. Hamka menegaskan kembali,
“kalau engkau merasa takut tidak akan adil, lebih baik satu saja, supaya aman,
tidak banyak pusing”.
Hamka juga tidak lupa
bahwa situasi masyarakat Arab ketika itu adalah masyarakat kabilah yang
berdasarkan “perbapakan” (patriarchaat). Di mana kaum laki-laki sangat
diunggulkan jauh melebihi perempuan. Karenanya, membaca ayat tentang poligami,
akan lebih obyektif, jika melihat kondisi ketika ayat itu turun. Hamka
mengisahkan proses masuk Islamnya Gailân ibn Salamah al-Œaqafî (dengan sepuluh
istri), ‘Umair al-Asadî (dengan delapan istri), dan Naufal ibn Mu‘âwiyah
al-Dîlî (dengan lima istri) yang kemudian Nabi meminta mereka bertahan dengan
maksimal empat istri, selebihnya harus diceraikan baik-baik. (h. 295 dan 305).
Dengan mengutip
riwayat-riwayat tentang hal ini, tafsir Hamka dinilai sangat memegang
erat/memperhatikan konteks sosial suatu ayat. Secara tak langsung, Hamka
menyatakan bahwa ketentuan Islam (pembatasan poligami) itu tidak datang
tiba-tiba. Lagi pula, pembatasan itu melawan arus di tengah maraknya, bukan
saja budaya poligami tetapi juga pergundikan di masa pra Islam. Sejumlah ketentuan
Allah swt. berlaku secara gradual, berproses, dan tidak drastis. Begitu pula
dengan ketentuan poligami, pembatasannya berlangsung secara perlahan dengan
syarat yang berat.
Terakhir, Hamka
menyimpulkan pandangannya, “Alhasil, pernikahan yang bahagia dan dicita-citakan
(ideal) adalah beristri satu. Pernikahan seorang laki-laki dengan seorang
perempuan. Mendirikan rumah tangga bahagia, li taskunu ilaiha (agar kamu merasa
tenteram dengan dia). Sakinah (ketenteraman) tidak akan dirasakan kalau hanya
sibuk menyelesaikan urusan istri banyak.” (h. 306). Setelah itu, Hamka tidak
lupa menjelaskan model pernikahan Rasulullah saw. dan latar belakang Rasulullah
berpoligami pasca wafatnya Khadijah. Perlu dicatat, selama 25 tahun lebih
Rasulullah hidup secara monogami dengan Khadijah ra. Ketika Khadijah meninggal
dunia di usia 65 tahun, Nabi berusia sekitar 53 tahun. Kemudian Nabi menikah
dengan Saudah janda berusia 63 tahun yang suaminya telah lama meninggal dunia
dengan sejumlah anak yatim.
Dalam konteks
masyarakat tahun 1960-an, pandangan Hamka tentang perempuan dan model
pernikahan sangatlah maju. Rasanya, sulit mencari ulama yang tawadu’ dan
memperhatikan martabat dan perasaan perempuan seperti Hamka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...