Oleh : Abu Fahmi dan Abu Aisyah
Perkembangan ekonomi syariah
harus terus diperjuangkan, tidak hanya segi isi dan obyeknya saja melainkan
juga pada sisi subyek pelakunya. Para pelaku ekonomi syariah haruslah setiap
muslim yang memahami apa hakekat dari system ekonomi ini, ia adalah pribadi
yang secara lahir-batin berjuang untuk menegakan hukum-hukum Allah khususnya di
bidang ekonomi. Perjuangan lahir
meliputi komitmennya kepada ekonomi syariah, sementara perjuangan batin adalah
senantiasa meningkatkan kualitas keimannnya agar semakin dekat kepada Allah
ta’ala. Di antara saran untuk semakin mendekatkan diri kepadaNya bagi para
pelaku ekonomi syariah adalah dengan senantiasa meningkatkan nilai-nilai
keyakinan atau aqidahnya.
Aqidah merupakan “rakizah
asasiyah” di dalam agama, ia merupakan fondasi yang kokoh, yang di atasnya
dibangun semua cabang-cabang agama, sekaligus sebagai tiket untuk memperoleh
kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Lurus dan benarnya
suatu Aqidah menentukan lurusnya semua bangunan yang berdiri di
atasnya, baik berupa tuntutan-tuntutan maupun perintah-perintah. Lurusnya aqidah
merupakan satu-satunya jalan untuk menegakkan masyarakat muslim yang terikat
dan bersatu. Tidak ada jalan menuju persatuan ummat Islam, termasuk kesatuan
barisannya maupun kejayaannya di dunia dan di akhirat, kecuali kembali secara
benar kepada Islam yang murni lagi bersih dari cacat, dan terlepas total dari
cela-cela syirik, bid’ah dan pengaruh hawa nafsu.
Hal ini dituntut bagi setiap
muslim agar ia menjauhkan dari madzhab-madzhab dan manhaj-manhaj yang baru
(hasil rekaan manusia) yang bertentangan dengan yang dipegangi oleh salafushalih.
Hendaknya
setiap muslim benar-benar memperhatikan madzhab Salafushalih, baik aqidah mereka maupun
manhaj mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Jika orang-orang yang
memiliki kecerdasan dan kelebihan memperhatikan dengan seksama tentang perkara-perkara ini maka akan jelas baginya
bahwa madzhab Salafushalih dan para Imam benar-benar teruji lurus dalam ketepatannya,
kebenaran dan keteraturannya. Hal
itu itu sesuai dengan tuntutan akal yang sharih dan naql yang shahih. Bagi siapa saja yang menyelisihi, ia akan
menyertainya dengan perkataannya yang saling berlawanan, yang dusta oleh orang
yang lemah akal, yang keluar dari tuntutan akal dan pendengaran (dalil wahyu),
dan bertentangan dengan fitrah dan pendengaran” (Majmu’ Fatawa : 5/212-213).
Dr.
Mustafa Hilmi menyatakan: “Jika kaum muslimin benar-benar ingin bangkit, maka
tak ada jalan lain bagi mereka kecuali melalui “kesatuan jama’ah”
mereka, dan kesatuan jama’ah tidak bisa melalui jalan lain kecuali kembali kepada
Islam yang shahih, dan Islam yang shahih itu adalah yang
bersandarkan kepada Kitabullah dan Sunnah Nabawiyah, dan inilah sasaran
inti kaum yang diridhai Allah dari kalangan shahabat, tabi’in dan tabi’ut
tabi’in serta orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka, (Qowai’id al
Manhaj as Salafy: 13). Dr. Shalih bin Sa’ad As Sahimy juga
menyatakan bahwa kebersamaan (jama’ah) adalah filter penting dalam segi
aqidah dan ketegasannya dalam peranannya di dalam masyarakat muslim: adalah
yang harus dilakukan pertama sekali, dan sebagai central esensial yang di
atasnya berdiri bangunan yang berdiri “Masyarakat Islami”, yang mana barisan
kaum muslimin berlindung di bawah benderanya. Dari sinilah para pendahulu umat
ini mengilhami jalan persatuan mereka, dan di atas sorotan cahaya-Nya menyinari
jalan mereka menuju puncak ketinggiannya dan kemuliannya. dengan petunjuk dan
prinsip-prinsip nilai yang ditegakkannya mereka membuka hati mereka lebih
dahulu sebelum membuka kawasan dan penjuru bumi. (Manhajus Salaf fil Aqidah
wa Atsaruhu fi Wihdatil Muslimin
: 4).
Perintah-perintah
syariat datang dari sisi Allah ta’ala, sementara amal perbuatan datang dari sisi hamba, mak dalam hal ini Allah sebagai
yang memerintah dan hamba sebagai yang diperintah. Kebahagiaan hamba terjadi ketika keduanya yaitu perintah Allah dan
amal perbuatan hamba berhimpun menjadi
satu pada dirinya. Itulah “as sa`adah”
(kebahagiaan), yang haqiqi. Ketika antara keduanya -perintah Allah dan amal
perbuatan hamba- tidak berhimpun pada diri hamba, yang terjadi adalah “asy-syaqawah”
(kesengsaraan, kegundahan, kegelisahan, kesedihan dan kesempitan). Perhatikan
firman Allah ta’ala berikut :
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ
ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah
Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu
timbul dari ketakwaan hati. QS. Al-Hajj:
32
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ
وَيَخْشَ ٱللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَآئِزُونَ
Dan
barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan
bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. QS.
An-Nur : 52
Dua
ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa takwa kepada Allah ta’ala adalah kunci
bagi kebahagiaan dan kemenangan. Tidak saja kebahagiaan di dunia namun juga
kebahagiaan di akhirat kelak. Dalam ayat yang lainnya disebutkan:
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًۭا مِّن ذَكَرٍ
أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌۭ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةًۭ طَيِّبَةًۭ ۖ
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Barang siapa yang
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan. QS.
An-Nahl: 97.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ
لَهُۥ مَعِيشَةًۭ ضَنكًۭا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ.
قَالَ رَبِّ لِمَ
حَشَرْتَنِىٓ أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًۭا
Dan barang siapa berpaling
dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami
akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau
menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang
melihat?". QS. Thaha: 124-125.
Buah
dari ketakwaan adalah amal shaleh, maka ketika seseorang bertakwa dan beramal
shaleh Allah ta’ala akan berikan padanya kehidupan yang baik dan penuh berkah.
Sebaliknya jika ia menyelisihi dengan melakukan amal-amal yang tidak baik maka
baginya kehidupan yang sempit, susah dan akan mendatangkan penyesalan di
akhirat kelak. Membahas tentang amal shaleh maka tidak lepas dari keadaan manusia
yang terdiri dari jasad dan ruh, jasad berarti badan yang digunakan untuk
melakukan amal yang bersifat dhahir. Sementara ruh berkaitan dengan hati yang
melakukan amalan-amalan yang batin.
Baik
amalan hati (a`mallul qulub) maupun amalan anggota
badan (a`malul jawarih)
memiliki keistimewaan masing-masing dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Amalan hati merupakan fondasi iman dan pilar dari agama (min uhsulil iman
wa qawa`idil dien). Di antara bentuk amalan
hati adalah iman, tauhid, mahabbatullah
dan rasulNya, tawakkal pada Allah, ikhlas dalam beragama kepada Allah, yakin terhadap
Dzat Allah, Asma’ dan sifat Nya, khauf dari Nya, raja’ pada Nya, khasyyah dariNya,
khusyu` kepada Nya, merendahkan diri dan tunduk di hadapan Nya, bersabar atas hukum-Nya dan Isti`anah kepadaNya. Amalan hati ini merupakan seutama-utama
amalan, ialah yang membedakan antara seorang mukmin atau seorang munafiq. Oleh
karena itu hendaklah setiap pelaku ekonomi syariah untuk memperhatikan hal ini.
Adapun
amalan anggota badan adalah setiap amal shaleh yang dilakukan oleh anggota
badan manusia sebagai bentuk ibadah kepada Allah ta’ala. Tangan digunakan untuk
memberikan zakat, infaq dan shadaqah, kaki digunakan untuk melangkah di
jalanNya, lisan digunakan untuk membaca kalamNya dan lain sebagainya. Intinya
adalah bahwa amalan anggota badan menjadi cermin bagi keshalehan seseorang,
shalat misalnya ia adalah pembeda antara seorang muslim yang taat dan seorang kafir.
Rasulullah bersabda tentang hal ini :
إنَّ الفرق بيننا وبينهم الصّلاة
فمَنْ تركها فقدْ كفر
Sesungguhnya pembeda
antara kami (umat Islam) dan mereka (Musyrikin) adalah shalat, barangsiapa yang
meninggalkannya maka ia telah kafir. HR. Al-Hakim.
Setiap pelaku ekonomi syariah sudah selayaknya untuk memperhatikan dua jenis
amalan tersebut, tidak hanya amalan anggota badan naumn juga amalan hati harus
senantiasa dijalankan. Dengan amalan yang berlandaskan aqidah inilah ia akan
mampu untuk mengawasi setiap aktifitasnya khususnya di bidang ekonomi yang
dijalankannya. Selain itu, setiap praktisi ekonomi syariah
tidaklah sekadar mengandalkan aspek profesionalisme
yang sifatnya keduniaan saja,
namun juga harus lebih memperhatikan suprastruktur yaitu segi aqidah, tsaqafah,
fikrah, tradisi dan kultus Islamnya. Sehingga dengan ini diharapkan setiap pelaku
ekonomi syariah akan memahami bahwa aktifitas yang dilakukannya tidak hanya
bernilai secara duniawi namun juga bernilai ukhrawi.
Kesalahan fatal yang terjadi
sekarang di dunia pegiat ekonomi syariah adalah keringnya aqidah mereka, terbukti dengan
banyaknya perbankan syariat dan BPR syariah dadakan, yang hanya bermodalkan training dan
rekrutmen, lebih pada aspek-aspek teknis keprofesian dan bukan pada pembinaan
fondasinya, yaitu amal-amal hati yang menggerakkan seluruh amal-amal anggota
badannya,
apalagi di bank-bank konvensional yang
membuka layanan Bank Syariah yang hanya memanfaatkan trend umat Islam yang mayoritas. Mereka yang keropos
fondasi tauhidnya, tsaqafah Islamiyahnya, fikrah dan pemahaman ubudiyahnya,
adab dan akhlaknya. Kekeringan ini
menjadikan ruh dari Islam seolah-olah hilang dari para pelaku ekonomi syariah.
Padahal ini akan sangat berbahaya bagi keberlangsungan ekonomi syariah,
tentunya harus ada perbaikan dari dalam diri umat Islam sendiri yaitu perbaikan
dari para pelaku ekonomi syariah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...